2: Distribusi Jumlah Kapabilitas Cina sebagai Konsekuensi Force Deployment dalam Skenario Invasi Penyerangan Cina di Laut Cina Selatan

Tabel 3.2: Distribusi Jumlah Kapabilitas Cina sebagai Konsekuensi Force Deployment dalam Skenario Invasi Penyerangan Cina di Laut Cina Selatan

Tahun Kapabilitas (Max Vietnam

Force (Total

Ground Attack

Ground Attack

Ground Attack

Sumber: data pada ‘total force’ diambil dari ‘East Asia and Australasia,’ The Military Balance, (Institute for International and Strategic Studies), 1991, 2003 dan 2011, data di kolom lain merupakan penghitungan independen penulis.

Dari tabel di atas, jelas bahwa pada akhirnya Vietnam mampu mengimbangi Cina, bahkan melebihi kekuatannya. Ternyata, guerilla balance yang ada menghasilkan kemungkinan menang bagi Vietnam. Ini berarti bahwa guerilla balancing Vietnam (semestinya) mampu menggentarkan Cina dan kemungkinan besar Cina menyadari ini dan menyadari keterbatasannya dalam deployment yang akan menyeimbangkan kekuatannya dengan musuh-musuhnya di medan perang, sehingga komitmen ekspansionisnya terbatas. Dengan demikian Vietnam membuktikan kepada kita bahwa: (1) paritas kekuatan yang jauh bukan masalah, (2) dengan kapabilitas kecil negara masih bisa memiliki kemungkinan menang, tergantung lawan dan konfliknya dan ia bisa mensituasikannya demikian jika menginginkannya, walaupun perimbangan kekuatan yang ada asimetris alias imbalance. Vietnam membuktikan bahwa imbalance of power tidak pasti akan membawa konsekuensi instabilitas, jika negara yakin akan kemungkinan menangnya.

Dalam konteks perimbangan kekuatan Vietnam-Cina, dengan demikian, yang kita lihat pada tabel balance of force pada bab sebelumnya, adalah guerilla balancing, (keseimbangan gerilya) atau asymmetric balancing, suatu strategi balancing terbatas yang ditandai oleh: (1) pengimbangan akan alut sista yang diasumsikan signifikan dalam perang yang skenarionya paling mungkin terjadi saja (dalam hal ini di Laut Cina Selatan atau Gulf of Tonkin yang juga diklaim oleh Cina); dan (2) pengimbangan kekuatan akan kapabilitas yang deployment nya sudah pasti dalam perang yang diskenariokan tersebut. Balancing ini dimungkinkan ketika: (1) negara memiliki pengalaman kemenangan gerilya dalam sejarah, yang memberikannya dan rakyatnya rasa percaya diri, serta perhitungan strategis yang menghasilkan kemungkinan; (2) adanya komitmen ekspansionis yang rendah dari negara yang menjadi musuh, sehingga semangat pasukan akan menurut dari waktu ke waktu dan musuh akan kehabisan tujuan dalam melakukan perang, yang indikasinya ada dalam persaingan Cina-Vietnam sekarang akan Laut Cina Selatan.

Butuh penelitian lebih lanjut untuk melihat pola ini di seluruh kawasan, tapi untuk kasus ini, analisis ini cukup menjelaskan kenapa Vietnam tidak menambah senjatanya dan tetap menjaga balance 90:10. Jika penelitian lebih lanjut dilakukan terhadap negara-negara lain dengan pengalaman yang sama di Asia Tenggara (seperti Indonesia) dan ditemukan strategi yang sama, maka konsekuensi penjelasan baru akan balance of power di Asia Tenggara muncul, bahkan di dunia, ketika negara-negara lemah yang tidak mampu menyamai kekuatan great powers melakukan balancing Butuh penelitian lebih lanjut untuk melihat pola ini di seluruh kawasan, tapi untuk kasus ini, analisis ini cukup menjelaskan kenapa Vietnam tidak menambah senjatanya dan tetap menjaga balance 90:10. Jika penelitian lebih lanjut dilakukan terhadap negara-negara lain dengan pengalaman yang sama di Asia Tenggara (seperti Indonesia) dan ditemukan strategi yang sama, maka konsekuensi penjelasan baru akan balance of power di Asia Tenggara muncul, bahkan di dunia, ketika negara-negara lemah yang tidak mampu menyamai kekuatan great powers melakukan balancing

Asymmetric balancing bisa menjadi sumbangsih baru dalam pengembangan teori balancing yang membuatnya makin relevan untuk menjelaskan strategi, perilaku dan ideal balance of power bagi negara kecil dalam hubungannya dengan negara- negara besar. Bisa jadi, ideal balance of power bagi negara-negara kecil dalam penjagaan stabilitas dan pencegahan invasi negara-negara besar, adalah 90:10 dengan syarat kemungkinan menang bagi negara-negara kecil tersebut harus tetap terjamin, seperti yang terlihat dalam kasus Vietnam ini.

Melihatnya sebagai suatu struktur yang terpisah dari yang lain, asymmetric balance antara Vietnam dan Cina menciptakan stabilitas, karena tidak mungkin Cina dengan kemampuannya yang sekarang akan maju untuk merebut kepulauan yang dipersengketakannya dengan Vietnam, ditambah dengan kesempatan Vietnam untuk menang dalam kondisi Cina yang terbatas dalam alut sista dan komitmen.

Dapat disimpulkan bahwa dalam dua puluh tahun terakhir, balancing seperti inilah yang terjadi di perairan Laut Cina Selatan antara Cina dan Vietnam. Asymmetric Balancing rupanya menjadi cukup bagi Vietnam ketika dengan kekuatan minimum yang ditargetkan, ia bisa menggentarkan Cina. Dapat disimpulkan bahwa, Cina yang selama ini pasti melakukan asesmen kekuatan terhadap calon musuh- musuhnya, termasuk Vietnam, pasti tergentarkan oleh fakta bahwa kekuatan yang jauh lebih kecil yang dimiliki oleh Vietnam cukup untuk mengalahkannya. Apalagi, dalam kondisi dimana ia memiliki musuh-musuh lain, yang juga berada dalam kawasan. Dalam hal ini, seluruh negara pengklaim lainnya, Taiwan, AS, juga Britania Raya yang beraliansi dengan Brunei.

Dalam konteks Vietnam – Cina, bisa diargumentasikan bahwa asymmetric balance ini cukup untuk menjaga stabilitas dan asymmetric balancing menjadi pilihan perilaku Vietnam –walau untuk benar-benar mengklaim hal ini, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan, misalnya dengan cara process-tracing. Namun di titik ini, penelitian ini telah menyelesaikan tugasnya melakukan studi kasus dan melakukan penjelasan analisa atas proposal teori yang diinduksinya dari perkiraannya akan pilihan strategi Vietnam dan alasan mengapa internal balancing tidak dilakukan oleh Vietnam, yaitu kepuasan. Penelitian ini juga telah menganalisa sejauh mana Teori Balance of Power memikiki relevansi, sesuai dengan tujuan penelitiannya sejak awal.