Bolehkah keganjilan tersebut dipandang sebagai sesuatu yang wajar untuk tetap dipertahankan dalam alam kemerdekaan dewasa
ini? Kekosongan yang terdapat dalam undang-undang pidana kita itu perlu segera diisi, misalnya dengan menambahkan perkataan
“suatu kejahatan terhadap tubuh dan nyawa warga negara Indonesia” pada rumusan ketentuan pidana seperti yang terdapat
dalam pasal-pasal 4 dan 5 ayat 1 KUHP.
Selaras dengan pemikiran Lamintang, konsep KUHP 2008 kini telah mengakomodir warga negara sebagai kepentingan negara atau nasional
yang dirumuskan dalam Pasal 4 huruf a.
196
e. Asas Teritorial
Andi Hamzah mengemukakan bahwa landasan asas teritorial adalah kedaulatan negara di wilayahnya sendiri. Bertitik tolak dari landasan
tersebut, maka hukum pidana berlaku bagi siapapun juga yang melakukan delik di wilayah negara tersebut.
197
Pada prinsipnya hukum pidana adat Baduy menganut pula asas teritorial, namun demikian, keberlakuannya
tidak penuh pada setiap delik dalam hukum pidana adat Baduy. Dengan demikian hukum pidana adat Baduy dapat dikatakan menganut asas
teritorial yang bersifat quasi. Keberlakuan asas teritorial bagi warga di luar Baduy hanya pada delik-delik yang bersifat umum berlaku bagi
masyarakat Baduy seperti penganiayaan, mencuri, penipuan, mengambil foto, menggunakan alat mandi seperti sabun, shampo dan sebagainya.
Sementara terhadap delik yang bersifat lebih khusus seperti larangan mengenakan pakaian modern, alat elektronik dan sebagainya hanya
196
Lihat lebih lanjut dalam Pasal 4 huruf a konsep KUHP 2008.
197
Andi Hamzah. Asas-asas Hukum Pidana.Jakarta. Rineka Cipta. 1994.Hlm.64.
berlaku bagi warga Baduy Dalam. Larangan tersebut diberlakukan pada warga Baduy Dalam namun tidak diberlakukan pada warga luar Baduy.
Bagi para pelanggarnya dikenakan sanksi yang berjenjang mulai sanksi verbal ditegur, dinasehati
dipapatahan hingga dikeluarkan dari komunitas Baduy Dalam.
2 Bentuk-Bentuk Tindak Pidana a. Perbarengan
J.E.Jonkers menjelaskan concurcus idealis kebersamaan dalam
peraturan terjadi apabila suatu peristiwa pidana terkena oleh lebih dari satu peraturan pidana, maka hanya diperlakukan salah satu peraturan
pidana, yaitu yang menentukan hukuman pokok yang paling berat.
198
Sistem penjatuhan pidana ini oleh Jonkers disebut sebagai sistem absorbsi peraturan yang paling berat menutupi yang lebih ringan.
199
Dalam KUHP concursus idealis diatur dengan Pasal 63. Menurut Jonkers,
beberapa peraturan yang terkena pada sebuah peristiwa tersebut haruslah peristiwa yang berhubungan satu sama lain, bukan peristiwa
yang berdiri sendiri yang tidak ada hubungannya satu sama lain. Hal ini juga berlaku pada satu peristiwa yang menimbulkan dua akibat seperti
tabrakan karena sebuah kelalaian yang mengakibatkan kematian Pasal 359 KUHP dan luka badan Pasal 360 KUHP.
200
198
J.E.Jonkers. Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda. Jakarta. Bina Aksara.
1987. Hlm.207
199
Ibid. Hlm. 206.
200
Ibid. Hlm.208
Selain concursus idealis, KUHP juga mengenal perbuatan berlanjut
voortgezette handeling. Pengaturan perbuatan berlanjut dalam KUHP termuat pada Pasal 64 sebagai berikut :
Pasal 64 1
Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya
sedemikan rupa, sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut
voortgezette handeling, maka hanya dikenakan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat
ancaman pokok yang paling berat.
Syarat yang harus diperhatikan dalam perbuatan berlanjut adalah: 1 harus ada kesatuan kehendak peristiwa-peristiwa yang disebabkan oleh
putusan kehendak yang sama; 2 peristiwa-peristiwa harus sama atau serupa; 3 jangka waktu yang ada antara berbagai bagian perbuatan
berlanjut tidak boleh terlalu lama.
201
Selain kedua hal di atas concursus idealis dan perbuatan berlanjut,
KUHP juga mengenal concursus realis perbarengan perbuatan.
202
Konsep concursus realis adalah adanya perbarengan beberapa
perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri- sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan. Terhadapnya dijatuhi
satu pidana jika diancam dengan pidana pokok sejenis yang merupakan jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu
dengan catatan tidak melebihi dari maksimum pidana yang terberat
201
Ibid. Hlm. 219-221.
202
Pasal 65 KUHP
ditambah sepertiga.
203
Jika perbarengan tersebut diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhi pidana atas tiap-tiap kejahatan
tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga.
204
Dalam hukum pidana adat Baduy pengaturan perbarengan tidaklah serumit dan serigid konsep hukum pidana nasional. Penerapan pidana
pada bentuk tindak pidana perbarengan dalam hukum pidana adat Baduy diorientasikan pada kepentingan korban selain juga kepentingan pelaku
sebagai bagian integral dari penyelesaian perkara. Sehingga dalam konteks
concursus realis misalnya terjadi tindak pidana perkosaan Pasal
285 KUHP yang disertai penganiayaan Pasal 351 KUHP dan berakhir dengan dibunuhnya si korban Pasal 338 KUHP, maka ketiga aturan
pidana yang terjadi dalam peristiwa tersebut tidak digabung, dilebur dan diterapkan pemberatan absorbsi yang dipertajam menjadi satu aturan
pidana sebagaimana dalam hukum pidana nasional. Dalam hukum pidana adat Baduy, seorang pelaku yang melakukan beberapa tindak pidana
dimintakan pertanggunjawaban lahiriah yang disesuaikan dengan kepentingan hukum korban selain pertanggunjawaban batiniah untuk
203
Pasal 65 ayat 2 KUHP. Sistem pemidanaan ini dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam, peraturan pidana yang paling berat yang dijalankan ditambahi diperberat
sepertiga diatas hukuman yang seberat-beratnya.
204
Pasal 66 ayat 1 KUHP. Sistem pemidanaan seperti ini dinamakan sistem kumulasi yang diperlunak, ada beberapa hukuman yang dijatuhkan tetapi jumlah waktu dari semua
hukuman yang dijatuhkan hanya boleh melebihi hukuman yang paling lama dengan sebagian sepertiganya. Terhadap
concursus realis dengan ancaman hukuman pelanggaran, maka digunakan sistem kumulatif murni, dijatuhkan pidana sendiri-sendiri
tanpa dikurangi dengan tetap memperhatikan ketentuan pasal 70 ayat 2 KUHP. Lihat lebih lanjut dalam Pasal 70 ayat 1 KUHP.
membersihkan batin si pelaku dan desa masyarakat atas tindak pidana yang telah terjadi. Jika tindak pidana tersebut menimbulkan korban lebih
dari satu orang, maka pertanggungjawaban lahiriah juga diberikan sejumlah korban dari tindak pidana yang terjadi. Lebih lanjut Ayah Mursyid
menjelaskan serangkaian tindak pidana yang telah dilakukan tidak dilebur menjadi satu, tetapi dimintakan pertanggungjawaban atas setiap tindak
pidana yang dilakukan.
b. Percobaan