Karakteristik Pasien Retinoblastoma Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008-2011

(1)

KARAKTERISTIK PASIEN RETINOBLASTOMA DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TAHUN 2008-2011

Oleh:

HASIHOLAN SACHDAPUL

090100162

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Karakteristik Pasien Retinoblastoma Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008-2011

Nama : Hasiholan Sachdapul NIM : 090100162

Pembimbing Penguji I

dr. Ruly Hidayat, Sp.M dr. Rusdiana, M.Kes NIP. 19740918 200501 1 001 NIP. 19710915 200112 2 002

Penguji II

dr. Jessy Chrestella, Sp. PA

NIP. 198201132 00801 2 006

Medan, 15 Januari 2013

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH. NIP. 19540220 198011 1 001


(3)

ABSTRAK

Retinoblastoma adalah keganasan neuroektodermal yang berasal dari sel-sel embriyonik retina sensoris dan merupakan keganasan primer intraokular yang paling sering terjadi pada anak, mewakili sekitar 3% dari semua kasus keganasan pada anak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien retinoblastoma di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008-2011 dengan mengumpulkan data rekam medis pasien. Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode cross sectional.

Dari penelitian ini,didapati penderita retinoblastoma lebih banyak diderita oleh jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 20 (54,1%) dibandingkan dengan perempuan yang berjumlah 17 (45,9%). Penderita retinoblastoma paling banyak terjadi pada usia 0-5 tahun dengan jumlah pasien 34 (91,9%). Angka kejadian retinoblastoma unilateral berjumlah 33 (89,2%) dan pasien retinoblastoma bilateral berjumlah 4 (10,8%). Keluhan utama terbanyak pada pasien retinoblastoma adalah proptosis yang dialami oleh 24 (64,9%) pasien, diikuti leukokoria yang dialami 11 (29,7%) pasien dan terakhir gangguan penglihatan yang dialami 2 (5,4%) pasien. Pasien retinoblastoma terbanyak berasal dari Sumatera Utara dengan jumlah 26 (70,3%), namun jumlah pasien dari luar Sumatera Utara yang terbanyak berasal dari Aceh dengan jumlah 10 (27,0%), dan diikuti oleh Riau sebanyak 1 (2,7%).

Penelitian ini berkesimpulan bahwa karakteristik pasien retinoblastoma hampir sama dengan penelitian sebelumnya. Diharapkan dapat dilakukan penelitian berikutnya dengan jumlah sampel yang lebih banyak agar diperoleh informasi yang lebih representatif.


(4)

ABSTRACT

Retinoblastoma is a maligant neuroektodermal derived from embryonic sensory retina cells and the primary intraocular malignancy that most often occurs in children, representing approximately 3% of all cases of malignancy in children.

This study aimed to investigate the characteristics of retinoblastoma patients in RSUP Haji Adam Malik Medan during 2008-2011 by collecting patient medical records. The research design was a descriptive with cross sectional method.

From this study , there were 20 (54.1%) male patients and 17 (45.9%) female patients. Most sample 34 (91,9 %) were in group age 0-5 years. The incidence of unilateral retinoblastoma amounted to 33 (89.2%) and bilateral retinoblastoma patients numbered 4 (10.8%). Most patients visited the hospital due to proptosis 24 (64.9%), leukokoria 11 (29.7%) and the last, vision problems 2 (5,4%). Most retinoblastoma patients from North Sumatra by the number of 26 (70.3%), but the number of patients from outside of North Sumatra came from Aceh with the most number of 10 (27.0%), followed by Riau 1 (2.7% ).

This study concluded that the characteristics of retinoblastoma patients is similar to previous studies. It is expected to do the next study with a sample of more in order to obtain more representative information.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, karunia serta petunjuk yang telah diberikan-Nya, penelitian yang berjudul Karakteristik Pasien Retinoblastoma di RSUP H Adam Malik Tahun 2008-2011 ini dapat diselesaikan. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Penelitian ini dapat terselesaikan atas dukungan dari berbagai pihak, kepada mereka penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya, diantaranya :

1. dr. Ruly Hidayat, Sp.M selaku Dosen Pembimbing dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, atas segala ketulusan dan kesabaran dalam proses bimbingan serta ilmu yang telah diberikan.

2. dr. Rusdiana, M.Kes dan dr. Jessy Chrestella, Sp.PA selaku Dosen Penguji Karya Tulis Ilmiah ini, atas kritik dan saran yang membangun dan sangat bermanfaat.

3. Pihak RSUP H. Adam Malik Medan, terkhusus bagian Penelitian dan Pengembangan serta bagian Instalasi Rekam Medik atas kemudahan serta izin penelitian yang diberikan.

4. Ayah dan Ibu penulis, dr. Hendrik dan Vivi Nursyamsi Lubis, atas kasih sayang serta dukungan moril yang diberikan kepada penulis.

5. Nindi Lizen, Hendro Gunawan, Hafiz Syaifullah, Aris Albirru Amsal, Dani Bangun Sakti Hasibuan, M. Iqbal Rasyidin, S.Ked dan Putri Annisa Melia Sari, S.Ked yang telah membantu penulis dalam berbagai diskusi terkait Karya Tulis Ilmiah ini.

6. Rekan-rekan di PHBI FK USU yang senantiasa penulis cintai. Segala bentuk motivasi, suntikan semangat, maupun nasihat yang membangun merupakan kenangan indah yang tak terlupakan.

7. Semua pihak yang telah memberikan bantuan baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Terima kasih banyak.


(6)

Meskipun berbagai upaya dan kerja keras telah dilakukan dalam penelitian ini, penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan, sehingga penelitian ini bisa berproses menuju tahap yang lebih baik lagi.

Medan, Desember 2012 Penulis

(Hasiholan Sachdapul) 090100162


(7)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Epidemiologi Retinoblastoma 9

Tabel 2.2. Perbedaan Sifat-Sifat Onkogen dan Gen Supresor 11

Tabel 2.3. Manifestasi Klinis Retinoblastoma 17

Tabel 2.4. Klasifikasi Retinoblastoma Reese-Ellsworth 18

Tabel 2.5. Sistem Klasifikasi Internasional 19

Tabel 2.6. Diagnosis Banding 22

Tabel 3.1. Definisi Opersional Penelitian 30

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan

Jenis Kelamin 34

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan

Kelompok Usia 35

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan

Lokasi Tumor 35

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Lokasi Tumor Berdasarkan


(8)

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Lokasi Tumor Berdasarkan

Kelompok Usia 36

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan

Keluhan Utama 37

Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan

Jenis Terapi 37

Tabel 5.8. Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan


(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 1. Anatomi Mata 5

Gambar 2. Lapisan Retina 6

Gambar 3. Interaksi Rb dengan faktor trankripsi E2F 14

Gambar 4. Perluasan Ekstraokular Tumor 15

Gambar 5. Tampilan Leukokoria 16

Gambar 6. Tampilan CT-Scan Retinoblastoma Ekstraokular 20 Gambar 7. Gambaran Histopatologi Flexner-Wintersteiner Rosettes 21


(10)

ABSTRAK

Retinoblastoma adalah keganasan neuroektodermal yang berasal dari sel-sel embriyonik retina sensoris dan merupakan keganasan primer intraokular yang paling sering terjadi pada anak, mewakili sekitar 3% dari semua kasus keganasan pada anak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien retinoblastoma di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008-2011 dengan mengumpulkan data rekam medis pasien. Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode cross sectional.

Dari penelitian ini,didapati penderita retinoblastoma lebih banyak diderita oleh jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 20 (54,1%) dibandingkan dengan perempuan yang berjumlah 17 (45,9%). Penderita retinoblastoma paling banyak terjadi pada usia 0-5 tahun dengan jumlah pasien 34 (91,9%). Angka kejadian retinoblastoma unilateral berjumlah 33 (89,2%) dan pasien retinoblastoma bilateral berjumlah 4 (10,8%). Keluhan utama terbanyak pada pasien retinoblastoma adalah proptosis yang dialami oleh 24 (64,9%) pasien, diikuti leukokoria yang dialami 11 (29,7%) pasien dan terakhir gangguan penglihatan yang dialami 2 (5,4%) pasien. Pasien retinoblastoma terbanyak berasal dari Sumatera Utara dengan jumlah 26 (70,3%), namun jumlah pasien dari luar Sumatera Utara yang terbanyak berasal dari Aceh dengan jumlah 10 (27,0%), dan diikuti oleh Riau sebanyak 1 (2,7%).

