Relevansi Teori Balance of Power di Laut Cina Selatan

3. 1. Relevansi Teori Balance of Power di Laut Cina Selatan

Studi kasus diatas telah menunjukkan banyak data tentang kondisi terkait kasus yang diteliti penulis. Di bab ini, penulis akan melakukan analisis terkait data- data tersebut dihubungkan dengan tujuan penulis melaksanakan penelitian ini: memeriksa relevansi dan menginduksi teori yang lebih bisa menjelaskan fenomena jika dibutuhkan.

Terkait relevansi, Kenneth Waltz mengatakan bahwa stabilitas tercipta dari sebuah balance of power (sebagai hasil ideal), dalam sebuah struktur distribusi kekuatan yang terbagi dua (bipolar), setelah negara-negara yang terancam melakukan balancing atau bandwagoning terhadap kekuatan besar. Jika teori tersebut benar, maka proses yang seharusnya terjadi terkait kasus yang diteliti penulis adalah seperti yang ditunjukkan oleh diagram berikut:

BOP (Imbalance)

Balancing/ Bandwagon

ASEAN vs China Bipolarity

Stability

Gambar 3. 1: Proses Terciptanya Stabilitas di Laut Cina Selatan Jika Teori Balance of

Power Sepenuhnya Relevan

Namun pada faktanya, terjadi pelanggaran pada hukum yang didikte oleh teori tersebut. Dengan kondisi imbalance dimana negara-negara Asia Tenggara yang mengklaim memiliki kekuatan yang jauh lebih lemah, dengan data kapabilitas militer negara-negara pengklaim dan fakta bahwa negara-negara yang terancam tersebut tidak memiliki satu suara perihal Cina, yang terjadi adalah sebagai berikut:

BOP (Imbalance)

No internal balancing no bandwagon

No ASEAN -­‐ China Bipolarity

Stability

Gambar 3.2: Proses yang Diindikasi terjadi dari Studi Kasus

Sekilas memang dapat disimpulkan bahwa yang terjadi di Laut Cina Selatan adalah imbalance = stability. Dengan demikian, dapat diargumentasikan bahwa dalam

negara-negara di Asia Tenggara, mereka sudah terbiasa dengan struktur hirarki, 116 karena itu balance of power yang begitu tinggi paritasnya bukanlah sebuah masalah.

Hal ini menjadi salah satu alasan tentang mengapa mereka puas dengan kondisi

116 Baca Evelyn Goh, “Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia: Analyzing Regional Security Strategies,” dalam International Security 32, No. 3 (Winter 2007/08), hal. 132-148.

imbalance dan tidak terdorong untuk melakukan internal balancing, bandwagoning, dan kepuasannya tidak mendorongnya untuk melakukan peningkatan kekuatan yang signifikan. Bertahun-tahun paritas kekuatan di Asia Tenggara kalah jauh dibandingkan dengan kekuatan great powers yang mengelilingi mereka, namun hingga kini mereka tidak melakukan agresi semenjak dekolonialisasi. Bisa dikatakan, rendahnya komitmen ekspansionis negara besar juga mempengaruhi hal ini. Negara Asia Tenggara tetap nyaman dan merasa aman walau kapasitasnya begitu ketinggalan. Dengan demikian, ditemukan indikasi bahwa, jika dalam konteks Cold War, bagi Amerika Serikat dan Uni Soviet balance of power yang ideal dan menciptakan stabilitas adalah 50:50, di kawasan Asia Tenggara, balance of power yang ideal adalah dan menciptakan stabilitas 90:10, apalagi mempertimbangkan kecenderungan negara-negara Asia Tenggara untuk justru bersaing dengan sesamanya.

