Sengketa Wilayah di Laut Cina Selatan

2.1. Sengketa Wilayah di Laut Cina Selatan

Sengketa wilayah Laut Cina Selatan merupakan persaingan klaim atas perairan dan kepulauan di Laut Cina Selatan yang melibatkan negara-negara di Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei dan Asia Timur seperti Cina

dan Vietnam. 52

Sengketa ini mengacu kepada kontestasi klaim antara negara-negara di atas terhadap kepulauan Spratly dan Paracels, sekaligus wilayah perairan 12 mil laut lepas garis pantai di sekitarnya --sesuai dengan peraturan UNCLOS (United Nation Convention on the Law of the

Sea). 53 Adanya sengketa ini menyebabkan negara-negara di atas

terlibat berbagai kemelut diplomatik hingga

konflik

bersenjata.

Keberadaan yang satu kemudian menjadi ancaman bagi yang lain, apalagi dengan keberadaan Cina sebagai negara terbesar di kawasan.

Laut Cina Selatan sebagai lokasi dimana kontestasi klaim ini Gambar 2.1 : Kontestasi Klaim di Laut Cina Selatan terjadi dijuluki “the troubled Sumber: http://www.un.org/Depts/los/convention_

54 agreements/ texts/unclos/unclos_e.pdf waters,” julukan yang diberikan

52 Negara-negara yang berkonflik memperebutkan yurisdiksi terhadap lautan ini antara lain adalah Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia dan Cina. Saat Malaysia dan Brunei mengkhawatirkan

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Batas Landas Kontinen mereka, Vietnam, Cina, Taiwan dan Filipina terlibat dalam aksi saling klaim terhadap dua kepulauan terbesar di Laut Cina Selatan: Spratlys dan Paracels. Terjadinya aksi saling klaim ini wajar saja terjadi, mengingat dasar laut Laut Cina Selatan diperkirakan memiliki kandungan hidrokarbon dan minyak bumi dalam jumlah yang besar. Lebih lengkapnya baca Hasjim Djalal, Indonesia and The Law of The Sea, (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1995), hal. 365-366. Di skripsi ini, Taiwan tidak akan dibahas.

53 12 mil nautik Laut Wilayah, belum termasuk 200 mil nautik batas landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif. Baca naskah UNCLOS di

http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf 54 Julukan untuk Laut Cina Selatan dari berbagai media seperti VOA, China Daily dan dari berbagai

referensi akademik seperti ISEAS, US-China (USC) Institute dan lain-lain. Pernah menjadi judul dari referensi akademik seperti ISEAS, US-China (USC) Institute dan lain-lain. Pernah menjadi judul dari

kawasan perairan yang berbatasan di titik 3° Lintang Selatan dengan selat Karimata 55 di Selatan dan dengan Selat Taiwan sampai ke Pantai Fukien di Cina di Utara.

Sengketa wilayah Laut Cina Selatan merupakan salah satu sengketa berbahaya di kawasan, dalam konteks bagaimana ia dapat menghadirkan instabilitas di kawasan. Dalam tulisannya, Kaplan mengatakan bahwa “the South China Sea is the future of conflict,” yang sekaligus menjadi judul artikelnya. Argumentasinya dalam artikel tersebut dibangun berdasarkan fakta bahwa perang, kedepannya, kemungkinan besar akan terjadi di lautan dan Laut Cina Selatan adalah lautan yang paling dengan

pertentatngan kepentingan yang paling sensitif ini. 56

2.1.1. Sejarah Sengketa Sengketa wilayah Laut Cina Selatan sebenarnya menjadi isu sejak tahun 1885, ketika Cina mengumumkan klaimnya untuk pertama kali atas salah satu kepulauan

terbesar di perairan tersebut, yaitu Spratlys. 57 Namun, baru pada tahun 1991, ketika Cina memformalisasikan klaimnya atas keseluruhan Laut Cina Selatan dengan

mengeluarkan the Law on Territorial Waters and Their Contiguous Areas sengketa ini menjadi sengketa perbatasan formal antara negara-negara yang berada di sekeliling perairan tersebut: Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, Taiwan

dan Cina. 58 Namun, sebelum formalisasi klaim tersebut, telah terjadi beberapa konflik

film dokumenter oleh USC Institute, yang dapat diakses dari http://china.usc.edu/ShowArticle.aspx?articleID=2145&AspxAutoDetectCookieSupport=1

55 Selat diantara Pulau Sumatera dan Kalimantan, Indonesia 56 Robert D. Kaplan, “the South China Sea is the Future Conflict” dalam Foreign Policy, terakhir kali

dimodifikasi 15 Agustus 2011, diakses dari http://www.foreignpolicy.com/articles/2011/08/15/the_south_china_sea_is_the_future_of_conflict?pag e=full