Penelitian ini berkesimpulan bahwa karakteristik pasien retinoblastoma hampir sama dengan penelitian sebelumnya. Diharapkan dapat dilakukan penelitian berikutnya dengan jumlah sampel yang lebih banyak agar diperoleh informasi yang lebih representatif.


(11)

ABSTRACT

Retinoblastoma is a maligant neuroektodermal derived from embryonic sensory retina cells and the primary intraocular malignancy that most often occurs in children, representing approximately 3% of all cases of malignancy in children.

This study aimed to investigate the characteristics of retinoblastoma patients in RSUP Haji Adam Malik Medan during 2008-2011 by collecting patient medical records. The research design was a descriptive with cross sectional method.

From this study , there were 20 (54.1%) male patients and 17 (45.9%) female patients. Most sample 34 (91,9 %) were in group age 0-5 years. The incidence of unilateral retinoblastoma amounted to 33 (89.2%) and bilateral retinoblastoma patients numbered 4 (10.8%). Most patients visited the hospital due to proptosis 24 (64.9%), leukokoria 11 (29.7%) and the last, vision problems 2 (5,4%). Most retinoblastoma patients from North Sumatra by the number of 26 (70.3%), but the number of patients from outside of North Sumatra came from Aceh with the most number of 10 (27.0%), followed by Riau 1 (2.7% ).

This study concluded that the characteristics of retinoblastoma patients is similar to previous studies. It is expected to do the next study with a sample of more in order to obtain more representative information.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Retinoblastoma adalah keganasan primer intraokular yang paling sering terjadi pada anak dan mewakili sekitar 3% dari keseluruhan kasus keganasan pada anak (Kanski, 2007). Menurut American Academy of Ophthalmology (2007), frekuensi Retinoblastoma 1 : 14.000 sampai 1 : 20.000 kelahiran hidup, bergantung pada masing-masing negara.

Retinoblastoma merupakan tumor masa kanak-kanak yang jarang namun bisa berakibat fatal. Dua pertiga kasus muncul sebelum akhir tahun ketiga. Meskipun jarang, berdasarkan kasus yang dilaporkan, retinoblastoma timbul hampir di segala usia (Shetlar, 2010). Pada 90% kasus, diagnosis ditegakkan sebelum akhir tahun ketiga (Fredrick, 2010).

Sekitar 60% kasus bersifat unilateral dan non-herediter, 15 % unilateral dan herediter, dan 25% bilateral dan herediter. Keterlibatan yang bersifat bilateral ditemukan sebanyak 42% pada usia kurang dari 1 tahun (Herzog, 2004). Di kota Medan, Sebuah penelitian deskriptif yang dilakukan oleh Selvi dengan melihat rekam medik kasus retinoblastoma yang berobat ke Subbagian Hematologi-Onkologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Rumah Sakit Haji Adam Malik periode 1999-2003 memperlihatkan kejadian retinoblastoma unilateral dan bilateral paling banyak pada kelompok usia 0-5 tahun sebesar 40,6% dan 46,9%. Laki-laki lebih banyak dari perempuan pada unilateral (34,4% vs 12,5%) dan bilateral (34,4% vs 18,7%).

Retinoblastoma biasanya tidak disadari hingga tumor berkembang menjadi cukup besar sehingga menimbulkan manifestasi klinis berupa pupil putih (leukokoria), strabismus, atau peradangan (Shetlar, 2010). Pada tahap timbulnya manifestasi klinis ini, barulah orang tua membawa anaknya ke dokter. Secara umum, samakin dini penemuan dan terapi tumor, semakin besar kemungkinan untuk mencegah perluasan tumor. Maka, semua anak dengan strabismus atau


(13)

peradangan intraokular harus dievaluasi untuk mencari adanya retinoblastoma. Tumor stadium awal biasanya terlihat hanya bila dicari (Shetlar, 2010).

Dalam menentukan strategi pengobatan, tujuan pertama adalah untuk menyelamatkan kehidupan, selanjutnya menyelamatkan mata, dan terakhir untuk menyelamatkan visus (American Academy of Ophthalmology, 2007). Enukleasi adalah terapi pilihan untuk retinoblastoma dengan ukuran besar. Sedangkan tumor yang berukuran lebih kecil dapat diterapi secara efektif dengan radioterapi plaque atau external beam, krioterapi, atau fotokoagulasi laser. Kemoterapi juga dapat digunakan untuk mengobati tumor yang sudah meluas ke otak, orbita, atau ke distal dan biasanya diberikan setelah dilakukan enukleasi pada pasien dengan resiko penyebaran penyakit yang tinggi (Shetlar, 2010).

Kemoterapi dapat digunakan untuk memperkecil ukuran tumor besar sebelum dilakukan terapi jenis lain dan terkadang sebagai terapi tunggal (Shetlar, 2010). Kemoterapi digunakan untuk meminimalkan efek yang terjadi akibat modalitas terapi lain, seperti enukleasi yang dapat menyebabkan kehilangan bola mata, atau External-beam Radiation Therapy yang dapat mengakibatkan kerusakan lensa atau saraf optik akibat dari proses pengobatan yang berkaitan dengan radiasi (Kim dkk, 2003).

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti mengenai karakteristik pasien retinoblastoma di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik pasien retinoblastoma, khususnya di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.


(14)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan permasalahan penelitian ini adalah, “Bagaimanakah karakteristik pasien retinoblastoma di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2008-2011?”

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien retinoblastoma di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2008-2011.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui distribusi pasien retinoblastoma di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2008-2011 berdasarkan jenis kelamin.

2. Mengetahui distribusi pasien retinoblastoma di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2008-2011 berdasarkan kelompok usia.

3. Mengetahui distribusi pasien retinoblastoma di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2008-2011 berdasarkan lokasi tumor.

4. Mengetahui distribusi lokasi tumor pasien retinoblastoma di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2008-2011 berdasarkan jenis kelamin.

5. Mengetahui distribusi lokasi tumor pasien retinoblastoma di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2008-2011 berdasarkan kelompok usia. 6. Mengetahui distribusi pasien retinoblastoma di RSUP Haji Adam Malik

Medan Tahun 2008-2011 berdasarkan keluhan utama.

7. Mengetahui distribusi pasien retinoblastoma di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2008-2011berdasarkan jenis terapi.

8. Mengetahui distribusi pasien retinoblastoma di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2008-2011 berdasarkan asal daerah.


(15)

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi RSUP Haji Adam Malik Medan

a. Penelitian ini berguna untuk mengetahui karakteristik pasien retinoblastoma di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan jenis kelamin, usia, lokasi tumor, keluhan utama, jenis terapi dan asal daerah sehingga diharapkan berguna sebagai tambahan informasi bagi RSUP Haji Adam Malik Medan.

b. Penelitian ini diharapkan memberikan informasi sehingga dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya di RSUP Haji Adam Malik Medan yang berhubungan dengan penelitian ini.

1.4.2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini berguna untuk memberikan tambahan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat tentang karakteristik pasien retinoblastoma.

1.4.3. Bagi Peneliti

Sebagai kesempatan mengintegrasikan ilmu yang telah didapat di bangku kuliah dalam bentuk penelitian yang dilakukan secara mandiri sehingga diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan dan keterampilan peneliti.


(16)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

Struktur mata yang berkaitan erat dengan retinoblastoma adalah retina, vitreus, koroid, dan sklera. Hal ini dikarenakan pola pertumbuhan retinoblastoma yang berasal dari sel-sel retina dan dapat bersifat eksofilik (pertumbuhan ke arah luar) dan endofilik (pertumbuhan ke arah dalam) (Shetlar, 2010).

Gambar 1. Anatomi Mata (Riordan-Eva, 2010)

 Retina

Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semi transparan yang melapisi bagian dalam dua pertiga postrerior dinding bola mata. Retina membentang ke anterior hampir sejauh corpus ciliare dan berakhir pada ora serrata dengan tepi yang tidak rata. Permukaan luar retina sensoris bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga berhubungan dengan membran Bruch, koroid, dan sklera (Riordan-Eva, 2010).