Sejauh ini indikasi ditemukan bahwa balance yang jauh paritas, dalam kasus Asia Tenggara, merupakan balance yang ideal karena menimbulkan stabilitas. Namun, kita belum bisa menyimpulkan demikian sebelum mempertimbangkan jenis balancing yang sejauh ini belum jelas terjadi atau tidak. Penelitian ini harus terlebih dahulu menganalisis apakah benar balancing atau bandwagoning melawan Cina benar-benar sama sekali tidak terjadi. Ataukah, sebenarnya terjadi namun belum dipertimbangkan dalam proses yangd diasumsikan diatas: external balancing. Selain itu, perlu dianalisis juga apakah ada pada akhrinya ada struktur bipolar yang muncul, karena menurut teori Kenneth Waltz, struktur bipolar itulah yang menciptakan stabilitas. Jika struktur bipolar belum dibahas dan penelitian ini langsung membuat kesimpulan perihal relevansi atau irelevansi teori Waltz, dikhawatirkan kesimpulannya tidak akan cukup kuat.

3.1.1. Kekhususan Asia Tenggara Seperti yang digambarkan pada diagram 3.1, jika teori Waltz sepenuhnya relevan, kita mengharapkan adanya internal balancing atau bandwagoning. Ketika data perimbangan kekuatan menunjukkan tidak adanya internal balancing yang mampu mengejar kapabilitas Cina dan cultural competence kita juga mengkonfirmasi bahwa dalam kasus Laut Cina Selatan tidak ada bandwagoning yang terjadi (Vietnam yang secara ideologi paling dekat dengan Cina dan secara historis berhutang budi 3.1.1. Kekhususan Asia Tenggara Seperti yang digambarkan pada diagram 3.1, jika teori Waltz sepenuhnya relevan, kita mengharapkan adanya internal balancing atau bandwagoning. Ketika data perimbangan kekuatan menunjukkan tidak adanya internal balancing yang mampu mengejar kapabilitas Cina dan cultural competence kita juga mengkonfirmasi bahwa dalam kasus Laut Cina Selatan tidak ada bandwagoning yang terjadi (Vietnam yang secara ideologi paling dekat dengan Cina dan secara historis berhutang budi

terjadi external balancing dan jika kita mengikuti asumsi Waltz tentang bagaimana external balancing terjadi, kita akan mencari aliansi antara negara-negara yang lebih lemah disekitar lautan ini melawan Cina. Namun pada kasus ini, external balancing tidak terjadi diantara negara-negara Asia Tenggara yang lebih lemah yang terancam oleh klaim dan kekuatan Cina.

Penelitian ini mensinyalir beberapa hal yang menjadi penyebab dari tidak terjadinya external balancing mengikuti skenario Waltz berdasarkan data yang didapatkan dari studi kasus. Studi kasus telah mensinyalir bahwa ada perpecahan diantara kubu negara-negara Asia Tenggara sendiri. Perpecahan tersebut ditunjukkan oleh dua hal: tidak bersatunya suara negara-negara Asia Tenggara, utamanya yang turut mengklaim, mengenai bagaimana harus merespon Cina; dan keengganan untuk menyelesaikan masalah kedaulatan di forum multilateral maupun tribunal internasional, sehingga kepastian tentang status lautan ini tidak pernah jelas.

Terkait manifestasi yang pertama, tidak bersatunya negara-negara Asia Tenggara ini bisa disebabkan oleh fakta bahwa mereka sendiri sebenarnya bersaing dengan satu sama lain atas kepemilikan laut ini. Nilai strategis Laut Cina Selatan juga terlalu berharga bagi mereka sehingga untuk melepaskan klaim dan berkorban demi sesamanya atas nama kesatuan ASEAN. Dengan adanya persaingan ini, sulit membayangkan negara-negara Asia Tenggara mau bersatu melawan Cina.

Stabilitas selama 20 tahun terakhir ini juga menunjukkan bagaimana Cina pun memiliki keraguan juga dalam bersikap asertif di Laut Cina Selatan. Cina yang kadang asertif dan kadang kooperatif seperti yang dapat dilihat dari data lini waktu mengindikasikan keraguan tersebut. Dengan demikian, kebutuhan negara-negara pengklaim yang lebih lemah untuk mengesampingkan persaingan dan bekerja sama belum ada, sementara status quo masih memberi kesempatan bagi mereka untuk

mengklaim kepemilikan mereka atas laut tersebut. 119 Terkait keengganan untuk menyelesaikan masalah kedaulatan di forum

multilateral dan tribunal internasional, hal ini sejalan dengan adanya keinginan untuk

117 Cina mendukung Vietnam Utara di Perang Vietnam, dengan mengirimkan senjata dan bantuan lain. 118 Lihat bab sebelumnya di bagian historical enmity Vietnam. Begitu merdeka, Vietnam langsung

membuat pernyataan tentang kepemilikannya atas Laut Cina Selatan dan penolakannya terhadap klaim Cina.