57 Setelah itu terdapat berbagai macam dinamika dalam dunia internasional yang mempengaruhi status kepulauan ini, salah satunya adalah pendudukan Jepang pada Masa Perang Dunia II. Jepang yang kalah

kemudian melepaskan kepulauan Spratlys untuk kembali diklaim oleh Cina. Isu ini kembali memanas ketika Cina melakukan pendudukan militer terhadap Kepulauan Paracel yang saat telah diklaim oleh Vietnam pada tahun 1974. Hal ini dilihat penulis sebagai kali pertama Cina berperilaku asertif di Laut Cina Selata. Baca “Timeline: Disputes in the South China Sea,” Singapore Institute of International Affairs, terakhir dimodifikasi 1 Juli 2011, diakses dari http://www.siiaonline.org/?q=research/timeline- disputes-south-china-sea, 26/03/2012

58 Hasjim Djalal, Indonesia and The Law of The Sea, (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1995), hal. 365.

di kawasan perairan ini yang berarti telah terjadi inefektivitas dalam pencegahannya, atau justru tidak ada upaya pencegahan sama sekali.

Menelusuri akar dari sengketa wilayah Laut Cina Selatan, kita akan kembali pada Asia Tenggara pada masa dekolonialisasi. Negara yang pernah berdaulat atas

perairan tersebut adalah Perancis dan Jepang, 59 dan mereka gagal mendefinisikan batas-batas yurisdiksi yang jelas atas perairan tersebut. 60 Akibatnya, dalam proses

dekolonialisasi hingga sekarang, pulau-pulau di perairan tersebut tidak pernah menjadi subjek dari transfer kedaulatan yang jelas.

Proses transfer kedaulatan formal yang pernah terjadi di Laut Cina Selatan antara lain adalah Japanese Peace Treaty tahun 1951, 61 dan San Fransisco Peace

Conference yang mendahuluinya. Keduanya tidak menghasilkan keputusan mengikat- hukum apapun tentang perairan tersebut. Lo Chi-kin mensinyalir bahwa saat itu nilai strategis kepulauan di perairan ini belum disadari, karena itu, pemerintah kolonial tidak melakukan transfer kedaulatan yang serius.

Sejak dulu Cina dan Vietnam sebenarnya telah mengeluarkan barbagai pernyataan politik perihal kepemilikan mereka atas kepulauan-kepulauan ini. Diduga,

mereka sudah menyadari pentingnya kepulauan-kepulauan ini. 62 Namun karena saat

59 Perancis pernah “mengambil alih” kedaulatan atas Spratlys dengan ditandatanganinya perjanjian dengan Dinasti Nguyen pada abad ke-17 yang membuatnya menjadi perwakilan kedaulatan Dinasti

tersebut di kancah internasional. Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut Dinasti Nguyen menyerahkan hak atas representasi internasionalnya kepada Perancis, membuat kedaulatan bagi kepulauan kekuasaannya termasuk Spratlys menjadi milik Perancis.Sedangkan Jepang pernah menduduki kepulauan tersebut dalam misinya menaklukkan Asia Tenggara di masa Perang Dunia II Sumber: Lo Chi-kin, China’s Policy Towards Territorial Dispute: The Case of the South China Sea Islands, (London: Routledge, 1989), hal. 27.

60 Kegagalan tersebut terjadi karena keterbatasan mereka dari sisi teknologi. Pendefinisian batas darat dapat secara sederhana dilakukan, tetapi pendefinisian batas laut tentunya membutuhkan teknologi

spesifik yang saat itu belum ada. Dalam pengukuran batas-batas dalam laut, serta tidak adanya urgensi. Kepulauan di Laut Cina Selatan banyak terdiri atas pulau-pulau kecil yang dapat dihuni serta karang- karangan yang saat itu dianggap tidak memiliki nilai. Karenanya dalam proses transfer kedaulatan dahulu, kepulauan-kepulauan tersebut tidak begitu diperhatikan karena belum dianggap penting, seperti sekarang, sehingga pada akhirnya pulau-pulau dalam perairan ini dibiarkan begitu saja.

61 Tidak satupun klausa mengacu secara spesifik kepada pulau-pulau disana. Sumber: Michael Leifer, ”Stalemate in the South China Sea,” Publikasi Asia Research Center, London School Economics and

Political Sciences, diunduh dari http://community.middlebury.edu/~scs/docs/leifer.pdf 62 Pernyataan resmi pertama pemerintah Republik Rakyat Cina tentang kedaulatan atas Kepulauan

