Irelevansi Teori Balance of Power

3.2. Irelevansi Teori Balance of Power

Lalu bagaimana dengan Malaysia dan Vietnam? Disinilah penulis melihat irelevansi Teori Balance of Power dalam menjelaskan fenomena di kawasan. Sekilas mengamati tabel balance of force akan memperlihatkan: 1) pertambahan alut sista Malaysia, di tahun 1992; 2) Vietnam sebagai pemilik alut sista signifikan terbanyak selain Cina. Secara gamblang, kita bisa langsung menyimpulkan bahwa teori Waltz bekerja dan kedua negara ini melakukan hard internal balancing.

Masalahnya, ketika kita membicarakan internal balancing dalam konteks Waltz, kita membicarakan internal balancing dalam konteks tradisional, dimana Masalahnya, ketika kita membicarakan internal balancing dalam konteks Waltz, kita membicarakan internal balancing dalam konteks tradisional, dimana

memenangkan perang melawan AS. 130 Malaysia juga merupakan salah satu bagian dari Five Power Defence Agreement, inisiatif keamanan regional antara Malaysia,

Singapura, Selandia Baru, Australia dan Inggris, secara gamblang kita bisa langsung menyebutnya aliansi. Lalu mengapa ia tidak melakukan hard balancing?

Sejauh ini bisa disimpulkan bahwa kedua negara tidak melakukan hard balancing versi Waltz. Mengapa tidak demikian dan jika memang tidak demikian, mengapa stabilitas bisa tercipta?

3.2.1. Kasus Malaysia Dalam kasus Malaysia, penelitian ini menganalisis bahwa ia tidak melakukan hard balancing versi Waltz. Five Power Defense Agreement adalah suatu inisiatif keamanan dimana Malaysia bergabung didalamnya, yang berpotensi disebut sebagai aliansi. Terkait hal ini, penelitian ini tidak akan mengkategorikannya sebagai aliansi, karena beberapa hal: 1) tidak ada pasal dalam dokumen pembentukannya yaitu Anglo-Malayan Defence Agreement yang dengan gamblang menyebutkan yang lain bertanggung jawab terhadap yang satu, sehingga bentuknya bukan aliansi; 2) tidak ada negara anggota yang mengirimkan pasukan stand by di Malaysia di tengah sejarah konfliktual Malaysia dengan Indonesia, tidak seperti Filipina dan Brunei. Hal ini memperlihatkan adanya kesan “Malaysia harus berusaha sendiri mempertahankan dirinya” yang, berdasarkan contoh lain yang ada, tidak semestinya ada pada pengaturan keamanan sekaku aliansi. Five Power Defense Agreement memang hanya memiliki tuntutan sebatas ”five states will consult each other in the event of external aggression or threat of attack against Peninsular Malaysia,” 131 bukan sesuatu yang

berbau penyerangan satu merupakan penyerangan terhadap yang lain seperti sebelumnya. Bahkan, dijelaskan dalam exchange notes yang mengatur tanggung

130 Sebenarnya, apakah Vietnam atau Amerika Serikat Serikat yang dapat dibilang menang, masih dalam perdebatan. Dalam konteks atrisi dan penghabisan kekuatan musuh, Vietnam tidak dapat

dikatakan menang. Namun dalam konteks pencapaian tujuan, yaitu mengusir AS dan membentuk Vietnam yang berideologo kominis, bisa dibilang Vietnam telah “menang.”

131 Kho Hou San, “The Five Power Defence Arrangements: If it ain't broke...” diakses http://www.asean.org/archive/arf/7ARF/Prof-Dment-Programme/Doc-6.pdf 131 Kho Hou San, “The Five Power Defence Arrangements: If it ain't broke...” diakses http://www.asean.org/archive/arf/7ARF/Prof-Dment-Programme/Doc-6.pdf

cepat jika ada ancaman terhadap peninsular Malaysia. 132 Dengan demikian jelas bahwa perjanjian ini bukan aliansi dan tidak dapat dikategorikan hard external

balancing tradisional a la Waltzian. Lalu bagaimana dengan internal balancing? Malaysia merupakan satu-satunya negara yang terbukti melakukan penambahan kapabilitas ofensif lautan dalam tabel balance of force, yang dimulai pada tahun 1992. Penambahan jenis itu disusul dengan penambahan jumlah di tahun 1995, terhadap figthers dan ground attack yang pertama kali dimilikinya. Masalahnya apakah benar alut sista ini ditambah untuk mencegah ancaman Cina?