(17)

Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalam, adalah sebagai berikut: (1) membran limitans interna; (2) lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang menuju nervus optikus; (3) lapisan sel ganglion; (4) lapisan pleksiform dalam, yang mengandund sambungan sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar; (5) lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar, amakrin dan horisontal; (6) lapisan pleksiform luar yang mengandung sambungan sel bipolar dan sel horisontal dengan fotoreseptor; (7) lapisan inti luar sel fotoreseptor; (8) membran limitans eksterna; (9) lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut; dan (10) epitel pigmen retina. Lapisan dalam membran Bruch sebenarnya merupakan membran basalis epitel pigmen retina (Riordan-Eva, 2010).

Gambar 2. Lapisan Retina (Riordan-Eva, 2010)

Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,56 mm pada kutub posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5-6 mm, yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang pembuluh retina temporal. Darerah ini ditetapkan sebagai area centralis, yang secara histologis merupakan bagian retina yang ketebalan lapisan sel ganglionnya lebih dari satu lapis (Riordan-Eva, 2010).

Retina menerima darah dari dua sumber: koriokapilaris yang berada tepat diluar membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan


(18)

pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina serta cabang-cabang dari arteria centralis retinae, yang mendarahi dua pertiga dalam retina (Riordan-Eva, 2010).

 Vitreus

Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang membentuk dua pertiga volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang dibatasi oleh lensa, retina, dan diskus optikus. Permukaan luar vitreus, membran hyaloid, normalnya berkontak dengan struktur-struktur berikut: Kapsul lensa posterior, serat-serat zonula, pars plana lapisan epitel, retina, dan caput nervi optici (Riordan-Eva, 2010).

Basis vitreus mempertahankan penempelan yang kuat seumur hidup ke lapisan epitel pars plana dan retina tepat dibelakang ora serrata. Di awal kehidupan, vitreus melekat kuat pada kapsul lensa dan caput nervi optici, tetapi segera berkurang di kemudian hari (Riordan-Eva, 2010).

Vitreus mengandung air sekitar 99%, sisa 1% meliputi dua komponen, kolagen dan asam hialuronat, yang memberi bentuk dan konsistensi mirip gel pada vitreus karena kemampuannya mengikat banyak air (Riordan-Eva, 2010).

 Koroid

Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera. Koroid tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid; besar, sedang, dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di dalam koroid, semakin lebar lumennya (Riordan-Eva, 2010).

Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris. Darah dari pembuluh koroid dialirkan melalui empat vena vorticosa, satu di tiap kuadran posterior. Koroid di sebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan di sebelah luar oleh sklera. Koroid melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus optikus. Di sebelah anterior, koroid bergabung dengan corpus ciliare (Riordan-Eva, 2010).


(19)

 Sklera

Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar, yang hampir seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan ini padat dan berwarna putih serta berbatasan dengan kornea di sebelah anterior dan duramater nervus optikus di posterior. Pita-pita kolagen dan jaringan elastin membentang di sepanjang foramen sklera posterior, membentuk lamina cribrosa, yang diantaranya dilalui oleh berkas akson nervus optikus (Riordan-Eva, 2010).

Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh sebuah lapisan tipis jaringan elastik halus, episklera, yang mengandung banyak pembuluh darah yang mendarahi sklera. Lapisan berpigmen coklat pada permukaan dalam sklera adalah lamina fusca, yang membentuk lapisan luar ruang suprakoroid (Riordan-Eva, 2010).

Pada tempat insersi musculus recti, tebal sklera sekitar 0,3mm, di tempat lain tebalnya sekitar 0.6mm. Di sekitar nervus optikus, sklera ditembus oleh arteria ciliaris posterior longa dan brevis, serta nervus ciliaris longus dan brevis. Arteria ciliaris posterior longa dan nervus ciliaris longus melintas dari nervus optikus ke corpus ciliare di sebuah lekukan dangkal pada permukaan dalam sklera di meridian jam 3 dan jam 9. Sedikit posterior dari ekuator, empat vena vorticosa mengalirkan darah keluar dari koroid melalui sklera, biasanya satu disetiap kuadran. Sekitar 4 mm di sebelah posterior limbus, sedikit anterior dari insersi tiap-tiap musculus rectus, empat arteria dan vena ciliaris anterior menembus sklera (Riordan-Eva, 2010).

2.2. Retinoblastoma 2.2.1. Definisi

Retinoblastoma adalah keganasan neuroektodermal yang berasal dari sel-sel embriyonik retina sensoris (Augsburger dan Asbury, 2010). Retinoblastoma merupakan keganasan intraokular primer yang paling sering terjadi pada masa kanak-kanak (American Academy of Ophthalmology, 2007).


(20)

2.2.2. Epidemiologi

Retinoblastoma mewakili sekitar 3 % dari semua keganasan pada masa kanak-kanak (Kanski,2007). Frekuensi retinoblastoma 1 : 14.000 sampai 1 : 20.000 kelahiran hidup, bergantung pada masing-masing negara. Di negara Amerika Serikat diperkirakan bahwa 250-300 kasus baru terjadi setiap tahun. Di negara Meksiko dilaporkan 6,8 kasus per juta populasi dibandingkan dengan 4 kasus per juta populasi di Amerika Serikat. Pada 30-40% kasus, tumor terjadi secara bilateral (American Academy of Ophthalmology, 2007). Pada 90% kasus, diagnosis ditegakkan sebelum akhir tahun ketiga (Fredrick, 2010). Tumor unilateral dijumpai pada 70% kasus (Friedman dan Kaiser, 2007).

Tabel 2.1. Epidemiologi Retinoblastoma

Sumber : (American Academy of Ophthalmology, 2007)

Sekitar 60% kasus bersifat unilateral dan non-herediter, 15 % unilateral dan herediter, dan 25% bilateral dan herediter. Keterlibatan yang bersifat bilateral ditemukan sebanyak 42% pada usia kurang dari 1 tahun. (Herzog, 2004). Di kota

Epidemiologi Retinoblastoma

Tumor intraokular terbanyak pada anak

Tumor intraokular terbanyak ketiga setelah melanoma dan metastasis Insiden 1:14.000 – 1:20.000 kelahiran hidup

90% kasus dijumpai sebelum umur 3 tahun Terjadi sama pada pria dan wanita

Terjadi sama pada mata kiri dan kanan Tidak ada predileksi ras

60-70% unilateral (usia rata-rata saat diagnosis, 24 bulan) 30-40% bilateral (usia rata-rata saat diagnosis, 14 bulan)


(21)

Medan, Sebuah penelitian deskriptif yang dilakukan oleh Selvi dengan melihat rekam medik kasus retinoblastoma yang berobat ke Subbagian Hematologi-Onkologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Rumah Sakit Haji Adam Malik periode 1999-2003 memperlihatkan kejadian retinoblastoma unilateral dan bilateral paling banyak pada kelompok usia 0-5 tahun sebesar 40,6% dan 46,9%. Laki-laki lebih banyak dari perempuan pada unilateral (34,4% vs 12,5%) dan bilateral (34,4% vs 18,7%).

2.2.3. Etiologi

Retinoblastoma merupakan hasil dari transformasi keganasan sel-sel retina primitif sebelum mencapai diferensiasi tahap akhir (Kanski, 2007). Keganasan ini terjadi karena adanya mutasi pada gen RB1 yang terletak pada lengan panjang kromosom 13 pada lokus 14 (13q14) (American Academy of Ophthalmology, 2008).

Gen retinoblastoma normal (RB1), yang terdapat pada semua orang adalah suatu gen supresor atau anti-onkogen (Shetlar, 2010). Gen ini berperan menghasilkan suatu fosfoprotein inti dengan aktivitas pengikat DNA. Hilangnya alel yang disebabkan oleh mutasi dapat terjadi pada sel-sel somatik saja (retinoblastoma non-herediter) atau juga di sel-sel germinativum (retinoblastoma herediter) (Fredrick, 2010).

Individu dengan bentuk penyakit yang herediter memiliki satu alel yang terganggu di setiap sel tubuhnya, apabila alel pasangannya di sel retina yang sedang tumbuh mengalami mutasi spontan maka terbentuklah tumor. Pada bentuk yang nonherediter, kedua alel gen retinoblastoma normal di sel retina yang sedang tumbuh di nonaktifkan oleh mutasi spontan. (Shetlar, 2010).

