Insentif Konflik di Laut Cina Selatan

2.4. Insentif Konflik di Laut Cina Selatan

Data-data dalam sub-bab ini adalah data untuk memperkuat argumen bahwa seharusnya konflik terjadi, sehingga memperjelas anomali yang ada, sekaligus menjadi data penunjang bagi analisis.

73 Yang dimaksud adalah pendudukan seluruh perairan yang diklaim sebagai laut wilayah.

Dengan menggunakan cultural competence-nya sebagai penduduk Asia Tenggara, 74 berdasar pada argumen-argumen peneliti seperti Goh, Leifer dan

Acharya, penulis menyimpulkan bahwa beberapa hal yang dapat mendorong konflik di Laut Cina Selatan antara lain adalah: historical enmity, 75 nilai strategis Laut Cina

Selatan dan inefektivitas institusi/rezim.

2.4.1. Historical Enmity Historical enmity (permusuhan historis) tercipta karena sejarah konfliktual kawasan. Terkait Laut Cina Selatan, sudah sejak dulu negara-negara pengklaim berebut atasnya. Untuk memahami seberapa dalam permusuhan mereka kita harus membahas beberapa sengketa militer dan diplomatik yang pernag terjadi dalam sejarah persaingan mereka.

2.4.1.1. Vietnam dan Cina Pada tahun 1974 konflik terjadi antara Cina dan Vietnam Selatan karena memperebutkan kepulauan Paracels. Sejak awal kedua negara memang tidak memiliki hubungan diplomatik yang baik karena klaim keduanya. Dalam serangan tersebut, pasukan Vietnam Selatan dikalahkan dan mundur dari Kepulauan Paracels. Pasukan Vietnam Selatan kewalahan oleh pasukan Cina yang lebih superior dan dikalahkan dalam waktu dua hari. Sumber militer di Vietnam Selatan mengatakan bahwa 14 kapal perang Cina, termasuk empat guided missile destroyers, dikerahkan

dalam misi itu bersamaan dengan empat MiG-21 dan MiG-23. 76 Skenario yang dipercaya terjadi dalam konflik tersebut adalah bahwa, selama

16 – 18 Januari 1974, percikan pertempuran kecil terjadi antara kapal Cina dan Vietnam Selatan yang saling berkejaran dan saling bersembunyi diantara pulau-pulau kecil di sana. Percikan pertemupuran kecil ini memuncak menjadi pertempuran yang

74 Cultural competence mengacu kepada pengetahuan yang secara unik kita punya sebagai warga Asia Tenggara, perihal kasus ini, yang dapat dianggap kebenaran mutlak, sebab kita sendiripun adalah

sumber data yang valid dalam penelitian apapun mengenai Asia Tenggara, tergantun kebutuhan penelitian.

75 Evelyn Goh, “Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia: Analyzing Regional Security Strategies,” dalam International Security 32, No. 3 (Winter 2007/08), hal. 132-148; Michael Leifer,

”Stalemate in the South China Sea,” Publikasi Asia Research Center, London School Economics and Political Sciences, diunduh dari http://community.middlebury.edu/~scs/docs/leifer.pdf; dan Amitav Acharya, Constructing Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order, (London: Routledge, 2001), Bab 5: “Managing Intra-Regional Relations.”

76 Lo Chi-kin, China’s Policy Towards Territorial Dispute: The Case of the South China Sea Islands, (London: Routledge, 1989), hal. 56.

serius pada dini hari 19 Januari 1974. 77 Walau demikian, perihal dimulainya konflik, Cina dan Vietnam Selatan memiliki skenario masing-masing dimana keduanya saling

menuduh satu sama lain sebagai pihak yang menyerang duluan. Dikatakan bahwa penyerangan Cina tersebut didorong oleh keputusan pemerintah Vietnam Selatan pada September 1973 untuk memasukkan kepulauan Spratlys kedalam wilayah administratif Provinsi Phuoc Tuy. Keputusan tersebut dibuat menyusul rekomendasi dari Dewan Minyak Nasional Vietnam Selatan. Rekomendasi tersebut disampaikan sebagai hasil dari diberikannya konsesi minyak kepada sejumlah perusahaan minyak internasional dan konsorsium untuk eksplorasi di

lepas pantai Vietnam Selatan pada Juli 1973. 78 Inilah insentif energi bagi konfik. Kondisi lain yang mendorong Cina untuk melakukan penyerangan

berhubungan dengan konteks dunia pada masa Perang Dingin: keputusan Amerika Serikat untuk mengurangi bantuan militernya ke Vietnam Selatan. Karena hal tersebut, Vietnam Selatan terpaksa mengambil kebijakan untuk mengurangi kekuatan

militernya di segala lini, termasuk di Laut Cina Selatan. 79 Akibatnya, hanya ada sedikit prajurit Vietnam Selatan untuk bertahan di Laut Cina Selatan dan saat Cina

menyerang merekapun kewalahan. Pasca pertempuran ini, selama tahun 1970an hingga awal 1980an, sengketa antara kedua negara ini menjadi semakin intensif.