119 Masing-masing memiliki bukti sejarah tentang kepemilikan Laut itu, tapi tidak ada yang diakui secara internasional.

memanfaatkan laut ini semaksimal mungkin sebelum konflik besar atau perubahan lain muncul. Dengan lemahnya rezim/institusi yang ada, negara pengklaim masih bisa menikmati ketidakjelasan status quo tanpa takut kehilangan laut ini. ASEAN High Council sebagai lembaga dalam ASEAN yang diharapkan untuk bisa menyelesaikan sengketa jika UNCLOS tidak bisa menyelesaikannya juga tidak berfungsi, karena: 1) Cina bukan anggota ASEAN; 2) Adanya keengganan membahas isu sensitif di ASEAN; dan 3) Tidak ada yang mendorong ASEAN High Council untuk berfungsi dengan baik hingga sekarang. Semua hal ini menunjukkan bahwa tidak ada trust atau kepercayaan diantara negara-negara ASEAN. Trust issue ini memperlambat berbagai

hal yang perlu dilakukan, termasuk integrasi. 120 Karena itu, sulit membayangkan bipolaritas ASEAN versus Cina akan tercipta.

Walaupun sama-sama korban kolonialisasi, adanya berbagai faktor seperti trust issue, keengganan untuk membuat posisi bersama dan lain-lain, negara-negara Asia Tenggara lebih memilki potensi untuk bersaing dengan satu sama lain, alih-alih membentuk aliansi satu sama lain. Keengganan untuk menggunakan tribunal internasional dan forum multilateral juga menjadi bukti bagaimana mereka lebih memilih untuk menyelesaikan masalah sendiri-sendiri dibanding bekerja sama. Dapat disimpulkan, bahwa negara-negara kecil ini tidak percaya pada sesame rekan negara kecilnya, sementara kenyamanannya akan balance 90:10 menunjukkan kepercayaannya pada negara besar.

Berbagai hal yang dibahas diatas menunjukkan kekhususan kawasan yang harus kita membicarakan dalam membahas relevansi Teori Balance of Power di kawasan. Dalam konteks external balancing, kekhususan tersebut akan dimanifestasikan dalam mempertimbangkan adanya aliansi dengan negara luar kawasan, sehubungan trust issue antar negara-negara Asia Tenggara dan kenyamanan mereka dengan hierarki. Penelitian ini kemudian akan membahas negara-negara yang disinyalir melakukan external balancing tersebut.

3.1.2. Kasus Filipina Kita akan membahas perilaku Filipina sebagai bagian dari kasus perilaku negara-negara pengklaim yang diteliti terkait ancaman Cina. Dalam tabel balance of force yang ada di bab sebelumnya dapat kita lihat bahwa kapabilitas Cina jauh di atas

120 Wahyuningrum Yuyun “ASEAN Integration Going Slow due to Trust Issue,” diakses dari http://www.dpiap.org/resources/article.php?genreid=15&id=0000436&genre=ASEAN 120 Wahyuningrum Yuyun “ASEAN Integration Going Slow due to Trust Issue,” diakses dari http://www.dpiap.org/resources/article.php?genreid=15&id=0000436&genre=ASEAN

Tetapi, dari tabel jelas kita lihat bahwa Filipina tidak melakukan internal balancing sama sekali. Penulis sadar bahwa penelitian ini hanya mempertimbangkan senjata yang dianggapnya efektif untuk efek gentar maupun untuk perang di perairan, yang mahal dan sulit untuk dibeli oleh negara kecil. Tetapi, jika memang dunia dihiasi ketakutan akan hilangnya kedaulatan seperti yang tergambar dalam dunia milik neorealisme, Filipina akan bantuan negara lain untuk melengkapi persenjataannya. Jika teori Waltz menjadi relevan, Filipina akan melakukan aliansi demi kepemilikan efek gentar yang sama dengan kepemilikan senjata. Disini, teori Waltz relevan, karena Filipina melakukan aliansi dengan Amerika.