Spratly dan Paracel pertama kali dikeluarkan dalam San Francisco Peace Conference ini, tercatat dalam U.S.-British Draft Treaty with Japan. Dikatakan oleh Zhou Enlai (Chou En-lai), dalam kapasistasnya sebagai Menteri Luar Negeri Cina: “..the Draft Treaty stipulated that Japan should renounce all rights to Nan Wai (Spratly) Island and Si Sha Islands (Paracels), but again deliberately makes no mention of the problem of restoring sovereignty over them. As a matter of fact, just like all the Nan Sha Islands (Spratlys), Chung Sha Islands (Macclesfield Bank) and Tung Sha Islands (Pratas), Si Sha Islands and Nan Wei Island have always been China’s territory.” Dikutip dari Supplement to People’s China, 1 September 1951:1–6, dikutip dalam Lo Chi-kin, China’s Policy Towards Territorial Dispute: The Case of the South China Sea Islands, (London: Routledge 1989). Pernyataan dengan Spratly dan Paracel pertama kali dikeluarkan dalam San Francisco Peace Conference ini, tercatat dalam U.S.-British Draft Treaty with Japan. Dikatakan oleh Zhou Enlai (Chou En-lai), dalam kapasistasnya sebagai Menteri Luar Negeri Cina: “..the Draft Treaty stipulated that Japan should renounce all rights to Nan Wai (Spratly) Island and Si Sha Islands (Paracels), but again deliberately makes no mention of the problem of restoring sovereignty over them. As a matter of fact, just like all the Nan Sha Islands (Spratlys), Chung Sha Islands (Macclesfield Bank) and Tung Sha Islands (Pratas), Si Sha Islands and Nan Wei Island have always been China’s territory.” Dikutip dari Supplement to People’s China, 1 September 1951:1–6, dikutip dalam Lo Chi-kin, China’s Policy Towards Territorial Dispute: The Case of the South China Sea Islands, (London: Routledge 1989). Pernyataan dengan

hukum. 63 Pasca Perang Dunia II kemelut yang berbeda mengitari kepulauan di perairan

ini. Kolonialisme dan imperialisme digantikan oleh persaingan antara kubu barat dan kubu Soviet a la Perang Dingin. Kemelut tersebut akhirnya menjembatani perairan ini kepada takdir konfliktual yang dimilikinya dan dinamika persaingan klaim antara aktor-aktor yang terlibat berkembang menjadi konfrontasi bersenjata.

2.1.2. Negara-Negara yang Bersengketa Negara-negara yang bersengketa di Lautan ini antara lain adalah Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei dan Malaysia. Brunei, tidak seperti negara-negara

lain tidak memiliki klaim atas kepulauan yang besar, tidak melakukan pendudukan dan tidak menciptakan benteng di bebatuan pulau, tetapi ia memiliki klaim terhadap dua area terpisah yaitu Louisa Reef dan Rifleman Bank. Klaim Brunei atas Louisa Reef sebenarnya lemah karna statusnya yang inhabitasi, sementara Rifleman Bank

juga diklaim oleh Malaysia. 64 Malaysia mengklaim total 12 pulau di Laut Cina Selatan. Enam dianaranya

adalah Ardasier Reef, Dallas Reef, Louisa Reef, Mariveles Reef, Royal Charlotte Reef dan Swallow Reef—yang secara fisik diduduki oleh pasukan Malaysia. Tiga lagi adalah Erica, Investigator dan Luconia diklaim tapi tidak diduduki. Satu lagi, adalah

tujuan yang sama juga dikeluarkan oleh delegasi Vietnam, yang saat itu diwakili oleh pemerintahan Bao Dai. Merekapun mengklaim Kepulauan Spratly dan Paracel secara publik melalui konferensi di atas. Sumber: Marwyn S. Samuels, Contest for the South China Sea, (New York dan London: Methuen, 1982) hal.79, dikutip dalam buku yang sama.

63 Perlu diketahui bahwa saat itu delegasi Cina tidak diundang ke konferensi ini. Saat itu, suara Cina diwakili oleh Uni Soviet, utamanya perihal daerah-daerah yang harus dikembalikan padanya sebagai

korban Jepang dalam Perang Dunia II. Yang “ditegaskan” oleh Uni Soviet saat itu adalah: “The right of the Chinese People’s Republic over Manchuria, the Island of Taiwan (Formosa) with all islands adjacent to it, the Pen(g) huletao Islands (the Pescadores), the Tun(g) shatsuntao (the Pratas Islands), as well as over the islands of Sishatsuntao and Chun(g) shatsuntao (the Paracel Islands, the group of the Amphitrites, and the shoal of Maxfield {sic}), and Nanshatsuntao including the Spratly.” (Sumber: Ibid) Menurut Lo Chi-kin, peneliti yang meneliti klaim Cina terhadap Spratlys dan Paracels dengan meneliti berbagai pernyataan publik yang dikeluarkan Cina dan negara-negara bersangkutan perihal klaimnya, jelas dari pernyataan di atas bahwa delegasi Soviet agaknya bingung dan tidak benar-benar memahami tata nama dari grup-grup kepulauan di Laut Cina Selatan. Pada akhirnya yang terjadi kemudian adalah pernyataan tersebut ditolak oleh konferensi. Sumber: Lo Chi-kin, China’s Policy Towards Territorial Dispute: The Case of the South China Sea Islands, (London: Routledge 1989).