Pada saat Vietnam telah terunifikasi, sejarah berulang. Pada Februari dan Maret 1987, angkatan laut Vietnam dan Cina melakukan aksi saling tembak di area kepulauan Nansha (Spratlys), yang menimbulkan korban bagi kedua belah pihak. Pada Maret 1988 aksi saling tembak itu akhirnya berubah menjadi konfrontasi militer yang serius antara kedua negara. Konfrontasi tersebut terjadi di sekitar Chigua Jiao

Atoll (Johnson Reef) dan di Yongshu Jiao Reef (Fiery Cross Reef). 80 Salah satu faktor pendorong lain terhadap konflik ini adalah kekecewaan Cina

akan Vietnam yang mengubah posisinya dan tidak lagi mendukung klaim Cina atas Laut Cina Selatan, seperti ketika ia masih dibawah rezim Vietnam Utara dahulu. Konflik ini merupakan salah satu konflik yang paling menciptakan kebencian historis masyarakat Vietnam terhadap Cina, yang masih diekspresikan masyarakat hingga sekarang.

77 Lo Chi-kin, China’s Policy Towards Territorial Dispute: The Case of the South China Sea Islands, (London: Routledge, 1989), hal. 56.

78 Ibid, hal. 55. 79 Lihat http://www.globaltimes.cn/SPECIALCOVERAGE/SouthChinaSeaConflict.aspx. 80 Jianming Shen, “China's Sovereignty over the South China Sea Islands: A Historical Perspective,”

hal. 96, diunduh dari http://chinesejil.oxfordjournals.org/

2.4.1.2 Filipina dan Cina

81 Filipina bersengketa dengan Malaysia atas Kepulauan Spratlys dan bersitegang dengan Cina di awal mula sengketa ini. Awal klaim Filipina tidak begitu

berbeda dari yang lainnya, tidak pernyataan resmi apapun sampai ketika pulau ini ditemukan pada 1956 oleh Tomas A Cloma. Sebelum kisah Cloma ini, telah dicatat juga bahwa tahun 1946, Filipina telah mengeluarkan pernyataan melalui Kementrian Luar Negerinya bahwa “ the ‘New Southern Islands’ (istilah yang digunakan oleh

Jepang bagi seluruh pulau di Laut Cina Selatan) harus diberikan kepadanya.” 82 Berdasarkan atas surat dari Tomas Cloma ini, Filipina mulai mengklaim

Spralys. Karena perubahan posisinya ini pemerintah Filipina kemudian menerima kecaman dari masyaraat Cina. Shao Hsun-cheng, Profesor Ilmu Sejarah di Universitas Beijing menulis kan bahwa “Spratly telah menjadi bagian dari wilayah Cina bahkan

sebelum Magellan menemukan Filipina.” 83 Sejauh ini, respon antara kedua belah pihak masih berada di ranah informal.

Pada 1971 barulah isu ini menjadi formal, ketika pada tanggal 10 Juli Presiden Ferdinand Marcos mengeluarkan pernyataan resmi untuk pertama kalinya. Dalam pernyataan tersebut, tiga hal menjadi isu utama: Pertama, karena kedekatan jarak Itu Aba (disebut “Ligaw” oleh Filipina) dekat dengan Filipina, kehadiran prajurit Taiwan (dan prajurit-prajurit militer negara manapun) menjadi “ancaman serius” bagi keamanan nasional Filipina; kedua, pemerintah Filipina menegaskan lagi bahwa kepulauan Spratly dianggap berada di bawah perwalian de facto dari Kekuatan Sekutu, sehingga tidak ada negara yang boleh menempatkan pasukannya tanpa seizin Sekutu; ketiga, Filipina menegaskan lagi posisinya di tahun 1956 tentang 53 pulau “Freedomland”—pulau-pulau diluar Spratlys yang ditemukan oleh warga negara

Filipina, Tomas Cloma, yang dianggap dianggap berada dalam status res nullius 84 sebelum ditemukan. 85

Empat tahun kemudian dalam kunjungan Marcos ke Cina pada Juni 1975, barulah untuk pertama kalinya isu ini dibicarakan oleh kedua negara dalam pertemuan

81 Sengketa Kepulauan Paracel hanya antara Cina dan Vietnam. 82 Lo Chi-kin, China’s Policy Towards Territorial Dispute: The Case of the South China Sea Islands,

(London: Routledge, 1989), hal. 140. 83 Ibid, hal. 142.