Negara-negara di Asia Tenggara seringkali melakukan persaingan karena permusuhan historis. Permusuhan historis Malaysia yang terbesar adalah dengan negara yang pernah berkonflik dengannya, yaitu Indonesia. Indonesia bukan hanya pernah mengumumkan secara internasional slogan “Ganyang Malaysia” yang berarti “habiskan semua orang Malaysia,” suatu pernyataan anti-Malaysia yang sangat besar di masa kolonial. Selain itu, Indonesia juga terlibat dalam sengketa Sipadan-Ligitan dengan Malaysia. Walau kini mendapatkannya, dulu Malaysia dan Indonesia sempat memiliki tensi besar karenanya. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara

Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau. 133 Sengketa ini sudah terjadi sejak tahun 1960an. Persengketaan antara Indonesia

dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Malaysia – Indonesia atau Malaysia – Cina? Sulit untuk mengetahui apakah buildup ini dilakukan untuk Malaysia atau Indonesia. Namun karena klaim Cina sendiri lebih berbahaya bagi negara lain selain Malaysia dan dengan asumsi bahwa Vietnam dan Filipina akan menjadi tembok defensif Malaysia sebelum pasukan Cina sampai kepada wilayah yang diklaimnya, maka penulis menganggap bahwa Indonesia lebih berbahaya bagi Malaysia. Bukan hanya karena kebencian historis namun letak geografis. Dengan demikian besar kemungkinan Malaysia melakukan internal balancing bukan karena

132 Draft dari treaty ini apat diakses di http://www.austlii.edu.au/au/other/dfat/treaties/1971/21.html. 133 Dokumen ICJ perihal ini dapat diakses di http://www.icj-cij.org/docket/files/102/7177.pdf

Cina sebagai alasan utamanya, tapi karena Indonesia. Apalagi jika melihat bahwa paritas kekuatan kedua negara tidak berbeda jauh. Dalam kasus Asia Tenggara, rupanya security dilemma mencuat ketika kekuatan setara, bukan ketika kekuatan jauh tidak imbang dengan kekuatan besar. Bisa dibilang, 50:50 adalah instabilitas dan 90:10 adalah stabilitas. Kasus Indonesia dan Malaysia membuktikan hal tersebut, walaupun penelitian lebih jauh dibutuhkan untuk melihat apakah hal ini juga berlaku

di negara lain. 134

3.2.2. Kasus Vietnam: Asymmetric Balancing Walaupun memiliki kapabilitas yang lebih banyak daripada negara-negara pengklaim Asia Tenggara lain, bisa diargumentasikan bahwa Vietnam sebenarnya sama sekali tidak melakukan penambahan. Ia hanya melakukan penyeimbangan terhadap fighters dan ground attacknya, paling tidak itulah yang bisa dilihat dari balance of force yang ditabulasi di atas.

Vietnam adalah anomali terbesar bagi Teori Balance of Power. Ia merupakan negara terbesar yang bertikai, yang paling terancam dan yang memiliki permusuhan historis terdalam dengan Cina. Lalu mengapa ia tidak melakukan internal balancing yang hebat, padahal iapun tidak melakukan external balancing maupun bandwagoning dengan Cina? Aapakah Vietnam sudah puas dengan posisinya?

Kita akan membahas sejarah konfliktual di Vietnam terlebih dahulu untuk menjawabnya. Jika memang Vietnam sudah puas. Mengapa ia bisa puas? Jawabannya terletak pada dinamika AS dan Vietnam pada Perang Dingin, dimana Vietnam berhasil memukul mundur AS.

Perlu diketahui bahwa terancamnya Vietnam karena Cina sekarang mirip dengan terancamnya Vietnam karena AS karena beberapa hal. Pertama, terdapat imbalance of power yang sangat besar, dimana Vietnam menjadi pihak yang kalah secara kapabilitas dalam jumlah total. Kedua, terdapat suatu bentuk political will untuk melemahkan Vietnam, dimasa pada Perang Vietnam pasukan AS memiliki target melemahkan kekuatan pasukan Viet Cong dan di masa Cina-Vietnam, dalam skenario dimana perang terjadi di Laut Cina Selatan, Cina akan menargetkan perebutan wilayah Vietnam, pendudukan, lalu penjagaan dengan melemahkan kapabilitas ofensif Vietnam agar ia tidak bisa menyerang lagi. Dengan demikian

134 Lihat perbandingan balance of force Indonesia dan Malaysia di IS Miltary Balance, 1991-2011.

kondisinya mirip dengan sekarang dan jika Vietnam sangat percaya diri dan puas tentang apa yang dimilikinya sekarang ia pasti pernah memilki pengalaman perang di kondisi yang serupa.