2.2.4. Genetika

Gen RB1 merupakan gen supresor yang pertama kali ditemukan (Robbins, 2003). Berbeda dengan onkogen yang produk proteinnya berperan dalam meneruskan sinyal-sinyal pertumbuhan sel pada semua tahap, produk gen supresor pada umumnya memberikan sinyal untuk menghambat pertumbuhan.


(22)

Setiap gen supresor menyandi signal transducing protein yang membawa pesan menghambat pertumbuhan (growth inhibition) dari bagian sel yang satu ke bagian sel yang lain melalui suatu signaling cascade dan disampaikan kepada responder protein. Bila salah satu protein supresor hilang atau tidak berfungsi, maka salah satu mata rantai sinyal hilang sehingga pesan yang dibawanya tidak sampai ke tujuan (Kresno, 2010).

Tabel 2.2. Perbedaan Sifat-Sifat Onkogen dan Gen Supresor

SIFAT PROTO-ONKOGEN GEN SUPRESOR

Jumlah mutasi yang diperlukan untuk mengakibatkan sel kanker

Satu Minimal dua

Dampak pada pertumbuhan sel

Meningkatkan pertumbuhan

Menghambat pertumbuhan Fungsi alel mutan Peningkatan fungsi :

meningkatkan

pertumbuhan secara dominan

Kehilangan fungsi : Bekerja secara resesif

Alel mutan dapat diwariskan melalui germline

Pada saat ini belum ada bukti

Ya

Predisposisi untuk kanker Banyak jenis kanker Jenis kanker tertentu Mutasi tissue-specific Sebagian tissue-specific

sebagian terdapat diberbagai jaringan

Bentuk inherited umumnya punya tissue-preference


(23)

Dari tabel 2.2. tampak bahwa ada beberapa sifat yang membedakan gen supresor dari onkogen. Mutasi gen yang mengaktivasi proto-onkogen menjadi onkogen terletak pada gen struktural yang secara langsung menghasilkan produk gen (protein) abnormal, atau pada kasus-kasus tertentu mutasi itu terdapat pada bagian regulator dari gen sehingga menghasilkan protein normal secara berlebihan. Kedua hal tersebut menyebabkan peningkatan fungsi dan peningkatan fungsi ini seringkali mengakibatkan sinyal pertumbuhan terus-menerus atau proliferasi yang abnormal. Jenis mutasi ini dominan untuk alel wild-type (Kresno, 2010).

Sebaliknya, produk gen supresor bekerja untuk menghentikan pertumbuhan, terutama apabila sinyal pertumbuhan yang sampai pada “mesin pengatur siklus sel” adalah abnormal. Produk gen supresor dapat mendeteksi adanya sinyal pertumbuhan abnormal atau keadaan abnormal dalam siklus sel misalnya adanya kerusakan DNA atau produk replikasi DNA yang salah. Pada keadaan ini gen supresor bekerja sebagai regulator negatif bagi berlangsungnya proliferasi dan siklus sel. Sebagai regulator negatif dari proses proliferasi sel, kehilangan satu alel akibat mutasi diharapkan tidak berpengaruh pada fungsi alel kedua (alel normal/wild type), sehingga mutasi ini merupakan loss of function mutation dan bersifat resesif. Produk gen supresor baru menjadi inaktif apabila kedua alel mengalami mutasi. Tetapi pada umumnya yang sering terjadi adalah mutasi pada satu alel diikuti dengan hilangnya alel wild-type hingga menjadi homozigot (loss of heterozygosity/ LOH) (Kresno, 2010).

Mutasi resesif gen supresor pada beberapa kasus tidak menimbulkan fenotip pertumbuhan abnormal pada keadaan heterozigot, tetapi mutasi ini dapat diwariskan melalui sel-sel germinal (germline cells). Germline mutation gen supresor baru menunjukkan manifestasi bila alel wild-type yang kedua oleh salah satu sebab hilang. Hilangnya alel wild-type biasanya terjadi lama setelah lahir. Individu-individu dengan mutasi germinal gen Rb dan p53 biasanya berkembang normal, walaupun individu-individu ini berisiko tinggi untuk menderita kanker (Kresno, 2010).


(24)

Banyak jenis tumor yang dikaitkan dengan defek atau disfungsi gen supresor. Disfungsi atau inaktivasi gen suoresor karena delesi atau mutasi genetik dapat mengakibatkan sel kehilangan kontrol pertumbuhan, sehingga terjadi pertumbuhan tidak terkendali. Mutasi dapat terjadi karena banyak hal, misalnya akibat virus, bahan kimia karsinogenik atau radiasi. Walaupun gen Rb ditemukan pertama kali pada pasien-pasien yang rentan terhadap retinoblastoma, mutasi gen Rb tidak hanya dijumpai pada retinoblastoma tetapi juga dapat ditemukan pada berbagai jenis kanker lain pada orang dewasa, misalnya kanker paru, payudara, ginjal, dan lain-lain. Pada tumor-tumor ini mutasi Rb terjadi somatik dan bukan karena diwariskan. Gen Rb juga berperan penting pada tumor yang diinduksi oleh berbagai virus, khusunya SV40, adenovirus dan HPV (Kresno, 2010).

Mutasi pertama, apakah itu mutasi germline maupun somatik, menghasilkan sel dengan satu alel mutan dan satu alel wild type. Mutasi kedua akan menginaktivasi copy normal sehingga gen tidak berfungsi. Inaktivasi alel wild type kedua dalam sel yang telah mengandung satu alel mutan dapat terjadi karena mutasi somatik yang independent atau karena hilangnya kromosom yang mengandung lokus normal yang tinggal. Peristiwa terakhir yang dapat terjadi akibat rekombinasi mitotik maupun hilangnya kromosom dengan atau tanpa duplikasi kromosom yang tinggal, dapat menyebabkan tumor dengan gen Rb (Kresno, 2010).

Gen RB1 menduduki sepanjang 200 kb DNA dan terdiri atas 23 exon. Produknya, yaitu protein Rb yang besarnya 105-110 kDa bergantung pada jenis spesies. Protein ini merupakan protein nukleus yang terlibat dalam proses siklus sel. Dalam sel yang beristirahat (fase G0 dan G1) protein Rb dapat ditemukan dalam bentuk kompleks dengan faktor transkripsi seluler yang disebut E2F. Protein Rb sendiri berfungsi sebagai regulator transkripsi, walaupun protein ini sendiri tidak berikatan langsung dengan sekuen DNA sasaran. E2F memperantarai aktivitas transkripsi beberapa gen seluler yang terlibat dalam proliferasi sel dan sintesis DNA termasuk gen yang menyandi timidin-kinase dan DNA polimerase (Kresno, 2010).


(25)

Gambar 3. Interaksi Rb dengan faktor trankripsi E2F (emedicine.medscape.com)

Selama fase G0 dan awal fase G1 protein Rb tidak terfosfolirasi, tetapi pada akhir fase G1 atau awal fase S terjadi fosfolirasi protein Rb secara progresif pada berbagai sisi protein Rb. Kinase yang menyebabkan reaksi fosfolirasi ini adalah Cdk yang diaktifkan oleh cyclin dan mengatur siklus sel. Tingkat fosfolirasi protein Rb tetap tinggi sampai fase akhir mitosis pada saat enzim fosfatase memecah kompleks ini (defosfolirasi) dan siklus sel masuk ke fase G0/ G1. Dengan demikian diduga bahwa fosfolirasi protein Rb merupakan mekanisme yang mengatur aktivitas Rb dan interaksinya dengan protein lain. Jadi fungsi Rb dalam siklus sel adalah berinteraksi dengan faktor transkripsi dan mengatur fungsi gen lain yang diperlukan untuk memasuki fase S (Kresno, 2010).

Aktivitas Rb diatur melalui fosfolirasi oleh kinase dan aktivitas Cdk sehingga terjadi interaksi antara Rb dengan proses lain dalam siklus sel. Pada fase awal G1 protein Rb tidak difosofolirasi, tetapi pada akhir fase G1 pRb difosfolirasi secara ekstensif pada semua sisi dan tetap terfosfolirasi hingga akhir fase mitotik, dimana segera terjadi defosfolirasi. Faktor transkripsi E2F lebih suka berikatan dengan Rb pada saat Rb tidak tidak terfosfolirasi pada fase G1. E2F adalah suatu faktor transkripsi positif bila ia tidak terikat pada protein Rb, tetapi menjadi elemen negatif bila ia terikat pada Rb. Kompleks E2F dengan Rb merupakan kompleks stabil yang menghambat kemampuan E2F untuk mengaktivasi berbagai gen promoter untuk sintesis DNA. Kompleks Rb-E2F menghambat gen yang mengatur sel keluar dari fase G1. Fosfolirasi Rb maupun E2F oleh cyclin D-Cdk4 dan cyclin D-Cdk2 pada fase akhir G1 menyebabkan


(26)

E2F terlepas sehingga ia bisa berinteraksi dengan gen promoter yang diperlukan untuk masuk dalam fase S (Kresno, 2010).