84 Asas dalam hukum yang berarti bahwa sebuah objek hukum tertentu (yang bisa dimiliki) belum menjadi milik subjek tertentu. Objek seperti ini biasanya dianggap ownerless, sehingga

kepemilikannya bebas menjadi milik siapa saja (yang menemukannya).

85 Lo Chi-kin, China’s Policy Towards Territorial Dispute: The Case of the South China Sea Islands, (London: Routledge, 1989), 145-146.

Pembicaraan dalam kunjungan ini juga tidak berkontribusi signifikan dalam konteks penyelesaian sengketa wilayah Laut Cina Selatan, karena walaupun berhasil menghasilkan joint-communique antara kedua belah pihak, tidak satupun hal tentang kepulauan Spratly disebutkan dalam joint-communique tersebut. Dua tahun kemudian, pada Juli 1977, Menteri Luar Negeri Huang Hua memperingatkan bahwa “tidak ada eksploitasi sumber daya alam di Spratlys dan dasar laut di sekitarnya yang valid untuk dilakukan tanpa seizin pemerintah Cina.” Saat itu, tidak ada negara lain yang melakukan eksplotasi sumber daya alam di wilayah tersebut selain Filipina, sehingga

jelas bahwa Filipina adalah target dari peringatan tersebut. 86 Sejak saat itu, ketegangan antara Filipina dan Cina terus berlanjut hingga

sekarang. Demikian pula, sesungguhnya, dengan sengketa antara Filipina dengan negara pengklaim lain seperti Vietnam. Dalam masa-masa persaingan klaim di era 1970an-1990an ini Filipina dan Vietnam sebenarnya pernah terlibat aksi baku tembak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam sejarah terdapat juga sengketa antar negara-negara Asia Tenggara, bukan hanya sengketa melawan Cina.

2.4.1.3 Malaysia - Cina - Vietnam Dalam konteks sejarah sengketa di Spratlys, Malaysia merupakan negara

terakhir yang bergabung. Klaimnya terhadap beberapa pulau di kelompok Spratlys tidak menjadi publik hingga Desember 1979, ketika Kuala Lumpur mempublikasikan peta resmi batas landas kontinen Kerajaan Malaysia. Pada peta tersebut, beberapa pulau dan karang-karangan dalam grup Spratlys dimasukkan kedalam teritori Malaysia, antara lain Amboyna Cay (Pulak Kecil Amboyna), Commodore Reef (Terumba Laksamana) dan Swallow Reef (Terumba Layang-Layang). Dua pulau yang pertama tadi diklaim oleh Vietnam, Filipina, Cina dan Taiwan. Sementara Swallow Reef diklaim oleh semua negara yang terlibat kecuali Filipina. Bagi negara-negara lain yang bersengketa, klaim Malaysia merupakan suatu kejutan, karena Malaysia tidak pernah menunjukkan ketertarikan terhadap kepulauan tersebut sebelumnya. Yang pernah dilakukan Malaysia hanya melakukan protes informal pada tahun 1975,

86 Lo Chi-kin, China’s Policy Towards Territorial Dispute: The Case of the South China Sea Islands, (London: Routledge, 1989), hal. 151.

ketika Cina mempublikasikan petanya yang menunjukkan batas kedaulatan teritorial Cina yang sangat dekat dengan Sabah dan Sarawak. 87

Melihat konteks dimana Malaysia mengklaim pulau-pulau di atas atas nama Batas Landas Kontinen, nampaknya hal ini ada hubungannya dengan penandatangannya terhadap Konvensi Batas Landas Kontinen 1958 di tahun 1964. Dengan demikian, batas landas kontinen alias alasan geografis lah justifikasi Malaysia mengklaim tiga pulau tersebut. Seperti yang dikonfirmasi oleh Wakil Menteri Urusan Hukum Malaysia pada 19 Mei 1983: “hak Malaysia atas Amboyna Cay adalah

masalah geografi sederhana.” 88 Di kemudian hari diketahui bahwa klaim geografis ini tidak sepenuhnya benar.

Malaysia membawa klaimnya lebih jauh pada tahun 1983, ketika ia mengirimkan pasukannya untuk menduduki Swallow Reef. Okupasi ini pertama kali dilaporkan oleh pers Malaysia pada 4 September 1983. Mengetahui hal ini, Vietnam langsung mengajukan protes. Namun reaksi Malaysia, tentunya, adalah bahwa teritori tersebut sejak awal memang sudah menjadi milik Malaysia.