Dengan mempertimbangkan kekhususan Asia Tenggara, kita akan melihat bipolaritas sebagai hal yang tercipta bukan antara Cina dan negara lemah di kawasan, tapi dengan negara luar kawasan. Amerika adalah penyebab efek gentar Filipina terhadap apapun ancaman yang mungkin ada di lautan ini. Terjelaskan mengapa Filipina tidak melakukan buildup sama sekali, ketika armada ke tujuh AS berkeliling timur lautnya dan siap untuk menyerang Cina jika melakukan tindakan agresif di Laut Cina Selatan. Pada saat pendudukan Mischief Reefs, memang AS tidak melakukan apa-apa. Tapi perlu diketahui bahwa Mieschief Reefs adalah wilayah ZEE dan bukan Laut Wilayah.

Filipina dan AS terlibat aliansi sejak ditanda tanganinya Mutual Defense Treaty antara AS dan Filipina pada tahun 1951. Selain kemerdekaan Filipina, traktat ini menyebutkan bahwa “kedua bangsa akan saling mendukung satu sama lain ketika

salah satunya diserang.” 121 Dengan demikian, ini merupakan justifikasi hukum yang kuat antara kedua negara bahwa yang mereka lakukan adalah aliansi, satu bentuk

pengaturan keamanan yang pasti dan kaku, dimana satu diserang berarti penyerangan terhadap semua. Aliansi ini merupakan bentuk tradisional dari external balancing. Bisa dibilang bahwa hard balancing merupakan fenomena yang terjadi dalam konteks Laut Cina Selatan, utamanya terkait Vietnam dan Cina. Keberadaan pangkalan angkatan Laut AS di Subic Bay, Filipina, merupakan bukti kuatnya ikatan aliansi ini,

121 Naskah perjanjian ini dapat diakses dari Chan Robles Virtual Law Library: http://www.chanrobles.com/mutualdefensetreaty.htm#.UopN_RaBLZs 121 Naskah perjanjian ini dapat diakses dari Chan Robles Virtual Law Library: http://www.chanrobles.com/mutualdefensetreaty.htm#.UopN_RaBLZs

membuatnya ditutup, namun alasan alam, yaitu meletusnya Gunung Pinabo 32 km dari Subic bay. Sekarang, pangkalan itu akan dibuka lagi untuk AS, menunjukkan intensi melanjutkan hubungannya dengan AS.

Memperhitungkan kapasitas AS yang hingga sekarang lebih kuat dari Cina, jelas bahwa efek gentar Filipina menjadi kuat. Bahkan ketika kita menghitung

kekuatan U.S Seventh Fleet saja, 123 kita masih akan melihat bahwa AS lebih kuat dari Cina. Secara sistemik inilah yang menjadi deterrence bagi Cina untuk tidak

melakukan agresi di Laut Cina Selatan. Dengan ini, dapat disimpulkan bahwa stabilitas tercipta berkat Filipina yang melakukan hard external balancing di kawasan. Penulis telah mengemukakan analisis yang menunjukkan pentingnya membahas kekhususan kawasan dalam mencari relevansi teori. Jika kita mencari bipolaritas a la Waltz yang menggambarkan pembentukan aliansi antar negara lemah melawan negara besar, di Asia Tenggara hal tersebut tidak ditemukan. Ternyata, dalam kasus ini, Filipina lebih suka melawan ancaman dengan ancaman bagi ancaman, seperti negara external kawasan bagi Cina. Untuk bisa mengklaim hal itu, penelitian ini akan melakukan studi kasus lain.