Ekspresi berlebihan dari E2F dapat menstimulasi proliferasi sedangkan aktivitas Rb sebagai gen supresor berkolerasi dengan pengikatannya dengan E2F, sehingga disimpulkan bahwa salah satu fungsi Rb adalah menghambat fungsi E2F sebagai transkriptor (Kresno,2010).

2.2.5. Patogenesis

Retinoblastoma dapat tumbuh ke luar (eksofitik) atau ke dalam (endofitik) atau kombinasi keduanya. (Shetlar, 2010). Tumor endofilik muncul dari permukaan dalam retina, tumbuh ke arah vitreus, dan cenderung menyebar ke area lain dari retina. Tumor eksofitik tumbuh dari lapisan retina luar dan dapat menimbulkan ablasi retina (Herzog, 2004).

Gambar 4. Perluasan Ekstraokular Tumor (emedicine.medscape.com)

Retinoblastoma mungkin tampak sebagai suatu tumor tunggal dalam dalam retina tetapi khas mempunyai fokus ganda. Jika timbul dalam lapisan inti interna, tumor itu tumbuh ke dalam ruang vitreus. Perumbuhan endofilik ini


(27)

mudah dilihat dengan oftalmoskop. Tumor eksofitik (yang timbul dalam lapisan inti eksterna dan tumbuh ke dalam ruang subretina, dengan ablasi retina) tersembunyi, dan diagnosis lebih sukar (Pratt, 2000).

Perluasan Retinoblastoma ke dalam koroid biasanya terjadi pada tumor yang masif dan mungkin menunjukkan peningkatan kemungkinan metastasis hematogen. Perluasan tumor melalui lamina kribrosa dan sepanjang saraf mata dapat menyebabkan keterlibatan susunan saraf pusat. Invasi koroid dan saraf mata meningkatkan resiko penyakit metastasis (Pratt, 2000).

Kedua jenis Retinoblastoma, secara bertahap, akan mengisi mata dan meluas bersama nervus opticus ke otak di sepanjang saraf dan pembuluh-pembuluh emisari di sklera ke jaringan orbita lainnya. Tumor ini terkadang tumbuh secara difus di retina, melepaskan sel-sel ganas ke dalam vitreus dan bilik mata depan dan menimbulkan proses pseudoinflamasi yang dapat menyerupai retinitis, vitritis, uveitis, atau endoftalmitis (Shetlar, 2010).

2.2.6. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala Retinoblastoma ditentukan oleh tingkat dan lokasi tumor pada saat terdiagnosis. Di Amerika Serikat, tanda-tanda retinoblastoma yang paling banyak dijumpai adalah leukokoria, strabismus, dan inflamasi okular.


(28)

Gambaran lain yang dijumpai, seperti Heterokromia, Hyfema Spontan, dan sellulitis. Dalam kasus yang jarang terjadi, lesi kecil dapat ditemukan dalam pemeriksaan rutin. Keluhan visual jarang terjadi karena sebagian besar pasien adalah anak-anak usia pra sekolah (American Academy of Ophthalmology, 2007).

Tabel 2.3. Manifestasi Klinis Retinoblastoma Pasien < 5 Tahun Pasien ≥ 5 Tahun Leukokoria (54-62%)

Strabismus (18%-22%) Inflamasi

Hypopion Hyphema Heterochromia

Spontaneous globe perforation Proptosis

Katarak Glaucoma Nistagmus Tearing Anisocoroa

Leukokoria (35%) Penurunan visus (35%) Strabismus (15%) Floater (4%) Pain (4%)

Sumber : (American Academy of Ophthalmology, 2007)

2.2.7. Klasifikasi

Klasifikasi klinis Reese-Ellworth merupakan metode penggolongan retinoblastoma intraokular yang paling sering digunakan, tetapi klasifikasi ini tidak menggolongkan retinoblastoma ekstraokular. Klasifikasi diambil dari perhitungan jumlah, ukuran, lokasi tumor, dan ada atau tidaknya vitreous seeds. Klasifikasi ini tidak memberikan informasi prognostik tentang kelangsungan hidup pasien atau visus (American Academy of Ophthalmology, 2007).


(29)

Children’s Oncology Group (COG) mengevaluasi sistem klasifikasi internasional yang baru, yang akan digunakan dalam serangkaian uji klinis yang akan datang. Harapannya adalah untuk mengembangkan skema yang lebih baik untuk memprediksi rspon mata terhadap kemoterapi (American Academy of Ophthalmology, 2007).

Tabel 2.4. Klasifikasi Retinoblastoma Reese-Ellsworth

Grup A B

Grup 1

Grup 2

Grup 3

Grup 4

Grup 5

Tumor soliter, ukuran kurang dari 4 DD, berada pada equator atau dibelakangnya

Tumor soliter, ukuran 4-10 DD, berada pada equator atau dibelakangnya

Ada lesi dibagian depan equator

Tumor Multipel, beberapa besarnya lebih dari 10 DD

Tumor besar yang melibatkan lebih dari setengah retina

Tumor multipel, ukuran tidak melebihi 4 DD, berada pada equator atau dibelakangnya

Tumor multiple, ukuran 4-10 D, berada pada equator atau dibelakangnya

Tumor soliter, ukuran 10 DD dibelakang equator

Ada lesi di bagian depan yang menyebar ke ora serrata

Vitreous seeding


(30)

Tabel 2.5. Sistem Klasifikasi Internasional

Grup A Tumor kecil (≤3 mm) terbatas pada retina, >3 mm dari fovea, >1,5 mm dari optic disc.

Grup B

Grup C

Grup D

Grup E

Tumor (>3 mm) terbatas pada retina dengan cairan subretina jernih ≤6 mm dari batas tumor.

Terlokalisasi di vitreus dan/atau adanya subretinal seeding (total <6 mm dari batas tumor). Jika lebih dari satu sisi subretinal/vitreous seeding, maka keseluruhan harus >6 mm.

Penyebaran difus dan /atau adanya subretinal seeding (≥6 mm keseluruhan batas tumor). Jika lebih dari satu sisi subretinal/vitreous seeding, maka keseluruhan harus ≥6 mm. Cairan subretina >6 mm dari batas tumor.

Tidak ada potensi visual; atau

Keberadaan satu atau lebih hal berikut : Tumor di segmen anterior

Tumor di dalam ciliary body Glaukoma Neovaskular

Perdarahan vitreus yang mengaburkan tumor hyphema signifikan Phthisical or pre-phthisical eye

Selulitis Orbita

Sumber : (American Academy of Ophthalmology, 2007)

2.2.8. Diagnosis

Retinoblastoma biasanya tidak disadari sampai tumbuh cukup besar dan menimbulkan suatu leukokoria, strabismus, atau peradangan. Semua anak dengan


(31)

strabismus atau peradangan intraokular harus dievaluasi untuk mencari adanya retinoblastoma (Shetlar, 2010).

Anak yang menderita Retinoblastoma harus mendapatkan pemeriksaan fisik dan laboratorium serta pemeriksaan penunjang yang lengkap oleh onkologis anak (Aventura dalam Hidayat, 2010). Pemeriksaan dengan anestesi (Examination Under Anesthesia / EUA) diperlukan pada semua pasien untuk mendapatkan hasil yang lengkap dari perkembangan penyakit sebelum dilakukan penatalaksanaan. Lokasi tumor harus didokumentasikan secara jelas. Tekanan intraokular dan diameter kornea harus diukur ketika operasi (American Academy of Ophthalmology, 2007).

Ultrasonografi dapat membantu dalam dalam menegakkan diagnosis Retinoblastoma dengan menunjukkan karateristik kalsifikasi dalam tumor. Meskipun kalsifikasi ini juga dapat terlihat pada CT Scan, MRI telah menjadi modalitas diagnostik yang lebih diutamakan untuk menilai nervus optikus, orbita, dan otak. MRI tidak hanya menghasilkan resolusi jaringan lunak yang lebih baik, tetapi juga menghindarkan terpaparnya bahaya radiasi (American Academy of Ophthalmology, 2007).

Gambar 6. Tampilan CT-Scan Retinoblastoma Ekstraokular (emedicine.medscape.com)


(32)

Studi terbaru meunjukkan bahwa evaluasi metastasis sistemik, khusunya sumsum tulang dan lumbal punksi, tidak diindikasikan pada anak tanpa abnormalitas neurologis atau bukti perluasan ekstraokular. Jika dicurigai perluasan ke bagian saraf optikus, maka dianjurkan untuk dilakukan lumbal punksi. Orang tua dan saudara kandung harus diperiksa untuk membuktikan retinoblastoma atau retinoma, karena hal ini akan memberikan bukti untuk predisposisi herediter terhadap penyakit (American Academy of Ophthalmology, 2007).

2.2.9. Histopatologi

Tumor terdiri dari sel-sel basofilik kecil dengan nukleus hiperkromatik besar dan sedikit sitoplasma. Retinoblastoma banyak yang tidak berbeda, tetapi pada berbagai tingkat diferensiasi dapat dibedakan dengan pembentukan rosettes, yang terdiri dari tiga tipe :

1. Flexner-Wintersteiner rosettes, terdiri dari lumen pusat yang dikelilingi oleh sel-sel kolumnar tinggi. Inti sel-sel ini terletak jauh dari lumen.

Gambar 7. Gambaran Histopatologi Flexner-Wintersteiner Rosettes (emedicine.medscape.co)

2. Homer-Wright rosettes, tidak memiliki lumen dan sel terbentuk di sekitar massa proses eosinofilik.


(33)

3. Fleurettes, fokus dari sel tumor, yang menunjukkan diferensiasi fotoreseptor, kelompok sel dengan proses panjang pembentukan sitoplasma dan tampilan seperti karangan bunga (Kanski, 2007).

2.2.10. Diagnosis Banding

Tabel 2.6. Diagnosis Banding 1 Congenital cataract

2 Persistent anterior fetal vasculature 3 Coats disease

4 Retinopathy of prematurity 5 Toxocariasis

6 Uveitis

7 Retinal dysplasia 8 Incontinentia pigmenti 9 Retinoma (retinocytoma) 10 Retinal astrocytoma

Sumber : (Clinical Ophthalmology, 2007)

Sebagian besar kondisi ini dapat dibedakan dengan retinoblastoma berdasarkan riwayat yang komperhensif, pemeriksaan klinis, dan tes diagnostik tambahan yang sesuai (American Academy of Ophthalmology, 2007).

2.2.11. Penatalaksanaan

Dalam menangani retinoblastoma, hal pertama dan yang paling penting untuk difahami adalah bahwa Retinoblastoma merupakan suatu keganasan. Dalam menentukan strategi pengobatan, tujuan pertama adalah untuk menyelamatkan kehidupan, selanjutnya menyelamatkan mata, dan terakhir untuk menyelamatkan visus (American Academy of Ophthalmology, 2007).


(34)

1. Enukleasi

Enukleasi masih menjadi terapi definitif untuk retinoblastoma. Walaupun beberapa dekade terakhir terjadi penurunan frekuensi enukleasi baik pada kasus unilateral maupun bilateral (Honavar dalam Hidayat, 2010).

Biasanya, enukleasi dianggap sebagai intervensi yang tepat jika :

 Tumor melibatkan lebih dari 50% bola mata

 Diduga adanya keterlibatan orbita dan saraf optik.

 Melibatkan segmen anterior dengan atau tanpa Glaukoma Neovaskular (American Academy of Ophthalmology, 2007).

Enukleasi diindikasikan jika terdapat rubeosis, perdarahan vitreus atau invasi saraf optik. Hal ini juga dilakukan jika kemoreduksi gagal atau mata yang normal membuat kemoterapi agresif sulit dilakukan. Enukleasi juga berguna pada resiko tinggi kekambuhan dengan modalitas terapi lain (Kanski, 2007).

2. Kemoterapi

Kemajuan yang signifikan dalam penanganan retinoblastoma intraokular bilateral dalam beberapa dekade terakhir telah menggunakan kemoterapi sistemik primer. Pemberian kemoterapi sistemik mengurangi ukuran tumor, memungkinkan untuk penggabungan fokal terapi dengan laser, krioterapi, atau radioterapi. Saat ini digunakan kombinasi berbagai regimen seperti Carboplatin, Vincristine, Etoposide dan Cyclosporine. (American Academy of Ophthalmology, 2007).

Pada tumor berukuran besar, kemoterapi berguna untuk mengecilkan ukuran tumor, memfasilitasi terapi lokal berikutnya sehingga menghindari enukleasi atau external beam radiotherapy. Pada tumor berukuran kecil, kemoterapi dapat digunakan tanpa terapi lainnya, juga untuk melindungi visus sebisa mungkin, tetapi resiko kekambuhan tumor meningkat. (Kanski, 2007).


(35)

Keberhasilan pengobatan dengan kemoterapi dipengaruhi beberapa faktor yaitu:

 Beban tumor

Suatu masa tumor yang mencapai berat 1 kg yang terdiri dari sekitar 1012 sel umumnya menyebabkan kematian pasien. Pemberian kemoterapi tunggal umumnya tidak dapat membasmi seluruh sel ganas ini. Obat kemoterapi tidak membasmi sel tumor menurut jumlah absolut, tetapi menurut presentasi tertentu. Bila diumpamakan pemberian satu kemoterapi dapat membasmo 90% sel tumor dari jumlah 109 sel, maka tersisa sel 108 yang tidak mati dan kemudian akan tumbuh kembali. Makin besar masa tumor pada awal pengobatan, makin buruk pula hasil pengobatannya (Setiabudi, 2010).

Bila pemberian satu obat kemoterapi menyisakan 10% sel tumor, maka pemberian kombinasi 2 macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda akan menyisakan 1% sel tumor yang tidak mati. Dan pemberian 3-4 macam kemoterapi dengan mekanisme kerja yang berbeda, sepanjang dapat ditoleransi pasien dan sel tumor sensitif terhadap obat itu, akan menyisakan sel tumor yang masih hidup masing-masing 0,1 dan 0,01%. Teori bahwa terapi kombinasi kemoterapi yang memberikan hasil lebih baik dari obat tunggal ini telah terbukti pada berbagai penelitian klinik (Setiabudi, 2010).

 Heterogenitas sel tumor

Suatu masa tumor terdiri dari sel-sel yang heterogen. Secara genetik sel tumor kurang stabil dibandingkan dengan sel biasa, karena itu selama pembelahan sel seringkali terjadi mutasi sehingga terbentuk berbagai subpopulasi sel tumor. Sel-sel tumor yang sensitif umumnya mati pada tahap awal pemberian keomterapi sehingga hanya subpopulasi sel resisten yang bisa hidup. Lama-kelamaan tumor yang berukuran besar didominasi oleh sel yang resisten. Fenomena ini juga menjelaskan mengapa respon pengobatan yang baik terlihat pada awal pemberian kemoterapi kemudian memburuk dalam terapi lanjutan walaupun obat yang diberikan tetap sama (Setiabudi, 2010).


(36)

 Resistensi terhadap kemoterapi

Kebanyakan resistensi tumor terhadap kemoterapi disebabkan karena sel kanker secara genetik tidak stabil. Sifat ini menyebabkan laju mutasi pada sel tumor ini tinggi dan hal ini mengakibatkan terbentuknya berbagai subpopulasi sel yang heterogen. Sebagian subpupolasi sel ini bersifat resisten terhadap obat (Setiabudi, 2010).

Beberapa mekanisme penting dalam timbulnya resistensi ini ialah:

a. Pengeluaran obat dari dalam sel (efluks) dengan P-glycoprotein pada membran sel. Mekanisme ini menggunakan energi dan dikenal sebagai mekanisme multidrug resistance (MDR). Obat kemoterapi yang dipompa keluar dari sel dengan mekanisme ini mengenai banyak obat, antara lain golongan alkaloid dan antrasiklin.

P-glycoprotein secara fisiologis ada di mukosa usus, ginjal, dan pleksus koroideus sebagai mekanisme tubuh untuk mencegah masuknya zat toksik ke dalam bagian tubuh tertentu. Beberapa tumor yang pada awal terapi tidak mempunyai P-glycoprotein dapat berubah menjadi mempunyainya setelah diberi terapi dengan golongan obat tersebut di atas dan mengalami kekambuhan (Setiabudi, 2010).

b. Penegluaran obat dari dalam sel dengan mekanisme multidrug resistance protein (MRP) yang juga menggunakan energi. MRP ini terdapat pada membran sel dan juga retikulum endoplasmik, tapi tidak mempunyai P-glycoprotein. Obat dikeluarkan setelah dikonjugasi dengan glutation. Spektrum obat yang dikeluarkan oleh MRP cenderung mengeluarkan leukotrien yang telah terkonjugasi dari sel (Setiabudi, 2010).

c. Mutasi yang menyebabkan perubahan pada reseptor obat dapat menyebabkan berkurangnya afinitas antara reseptor dengan obat dan menimbulkan resistensi sel tumor. Fenomena ini terlihat pada :

- Mutasi pada topoisomerase I dan II yang mengakibatkan timbulnya resistensi terhadap obat-obat penghambat topoisomerase I dan II.


(37)

- Mutasi pada enzim dihidrofolat reduktase yang menyebabkan metotreksat sulit bergabung dengan resptornya.

- Mutasi pada tubulin menyebabkan alkaloid vinka sulit bergabung dengan reseptor ini (Setiabudi, 2010).

d. Meningkatkan produksi zat yang menetralisasi obat atau meningkatkan produksi enzim yang menginaktifkan obat. Fenomena ini terlihat pada resistensi terhadap obat golongan alkilator. Di sini sel tumor meningkatkan aktivitas glutation S-transferase yang mengkatalisasi pengikatan obat dengan glutation (Setiabudi, 2010).

 Intensitas dosis

Intensitas dosis adalah dosis kemoterapi yang diberikan kepada pasien dalam kurun waktu tertentu. Dalam pemberian kemoterapi, dosis seringkali tidak dapat diberikan secara optimal karena terhambat oleh toksisitas obat atau pemberian obat terhambat karena pulihnya kondisi pasien tidak secepat seperti yang diharapkan sehingga pemberian dosis berikutnya terpaksa ditunda. Hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya efikasi pemberian kemoterapi (Setiabudi, 2010).

 Faktor spesifik pada pasien

Meskipun sensitivitas sel tumor merupakan determinan utama dalam menentukan keberhasilan pengobatan kanker, berbagai aspek farmakokinetik yaitu cara pemberian, bioavailabilitas, metabolisme, dan eliminasi obat juga memegang peran penting. Banyak obat kemoterapi mempunyai batas keamanan yang sempit dan ini berarti bahwa dosis yang terlalu kecil mungkin tidak memberi efek terapi, tetapi pada dosis yang sedikit terlalu tinggi sudah dapat menimbulkan efek toksik (Setiabudi, 2010).


(38)

3. Periocular Chemotherapy

Periocular chemotherapy sudah dicantumkan dalam uji COG mendatang berdasarkan pada data terakhir penggunaan Carboplatin Subkonjungtiva sebagai terapi retinoblastoma. Dalam fase 1 dan 2 percobaan klinis, baik vitreous seeds maupun tumor retina didapati respon terhadap penggunaan terapi ini. Toksisitas lokal minor dalam bentuk orbit mysotisis pernah dilaporkan dan respon kortikosteroid lokal, juga reaksi yang lebih parah termasuk atrofi optik pernah dilaporkan (American Academy of Ophthalmology, 2007).

4. Photocoagulation and Hyperthermia

Xenon dan laser argon (532nm) sudah lama digunakan untuk terapi retinoblastoma dengan tinggi apek kurang dari 3mm dengan dimensi basal kurang dari 10mm. Dua sampai tiga siklus Photocoagulation merusak suplai darah tumor yang selanjutnya mengalami regresi. Laser yang lebih baru memungkinkan untuk terapi langsung pada permukaan tumor. Laser diode (810nm) digunakan untuk menghasilkan hipertermia. Pemakaian langsung meningkatkan temperatur tumor hingga 45o-60o C dan memiliki pangaruh langsung sitotoksik, yang dapat bertambah dengan kemoterapi dan radiasi (American Academy of Ophthalmology, 2007).

5. Cryotherapy

Juga efektif untuk tumor dengan ukuran dimensi basal kurang dari 10mm. Krioterapi digunakan dengan visualisasi langsung dengan Triple Freeze-Thaw Technique. Secara khusus, Laser photoablation dipilih untuk tumor yang terletak pada bagian posterior dan cryoablation untuk tumor yang terletak pada bagian anterior. Terapi tumor berulang sering memerlukan kedua tehnik tersebut, bersama dengan pemantauan pertumbuhan tumor atau komplikasi terapi (American Academy of Ophthalmology, 2007).


(39)

6. External-Beam Radiation Therapy

Tumor retinoblastoma responsif terhadap radiasi. Saat ini tehnik terbaru yang dipusatkan pada terapi radiasi megavoltase, sering kali menggunakan lens-sparing techniques, untuk melepaskan 4000-4500 cGy dengan interval terapi lebih dari 4-6 minggu (American Academy of Ophthalmology, 2007).

Bukti menunjukkan kombinasi modalitas terapi menggunakan dosis rendah external-beam radiotherapy digabungkan dengan kemoterapi dimungkinkan untuk meningkatkan keselamatan bola mata dengan menurunkan morbiditas radiasi. Sebagai tambahan, penggunaan kemoterapi sistemik dapat memperlambat kebutuhan untuk external-beam radiotherapy, memungkinkan perkembangan orbita yang lebih baik, dan bermakna menurunkan resiko dari keganasan sekunder sewaktu anak berumur lebih dari satu tahun (American Academy of Ophthalmology, 2007).

7. Plaque Radiotherapy (Brachytherapy)

Plaque Radioactive therapy dapat digunakan pada terapi penyelamatan mata dimana terapi penyelamatan bola mata gagal untuk menghancurkan semua tumor aktif dan sebagai terapi utama terhadap beberapa anak dengan ukuran tumor yang relatif kecil hingga sedang (American Academy of Ophthalmology, 2007) .

Follow up

 Setelah radioterapi atau kemoterapi, tumor mengalami regresi menjadi massa kalsifikasi „cottage-cheese‟, „fish-flesh‟, gabungan keduanya atau skar atrofik datar.

 Tumor baru dapat berkembang pada pasien retinoblastoma herediter, khususnya yang diterapi pada usia yang sangat muda. Kecenderungan pertumbuhan ke anterior dan tidak dapat dicegah dengan kemoterapi karena tidak ada pasokan darah. Kekambuhan tumor lokal biasanya terjadi dalam 6 bulan setelah terapi.


(40)

 Jika retinoblastoma diterapi secara konsevatif, pemeriksaan tanpa anestesi dilakukan setiap 2-8 minggu hingga usia 3 tahun, setelah periode ini, setiap 6 bulan dilakukan pemeriksaan tanpa anestesi hingga umur sekitar 5 tahun, kemudian setiap tahun hingga usia 10 tahun.

Orbital MR diindikasikan pada kasus resiko tinggi pada usia sekitar 18 bulan. Jika anak memiliki resiko perkembangan neoplasma ganas sekunder, orang tua harus diberikan informasi untuk waspada terhadap rasa sakit, nyeri dan bengkak, serta berhak mendapatkan bantuan medis jika tidak ada perbaikan dalam satu minggu (Kanski, 2007)

2.2.12. Prognosis

Anak-anak dengan retinoblastoma yang memiliki akses terhadap pelayanan medis modern memiliki prognosis yang sangat baik untuk bertahan hidup, dengan angka keseluruhan lebih dari 95% di negara maju. Faktor resiko tersering yang berhubungan dengan kematian adalah penyebaran tumor ke ekstraokular, secara langsung melalui sklera atau yang lebih sering dengan invasi saraf optikus, khususnya pada pembedahan reseksi margin (American Academy of Ophthalmology, 2007).

Diperkirakan sebanyak 10%-20% pasien yang mengalami retinoblastoma bilateral akan berkembang menjadi neoplasma yang tidak berhubungan dalam 20 tahun dan 20%-40% akan mengembangkan keganasan ketiga dalam 30 tahun. Prognosis untuk bertahan hidup pada pasien retinoblastoma yang kemudian mengembangkan sarkoma kurang dari 50% (American Academy of Ophthalmology, 2007).