2.4.1.4. Brunei - Malaysia Brunei Darussalam pertama kali melakukan klaimnya pada tahun 1982. Klaim tersebut dibuatnya atas Louisa Reef, semacam karang-karangan kecil dalam kepulauan Spratlys. Louisa Reef ini masuk juga kedalam klaim Cina dan Malaysia. 89 Setahun setelah Brunei melakukan klaim ini, Malaysia segera mengirimkan pasukan untuk membuat mercusuar di karang-karangan itu. Brunei, karena itu, merupakan satu-satunya negara pengklaim yang tidak memiliki okupasi atas pulau yang diklaimnya. Karenanya, klaim Brunei atas karang ini lebih dilihatnya sebagai isu persaingan bilateral dengan Malaysia. Walau demikian Brunei tidak mengakui klaim Cina dan menyadari bahwa sengketa ini bersifat multilatral dan dengan

demikian membutuhkan solusi multilateral. 90

87 Lo Chi-kin, China’s Policy Towards Territorial Dispute: The Case of the South China Sea Islands, (London: Routledge, 1989), hal. 155.

88 Ibid, hal. 156. 89 Sumber: Ian Storey, “China’s Thirst for Energy Fuels Improved Relations with Brunei,” dalam

China Brief, Volume: 5 Issue: 24, diakses dari http://www.jamestown.org/single/?no_cache=1&tx_ttnews[tt_news]=3913

90 Lo Chi-kin, China’s Policy Towards Territorial Dispute: The Case of the South China Sea Islands, (London: Routledge, 1989), hal. 156.

Selama Perang Dingin Brunei berada dibawah protektorat Inggris, sejak tahun 1888. Bisa dibiliang, segala kebijakan luar negerinya saat itu merupakan pengaruh Inggris. Baru pada saat ia merdeka tahun 1983, tepatnya tanggal 31 Desember,

kebijakan luar negerinya bisa dianggap sebagai miliknya. 91 Setahun setelah kemerdekaannya, secara resmi Brunei mengumumkan Louisa Reef sebagai ZEEnya. 92

2.4.2. Nilai Strategis Laut Cina Selatan Selain historical enmity, insentif konflik di Laut Cina Selatan adalah nilai strategisnya. Nilai strategis adalah nilai-nilai yang menunjukkan betapa berguna dan berharganya lautan ini. Nilai-nilai strategis tersebut antara lain adalah nilai strategis fisik, nilai geostrategis dan potensi energi di Laut Cina Selatan.

2.4.2.1 Nilai Strategis Fisik Laut Cina Selatan mencakup 4 juta km 2 area perairan yang terdiri atas 1,7 juta

km 2 landas kontinen dengan kedalaman dibawah 200 meter isobath dan sekitar 2,3 juta km 2 dasar laut dengan kedalaman lebih dari 200 meter isobath. Di perairan ini

terdapat sekitar 200 pulau, kebanyakan diantaranya tidak layak huni, sehingga pada sejak awal tidak pernah menjadi subjek dari kedaulatan tertentu. Walau demikian keberadaan pulau-pulau ini penting karena alasan-alasan ekonomis, strategis, politis,

serta legal. 93 Karena keberadaan pulau-pulau tak layak huni ini, negara-negara di sekitarnya dapat melakukan aksi-aksi yang akan mendukung proyeksi kekuatannya

maupun formalisasi klaimnya, seperti membangun pangkalan laut, lokasi pemancingan, maupun infrastruktur lainnya.

Kepulauan Paracel terdiri atas 30 pulau-pulau kecil, kepulauan pasir dan karang-karangan, yang mencakup lebih dari 15.000 km² permukaan laut. Kepulauan ini memiliki letak yang dekat dengan garis pantai Cina dan Vietnam. Kepulauan ini terdiri atas dua kelompok besar: Amphitrite Group dan Crescent Group yang terletak

sekitar about 70 km dari satu sama lain. 94

91 Lo Chi-kin, China’s Policy Towards Territorial Dispute: The Case of the South China Sea Islands, (London: Routledge, 1989), hal. 156.

92 “Territorial Claims in the Spratly and Paracel Islands,” Global Security, diakses dari http://www.globalsecurity.org/military/world/war/spratly-claims.htm

93 Hasjim Djalal, Indonesia and The Law of The Sea, (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1995), hal. 365.

94 Monique Chemillier-Gendreau, Sovereignty over the Paracel and Spratly Island, (The Hague: Kluwer Law International: 1996, hal. 56.