3.1.3. Kasus Brunei Brunei konstan memiliki angka 0 dalam setiap alut sista yang dipilih penulis untuk diperhitungkan dalam tabel balance of force. Pesawat tempur dan principle surface combatants yang penting bagi realisasi klaim atas pulau rupanya tidak menjadi targetnya dalam 20 tahun terakhir, walau negara yang GDP per kapitanya mencapai $39,355 itu kaya akan hasil minyak. Ia memilih untuk fokus pada

122 Dalam kasus ini, AS sendiri dengan pelan-pelan menunjukkan komitmennya pada Filipina dengan latihan bersamanya yang dilakukan di Laut Cina Selatan. Dugaan penulis, lebih dari itu, As dan

Filipina akan memprovokasi Cina terlalu jauh. 123 Angkatan Laut AS di Samudera PAsifik, tepat di Timur Laut Filipina, Angkatan Laut terdekat

dengan Laut Cina Selatan. Tentang kapabilitas, US Sevent Fleet memiliki satu aircraft carrier yang bertugas (USS George Washington), bersamaan dengan satu skuadron destroyer. Naval aviationnya lengkap dan mengalahkan Cina dalam jumlah dan teknologi. Selain itu, armada ini juga didukung oleh armada tiga, armada lain dalam Komando Pasifik Angkatan Laut AS. Walau mengerahkan seluruh Angkatan Lautnya, untuk sekarang, sulit bagi Cina untuk mengalahkan AS, apalagi jika AS mengumpulkan seluruh angkatan Lautnya dan menggerakkan aliansinya, Filipina dan Jepang. Diakses dari halaman informasi US Navy, globalsecurity.org dengan Laut Cina Selatan. Tentang kapabilitas, US Sevent Fleet memiliki satu aircraft carrier yang bertugas (USS George Washington), bersamaan dengan satu skuadron destroyer. Naval aviationnya lengkap dan mengalahkan Cina dalam jumlah dan teknologi. Selain itu, armada ini juga didukung oleh armada tiga, armada lain dalam Komando Pasifik Angkatan Laut AS. Walau mengerahkan seluruh Angkatan Lautnya, untuk sekarang, sulit bagi Cina untuk mengalahkan AS, apalagi jika AS mengumpulkan seluruh angkatan Lautnya dan menggerakkan aliansinya, Filipina dan Jepang. Diakses dari halaman informasi US Navy, globalsecurity.org

Brunei tidak memiliki banyak klaim di Laut Cina Selatan. Ia hanya memiliki satu klaim yang lemah atas Louisa Reef dan satu klaim lebih kuat atas Rifleman Bank yang tumpang tindih dengan Malaysia. Berarti, ancaman bagi Brunei dalam konteks kedaulatan di Laut Cina Selatan hanya Malaysia. Dalam Sejarah juga Brunei hanya pernah punya pertikaian politis dengan Malaysia perihal pulau ini, tidak dengan lainnya. Walau demikian, mengambil asumsi Kenneth Waltz bahwa negara akan mati-matian mempertahankan survivalnya, Brunei seharusnya tetap mengkhawatirkan ekspansi Cina dan menyiapkan persenjataan yang layak. Kunci mengapa Brunei pun tetap puas ada pada kesamaanya dengan Filipina. Penulis mensinyalir kesamaan antara Brunei dan Filipina dalam konteks external balancing. Keduanya didukung oleh angkatan bersenjata terkuat di dunia dalam konteks Angkatan Laut: Filipina

dengan AS, Brunei dengan Inggris. 126 Inggris mendukung Brunei dengan menyediakan British Military Garrison

Brunei, pasukan militer yang dikelola oleh Inggris dan merupakan satu-satunya alat pertahanan negara bagi Brunei. Garrison tersebut tidak memiliki kapabilitas tempur yang signifikan dan data pada tabel balance of force mengacu pada British Military Garrison tersebut. Tentu saja, ia tidak cukup untuk menjadi efek gentar bagi Cina.

Namun, perlu diketahui bahwa Inggris memiliki kekuatan militer yang cukup. Ia memilki tiga Aircraft Carrier, yang bisa dikirimkannya dengan alasan menjaga Brunei ketika Cina melakukan tindakan yang diluar batas toleransi. Perlu diketahui bahwa kini Inggris sendiri memiliki aspirasi untuk memproyeksikan kekuatan lautnya secara global. Komitmen tersebut terjelaskan dari dokumen resmi Angkatan Lautnya yang menyebutkan komitmennya untuk membangkitkan kejayaan sebagai kekuatan maritim kelas dunia, demi melindungi kepentingan Inggris secara global dan meningkatkan signifikansinya di dunia internasional, demi rekan-rekan Inggris di seberang lautan. Karena itu skenario dimana Inggris dapat atau akan mengirimkan kekuatan lautnya ketika Brunei membutuhkannya tetap ada, apalagi ditergetkan

124 Lihat ‘East Asia and Australia’The Military Balance, International Institute for Strategic Studies, 1991-2001, Brunei.

125 Brunei Country Profile, Overview and Facts diakses dari http://www.bbc.co.uk/news/world-asia- pacific-12990058

126 Diakses dari dokumen resmi Angkatan Laut Inggris: “The Royal Navy today, tomorrow, and towards 2015,” diakses dari http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/2700.htm 126 Diakses dari dokumen resmi Angkatan Laut Inggris: “The Royal Navy today, tomorrow, and towards 2015,” diakses dari http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/2700.htm

“The implication is that the Royal Navy must be able to project maritime power to protect and promote our nation’s interests. This will require a navy that is operationally versatile and interoperable in all environments as part of a joint, multi-national and multi-agency force. There is an imperative to

be forward deployed…. 127 ”

“….maritime domain is required to protect UK citizens, territory, and trade from terrorists, criminals, piracy, state sponsored insurgents and unlawful restrictions on freedom of navigation. This responsibility covers the UK’s territorial waters, 14 Overseas Territories, 3 Crown Dependencies and trade on the high seas. In an interconnected world maritime security is vital to the

UK’s economic prosperity. 128 “

“….A deployed navy, not just an insurance policy but working constantly to promote and protect the UK’s national interests by concentrating effort on the highest priority geographical areas; a visible symbol of Britain’s role in

the world. 129 ”

Melihat visi di atas dan fakta bahwa, seperti AS, Inggris pun memiliki kepentingan menjaga freedom of navigation, jika Cina bertindak diluar batas yang akan mengancam survival negara-negara sekitarnya, termasuk Brunei, bukan tidak mungkin Inggris akan turut mengirimkan pasukannya, dengan justifikasi memberi pertahanan kepada Brunei sebagai aliansinya.

3.1.4. Struktur di Laut Cina Selatan Mempertimbangkan hal diatas, instabilitas akibat serangan Cina hampir tidak mungkin karena keberadaan AS berkat external balancing Filipina. Jika pun Brunei terancam karena Cina yang memasuki wilayahnya, Brunei memiliki Inggris yang pasti akan meningkatkan pengaruhnya dan menjawab komitmennya. Brunei sendiri, dengan demikian, memiliki pelindung yang hampir sekuat AS di pertempuran lautan, yang bahkan melegenda dalam prestasi Angkatan Lautnya. Bisa disimpulkan, dengan demikian, bahwa separated bipolarity memang terjadi, antara Brunei (Inggris) – Cina dan Filipina (AS) – Cina. Keduanya menciptakan separated balance yang melebihi Cina, sehingga menggentarkan aksi ekspansif Cina. Hal ini terjadi karena Brunei pun,

127 Diakses dari dokumen resmi Angkatan Laut Inggris: “The Royal Navy today, tomorrow, and towards 2015,” diakses dari http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/2700.htm

128 Ibid. 129 Ibid.

yang memiliki aliansi dengan Inggris, melakukan hard external balancing yang secara sistemik menjaganya dari instabilitas di kawasan, termasuk di Laut Cina Selatan. Dengan demikian, struktur bipolaritas ganda yang tercipta berkat hard external balancing kedua negara di atas adalah sebagai berikut:

Struktur Bipolar 1: AS

Struktur Bipolar 2:

(Filipina) -­‐ Cina

Inggris (Brunei) -­‐ Cina

Gambar 3.3: Bipolaritas Ganda di Laut Cina Selatan