Studi Kasus Perilaku Negara Pengklaim di

UNIVERSITAS INDONESIA STUDI KASUS PERILAKU NEGARA PENGKLAIM DI LAUT CINA SELATAN TERKAIT ANCAMAN CINA: UJI TEORI BALANCE OF POWER

(1991-2011)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Sosial pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

DIAN ADITYA NING LESTARI 0906492663 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK DESEMBER 2013

UNIVERSITAS INDONESIA STUDI KASUS PERILAKU NEGARA PENGKLAIM DI LAUT CINA SELATAN TERKAIT ANCAMAN CINA: UJI TEORI BALANCE OF POWER

(1991-2011)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional DIAN ADITYA NING LESTARI 0906492663 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK DESEMBER 2013

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Dian Aditya Ning Lestari NPM : 0906492663 Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional Departemen : Ilmu Hubungan Internasional Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif ( Non-exclusive Royalty-Free Right ) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Studi Kasus Perilaku Negara Pengklaim di Laut Cina Selatan terkait Ancaman

Cina: Uji Teori Balance of Power (1991-2011)

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal: 22 Januari 2014.

Yang menyatakan,

( Dian Aditya Ning Lestari)

KATA PENGANTAR

Dunia Abad ke-21, dunia yang telah berubah dan membutuhkan perspektif dan analisis baru dalam Ilmu Hubungan Internasional. Mulai dari tidak munculnya lagi balancing terhadap kekuatan hegemoni dunia (Amerika Serikat) sampai bertambah relevannya signifikansi kawasan dalam isu-isu keamanan, seperti maraknya sengketa wilayah yang dapat memicu konflik, menjadi fenomena yang menghiasi dunia di masa sekarang, sehingga relevansi teori harus didorong untuk bisa menjawab kebutuhannya.

Penulis berangkat untuk meneliti relevansi teori balance of power dengan studi kasus perilaku negara yang terlibat dalam salah satu sengketa wilayah yang berbahaya di kawasan, yaitu Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan, untuk menjawab tantangan diatas. Teori klasik dan parsimoni seperti balance of power seharusnya relevan di semua kasus. Pun tidak, relevansi teori tersebut harus tetap dicari untuk memberikan dunia, peneliti, pembuat kebijakan, dan praktisi ilmu hubungan internasional lainnya, penjelasan mengenai keterbatasan teori ini. Pun induksi teori perlu dilakukan apabila kekhususan sebuah fenomena tidak mampu dijelaskan oleh teori ini.

Fenomena perilaku negara terkait Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan inipun merupakan sebuah anomali, karena ternyata hukum-hukum variabel balance of power tidak terjadi di dalamnya. Ketika seharusnya imbalance of power menciptakan instabilitas, bahkan perang besar, di lautan ini terjadi stabilitas. Selain itu, perilaku balancing dan bandwagoning negara-negara lebih lemah yang terlibat (Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Brunei) terkait ancaman Cina pun tidak sesuai dengan hukum yang diterapkan Kenneth Waltz.

Ada apa dibalik negara-negara yang terlibat Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan ini sehingga anomali itu tercipta? Seberapa relevankah teori balance of power? Dapatkan teori baru diinduksi terhadap balance of power untuk meningkatkan relevansinya? Penulis maju untuk meneliti perilaku negara terkait fenomena yang komparabel dengan fenomena di Eropa pada masa Perang Dunia ini demi mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas.

Dian Aditya Ning Lestari

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan segenap hati penulis mengucapkan terima kasih kepada individu-individu dibawah ini yang, tanpa dukungannya, baik dukungan moral maupun substansial, tidak akan pernah bisa skripsi ini diselesaikan oleh penulis:

1. Andi Widjajanto S.Sos., M.Sc., Ph.D., sebagai dosen pembimbing penulis, yang tanpa persetujuannya tidak akan pernah penulis maju sidang. Bantuan

akademik serta contohnya yang baik sebagai peneliti yang baik akan selalu menjadi inspirasi bagi penulis;

2. Makmur Keliat Ph.D, orang yang juga membuat skripsi tentang Laut Cina Selatan, yang telah bersedia menjadi penguji ahli dalam sidang skripsi ini;

3. Nurul Isnaeni MA dan Andrew Mantong M.Sc., sebagai Ketua Program S1 dan Sekretaris Program S1 yang tanpa bantuannya disiplin birokrasi di

Departemen tidak akan ditegakkan dan kelengkapan persuratan skripsi penulis tidak akan terselesaikan;

4. Dra. Evi Fitriani MA, MIA dan Dwi Ardhanariswari Sundrijo, S.Sos., MA, yang menjadi panutan penulis, juga Yeremia Lalisang S.Sos., M.Sc.

yang sedang menempuh studi S3, ketiganya adalah contoh bagi penulis tentang bagaimana kita harus selalu menjaga idealisme di dunia kerja;

5. Soeprapto Budisantoso M.Sc dan Dewi Yulia Nurhayati sebagai orang tua penulis; tujuan penulis menyelesaikan skripsi ini adalah mereka, sebab semua orang tua tentu ingin anaknya menjadi sarjana, entah mengapa;

6. Andhyta Firselly Utami, sebagai teman penulis, Rizki Yuniarini yang ceria, dan Hanifah Ahmad yang terdepan dalam profesionalitas, ketiganya merupakan contoh yang baik bagi penulis selama berada di masa kuliah;

7. Sahabat-sahabat di HI 2009, 2007, 2008, 2010, 2011, dan 2012, terima kasih segala pelajaran dan canda tawanya, dan untuk HI 2013 selamat datang di

keluarga besar HI UI yang kucinta!

8. Segenap panitia IndonesiaMUN 2013, Global Festival 2011, segenap pengurus Indonesian Future Leaders, serta seluruh pengurus HMHI; teman-teman di tim UI for HNMUN 2011, 2012, murid-murid di tim HNMUN 2014, terima kasih atas pengalaman yang mendewasakan;

9. Semua sahabat penulis semenjak TK hingga sekarang, yang telah mewarnai hidup penulis dan menemani petualangan penulis; dan

10. Terakhir, untuk Sindhu Partomo, penulis kehilangan kata-kata, terima kasih atas segalanya; selesaikan kuliahmu, aku, Alex, Nikki, Dachs, Deutsch dan Kaiser, serta seluruh dunia yang tak sabar ingin kita benarkan salahnya, menunggu.