Kepulauan Spratly terdiri atas 750 karang-karangan, pulau-pulau kecil, pulau pasir, pulau besar, dll. Kepulauan ini terbentang dari lepas pantai barat daya Filipina ke Malaysia (Sabah), hingga ke lepas pantai di selatan Vietnam. Kepulauan ini

menutupi lebih dari 425,000 km 2 permukaan laut. Sama dengan Paracels, kebanyakan pulau di Spratlys tidak layak dihuni dan

sekilas tidak memiliki nilai ekonomi tinggi. Tapi karena ia begitu penting bagi pendefinisian batas-batas internasional negara-negara di sekitarnya, negara-negara tersebut juga saling mengklaim atasnya. Mereka berlomba-lomba membangun infrastruktur dan sekitar 45 pulau kini telah diokupasi oleh sekelompok kecil kekuatan militer negara-negara tersebut.

2.4.2.2 Nilai Geostrategis Laut Cina Selatan merupakan salah satu jalur laut paling penting di dunia.

Posisinya yang menghubungkan negara-negara berkembang Asia Timur, Asia Tenggara, ke Samudera Hinda yang kemudian akan menghubungkan mereka dengan Asia Selatan dan Timur Tengah membuatnya penting. Kareanya lokasi yang strategis, ia menjadi jalur yang begitu penting bagi perdagangan dunia. Perlu diketahui bahwa 90% perdagangan dunia terjadi via lautan dan 45% diantaranya terjadi di wilayah

Laut Cina Selatan. 95 Jepang sendiri sangat tergantung dengan keberadaan perairan ini karena 80% dari seluruh aktivitas perdangannya terjadi di perairan ini. 96 Amerika

Serikat juga hadir di kawasan ini karena nilai strategisnya yang penting, salah satunya untuk menjaga freedom of navigation, 97 agar kapal-kapal dagangnya, serta kapal

dagang aliansi-aliansinya, bisa melewati perairan ini.

2.4.2.3. Potensi Energi Laut Cina Selatan Laut Cina Selatan diperkirakan memiliki kandungan hidrokarbon dan minyak

bumi dalam jumlah yang besar, 98 sehingga cukup wajar bila kemudian perairan ini diperebutkan. Departemen Energi Cina melihat kemungkinan produksi total 213

milyar barel dengan prediksi 1.4 - 1.9 juta barel per hari Kawasan perairan ini, denan demikian, akan menjadi penting bagi masa depan negara-negara Asia Tenggara dan

95 Joshua P. Rowan, “The U.S-Japan Security Alliance, ASEAN, and the South China Sea Dispute,” dalam Asian Survey, Vol. 45, Issue 3, hal. 414-436

96 Baca: Hasjim Djalal, Indonesia and The Law of The Sea, (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1995).

97 Ibid, hal. 368-369. 98 Ibid, hal. 366.

Cina di masa depan yang konsumsi energinya terus meningkat dalam jumlah rata-rata 4% dalam 20 tahun. 99

Cina merupakan kekuatan terbesar di kawasan, yang saat ini ekonominya sedang berkembang, sehingga membutuhkan jaminan ketersediaan energi untuk masa depan. Diprediksi oleh para analis bahwa pada tahun 2050 Cina akan memiliki PDB tertinggi di dunia, dengan pengeluaran militer yang diperkirakan tumbuh 11.8 persen

tiap tahunnya. 100 Keuntungan populasi, luas wilayah dan penguasaannya atas teknologi 101 menjadi katalisator supremasinya, ditambah dengan kapabilitas militernya yang paling tinggi di kawasan. 102 Dengan kondisi tersebut, Cina adalah

negara dengan potensi tertinggi untuk menjadi penentu agenda dalam kawasan. Bukan tidak mungkin keberadaan potensi energi ini bisa menjadi insentif bagi Cina untuk membawa sengketa yang ada ke tingkat yang lebih lanjut, yaitu perang, agar ia bisa memastikan agenda tersebut dan menjadi polisi di kawasan, agar ia dapat memastikan tercukupinya kebutuhannya. Sesuai dengan asumsi neorealisme, semua demi survival.

2.4.2.4 Inefektivitas Rezim/Institusi Rezim/Institusi yang kuat akan mengatur perilaku negara, seperti bagaimana

aliansi mendikte kewajiban bagi untuk berkorban demi survival negara sesame anggota. Rezim-rezim yang memayungi Laut Cina Selatan tidak seefektif aliansi dalam memastikan berakhirnya tensi. Rezim tersebut adalah UNCLOS, ASEAN dan DOC. DOC akan dibahas terpisah walaupun diciptakan oleh ASEAN.