Bagaimanakah pengalaman perang Vietnam dalam kondisi yang serupa tersebut? Penulis mensinyalir dua hal yang berhubungan dengan kepuasan Vietnam dan kepuasannya akan kondisi “balance” yang sekarang: 1) Dalam kondisi yang disebutkan di atas, Vietnam pernah menang melawan AS yang agregat kekuatan militernya jauh lebih kuat, bahkan hanya dengan menggunakan alut sista yang terbatas; 2) Rendahnya komitmen politik musuh dalam menjalankan ekspansi, sehingga komitmen yang bertahan akan jauh lebih kuat, seperti yang terjadi dalam konteks Perang Vietnam.

Terkait argumen pertama, tidak ada alasan lain kenapa suatu negara bisa puas dengan kekuatan minim kecuali ketika ia, dengan keterbatasan itu, pernah memiliki pengalaman kemenangan. Apalagi dengan hubungannya dengan komitmen ekspansionis yang rendah, dimana musuh tidak benar-benar memiliki alasan ekspansionis, atau tidak memiliki ketahanan untuk melakukan penyerangan dengan tujuan ekspansi dalam waktu yang lama, karena keterbatasan resource. Dalam perang Vietnam, keduanya terjadi, sehingga Vietnam menang dengan usaha gerilya yang strategis dan tepat.

Kondisi Cina yang sekarang mirip dengan kondisi AS saat itu, dilihat dari usahanya 20 tahun terakhir ini dalam merebut Laut Cina Selatan yang turun naik komitmennya, ditunjukkan dengan permintaan maaf yang selalu menyusul pendudukan ataupun penyerangan dan pengusiran, ditambah dengan tidak adanya follow up serangan atau pendudukan berikutnya. Dengan kondisi demikian, wajar jika Vietnam merasa percaya diri dengan jumlah alut sistanya yang sekarang.

Terkait jumlah alut sista, Vietnam – AS pada masa perang dingin hanya layak jadi contoh paralel jika memang, dalam perimbangan dimana hasil perang menghasilkan kemenangan Vietnam ini, jumlahnya mirip dengan jumlah perimbangan Cina dan Vietnam sekarang. Karena itu kita lihat perimbangan kekuatan AS Vietnam pada masa Perang Vietnam, dalam konteks alut sista yang digunakan dalam Perang oleh kedua belah pihak. Alasan mengambil jumlah alut sista yang digunakan pada saat perang dalam melihat perimbangan kapabilitas adalah karena sisa alut sista yang lain dianggap tidak ada gunanya, karena tidak akan diturunkan Terkait jumlah alut sista, Vietnam – AS pada masa perang dingin hanya layak jadi contoh paralel jika memang, dalam perimbangan dimana hasil perang menghasilkan kemenangan Vietnam ini, jumlahnya mirip dengan jumlah perimbangan Cina dan Vietnam sekarang. Karena itu kita lihat perimbangan kekuatan AS Vietnam pada masa Perang Vietnam, dalam konteks alut sista yang digunakan dalam Perang oleh kedua belah pihak. Alasan mengambil jumlah alut sista yang digunakan pada saat perang dalam melihat perimbangan kapabilitas adalah karena sisa alut sista yang lain dianggap tidak ada gunanya, karena tidak akan diturunkan

Tabel 3.1: Perbandingan Kapabilitas AS-Vietnam dalam Perang Vietnam 135

AS

Vietnam

Aircraft: 24 Artilery & Anti Aircarft: 20

• A-­‐1 Skyraider ground attack aircraft • ZPU-­‐4 quad 14.5 mm anti-­‐aircraft • A-­‐3 Skywarrior carrier based bomber

machine gun

• A-­‐37 Dragonfly ground attack aircraft • ZU-­‐23 twin 23 mm anti-­‐aircraft cannon • F-­‐5 Freedom Fighterlight-­‐weight, low-­‐ • M1939 37 mm anti-­‐aircraft gun

cost fighter used in strike aircraft • S-­‐60 57 mm anti-­‐aircraft gun role

• 85 mm air defense gun M1939 (52-­‐K) • A-­‐4 Skyhawk carrier borne strike

100 mm air defense gun KS-­‐19 aircraft

The KS-­‐19

• RA-­‐5C Vigilante carrier borne • 82 mm, 107 mm, 120 mm, and 160mm reconnaissance aircraft

mortars

• A-­‐6 Intruder carrier borne all weather • 122 mm Katyusha rockets strike aircraft