Tertanda,

Dian Aditya Ning Lestari

ABSTRAK

Nama : Dian Aditya Ning Lestari Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional

Judul : Studi Kasus Perilaku Negara Pengklaim di Laut Cina Selatan terkait Ancaman Cina: Uji Teori Balance of Power (1991-2011)

Penelitian ini menguji relevansi Teori Balance of Power milik Kenneth Waltz dengan metode studi kasus. Fenomena yang diteliti adalah stabilnya kawasan Laut Cina Selatan yang dikelilingi Negara-negara bersengketa dengan besaran power yang tidak berimbang. Hasil penelitian ini adalah bahwa Teori Balance of Power relevan dalam menjelaskan perilaku Brunei dan Filipina yang melakukan external balancing dengan Britania Raya dan Amerika Serikat, sehingga tercipta bipolaritas ganda. Teori ini irelevan dalam menjelaskan perilaku Malaysia dan Vietnam, dimana keduanya tidak melakukan internal balancing maupun external balancing, namun stabilitas tetap terjaga diantara mereka. Malaysia tidak menganggap Cina sebagai ancaman utama, sedangkan Vietnam memiliki pengalaman memenangi perang melawan negara besar. Menjelaskan perilaku Vietnam, penulis ini menawarkan konsep asymmetric balancing, yang membutuhkan penelitian lebih lanjut agar dapat mengembangkannya sebagai teori dalam ranah Ilmu Hubungan Internasional.

Kata kunci: Balance of Power, studi kasus, Brunei, Filipina, Malaysia, Vietnam, Laut Cina Selatan.

ABSTRACT

Name : Dian Aditya Ning Lestari Study Program : International Relations

Title : Case Study of Claimant States’ Behavior at The South China Sea related to the Threat of China: Testing the Balance of Power Theory (1991-2011)

This research tests the relevance of Kenneth Waltz’s Balance of Power Theory using the case study method. It studies the currently stable South China Sea, which is surrounded by claimant states highly diverse in term of power magnitude. The result is that Balance of Power Theory is relevant in explaining Brunei’s and Philippines’ external balancing with United States and United Kingdom, thus creating a dual bipolarity. The theory is irrelevant in explaining Malaysia and Vietnam’s behavior where they did not do neither internal nor external balancing, yet the stability has been there. Malaysia did not perceive China as the main threat; meanwhile Vietnam has had an experience of winning asymmetric war against greater power. Explaining the behavior of Vietnam, this research proposes the concept of asymmetric balancing, which need further research in order to make it a theory in the field of International Relations.

Keywords: Balance of Power, case study, Brunei, Malaysia, Philippines, Vietnam, South China Sea

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1: Kapabilitas Militer yang Mengitari Laut Cina Selatan tahun 1991, 2003 dan 2011 ................................................................................... 3

Tabel 2.1: Balance of Force yang Mengitari Laut Cina Selatan 1991-2011 ...... 28

Tabel 2.2: Lini Waktu Peristiwa di Laut Cina Selatan ....................................... 33

Tabel 3.1: Perbandingan Kapabilitas AS-Vietnam dalam Perang Vietnam ....... 63

Tabel 3.2: Distribusi Jumlah Kapabilitas Cina sebagai Konsekuensi Force Deployment dalam Skenario Invasi Penyerangan Cina di Laut Cina Selatan ............................................................................................................ 67

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1: Langkah-Langkah Metodis Studi Kasus……................................12

Gambar 2.1: Kontestasi Klaim di Laut Cina Selatan .......................................... 23

Gambar 3.1: Proses Terciptanya Stabilitas di Laut Cina Selatan jika Teori Balance of Power Sepenuhnya Relevan...................................................... 49

Gambar 3.2: Proses yang Diindikasi terjadi dari Studi Kasus ............................ 50

Gambar 3.3: Bipolaritas Ganda di Laut Cina Selatan ......................................... 58

Gambar 3.4: Skenario Force Deployment Cina Jika Menginvasi Laut Cina Selatan ........................................................................................... 66

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam studi Hubungan Internasional, khususnya kajian keamanan, terdapat berbagai mazhab menjelaskan bagaimana struktur dalam sistem internasional mempengaruhi perilaku aktor. Salah satunya adalah Realisme Struktural (Neorealisme). Realisme Struktural percaya bahwa perilaku aktor dipengaruhi

keseimbangan kekuatan (balance of power) pada sistem internasional. 1 Keseimbangan kekuatan tersebut dipercaya sebagai pembawa stabilitas pada sistem internasional,

seperti apa yang terjadi di masa Perang Dingin, dimana distribusi kekuatan yang seimbang antara Amerika Serikat dan Uni Soviet menciptakan dunia global yang

stabil. 2 Walau demikian, anomali terjadi di tingkat regional, salah satunya di Kawasan

Asia Pasifik. Berbagai penulis setuju bahwa di kawasan ini terjadi tiga hal. Yang pertama adalah adanya historical enmity. Mulai dari T.V Paul. Michael Leifer. sampai Evelyn Goh, mereka setuju bahwa ada kebencian historis yang ada karena

kolonialisme yang satu terhadap yang lain. 3 Yang kedua, kawasan ini masih melihat ancaman Eropa Abad 17-18, yaitu perebutan wilayah dalam bentuk sengketa

perbatasan. 4 Mulai dari Senkaku-Tiaoyu sampai Laut Cina Selatan, sengketa wilayah

1 Inti dari Kenneth Waltz, Theory of International Politics, (Masscachussets: Addison-Wesley Publishing Company, 1979).

2 Tentang hal ini, pendapat terbagi antara penganut unipolar stability, bipolar stability dan multipolar stability, berdasarkan jumlah negara yang lebih kuat dari yang lain dalam sistem tersebut. Kenneth

Waltz berargumen bahwa bipolar stability -lah yang bekerja, dimana adanya dua kekuatan yang saling bersaing, sebagai hasil dari respon negara akan ancaman (balancing/bandwagoning), akan menjaga stabilitas. (Baca: Ibid).

3 Evelyn Goh, “Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia: Analyzing Regional Security Strategies,” dalam International Security 32, No. 3 (Winter 2007/08), hal. 132-148; Michael Leifer,

”Stalemate in the South China Sea,” Publikasi Asia Research Center, London School Economics and Political Sciences, diunduh dari http://community.middlebury.edu/~scs/docs/leifer.pdf; dan Amitav Acharya, Constructing Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order, (London: Routledge, 2001), Bab 5: “Managing Intra-Regional Relations.”

