Kesantunan dan Konteks Konsep

Noguchi dan Harada 1992:219 dalam penelitiannya yang berjudul ‘Semantic and Pragmatic Interpretation of Japanese Sentences with Dake Only’ menemukan bahwa kalimat dengan bentuk partikel+dake+kalimat selalu memiliki makna terbatas secara semantis, sementara bentuk kalimat dake+partikel+kalimat tidak selalu memiliki makna terbatas secara semantis, melainkan memiliki implikasi bahwa selain yang diikuti dengan dake, maka hal lain tidak diperlukan lagi. Oleh karena itu kalimat dengan bentuk dake+partikel+kalimat dapat dipandang sebagai bentuk yang mengandung implikatur percakapan dengan pengaruh pragmatis bagi pendengarnya. Dari penelitian-penelitian yang sudah pernah dilaksanakan sebelumnya, dapat dilihat bahwa penelitian mengenai pragmatik dan implikatur percakapan khususnya dalam bahasa Jepang telah banyak dilaksanakan. Akan tetapi belum ada yang mengaitkan aimai dengan implikatur percakapan dalam bahasa Jepang. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam percakapan bahasa Jepang, keberadaan aimai dalam implikatur percakapan akan dibahas dalam penelitian ini.

2.2 Konsep

2.2.1 Kesantunan dan Konteks

Kesantunan adalah sebuah fenomena pragmatik. Kesantunan terletak bukan pada bentuk dan kata-kata, melainkan pada fungsi dan makna sosial yang diacu. Jika penutur mengatakan bentuk yang lebih sopan daripada konteks yang diperlukan, mitra tutur akan menduga bahwa ada maksud khusus yang tersembunyi. Universitas Sumatera Utara Kesantunan tidak sama dengan penghormatan yang menggunakan bentuk formal yang mengekspresikan adanya jarak dan penghargaan terhadap orang yang berstatus lebih tinggi, dan biasanya memasukkan unsur pilihan. Penghormatan sudah ada di dalam bahasa, seperti Korea ata Jepang, dan dapat dilihat pada kata ganti orang di beberapa bahasa di Eropa bahasa Perancis: tuvous. Namun sangat jarang dijumpai hal yang serupa secara gramatikal dalam bahasa Inggris, meskipun masih dapat ditemui bentuk penghormatan seperti penggunaan “Sir” dan “Madam”. Sangat dimungkinkan untuk mempraktekkan penghormatan tanpa harus menjadi sopan. a. Konteks Situasi Karena kesantunan merupakan fenomena pragmatik, maka ia dipengaruhi oleh konteks. Terdapat dua konteks situasi yang memengaruhi cara kita membuat permintaan. Pertama, tingkat paksaan, dan peraturannya adalah “semakin tinggi tingkat pembebanan yang dikandung sebuah ujaran, semakin tidak langsung sebuah ujaran tersebut”. Misal, ketika kita hendak meminjam uang, kita cenderung mengatakan: “Bisakah saya meminjam lima ratus ribu, kalau kamu sedang tidak memerlukannya sekarang?” Jika uang yang dipinjam dalam nominal yang lebih kecil, “apa saya bisa pinjam lima ribu rupiah untuk bayar fotokopian?” Konteks yang kedua adalah formalitas. Semakin formal sebuah situasi, semakin tidak langsung sebuah ujaran yang dihasilkan. Misal, ketika kita sedang dalam sebuah seminar dan kita terlibat dalam sebuah perdebatan, kita akan mengatakan, Universitas Sumatera Utara “Bisakah saya melanjutkan apa yang sebelumnya saya sampaikan…” Namun, ketika perdebatan terjadi diantara teman karib, kita akan mengatakan, “Tunggu, aku belum selesai ngomong, …..” b. Konteks Sosial Pilihan atas formulasi kesantunan tergantung pada jarak sosial dan kekuasaan diantara kedua pihak. Apabila terdapat jarak sosial, kesantunan dikodekan dan terdapat banyak ketidaklangsungan ujaran. Ketika jarak sosial berkurang, berkurang pula negative politeness dan ketidaklangsungan. Variabel yang menentukan jarak sosial adalah tingkat keakraban, perbedaan status, peran, usia, gender, pendidikan, kelas, pekerjaan dan etnisitas. c. Konteks Budaya Akan tetapi, hubungan antara ketidaklangsungan dan variabel sosial tidak sesederhana itu. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa kesantunan dan bahasa bersifat terikat oleh budaya setempat.

2.2.2 Implikatur