• Type 63 multiple rocket launcher • A-­‐7 Corsair II carrier borne strike

• BM-­‐21 Grad

aircraft • BM-­‐25 (MRL) limited numbers • AH-­‐1 Cobra attack helicopter

• 122 mm gun M1931/37 (A-­‐19) • A-­‐26 Invader light bomber

• 122 mm howitzer M1938 (M-­‐30) • AC-­‐47 Spooky gunship (four) with the

• D-­‐74 122 mm Field Gun 1st Air Cavalry Division

• 130 mm towed field gun M1954 (M-­‐ • AC-­‐130 "Spectre" Gunship

• AC-­‐119G "Shadow" Gunship • 152 mm howitzer M1943 (D-­‐1) • AC-­‐119K "Stinger" Gunship

• 152 mm towed gun-­‐howitzer M1955 • B-­‐52 Stratofortress heavy bomber

(D-­‐20)

• B-­‐57 Canberra medium bombers -­‐ used by the U.S. Air Force

Anti-­‐Aircraft systm

• Canberra B.20 Royal Australian Air • Type 63 anti-­‐aircraft self-­‐ Force medium bomber

propelled systems • F-­‐4 Phantom II carrier and land based

• ZSU-­‐57-­‐2 anti-­‐aircraft self-­‐ fighter-­‐bomber

propelled systems • F-­‐8 Crusader carrier and land based

• ZSU-­‐23-­‐4 anti-­‐aircraft self-­‐ fighter-­‐bomber

propelled systems • F-­‐105 Thunderchief fighter-­‐bomber • F-­‐100 Super Sabre fighter-­‐bomber • F-­‐101 Voodoo (RF-­‐101) fighter-­‐

bomber/reconnaissance plane

135 Alut sista yang dipilih hanya yang signifikan terkait Perang Vietnam.

• F-­‐102 Delta Dagger fighter • F-­‐104 Starfighter fighter • F-­‐111 Aardvark medium bomber • OH-­‐6 Cayuse Transport/ Observation

helicopter • OH-­‐58 Kiowa Transport/ Observation

helicopter • OV-­‐10 Bronco, light attack/observation

aircraft UH-­‐1 "Huey" gunship role (various models)

Artilery: 11

Aircraft: 6

• 105 mm Howitzer M2A1

• MiG-­‐21 jet fighter

• 105 mm Howitzer M102 • MiG-­‐19 jet fighter, used in limited • 155 mm Howitzer M114

numbers

• M53 Self-­‐propelled 155mm gun

• MiG-­‐17 jet fighter

• M55 Self-­‐propelled 8-­‐inch howitzer • MiG-­‐15 jet fighter, used in limited • M107 howitzer Self-­‐propelled 175 mm

numbers

gun • Shenyang J-­‐6 jet fighter • M108 Self-­‐propelled 105 mm howitzer • Shenyang J-­‐5 jet fighter

• M109 Self-­‐propelled 155 mm howitzer

• M110 Self-­‐propelled 8-­‐inch howitzer • 75mm Pack Howitzer M1 L5 pack howitzer 105 mm pack

Tank: 5

Tank: 6

• M41 Walker Bulldog light tank -­‐ Used • PT-­‐76 amphibious tank by South Vietnamese Army ARVN • Type 62 light tank

• M48 Patton medium tank -­‐ Used by • Type 63 amphibious tank the US Army, USMC, and ARVN

• T-­‐34/85 medium tank, used in limited forces until replaced by the M60

numbers

Patton. • T-­‐54 main battle tanks • M551 Sheridan airborne

• Type 59 main battle tanks reconnaissance assault

vehicle/light tank -­‐ Used by the US Army

• Centurion main battle tank • M60 Patton Main battle tank that

replaced the M48 Patton

Sumber: data pada tabel diolah dari “Vietnam War: Weapons and Equipment” http://www.olive- drab.com/od_history_vietnam_weapons_equipment.php; George W. Smith, The Siege at Hue, (Lynne Reinner Publishers:1999) hal. 142-143; dan John J. Tolson, Vietnam Studies: Airmobility 1961–71, (US, US Government Printing Office: 1898)

Berdasarkan tabel perbandingan 3.1 tersebut, Vietnam secara terbatas berhasil mengimbangi AS. Dalam guerilla war, musuhnya seringkali memiliki komitmen ekspansionis yang kurang tinggi, sehingga memudahkan pemilik kekuatan yang lebih lemah untuk menang.