4 Kawasan Asia Tenggara didominasi konflik-konflik bilateral (seperti konflik Indonesia-Malaysia, Thailand-Kamboja, etc) yang umumnya terjadi karena spillover effect dari konflik-konflik dalam

negeri, seperti konflik etnis dan konflik perbatasan (baca: Acharya, 2001). Konflik perbatasan ini menjadi isu keamanan yang lazim di Asia Tenggara dan menjadi bagus berbagai usaha CBM yang dilakukan institusi keamanan, seperti ASEAN. Kawasan Asia Timur juga masih memiliki berbagai konflik perbatasan yang tidak dapat diselesaikan karena berbagai hambatan. Kompleksitas keamanan di Asia Timur masih didominasi oleh persaingan yang merupakan warisan historis pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin, sehingga kawasan masih didominasi oleh hubungan enmity (baca: Barry Buzan dan Ole Weaver, Regions and Powers: The Structure of International Security, (Cambridge: Cambridge University Press: 2003), Bab 5: “Northeast and Southeast Asian RSCs during the Cold War,” dan Bab negeri, seperti konflik etnis dan konflik perbatasan (baca: Acharya, 2001). Konflik perbatasan ini menjadi isu keamanan yang lazim di Asia Tenggara dan menjadi bagus berbagai usaha CBM yang dilakukan institusi keamanan, seperti ASEAN. Kawasan Asia Timur juga masih memiliki berbagai konflik perbatasan yang tidak dapat diselesaikan karena berbagai hambatan. Kompleksitas keamanan di Asia Timur masih didominasi oleh persaingan yang merupakan warisan historis pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin, sehingga kawasan masih didominasi oleh hubungan enmity (baca: Barry Buzan dan Ole Weaver, Regions and Powers: The Structure of International Security, (Cambridge: Cambridge University Press: 2003), Bab 5: “Northeast and Southeast Asian RSCs during the Cold War,” dan Bab

Kita ambil contoh Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan sebagai salah satu sengketa wilayah berbahaya. Amitav Acharya menyebutkan Laut Cina Selatan

sebagai flashpoint of conflict 5 dan Kaplan menyebutkan bahwa “the South China Sea is the future of conflict,” karena banyaknya kepentingan dan ketegangan disana, yang

seharusnya memicu konflik. 6 Selain berbahaya, sengketa wilayah ini juga menjadi saksi historical enmity

yang mendalam. Kebencian masyarakat Vietnam terhadap Cina bertahan hingga

7 sekarang 8 sebagai respon atas serangan militer tahun 1977 atas Kepulauan Paracel, dan konfrontasi 1987-1988 di Johnson Reef dan Fiery Cross Reef. 910

6: “The 1990s and beyond: an emergent East Asian complex.”). Kondisi ini tentunya mempersulit berbagai usaha-usaha penyelesaian konflik perbatasan, yang merupakan isu yang sensitif bagi semua negara. Salah satu konflik yang melibatkan bukan hanya negara-negara di Asia Timur tapi juga Asia Tenggara, adalah Konflik Laut Cina Selatan.

5 Kesimpulan tersebut dibuatnya setelah mengamati potensi konflik yang ada di Laut Cina Selatan, sebagai akibat dari inevektivitas rezim dan banyaknya kepentingan yang bertabrakan disana, inti Bab 5

“Managing Intra-Regional Relations,” dari: Amitav Acharya, Constructing Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order, (London: Routledge, 2001).

6 Robert D. Kaplan, “the South China Sea is the Future Conflict,” Foreign Policy, terakhir kali dimodifikasi tanggal 15 Agustus 2011, diakses dari

http://www.foreignpolicy.com/articles/2011/08/15/the_south_china_sea_is_the_future_of_conflict?pag e=full

7 “South China Sea: Vietnamese hold anti-Chinese protest, Reuters,” BBC.co.uk, terakhir dimodifikasi tanggal 5 Juni 2011, diakses dari http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-13661779 8

Laut Cina Selatan telah menjadi rebutan sejak akhir masa kolonial dan berlanjut di masa Perang Dingin hingga sekarang. Cina merupakan negara paling asertif dalam usaha perebutannya. Salah satu contoh tindak asertifnya adalah operasi militer tahun 1974 atas Kepulauan Paracel. Dalam serangan tersebut, pasukan Vietnam Selatan dikalahkan dan mundur dari Kepulauan Paracel. Pasukan Vietnam Selatan kewalahan oleh pasukan Cina yang lebih superior dan dikalahkan dalam waktu dua hari. Sumber militer di Vietnam Selatan mengatakan bahwa 14 kapal perang Cina, termasuk empat guided missile destroyers, dikerahkan dalam misi itu berbarengan dengan empat MiG-21 dan MiG-23. Sumber: Lo Chu-kin, “China’s Policy Towards Territorial Dispute: The Case of the South China Sea Islands, “ (London: Routledge 1989), hal. 56.

9 Pada awal yahun 1978, sesungguhnya terjadi gencatan senjata antara dua negara, namun seiring memburuknya hubungan pada akhr 1978 gencatan senjata ini berakhir.(Lo, Chi-kin Hal. 105) Pada saat

itulah kemudian sengketa –yang masih berada dalam ranah sengketa diplomatik itu—menjadi isu yang resmi dan publik. Bermagai manuver diplomatik kemudian berganti menjadi aksi-aksi propaganda dan konfrontasi-konfrontasi militer (Ibid, hal.111); aksi-aksi propaganda tersebut terus berlanjut hingga tahun 1980an, diiringi oleh peningkatan kapabilitas militer yang didukung oleh pembangunan basis dukungan militer di pesisir dan di masing-masing daerah yang diduduki di kepulatan tersebut (Ibid., hal. 120); pada Februari dan Maret 1987, angkatan laut Vietnam dan Cina melakukan aksi saling tembak di area kepulauan Nansha (Spratlys), yang menimbulkan korban bagi kedua belah pihak. Pada Maret 1988 aksi saling tembak it akhirnya berubah menjadi konfrontasi militer yang serius antara kedua negara. Sumber: Ibid, hal. 100-120.

10 Konfrontasi tersebut terjadi di sekitar Chigua Jiao atoll (Johnson Reef) dan di Yongshu Jiao reef (Fiery Cross Reef), merupakan salah satu konflik yang paling menciptakan kebencian historis

Imbalance of power pun jelas mengitarinya. Tabel berikut menunjukkan ketidakseimbangan distribusi kekuatan tersebut:

Tabel 1.1: Kapabilitas Militer yang Mengitari Laut Cina Selatan tahun

Malaysia Brunei AL

Destroyers 19 0 0 0 0 Frigates

37 7 1 4 0 Corvettes

0 0 0 0 0 AU Fighters

0 0 0 0 Ground Attack

SSBN 1 0 0 0 0 Submarines

0 1 0 6 0 AU Fighters

0 0 0 0 Ground Attack

SSBN 3 0 0 0 0 Submarines

0 7 0 4 0 AU Fighters

0 15 31 0 Bombers

0 0 0 0 Ground Attack

Sumber: ‘East Asia and Australasia,’ The Military Balance, (Institute for International and Strategic

Studies: 1991, 2003, 2011)

masyarakat Vietnam terhadap Cina. Sumber: Jianming Shen, “China's Sovereignty over the South China Sea Islands: A Historical Perspective,” Oxford Journals, hal. 96, diunduh dari http://chinesejil.oxfordjournals.org/

11 1991: tahun dimana Cina pertama kali memformalisasikan klaimnya, hal ini komparatif terhadap pengumuman perang di Eropa masa perang dunia yang menjadi awal mula Perang, misalnya Perang

Russo-Perancis dan Perang Besar Jerman; 2003: pertengahan antara dua tahun; 2011: tahun dimana penelitian ini mulai dilakukan.

Dari tabel tersebut jelas bahwa selama dua dekade, kekuatan Cina jauh di atas dua lainnya. Bahkan ketika kita hanya membandingkan kapabilitas Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU) Cina di Laut Cina Selatan dengan seluruh kapabilitas militer AL dan AU Vietnam dan Filipina. Karenanya jelaslah bahwa seharusnya di kawasan terjadi instabilitas, paling tidak karena Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan.

Melihat bahwa internal balancing tidak terjadi di Laut Cina Selatan, kita mengekspektasi adanya external balancing atau bahkan bandwagoning. 12 Namun

tidak ada aliansi yang terbentuk antara negara-negara Asia Tenggara yang terancam, yang ada justru perpecahan dan ketidaksatuan suara dalam menyikapi Cina 13 dan

tidak ada pula bandwagoning dengan Cina. 14 Irelevansi teori Kenneth Waltz mulai terlihat dari data statistik pada tabel diatas dan kepentingan untuk mengujinya terkait

fenomena perilaku negara yang perebutan klaim di Laut Cina Selatan yang memperlihatkan anomali terhadap teori tersebut.

1.2. Permasalahan

Menurut Teori Balance of Power, seharusnya pada akhirnya struktur bipolar terjadi atas konsekuensi perilaku negara yang mempertahankan diri dengan melakukan balancing atau bandwagoning, sehingga tercipta sistem yang seimbang – yang menciptakan stabilitas. Begitulah proses yang seharusnya terjadi menurut teori Balance of Power, jika tidak ada variabel penentu lain yang mempengaruhi perilaku negara, atau jika variabel penentu lain itu memang tidak signifikan, seperti yang dikatakan oleh Waltz.

Menempatkan diri dalam teori Waltz, seharusnya struktur bipolar tercipta diantara negara yang terancam dan mengancam. Internal balancing atau peningkatan kapabilitas militer yang mengimbangi ancaman terjadi sebagai konsekuensi imbalance, namun tabel sebelumnya tidak menunjukkan adanya pengimbangan tersebut. Jika itu tidak terjadi, harusnya external balancing lah yang terjadi, dimana negara yang terancam pun kekuatannya untuk mempertahankan survival-nya, namun negara-negara Asia Tenggara yang terancam tidak melakukan yang demikian.

12 Definisi internal dan external Balancing dijelaskan di bagian kerangka pemikiran. 13 Dijelaskan di bagian pembahasan. 14 Selain cultural competence kita mengkofirmasi hal ini, memang tidak ada traktat aliansi diantara

negara-negara yang bersengketa. Lagipula, dalam konteks skripsi ini yang dibahas adalah potensi instabilitas terkait sengketa wilayah, sulit untuk memikirkan adanya negara yang akan melakukan bandwagoning dengan negara yang mengancam bukan hanya karena kapabilitas, tapi karena intensinya mengambil kedaulatan yang diklaim.

Jika itupun tidak terjadi, harusnya negara-negara bandwagoning dengan Cina, namun tidak demikian faktanya. Dengan demikian, teori ini jelas irelevan. Namun untuk memastikan relevansi tersebut, kita harus maju untuk meneliti Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan ini dengan asumsi-asumsi Kenneth Waltz, lalu mencari terkait asumsi mana fenomena tidak berlaku sama, sehingga terkait asumsi itulah induksi teori perlu dilakukan. Namun sebelumnya, kita perlu mengetahui kondisi- kondisi dimana balancing versi Kenneth Waltz semestinya terjadi.

T.V. Paul menjelaskan bahwa balancing versi Kenneth Waltz yang sering disebut hard balancing itu akan terjadi ketika (1) terdapat ancaman militer yang intens terhadap keamanan negara; (2) adanya ancaman kepunahan akibat peningkatan kekuatan rising power dan (3) negara terjebak dalam persaingan jangka panjang

dengan negara lain. 15 Ketiganya terjadi di Laut Cina Selatan, namun: (1) tidak ada internal balancing maupun external balancing sebagai syarat terciptanya bipolaritas

dan (2) walaupun demikian, kawasan perairan ini tetap stabil dan tidak melihat adanya perang besar dalam 20 tahun terakhir.

Dengan demikian, cukup alasan untuk menguji teori Kenneth Waltz, mengingat berbagai indikasi diatas menantang asersi Teori Balance of Power dan asumsinya, tentang bagaimana negara akan berperilaku dalam merespon perimbangan kekuatan dalam sistem dan tentang bagaimana semestinya perilaku tersebut akan mendatangkan bipolaritas, sebagai penyebab dari stabilitas atau ketiadaan perang besar. Merespon permasalahan tersebut, skripsi ini berniat menjawab pertanyaan:

“Seberapa relevankah Teori Balance of Power Kenneth Waltz dalam menjelaskan perilaku negara Asia Tenggara yang mengklaim wilayah di Laut Cina Selatan terkait kehadiran ancaman Cina? (1991-2011)”

Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan yang seharusnya konfliktual menjadi studi kasus yang dipilih. Variabel-variabel dalam teori yang dipertanyakan itu sendiri akan digunakan dalam pembahasan dalam penelitian, sebelum pada akhirnya akan dianalisis terkait fenomena dan sub-fenomena apa sajakah teori yang diuji oleh penelitian ini relevan atau tidak.

15 Michel Fortmann, T. V. Paul, and James J. Wirtz, “Conclusions: Balance of Power at the Turn of the New Century,” dalam Balance of Power: Theory and Practice in the 21 st Century ed. T. V. Paul, James

J. Wirtz, and Michel Fortmann, (Stanford: Stanford University Press, 2004), hal. 365.

1.3. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini akan menguji Teori Balance of Power, sesuai dengan pertanyaan penelitiannya. Skripsi ini akan mengatur kerangka pemikirannya untuk percaya pada asumsi-asumsi dasar realisme, pada awalnya, untuk kepentingan menguji teori yang diciptakan oleh Kenneth Waltz ini.

1.3.1. Teori Balance of Power Balance of Power merupakan teori di bawah mazhab realisme struktural (neorealisme), yang tunduk pada asumsi aliran tersebut bahwa sistem internasional bersifat anarki, aktor kunci dalam hubungan internasional adalah negara, tujuan negara adalah memaksimalisasi kekuatan serta keamanannya dan negara berperilaku

rasional dalam upayanya mewujudkan tujuannya. 16 Secara istilah ia pertama kali digunakan oleh Rousseau dan Hume, sebelum dikembangkan konteksnya ke dalam

hubungan internasional oleh Morgenthau dibawah mazhab realisme klasik dan Waltz, dibawah mazhab neorealisme. 17

Teori Balance of Power mengargumentasikan hubungan dua variabel: sistem sebagai variabel independen yang mempengaruhi perilaku negara sebagai variabel dependen. Sistem yang dimaksud adalah struktur perimbangan kekuatan dalam sistem internasional. Perilaku negara yang dimaksud adalah balancing mengacu kepada aksi mandiri atau bersama-sama negara untuk menggabungkan kekuatannya menandingi

kekuatan besar 18 dan bandwagoning mengacu kepada bergabungnya negara dengan kekuatan besar untuk menjamin keamanannya. 19

Balancing terdiri atas dua, yaitu internal balancing dan external balancing. 20 Internal balancing mengacu kepada aksi negara meningkatkan kekuatan militer dan

ekonominya untuk menandingi kekuatan besar. Namun untuk menjaga relevansinya, skripsi ini akan berdiri di pihak paling tradisional dan hanya menghitung kekuatan militer. External balancing mengacu kepada aksi negara menggabungkan kekuatan dengan negara-negara yang sama-sama merasa terancam untuk melawan ancaman.

16 Baca Bab 6 dari Kenneth Waltz, Theory of International Politics, (Masscachussets: Addison-Wesley Publishing Company, 1979).

17 Ibid. 18 Baca Keith L. Shimko, International Relations: Perspectives and Controversies, (Boston:

Wadsworth, 2010), hal. 69-71, kesimpulan dari penjelasan Waltz. 19 Kenneth Waltz, Theory of International Politics, (Masscachussets: Addison-Wesley Publishing

Company, 1979), hal. 118-130. 20 Ibid.

Ada bermacam-macam cara menggabungkan kekuatan, tapi dengan alasan yang sama skripsi ini akan berdiri di pihak paling tradisional dan hanya mempertimbangkan

aliansi 21 sebagai bukti aksi ini. Alasan skripsi ini mengambil pengertian paling tradisional dari teori ini adalah karena balance of power dalam interpretasi paling

tradisionalnya itulah yang ingin diuji skripsi ini. Terkait hubungan antar variabel, teori ini percaya bahwa perimbangan kekuatan dalam sistem akan mempengaruhi perilaku/strategi negara yang mencari keseimbangan kekuatan dalam sistem. Menurut teori ini, dengan demikian, struktur

22 polaritas 23 yang akan terjadi pada akhirnya adalah bipolar, yang kemudian akan menciptakan stabilitas, alias kondisi bertahannya sistem tanpa perubahan besar,

seperti perang. Alur logika inilah yang akan diklarifikasi oleh penelitian ini jika ditemukan irelevan.

1.3.2. Permasalahan pada Teori Balance of Power Mengartikan Balance of Power merupakan sebuah tantangan, utamanya karena absennya satu pengertian yang baku. Sebagai konsep ia bisa mengacu pada

strategi, proses, maupun kondisi, maupun hasil . 2425 Sebagai strategi, hasil yang ideal, maupun proses, balance of power terjadi karena kompetisi antar negara untuk

mempertahankan survival atau keberlangsungannya dalam kondisi anarki. Kondisi anarki merupakan kondisi dimana tidak ada otoritas lebih besar yang bisa mamaksakan agenda. Karenanya, negara-negara harus menolong diri mereka

sendiri jika keberlangsungannya terancam sehingga, tercipta self-help system. 26 Untuk memahami teori ini untuk kepentingan mengujinya, harus dipahami hubungan antar

variabel yang diargumentasikan teori.

21 Aliansi yang diperhitngkan harus memiliki perjanjian yang mengharuskan negara lain untuk membantu negara yang terancam jika diserang, yaitu dengan bantuan serangan balik.

22 Pembangian kekuatan dalam sistem internasional, bipolar: dua kekuatan, multipolar: lebih dari dua kekuatan.

23 Dua kekuatan besar berkuasa, baik great power secara individu maupun aliansi, maupun empire negara besar yang berkuasa atas negara lemah.

24 Jacob G. Hariri, “When Do States Balance Power? Refining, Not Refuting, Structural Realist Balance of Power Theory,” makalah yang disiapkan untuk panel ‘Realism and Foreign Policy:

Structural and Neoclassical Realist Perspectives’ pada SGIR ke-7 Pan-European International Relations Conference, Stockholm, Swedia, 9-11 September 2010, hal 29, diunduh dari stockholm.sgir.eu/uploads/HaririWivelSGIR.pdf

25 Jack. S. Levy, “What Do Great Powers Balance Against and When?” dalam Balance of Power: Theory and Practice in the 21 st Century ed. T. V. Paul, James J. Wirtz, and Michel Fortmann,

(Stanford: Stanford University Press, 2004), hal. 29. 26 Kenneth Waltz, Theory of International Politics, (Masscachussets: Addison-Wesley Publishing

Company, 1979), hal. 118.

Jack. S. Levy memberi perhatian pada masalah ini dan maju untuk mengemukakan bagaimana beberapa teoris menggunakan istilah balance of power untuk mengacu kepada distribusi kekuatan actual dan oleh beberapa lainnya mengacu

kepada distribusi kekuatan ideal 27 . Penulis sendiri akan menggunakannya untuk mengacu kepada keduanya dalam penelitian ini, terkait alasan di atas, untuk

menghindari kerancuan. Karena yang menjadi fokus skripsi ini bukan klarifikasi atas kerancuan konsep, tapi atas penyebab dari kerancuan konsep tersebut, yaitu terlalu luasnya teori.

Terlalu luasnya teori ini menguntungkan karena kesederhanaan yang ditawarkannya dan sifatnya yang parsimoni. Kedua sifat itu membuatnya dapat dijustifikasi untuk digunakan dalam hampir semua kasus, selama aktornya adalah negara dan isu yang dibahas adalah keamanan tradisional. Hanya saja, masalah timbul ketika tidak klarifikasi akan relevansi tidak diisi oleh siapapun, sehingga relevansi teori ini diterima begitu saja, tanpa mengindahkan konteks waktu atau tempat dimana teori tersebut bisa atau tidak bisa berlaku. Karenanya, uji teori untuk menemukan relevansi menjadi penting untuk dilakukan.

Terkait klarifikasi, Waltz sendiri sudah menegaskan bahwa teori ini hanya berlaku bagi great powers. Tetapi, penggunaan data kawasan Eropa pada masa Perang Dunia oleh Walz sendiri, justifikasi untuk mengabaikan eksklusivitas keberlakuan teori ini dengan mudah dapat dibantah. Tentu saja, kebebasan akademik memberikan kesempatan untuk mengindahkan atau tidak mengindahkan penegasan apapun, namun jika kesimpulan ditarik tanpa adanya kesadaran akan batasan relevansi, hal tersebut bisa menjadi masalah dan dapat menciptakan bias yang berasal dari pemaksaan penggunaan teori yang berlaku pada kawasan lain tapi belum tentu berlaku terkait fenomena di kawasan tertentu, karena kekhususan yang dimiliki kawasan tersebut.

Skripsi ini memiliki kepentingan untuk mencegah penggunaan teori ini dengan serampangan tanpa menyadari batasan aktor dan konteks dalam teori tersebut, karenanya teori tersebut harus diuji. Selain itu, untuk yang luas dan terlalu abstrak seperti ini, uji teori, utamanya untuk memetakan dan mengidentifikasi batas relevansi diperlukan demi kepentingan pragmatis, seperti kemudahan dalam pembuatan kebijakan yang berdasar atas teori ini.

27 Jack. S. Levy, “What Do Great Powers Balance Against and When?” dalam Balance of Power: Theory and Practice in the 21 st Century ed. T. V. Paul, James J. Wirtz, and Michel Fortmann,

(Stanford: Stanford University Press, 2004), hal. 29.

Dengan demikian, penting bagi keistimewaan kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur terkait kasus yang ini untuk dipertimbangkan. Jika pada akhirnya tipologi teori akan dihasilkan dari pertimbangan akan hal-hal khusus dalam kasus yang diteliti skripsi ini (dan sub-kasusnya), tipologi teori tersebut akan diargumentasikan dan dikembangkan. Diharapkan, tipologi teori tersebut akan berguna bagi pembuatan

kebijakan 28 dan kepentingan lainnya, seperti lahirnya teori yang dapat diklaim murni berasal dari pemikiran Asia, khususnya Asia Tenggara dan Asia Timur.

Perlu diketahui bahwa dalam skripsi ini, ketika penulis menyebut Balance of Power dengan awalan kapital, penulis mengacu kepada teori Balance of Power dan ketika menyebut balance of power dengan huruf kecil, penulis mengacu pada konsep balance of power yang mengacu pada kondisi (status quo) dalam struktur sistem internasional. Ketika mengacu pada hasil ideal, penulis akan menuliskannya sebagai balance of power sebagai hasil ideal.

1.4. Metode Penelitian 29 Skripsi yang bertujuan menguji teori Kenneth Waltz ini akan menggunakan

metode case study atau studi kasus, 30 yang merupakan salah satu metode untuk mengembangkan teori sesuai dengan pendapat George dan Bennet dalam bukunya,

Case Study and Theory Development in the Social Sciences.” Case study atau studi kasus merupakan metode dimana peneliti mengambil satu atau lebih kasus untuk mengembangkan teori. Dalam bukunya, George dan Bennet menjelaskan bagaimana metode case study dapat membantu peneliti dalam pengembangan teori karena memberi ruang bagi peneliti untuk menggali detil fenomena untuk kemudian dicocokkan dengan variabel dan hubungan antar variabel teori, sehingga pada akhirnya diketahui seberapa relevan sebuah teori bekerja pada sebuah kasus, seberapa terbatas teori tersebut terkait sebuah konteks khusus dalam fenomena tersebut. Case study memiliki kelemahan, tapi dalam menginduksi teori, case study merupakan salah satu metode paling ideal.

Dalam case study, pemilihan kasus harus dilakukan dengan detil dan cermat, dengan alasan-alasan yang jelas, seperti: kasus mengindikasikan anomali terhadap teori, berpotensi memberikan tambahan variabel bagi teori, meningkatkan relevansi

28 Berdasarkan penjelasan George dan Bennet dalam Alexander L. George dan Andrew Bennet, “Case Study and Theory Development in the Social Sciences,”(Cambridge, Massachussets: MIT Press, 2005).

29 Buku rujukan dari metode penelitian ini adalah Ibid. 30 Baca Bab I: Study and Theory Development, dari Ibid.

teori, menjelaskan batasan teori, atau karena berbagai alasan lainnya. Dengan demikian, sebuah kasus valid menjadi bahan penelitian dalam mengembangkan teori, bukan semata-mata karena kasus tersebut penting atau “menarik.” Terdapat dua cara melakukan case study, yaitu single-case study (studi kasus satuan) atau multiple case study (lebih dari satu) yang biasanya bersifat komparatif. Perlu diketahui bahwa tinjauan sejarah penting bagi case study sehingga tinjauan sejarah akan menjadi bagian dari penelitian ini.

Kasus perilaku negara-negara Asia Tenggara yang menjadi pengklaim di Laut Cina Selatan terkait kehadiran ancaman Cina akan dipilih oleh penelitian ini terkait indikasi anomali yang diperlihatkannya. Selain itu, kasus ini juga diambil karena potensinya untuk meningkatkan relevansi teori dan menjelaskan batasan relevansi teori dalam kasus, serta potensi kekhususan dalam kasus untuk mengembangkan teori tipologi. Kasus yang diteliti penulis merupakan case of state behaviour, sebuah kasus perilaku negara, yang merupakan variabel dependen dari teori Balance of Power. Struktur sistem international (Balance of Power) yang imbalance telah terjadi, namun perilaku yang diindikasi terjadi di kawasan Laut Cina Selatan tidak seperti apa yang diramalkan Kenneth Waltz.

Karena ingin menguji relevansi teori Balance of Power pada sebuah anomali khusus yang ditemukan, skripsi ini akan menggunakan single case study, karena mencari pola dari dua kasus yang sama untuk mengembangkan teori bukanlah yang diinginkannya. Yang diinginkannya adalah mencari kekhususan dalam sebuah fenomena dan melihat apakah kekhususan tersebut berpotensi untuk mengembangkan tipologi teori. Jika pada akhirnya ditemukan kekhususan dalam sebuah fenomena yang berpotensi mengembangkan tipologi teori, maka teori tersebut akan dikembangkan dengan menggunakan analytical explanation.

Dari sisi ontologi, metode ini menguji teori terhadap suatu kasus dan/atau sub- kasus. 31 Skripsi ini menguji teori terhadap perilaku negara terkait Sengketa Wilayah

Laut Cina Selatan, berdasarkan kesimpulan teori itu sendiri tentang bagaimana negara akan berlaku, dalam kondisi yang didefinisikan oleh teori itu sendiri. Sub-kasus – sub-kasus terkait juga akan digunakan dalam analisis jika diperlukan dan dilihat keterkaitan sub-kasus tersebut dengan relevan-tidaknya teori.

31 Sub-kasus adalah kasus-kasus lebih kecil yang menjadi bagian dari kasus yang lebih besar. Dalam sebuah penelitian studi kasus, harus jelas apakah yang sedang diteliti penulis adalah kasus atau sub-

kasus. Pada akhirnya, harus jelas pula apakah teori yang diuji berlaku atau tidak berlaku pada kasus atau sub-kasus.

Terkait justifikasi epistemologis pengembangan teori, skripsi ini percaya pada logic of discovery dan bahwa logic of discovery dapat digunakan bersamaan dengan logic of confirmation, bahkan keduanya dapat melengkapi satu sama lain. Keduanya dibutuhkan dalam pengembangan sebuah ilmu dan alangkah baiknya jika relevansi teori difalsifikasi berlakunya dalam kasus atau sub-kasus tertentu, sebelum teori yang mampu menjelaskan kasus atau sub-kasus tertentu dikembangkan. Itulah yang dilakukan oleh penelitian ini.

Penelitian ini sendiri melihat bahwa masih ada harapan bagi relevansi Balance of Power di kawasan dan ingin mengembangkan Ilmu Hubungan Internasional lebih lanjut dengan mencari relevansi itu. Namun, penelitian ini sadar bahwa terkait kekhususan kasus-kasus tertentu, teori ini terancam untuk tidak berlaku, utamanya setelah melihat indikasi yang dijelaskan dalam bagian latar belakang. Sehingga, dalam konteks dimana teori yang menjadi fokus penelitian tidak berlaku, diperkukan induksi teori tipologi baru.

Seperti yang dikatakan oleh Karl Popper, 32 yang juga diargumentasikan oleh George dan Bennet dalam bukunya, tidak masalah memilih logika yang mana, selama

kita mengikuti langkah-langkah saintifik yang tepat dan teratur dalam mengumpulkan data. Karenanya, skripsi ini maju dengan jelas untuk mencapai tujuan uji teori, dengan langkah-langkah metodis seperti yang tertergambar dalam diagram:

3 Menghubungkan 2 data temuan dengan tujuan

•  Melaksanakan

penelitian

1 studi kasus

•  Menentukan tujuan, desain, dan struktur penelitian

Gambar 1.1: Langkah-Langkah Metodis Studi Kasus

32 Jack. S. Levy, “What Do Great Powers Balance Against and When?” dalam Balance of Power: Theory and Practice in the 21 st Century ed. T. V. Paul, James J. Wirtz, and Michel Fortmann,

(Stanford: Stanford University Press, 2004), hal. 44.

Ketiga langkah seperti yang terlihat pada gambar akan tersirat dalam penelitian ini. Langkah pertama dalam Bab I dan langkah kedua serta ketiga di bab- bab selanjutnya. Perlu diketahui bahwa data yang digunakan dalam penelitian case study juga harus fokus. Data-data yang akan penting bagi penulis adalah: tinjauan umum peristiwa yang melatar belakangi kasus, tinjauan sejarah, kondisi balance of power di Laut Cina Selatan, insentif konflik yang ada, kondisi stabilitas dan pembahasan tentang kondisi masing-masing negara yang terlibat. Semua data tersebut akan dibahas di Bab II: Studi Kasus. Sementara di Bab III, analisis terhadap perilaku negara akan dibahas, bersamaan dengan analisis relevansi dan pencarian celah untuk induksi teori yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian.

1.5. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Penelitian ini bertujuan mempertanyakan seberapa relevan teori Balance of Power Kenneth Waltz, utamanya dalam konteks Asia Tenggara dan Asia Timur. Teori ini begitu parsimoni dan sederhana, sehingga digunakan oleh berbagai peneliti begitu saja tanpa mempertanyakan validitasnya pada fenomena yang ditelitinya dan turunan dari fenomena tersebut. Skripsi ini akan menjawab pertanyaan tentang relevansi teori tersebut dengan mempertimbangkan kekhususan konteks wilayah dan waktu dari kasus yang dipilih. Kasus tersebut adalah perilaku negara pengklaim Laut Cina Selatan terkait kehadiran ancaman Cina. Perlu diketahui bahwa perilaku negara merupakan variabel dependen menurut Teori Balance of Power Waltz.