UNCLOS Saat ini instrumen hukum di tingkat global yang diharapkan bisa mengatur masalah di Laut Cina Selatan, termasuk aktivitas perdagangan, eksplorasi dan

99 Hasjim Djalal, Indonesia and The Law of The Sea, (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1995), hal. 366.

100 Office of Secretary of Defense, “Military and Security Developments Involving People’s Republic of China, 2010; A Report to Congress, Pursuant to the National Defense Authorization Act for Fiscal

Year 2010”, 2010. 101 Merupakan instrumen-instrumen yang penting bagi dan dapat dikategorikan sebagai hard power.

Untuk penjelasan lebih lanjut baca Joseph S. Nye, Jr., Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History, (New York: Harper Collins College Publishers, 1993).

102 Lebih lengkapnya baca “Military and Security Developments Involving People’s Republic of China, 2010; A Report to Congress, Pursuant to the National Defense Authorization Act for Fiscal Year

2010”, “Military Power of the People’s Republic of China, 2009; A Report to Congress, Pursuant to the National Defense Authorization Act for Fiscal Year 2009” dan “Military Power of the People’s Republic of China, 2008; A Report to Congress, Pursuant to the National Defense Authorization Act for Fiscal Year 2008.” 2010”, “Military Power of the People’s Republic of China, 2009; A Report to Congress, Pursuant to the National Defense Authorization Act for Fiscal Year 2009” dan “Military Power of the People’s Republic of China, 2008; A Report to Congress, Pursuant to the National Defense Authorization Act for Fiscal Year 2008.”

terhuni di kepulauan di Laut Cina Selatan. 103 Aturan tentang batas landas kontinen mengatur tentang lereng kontinen 104

Kriteria yang dipakai untuk menentukan kapan habisnya landas kontinen ialah disaat dasar laut secara tajam menurun dan penurunan ini biasanya terjadi pada kedalaman laut 200 meter. Namun definisi tersebut lebih ke arah definisi hukum, bukan definisi geologis. Hal tersebut disebabkan oleh fakta bahwa konvensi hanya mengatur landas kontinen yang berada di luar laut wilayah sampai kedalaman 200 meter atau lebih. Inilah yang membedakan dari definisi geologis karena secara geologis landas kontinen itu dimulai dari tepi pantai. Batas luar landas kontinen tidak akan boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman (isobath) 2.500 meter.

Aturan tentang Zona Ekonomi Eksklusif (Konvensi 1982 Pasal 57) menentukan bahwa lebar zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut wilayah diukur. Sebenarnya lebar zona ekonomi tersebut dikurangi 12 mil Laut Wilayah, atau hanya 188 mil laut saja, dengan hak yang berbeda dengan Laut Wilayah. Negara memiliki kedaulatan penuh atas Laut Wilayah, namun untuk zona ekonomi hanya hak berdaulat dengan tujuan

eksploitasi sumber-sumber kekayaan yang terdapat di daerah laut tersebut. 105 Dalam pelaksanaan hak berdaulat tersebut telah ditetapkan dalam Pasal 73 Konvensi:

“..negara pantai dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu seperti pemeriksaan, penangkapan kapal-kapal maupun melakukan proses peradilan terhadap kapal-kapal yang melanggar ketentuan-ketentuan yang dibuat negara pantai. “

103 Joshua P. Rowan, “The U.S-Japan Security Alliance, ASEAN, and the South China Sea Dispute,” dalam Asian Survey, Vol. 45, Issue 3, hal. 414-436.

104 Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2010), hal. 340.

105 Ibid, hal. 362.

Walaupun pasal yang dikutip diatas menyebutkan demikian, bukan berarti negara pantai dapat berbuat semaunya, bagian laut tersebut (ZEE) tetap dapat dipergunakan oleh negara lain sebagai laut lepas, seperti yang disinggung dalam Pasal

87 Konvensi tentang kebebasan di laut lepas. Aturan tentang Laut Wilayah Dalam Pasal 15 Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur bahwa:

“Where the coasts of two States are opposite or adjacent to each other, neither of the two States is entitled, failing agreement between them to the contrary, to extend its territorial sea beyond the median line every point of which is equidistant from the neares points on the baselines from which the breadth of the territorail seas of each of the two States is measured. The above provision does not apply, however, where it is necessary by reason of historic title or special circumstances to delimit the territorial seas of the two States in a way which is at variance

therewith.” 106

Pasal diatas menekankan pada penggunaan prinsip garis tengah (median line) dalam menentukan garis batas laut wilayah kecuali ada alasan hak historis atau keadaan lain. Namun dengan instrumen hukum selengkap ini, sengketa tetap terjadi karena keengganan negara-negara untuk mengambil jalur hukum internasional. Inilah yang menjadi masalah besar dari sisi inevektifivitas rezim di tingkat internasional. Bahkan ketika rezim di tingkat internasionalpun tidak dapat menyelesaikan permasalahan, sangat rentan bagi kawasan yang memiliki persengketaan untuk menjadi instabil, seperti contoh yang bisa kita ambil adalah konflik Israel-Palestina. Walau demikian, sengketa ini tidak pernah terekskalasi menjadi perang besar dalam dua puluh tahun terakhir.

ASEAN ASEAN (Association of Southeast Asian Nation) merupakan institusi keamanan, satu-satunya, yang semestinya dan seyogyanya memayungi kasus Laut

Cina Selatan, karena ia beranggotakan hampir semua negara yang bersengketa. 107 Ia

106 Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2010), hal. 362.

107 Cina menjadi anggota ASEAN Regional Forum, Forum keamanan dibawah ASEAN, salah satu rezim ASEAN, karena itu dapat dibilang Cinapun seharusnya dapat diatur oleh ASEAN dalam jarak

tertentu.

memiliki misi menjadi Komunitas Keamanan, karena itu seharusnya dan seyogyanya institusi ini tegas dalam memastikan kawasan yang bebas konflik. 108

Terdapat beberapa hal yang membuat ASEAN tidak dapat menjadi institusi yang efektif dalam penyelesaian sengketa. Yang pertama adalah absennya lembaga dalam ASEAN yang bisa menjadi instrumen pemaksa dalam penyelesaian sengketa- sengketa yang ada, termasuk Laut Cina Selatan. Lembaga yang dimaksud sebenarnya adalah ASEAN High Council, namun Council ini deaktif sampai sekarang. Kedua, adanya keengganan dalam membahas kasus-kasus sengketa perbatasan yang sensitf, termasuk Laut Cina Selatan. Michael Leifer menyebutkan faktor ini dan menjelaskan lebih lanjut bahwa Negara-negara ASEAN lebih memilih penyelesaian tidak

langsung, seperti pengadaan workshop dan confidence building measure 109 (misalnya via ASEAN Regional Forum). Ketiga, suara negara-negara Asia Tenggara tidak

bersatu dalam merespon keberadaan Cina dan masalah-masalah yang dibawanya, seperti klaimnya atas keseluruhan Spratlys dan Paracels yang akan membuat seluruh

Laut Cina Selatan jadi miliknya, jika klaim direalisasikan. ASEAN sebagai institusi

yang memayungi urusan Laut Cina Selatan seyogyanya digerakkan untuk menyelesaikan sengketa ini. Namun konflik intra-ASEAN sendiri perihal status kepemilikan lautann ini –sekaligus juga konflik intra-ASEAN lainnya, menjadi halangan terhadap adanya satu kesatuan ASEAN. Negara-negara ASEAN menjadi negara yang sendirinya bersaing dengan satu sama lain atas Laut Cina Selatan.

Acharya, mensinyalir “mini arms race” diantara negara-negara ASEAN tersebut, 110 sehingga sulit untuk membayangkan adanya satu suara ASEAN akan dengan damai

menyelesaikan kasus ini dan bergabung menentang Cina dalam waktu tekat.

Ralf Emmers mengatakan bahwa ASEAN memiliki absence of associative dimension karena tidak pernah benar-benar menyelesaikan konflik ini secara

multilateral dan hanya meresponnya secara bilateral. 111 ASEAN juga memiliki nilai

108 Baca Michael Leifer, ”Stalemate in the South China Sea,” Publikasi Asia Research Center, London School Economics and Political Sciences, diunduh dari

http://community.middlebury.edu/~scs/docs/leifer.pdf 109 Michael Leifer, ”Stalemate in the South China Sea,” Publikasi Asia Research Center, London

School Economics and Political Sciences, diunduh dari http://community.middlebury.edu/~scs/docs/leifer.pdf

110 Amitav Acharya, Constructing Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order, (London: Routledge, 2001).

111 Baca Bab 6: “ASEAN’s post-Cold War Involvement in the South China Sea Dispute: The Relevance of Associative and Balance of Power Dimensions,” dari Ralf Emmers, Cooperative Security

and The Balance of Power in ASEAN and the ARF, ( London: Routledge Curzon: 2004).

yang kontra-produktif bagi penyelesaian konflik. Antara lain: prinsip non-intervensi dan prinsip konsensus, serta nilai-nilai lain yang kita kenal sebagai “ASEAN Way.”