Dalam kasus Cina, komitmen ekspansionis yang kurang disusul dengan keterbatasan Cina untuk, jikapun ingin melakukan ekspansi terhadap Laut Cina Selatan, mengerahkan seluruh kekuatannya. Hal ini disebabkan oleh adanya ancaman lain yang menunggu Cina, yaitu Rusia di Utara dan Jepang di Timur, sehingga membuat hanya South Sea Fleet yang dalam 20 tahun terakhir ini mampu untuk dikirimnya untuk menduduki laut Cina Selatan, sementara North Sea dan East Sea Fleet sibuk dengan ancaman geografis lainnya. Jika kita membagi tiga kekuatan Cina, dengan pertimbangan bahwa hanya South Sea Fleet yang akan dikerahkan, kapabilitas Cina tidak akan sebesar itu lagi.

Lagipula, dengan adanya Taiwan sebagai kepentingan utama Cina dan Seventh Fleet AS yang harus diperlemah dahulu agar tidak mengganggu proses invasi. Selain itu, dalam invasi kekuatan pun harus dibagi agar bisa menduduki semua wilayah yang diinginkan Cina. Dengan kondisi seperti ini, penulis mensinyalir adanya kesempatan menang bagi Vietnam, bahkan adanya kesempatan bagi Vietnam untuk menang jumlah.

Untuk mengetahui apakah hal ini benar, kita harus membuat skenario tentang bagaimana Cina akan membagi kekuatannya jika, dengan kekuatannya 20 tahun terakhir ini, akan menginvasi Laut Cina Selatan. Dengan pertimbangan seperti yang dijelaskan di atas, yaitu komitmen ekspansionis Cina akan Taiwan yang lebih tinggi, pada akhirnya kapabilias yang dapat dikirimkan ke Vietnam untuk merebut pulau terdekat dengan Vietnam akan terbatas.

Kepentingan untuk melemahkan kekuatan AS dan kepentingan untuk bertahan dari serangan Taiwan yang juga akan mengklaim dan memajukan prajuritnya jika Cina maju merebut Laut Cina Selatan sampai ke batas paling Selatan akan membuat Cina harus menyimpan kapabilitasnya untuk bertahan. Karena itu, bisa dibayangkan bahwa kapabilitas Cina yang akan sampai pada perbatasan Vietnam akan jauh lebih sedikit dari kapabilitas totalnya. Pada akhirnya, Cina harus membagi pasukannya berdasarkan skenario diatas, yang merupakan skenario paling wajar yang diperkirakan penulis.

Untuk mempermudah penggambaran akan skenario, berikut gambar yang menunjukkan skenario force deployment Cina di Laut Cina Selatan jika ia akan menginvasi lautan tersebut, merebut seluruh pulau dari negara pengklaim lainnya dan kemudian berperang atau bertahan di perbatasannya:

NSF

Total Force

ESF

Max SSF

Max Invasion

Brunei, Malaysi

Gambar 3.4: Skenario Force Deployment Cina Jika Menginvasi Laut Cina Selatan Sumber: gambar kawasan Laut Cina Selatan diakses dari http://rt.com/files/news/ china-passport-asia-dispute501/iefaa525e2bd4cb5be7ac6d51d439c0b4_00b89880.

jpg, sebelum disunting penulis untuk menunjukkan skenario.

Gambar di atas menggambarkan force deployment Cina dalam skenario invasi ke Laut Cina Selatan. Bisa dilihat bahwa pada akhirnya Cina tidak akan dapat mengirimkan seluruh pasukannya ke wilayah Vietnam begit saja. Pembagian kekuatan itu akan menyebabkan berkurangnya deployment Cina ke wilayah perbatasan Vietnam. Dengan demikian diindikasi bahwa Vietnam akan mampu bertahan walaupun ia tidak melakukan balancing maupun bandwagoning.

Perkiraan kapabilitas akhir Cina yang akan berhadapan dengan Vietnam dapat dilihat pada tabel 3.2, berdasarkan skenario force deployment pada gambar 3.4: