D alam agenda peringatan setahun MK 35/2012, KPA turut memberikan refleksi kritisnya
D alam agenda peringatan setahun MK 35/2012, KPA turut memberikan refleksi kritisnya
terhadap implementasi MK 35 dan hubungannya dengan reforma agraria di sektor ke- hutanan. Setelah setahun dikeluarkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum menin- daklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hu- tan adat bukan lagi hutan negara. Padahal, Keputusan MK.35/2012 memiliki makna bahwa pengakuan negara atas keberadaan masyarakat adat di wilayah hutan adat yang dikeluarkan dari klaim sebagai wilayah hutan negara merupakan sarana penyelesaian konflik berbasis pe- mulihan hak akibat adanya penetapan konsesi di atas wilayah hutan adat.
Hutan adat dapat dijadikan objek reforma agraria dengan subjek utamanya adalah ma- syarakat adat itu sendiri. Terkait wilayah adat lainnya, masih tersisa persoalan yaitu wilayah masyarakat adat non kawasan hutan namun tidak diatur oleh masyarakat adat sebagai subjek hukum atau berada dalam konsesi usaha semisal kebun dan tambang.
Catatan kritis pelaksanaan MK 35 tersebut disampaikan Iwan Nurdin di acara peringat- an satu tahun putusan MK 35 di Jakarta, selasa (13/5). Iwan memaparkan bahwa paska pu- tusan MK maka peluang politik semakin meluas, apalagi dengan adanya Nota Kesepahaman Bersama (NKB) KPK dengan 12 K/L tentang percepatan pengukuhan kawasan hutan yang di dalamnya juga terdapat perluasan wilayah kelola rakyat dan penyelesaian konflik agraria di kawasan hutan. Paska putusan MK, ada UU No 6/2014 tentang Desa yang mengatur pene- tapan desa adat plus wilayahnya. Namun, yang terjadi sekarang adalah pembangkangan biro- krasi khususnya Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Kehutanan atas putusan MK 35. Terlebih lagi, tidak sepadannya peluang politik dan hukum yang semakin luas tersedia dengan realisasi pengakuan hutan adat dan wilayah masyarakat adat lainnya.
34 Edisi X/Maret-Mei 2014
Iwan juga memaparkan sejumlah alasan hutan kerapkali salah dianggap tidak sejalan urgensi reforma agraria di Kawasan Hutan. dengan agenda Lingkungan Hidup. Pertama, kawasan Hutan Indonesia adalah
Mengapa Reforma Agraria Berlaku pada objek Reforma Agraria terluas (hampir 68 hutan adat? Objek Hutan adat telah tum- persen daratan telah ditunjuk sebagai kawa- pang tindih dengan berbagai izin dan konse- san hutan) di Indonesia dan hanya 16 per- si sehingga terdapat konflik agraria struktu- sen yang telah ditata batas. Kedua, kawasan ral yang laten maupun manifest. Kemiskinan Hutan Indonesia adalah titik dengan ketim- dan keterbelakangan masyarakat adat akibat pangan struktur agraria tertinggi (perban- kehilangan akses terhadap hutan nya. Belum dingan pengelolaan hutan oleh korporasi dan jelasnya objek hutan adat dalam soal tata ba- oleh rakyat sangat tinggi). Kemiskinan dan tas, dan tata guna ke dalam peta. Namun, se- keterbelakangan masyarakat. Ketiga, pele- benarnya lebih sulit menetapkan subjek re- pasan, izin usaha pengusahaan, dan izin pin- form untuk jenis masyarakat adat ketimbang jam pakai kawasan hutan adalah bisnis utama objek. Struktur sosial Masyarakat Adat pada Kemenhut saat ini yang rawan dengan mega wilayah tertentu diwarnai dominasi nilai pat- korupsi. Keempat, kehutanan adalah sumber riarkhi dan feodalisme. utama Konflik Agraria.
Secara Nasional dan wilayah tidak ada Data Ketimpangan Agraria Kehutanan reforma agraria di Indonesia. Namun, dengan mengatakan bahwa Hutan mencakup 136.94 menggunakan perspektif lain sebenarnya te- juta hektar atau 69 persen wilayah Indonesia, lah terjadi local land/agrarian reform melalui 121, 74 juta (88%) ha belum ditata batas. sejumlah aksi pendudukan dan reklaiming Sedikitnya 33.000 desa definitif berada da- oleh Organisasi Rakyat, dimana pada lokasi lam kawasan hutan. 6.400 nya adalah desa tersebut telah terjadi perubahan corak dan di Perhutani. Luas HTI mencapai 9,39 juta relasi produksi atas tanah. Meskipun secara
ha (262 perusahaan). Bandingkan dengan legal belum kuat (masih berproses). Agrarian izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang Reform by Leverage adalah sebuah pelaksana- 631.628 hektar. Luas HPH di Indonesia 21,49 an reforma agraria berdasarkan inisiatif or- juta hektar dari 303 perusahaan HPH (2011). ganisasi rakyat yang potensial dilakukan oleh Kontribusi kehutanan kurang dari 1 persen AMAN pada objek hutan adat. PDB (FWI 2011).
Diperlukan prinsip umum dalam pene- Ada beberapa hambatan Reforma tapan objek hutan adat sebagai objek refor- Agraria di Kawasan Hutan, antara lain: per- ma agraria sehingga dirumuskan tata guna tama, tidak ada komitmen politik menjalan- tanah yang mengacu pada nilai-nilai ma- kan agenda reforma agraria dari pemerintah; syarakat adat yang menjunjung demokrasi Kedua, Secara hukum, UUPA 1960 tidak ber- dan keadilan sosial. Pengembangan prinsip- laku di kawasan hutan, dan penyeleweng- prinsip universal dalam menetapkan subjek an pelaksanaan UUPA 1960. Bahkan, UU reforma agraria pada hutan adat misalnya 41/1999 sesungguhnya menghidupkan kem- non diskriminasi terhadap kaum perempu- bali “domein verklaring” di dalam kawasan an dan pemuda. Menetapkan model subjek hutan yang telah dihapus oleh UUPA. Ketiga, tertutup untuk masyarakat luar komunitas Organisasi penyuara dan diskursus Reforma adat dan model terbuka untuk masyarakat di Agraria dalam politik kekuasaan masih mar- luar komunitas jinal dan keempat, reforma agraria dikawasan
Mayarakat pengusung reforma agraria harus Mendorong agenda Reforma Agraria
Suara Pembaruan Agraria 35
Pada Pemerintah ke depan dengan mem- ekonomi dan sosial masyarakat. Pemahaman bubarkan kementerian Kehutanan dan di- akan pentingnya agenda reforma agraria ter- jadikan Kementerian Perhutanan. Namun, bentur dengan anggapan bahwa Reforma Agenda Reforma Agraria belum disuarakan Agraria dianggap sebatas program memper- secara nyata oleh para kandidat capres yang tahankan struktur masyarakat pertanian atau ada karena kurang dipahami arti penting- agenda pertanian, bukan agenda transforma- nya bagi penyelesaian ketidakadilan struktur si sosial. (GA)
LIPI Berencana Teliti Konflik Tambang
embaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam waktu dekat akan melaksanakan pe- nelitian konflik tambang di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Terkait dengan ren-
cana tersebut, Selasa, 25 Februari lalu telah dilaksanakan seminar riset design dengan topik “Ekonomi Politik Pengelolaan Sumber Daya Alam Pasca Orde Baru: Studi Kasus Kabupaten Bima”. Bertempat di Ruang Seminar PDII LIPI Jakarta, puluhan peneliti tampak antusias me- nyimak paparan design riset konflik agraria dari Tim Pusat Penelitian Politik LIPI.
Ketua Tim Penelitian LIPI, Pandu Yuhsina Adaba dalam pemaparannya mengungkapkan, bahwa riset ini berangkat dari identifikasi yang berasal dari studi-studi politik yang mengarah pada peran aktor yang memiliki kuasa atas penguasaan sumber daya alam. “Latar belakang riset ini adalah dari studi-studi mengenai politik pengelolaan sumber daya alam dan konflik, tampaklah bahwa aktor-aktor yang mempunyai akses pada kekuasaan lebih mempunyai ke- sempatan untuk mengendalikan dan mempengaruhi keputusan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam menurut kepentingan mereka,” papar Pandu.
Lebih lanjut, Pandu mengatakan bahwa pola penguasaan SDA sebagaimana tercermin dalam regulasi-regulasi yang terkait belum dapat menyelesaikan frekuensi konflik berbasis sumberdaya alam yang merupakan akibat langsung dari ketidakadilan terhadap akses un- tuk memanfaatkannya.
Turut hadir sebagai pembahas dalam agenda tersebut, Iwan Nurdin Sekjend KPA. Dalam pembahasannya, Iwan memaparkan masukan-masukan KPA dalam prenelitian
36 Edisi X/Maret-Mei 2014 36 Edisi X/Maret-Mei 2014
ga sekarang,” kata Iwan. rezim peraturan SDA yang berlaku. Kedua, “Perubahan rezim pengelolaan SDA untuk mengidentifikasi para pihak dan rela- mempunyai konsekuensi pada perubahan sinya dalam pengelolaan sumber daya alam. aktor, dan relasi aktor politik dan ekonomi Ketiga, untuk mencari formulasi yang tepat di nasional dan daerah. Konflik kepentingan mengenai pengelolaan SDA melalui bebera- antara masyarakat politik, masyarakat eko- pa aspek diantaranya usulan peraturan per- nomi dan masyarakat sipil lainnya salah satu- undangan dan hal-hal lain yang diperlukan nya konflik sebagai fase dari tidak terdamai- untuk mengoptimalkan hasil pengelolaan kannya sebuah kompetisi pengelolaan SDA sumber daya alam untuk mewujudkan kese- yang berujung ketidak adilan),” tambah Iwan. jahteraan rakyat. (GA)
Sektor Pertanian Diobral Murah ke Asing