Siginifikansi penelitian ini antara lain adalah mengambil peran dalam usaha meningkatkan relevansi teori Balance of Power dengan kondisi sekarang, meningkatkan relevansi mazhab realisme yang masih dibutuhkan selama negara masih memiliki senjata, memberi penjelasan baru bagi fenomena-fenomena keamanan internasional utamanya di Asia Tenggara, mencari teori yang lebih sesuai dengan kondisi di Asia Tenggara dengan segala keunikannya dalam fenomena. Jack S. Levy mengatakan bahwa ada western bias dalam induksi teori-teori barat, utamanya

Balance of Power. 33 Hal ini menjadi alasan terakhir dan terutama dari mengapa skripsi ini ingin melakukan preskripsi teori, menjadi penantang atas teori-teori Barat

yang sudah ada.

33 Jack. S. Levy, “What Do Great Powers Balance Against and When?” dalam Balance of Power: Theory and Practice in the 21 st Century ed. T. V. Paul, James J. Wirtz, and Michel Fortmann,

(Stanford: Stanford University Press, 2004), hal. 38-39.

1.6. Tinjauan Pustaka

Diskusi kontemporer tentang Teori Balance of Power kebanyakan terjadi dalam ranah pengembangan teori alternatif maupun tipologi teori. Dalam pengembangan teori alternatif, terdapat berbagai macam inovasi dari teori Balance of Power, antara lain Balance of Threat (Stephen Walt), Balance of Interest (Randall Schweller), Balance of Influence (Evelyn Goh), Offense-Defense Balance (Jervis, Stephen Van Evera, Sean Lynn-Jones dan Charles Glaser) dan Security Dilemma theory (Thomas Christensen, Robert Ross, and William Rose). Namun karena ingin menginduksi teori tipologi, penelitian ini akan memfokuskan tinjauan pustakanya ke pengembangan Teori Balance of Power yang fokus pada tipologi teori.

Pengembangan teori tersebut antara lain adalah pengembangan teori soft balancing, yang menciptakan perbedaan soft balancing dengan hard balancing, yang menjadi terminologi untuk menyebut balancing versi Waltzian dalam dunia kontemporer. Selain itu, ada pula indirect balancing dan regional complex balancing yang dikembangkan oleh Evelyin Goh, dibawah teori balance of influence-nya. Sebenarnya terdapat bebagai pengembangan tipologi teori lain, yaitu offshore balancing, balancing melalui kekuatan laut (Levy) dan lain-lain, namun penulis memilih untuk fokus pada soft balancing, indirect balancing dan regional complex balancing karena ketiga teori inilah yang diinduksi dengan secara spefisik mengamati kawasan Asia Tenggara, seperti apa yang dilakukan oleh penulis. Bagian tinjauan pustaka ini akan membahas tipologi teori mereka, agar jelas bahwa yang dikembangkan penulis benar-benar baru secara asersi dan metodologi yang berbeda dari apa yang digunakan oleh mereka, walaupun meneliti kawasan yang sama.

1.6.1. Soft Balancing Jika hard balancing mengacu kepada pengertian tradisional tentang balancing seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, soft balancing mengacu kepada aktivitas- aktivitas non aliansi (dengan demikian, tanpa suatu menargetkan negara tertentu sebagai ancaman yang jelas) dan non-militer yang dilakukan oleh negara-negara lemah dalam menandingi kekuatan besar.

Menurut teori ini aktivitas-aktivitas seperti arms build-up terbatas, kerjasama militer ad-hoc dan kerjasama institusional dalam kawasan maupun secara global dapat dikategorikan sebagai aktivitas soft balancing. Dalam kondisi-kondisi tertentu Menurut teori ini aktivitas-aktivitas seperti arms build-up terbatas, kerjasama militer ad-hoc dan kerjasama institusional dalam kawasan maupun secara global dapat dikategorikan sebagai aktivitas soft balancing. Dalam kondisi-kondisi tertentu

Teori ini pertama kali dikembangkan oleh dikembangkan oleh Paul (2005) dan Pape (2005) 35 yang kemudian memunculkan berbagai macam perdebatan

diantara para teoris Balance of Power. Paul secara umum menggunakan teori ini untuk menjelaskan mengapa pasca Perang Dingin tidak ditemukan lagi adanya aktivitas balancing terhadap kekuatan besar oleh second-tier major powers (seperti Cina, Rusia, India, dll) terhadap Amerika Serikat yang senantiasa menghadirkan

kekuatannya di setiap sudut di kawasan. 36 Kemudian ia menjelaskan bahwa negara- negara bukannya tidak melakukan balancing, tapi melakukan soft balancing yang

melibatkan pembentukan koalisi diplomatik terbatas atau ententes, sepert yang mereka lakukan didalam PBB.

Ententes ini memiliki target ancaman yang implisit dan memiliki tujuan meningkatkan aliansi mereka jika Amerika Serikat bertindak lebih dari yang seharusnya, 37 seperti, yang dicontohkan oleh Paul, yang dilakukan negara-negara

middle powers tersebut terhadap aksi Amerika pada kasus Kosovo tahun 1999 dan perang Iraq tahun 2002-2003. Salah satu alasan mengapa negara-negara ini tidak melakukan hard balancing, menurut Paul, adalah karena Amerika Serikat zaman sekarang tidak pernah secara eksplisit mengambil kebijakan yang mengancam kedaulatan mereka. Jika ya, dipastikan aksi hard balancing melawannya akan segera muncul. Namun karena keberadaan kebijakan itu tidak pernah ada, ditambah dengan kerjasama ekonomi dengan AS yang terlalu berharga untuk diperjuangkan, maka yang dilakukan oleh negara-negara second-tier power adalah soft balancing.

Sementara Pape, yang setuju dengan penjelasan Paul akan bagaimana second- tier-power melakukan balancing terhadap kekuatan besar pasca Perang Dingin, menambahkan penjelasan ke arah bagaimana soft balancing dapat terjadi kerena tindakan unilateralis great power dan umumnya terjadi dalam kondisi dimana dunia sedang berada dibawah sistem unipolar. Seperti yang juga dipercaya Paul, dalam

34 Stephen G. Brooks and William C. Wohlforth “Hard Times for Soft Balancing” dalam International Security, Vol. 30, No. 1 (Summer, 2005), hal. 73.

35 Robert A. Pape, “Soft Balancing against the United States,” dalam International Security, Vol. 30, No. 1 (Summer, 2005), hal. 7-45.

36 Ibid. 37 T.V. Paul, “Soft Balancing in the Age of U.S. Primacy,” dalam International Security, Vol. 30, No. 1

(Summer, 2005), hal. 46-71.

kondisi dimana aksi-aksi negara hegemoni dalam sistem unipolar ini mendatangkan ancaman nyata, soft balancing dapat berubah menjadi hard balancing.