64 Joshua P. Rowan, “The U.S-Japan Security Alliance, ASEAN, and the South China Sea Dispute,” dalam Asian Survey, Vol. 45, Issue 3, hal. 414-436.

Commodore Reef, yang juga diklaim oleh Filipina. Terakhir, Amboyna Cay dan the Braque Canada Reefs yang diklaim oleh Malaysia dan Vietnam. 65

Filipina mengklaim delapan pulau-pulau kecil di Spratlys berdasarkan klaim sejarah. Kalaya’an (Freedomland) yang diberikan Thomas Cloma pada tahun 1974 kepada Filipina adalah pulau-pulau ini. Cloma mengklaim diri menemukan kepulauan yang disebutnya sebagai “kumpuluan pulau, pulau pasir, ambang pasir, karang- karangan dan area penangkapan ikan, dengan total wilayah 64.976 kuadrat mil

laut.” 66 Filipina seringkali terlibat konflik, utamanya dengan Cina, dalam mempertahankan pulau-pulau ini. Di tahun 1990. Tahun 1995 Cina menduduki

Mischief Reefs yang berada dalam ZEE Filipina 1000 mil dari daratan Cina. Sejak tahun 2003, saat Cina dan Filipina melakukan kerjasama energi, konflik ini dapat diminimalisir. 67

Vietnam mempertahankan klaimnya atas keseluruhan Paracels, walau pada tahun 1976 Cina telah mengakuisisinya secara total. Hanoi mempertahankan 22 lokasi di Laut Cina selatan, termasuk West London Reef, Amboyna Cay, Pearson Reef, Sin Crowe Island, Namyit Island, Sand Cay, Barque Canada Reef dan Southwest Cay di kepulauan Spratlys. Vietnam memiliki sekitar 350 pasukan yang siaga di kepulauan

ini dan diperkirakan kini telah menjadi 1000 pasukan di tahun 1992. 68 Terakhir, Cina. Cina merupakan negara penuntut yang paling asertif. Ia

mengklaim keseluruhan Spratlys dan Paracels sebagai miliknya dengan klaim sejarah yang mundur sejauh ribuan tahun yang lalu sejak tahun 110 di Dinasti Han, juga atas ekspedisi Dinasti Ming di abad ke 18. Cina saat ini menduduki beberapa kepulauan kecil di Spratlys dan Paracels, tidak mengindahkan negara penuntut yang

lain. 69 Cina merupakan negara dengan klaim terbesar secara kekuatan maupun secara

luas wilayah –karena mengklaim hampir keseluruhan Laut Cina Selatan sebagai

65 Joshua P. Rowan, “The U.S-Japan Security Alliance, ASEAN, and the South China Sea Dispute,” dalam Asian Survey, Vol. 45, Issue 3, hal. 414-436.

66 Atas hak yang diklaimnya atas penemuannya, ia menamai kepulauan tersebut “Kalayaan” alias Freedomland. Dalam “Peta Freedomland” yang diciptakan Cloma, pulau-pulau utama seperti

Kepulauan Spratly , Itu Aba, Nam Yit dan Thitu dimasukkan dalam peta tersebut. Cloma juga menyadari bahwa terdapat persaingain klaim atas kepulauan ini. Ia mengakhiri suratnya dengan menyarankan pemerintah Filipina untuk “membawa klaim ini kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sumber: Lo Chi-kin, China’s Policy Towards Territorial Dispute: The Case of the South China Sea Islands, (London: Routledge 1989), hal. 141-142.

67 Joshua P. Rowan, “The U.S-Japan Security Alliance, ASEAN, and the South China Sea Dispute,” dalam Asian Survey, Vol. 45, Issue 3, hal 414-436.

68 Ibid. 69 Ibid.

miliknya. dengan justifikasi bahwa Kepulauan Spratlys - dinamakan Cina dengan kepulauan Nansha—dan Paracels miliknya sejak zaman Cina Kuno. Salah satu bukti sejarah yang dicoba untuk diperjuangkannya adalah dokumen Nan Zhou Yi Wu Zhi

(Records of Strange Things in the South) dari Masa Tiga Kerajaan (220-265 M). 70 Pada tahun 1991 saat Cina mengeluarkan the Law on Territorial Waters and Their

Contiguous Areas, yang secara formal mengklaim keseluruhan Laut Cina Selatan sebagai miliknya. 71 Dengan kekuatannya yang relatif besar, Cina merupakan ancaman

terbesar bagi negara-negara pengklaim lain.