“ASEAN Way” menjadi nilai-nilai yang juga dipegang dalam mekanisme resolusi konflik Laut Cina Selatan. Karena itu, mekanisme tersebut tidak berkembang menjadi rezim yang memaksa dan keberhasilan yang diharapkan hanya sekedar melakukan manajemen konflik dan menjembatani komunikasi antar negara

anggotanya. 112 Dengan demikian, dalam penanganan sengketa yang melibatkan

negara luar kawasan, mekanisme resolusi konflik ASEAN menjadi tidak efektif.

Declaration of the Code of Conduct of the South China Sea ASEAN sedang dalam tahap untuk menciptakan suatu peraturan yang diharapkan bisa mengatur dan memanajemen aktivitas bersama di Laut Cina Selatan. Aturan tersebut adalah Code of Conduct of the South China Sea yang sampai pada tahun dimana skripsi ini dimulai, masih berbentuk deklarasi yang tidak mengikat hukum. Deklarasi yang dimaksud adalah 2002 Declaration on the Code of Conduct of the South China Sea (DOC).

DOC dikembangkan dari ASEAN Declaration on the South China Sea, tahun 1992, ketika ASEAN pertama kali mencoba memiliki satu posisi dalam menyikapi kehadiran Cina di Laut Cina Selatan. Deklarasi ini secara implisit merupakan respon atas aksi Cina yang pada tahun yang merilis Law on the Territorial Sea–nya pada 25 Februari 1992, yang menegaskan kepemilikan Cina atas keseluruhan kepulauan Spratlys dan Paracels –maka seluruh Laut Cina Selatan. Walau tidak mengikat hukum, deklarasi ini merupakan komitmen negara untuk menjaga perdamaian dan mau mengeksplorasi bersama. Namun, komitmen hanya komitmen jika tidak diikuti oleh efek gentar yang datang dari pemaksaan pertanggung jawaban jika komitmen dilanggar. Jika rezim tidak mampu menjadi pemaksa hal ini, maka suatu rezim disebut inefektif.

Efektivitas DOC sangat diragukan karena sebagai rezim mengikat hukum. DOC yang belum mengikat hukum tidak akan efektif karena nilainya yang hanya berupa norma saja. Untuk menciptakan kerjasama regional yang efektif, Cina dan ASEAN benar-benar harus berkomitmen terhadap DOC dan mulai menciptakan COC

112 Baca Bab 1 “Regimes for Cooperative Security: The Formation and Institutional Evolution of ASEAN and the ARF” dari Ralf Emmers, Cooperative Security and The Balance of Power in ASEAN

and the ARF, (London: Routledge Curzon: 2004).

yang mengikat hukum, sehingga negara-negara ASEAN dapat bernapas lega dari potensi ancaman Cina. 113 Jika aturan yang legally-binding itu belum ada sampai

sekarang, efektivitas norma tersebut dalam menciptakan kepatuhan akan sangat dipertanyakan sehingga tidak bisa digunakan untuk menuntut pertanggung jawaban kepada siapapun jika konflik terjadi. Karena inefektivitas rezim inilah Laut Cina

Selatan menjadi ‘flashpoint of conflict.’ 114 Inefektivitas institusi/rezim ini menjadi faktor ekstrinsik yang bisa memicu konflik, 115 selain faktor-faktor yang telah

disebutkan diatas. Dengan aturan yang masih belum mengikat hukum ini, sulit untuk membayangkan bahwa komitmen untuk damai akan selalu terjaga. Mengikuti asumsi realis, negara akan melakukan apapun jika terdesak, demi mempertahankan survivalnya, termasuk merebut seluruh sumber energi jika kebutuhannya meningkat. Ketika itu terjadi, DOC tidak akan dapat mencegahnya.

Dalam 20 tahun ini, inefektivitas rezim terjadi atas Laut Cina Selatan. Walau demikian, stabilitas terjaga dan sengketa tidak mengekskalasi menjadi perang besar, yang berarti ada disinsentif yang lebih besar terhadap konflik. Meninjau sisi balance of power-nya, mempertimbangkan studi kasus diatas, pasti ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan apa yang ditawarkan Kenneth Waltz. Bab berikutnya akan membahas hal-hal yang dapat memicu ketidaksesuaian tersebut dan membahas relevansi teori Kenneth Waltz berdasarkan studi kasus yang telah dilakukan.

113 Tran Truong Thuy, “Recent Developments in the South China Sea: Implications for Regional Security and Cooperation,” CSIC Southeast Asia Program, June 30 2011.