(41)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Gambar 8. Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional Penelitian

Variabel Definisi Cara

Ukur

Alat Ukur

Hasil Ukur Skala Ukur Retinoblastoma Penyakit yang

diderita subjek penelitian pada saat penelitian berlangsung dan

Observasi Rekam medik

Menderita atau tidak menderita

Nominal

Karakteristik Pasien Retinoblastoma 2008-2011

Usia Jenis Kelamin

Jenis Terapi Keluhan Utama

Asal Daerah Lokasi Tumor


(42)

diagnosanya ditegakkan oleh dokter

Jenis Kelamin Perbedaan gender pada sampel penelitian

Observasi Rekam medik

Laki-laki atau perempuan

Nominal

Usia Selisih antara tahun

ditegakkannya diagnosis dengan tahun kelahiran

Observasi Rekam medik

Tahun Rasio

Keluhan Utama Masalah utama yang membuat pasien datang berobat ke

Observasi Rekam medik

Keluhan pasien

Nominal

Lokasi Tumor Organ tubuh tempat

ditemukannya tumor primer retinoblastoma

Observasi Rekam medik

Bilateral atau unilateral


(43)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode cross sectional (potong lintang) untuk mengetahui karakteristik pasien retinoblastoma di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Pengambilan data dilakukan pada bulan November 2012.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah pasien retinoblastoma di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan antara tanggal 1 Januari 2008 hingga 31 Desember 2011. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan penulis, terdapat 40 pasien retinoblastoma antara tanggal 1 Januari 2008 hingga 31 Desember 2011.

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian ini diambil dengan menggunakan metode total sampling, yaitu seluruh populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi.

Kriteria Inklusi :

- Pasien retinoblastoma yang menjalani rawat inap atau rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan antara tanggal 1 Januari 2008 hingga 31 Desember 2011.


(44)

Kriteria Eksklusi :

- Pasien retinoblastoma yang tidak memiliki data rekam medik yang lengkap.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu dengan melakukan pencatatan dari rekam medik pasien retinoblastoma antara tanggal 1 Januari 2008 hingga 31 Desember 2011.

4.5. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini akan diproses dan dianalisis dengan menggunakan bantuan program SPSS, untuk melihat karateristik pasien retinoblastoma di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011.


(45)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Pengambilan data penelitian ini dilakukan di Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Berdasarkan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VIII/1990, RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit tipe A dan menjadi sentra rujukan utama untuk wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya.

RSUP Haji Adam Malik Medan terletak di Jalan Bunga Lau Nomor 17 Medan, Kelurahan Kemenangan, Kecamatan Medan Tuntungan, Medan, Sumatera Utara.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Pasien

5.1.2.1. Jenis kelamin

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (Orang) Persentase (%)

Laki-Laki 20 54,1

Perempuan 17 45,9

Total 37 100

Dari Tabel 5.1. dapat diketahui bahwa sejumlah 20 orang (54,1%) sampel adalah berjenis kelamin laki-laki, sedangkan 17 orang (45,9%) berjenis kelamin perempuan.


(46)

5.1.2.2. Usia

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan Kelompok Usia

Usia Jumlah (Orang) Persentase (%)

0-5 Tahun 34 91,9

6-10 Tahun 2 5,4

>10 Tahun 1 2,7

Total 37 100

Dari Tabel 5.2. dapat diketahui bahwa mayoritas sampel berusia 0-5 tahun yaitu sejumlah 34 orang (91,9%), sedangkan sampel pada kelompok umur >10 tahun berjumlah paling sedikit yaitu hanya 1 orang (2,7%).

5.1.2.3. Lokasi

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan Lokasi Tumor

Lokasi Tumor Jumlah (Orang) Persentase (%)

Unilateral 33 89,2

Bilateral 4 10,8

Total 37 100

Dari Tabel 5.3. dapat dilihat bahwa 33 orang (89,2%) mengalami retinoblastoma unilateral, sedangkan 4 orang (10,8%) mengalami retinoblastoma bilateral.


(47)

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Lokasi Tumor Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Jumlah (Orang) Persentase (%)

Unilateral Bilateral Unilateral Bilateral

Laki-laki 19 1 57,6 25

Perempuan 14 3 42,4 75

Total 33 4 100 100

Tabel 5.4. menunjukkan bahwa sebanyak 19 orang (57,6%) pasien laki-laki dan 14 orang (42,4%) pasien perempuan mengalami retinoblastoma unilateral, sedangkan 1 orang (25%) pasien laki-laki dan 3 orang (75%) pasien perempuan mengalami retinoblastoma bilateral.

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Lokasi Tumor Berdasarkan Kelompok Usia

Usia

Jumlah (Orang) Persentase (%)

Unilateral Bilateral Unilateral Bilateral

0-5 Tahun 30 4 90,9 100

6-10 Tahun 2 0 6,1 0

>10 Tahun 1 0 3 0

Total 33 4 100 100

Dari Tabel 5.5. dapat dilihat bahwa pasien retinoblastoma unilateral paling banyak terdapat pada kelompok usia 0-5 tahun dengan jumlah 30 orang (90,9%), diikuti kelompok usia 6-10 tahun sebanyak 2 orang (6,1%), dan terakhir pada kelompok usia >10 tahun sebanyak 1 orang (3%). Pada pasien retinoblastoma bilateral paling banyak terdapat pada kelompok usia 0-5 tahun (100%), sedangkan pada kelompok usia 6-10 tahun dan >10 tahun tidak ditemukan.


(48)

5.1.2.4. Keluhan Utama

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan Keluhan Utama

Keluhan Utama Jumlah (Orang) Persentase (%)

Proptosis 24 64,9

Leukokoria 11 29,7

Gangguan Penglihatan 2 5,4

Total 37 100

Tabel 5.6. Menunjukkan bahwa keluhan utama terbanyak pada pasien retinoblastoma adalah proptosis yang dialami oleh 24 orang (64,9%) pasien, diikuti oleh leukokoria yang dialami 11 orang (29,7%) pasien, kemudian gangguan penglihatan yang dialami 2 orang (5,4%) pasien.

5.1.2.5. Jenis Terapi

Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan Jenis Terapi

Jenis Terapi Jumlah (Orang) Persentase (%)

Kemoterapi 18 48,6

Konservatif 10 27,0

Kemoetrapi + Konservatif 8 21,6

Pembedahan 1 2,7

Total 37 100

Pada tabel 5.7. menunjukkan bahwa jenis terapi terbanyak pada pasien retinoblastoma adalah kemoterapi saja dengan jumlah 18 orang (48,6%) pasien, diikuti oleh terapi konservatif saja sebanyak 10 orang (27%) pasien, kemudian gabungan antara kemoterapi dan konservatif sebanyak 8 orang (21,6%) pasien dan terakhir pembedahan sebanyak 1 orang (2,7%) pasien.


(49)

5.1.2.6. Asal Daerah

Tabel 5.8. Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan Asal Daerah

Asal Daerah Jumlah (Orang) Persentase (%)

Sumatera Utara 26 70,3

Aceh 10 27,0

Riau 1 2,7

Total 37 100

Dari Tabel 5.8. dapat diketahui bahwa sejumlah 26 orang (70,3%) pasien berasal dari Sumatera Utara, kemudian 10 orang (27%) pasien berasal dari Aceh dan urutan terakhir berasal dari Riau sejumlah 1 orang (2,7%) pasien.

5.2. Pembahasan

Pada penelitian yang dilakukan di instalasi Rekam Medik RSUP H. Adam Malik Medan didapatkan data pasien retinoblastoma periode tahun 2008 sampai 2011 sebanyak 40 pasien baik itu yang menjalani rawat inap maupun rawat jalan. Dari jumlah tersebut terdapat 3 pasien yang tidak memiliki kelengkapan data. Maka jumlah pasien yang diikutkan dalam penelitian ini sebanyak 37 orang.

Pada tabel 5.1. didapati penderita retinoblastoma lebih banyak diderita oleh jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 20 orang (54,1%) dibandingkan dengan perempuan yang berjumlah 17 orang (45,9%). Hal ini juga didapati pada penelitian Nafianti (2006) dimana angka kejadian retinoblastoma lebih banyak pada laki-laki yaitu sejumlah 22 orang (68,7%) dibandingkan dengan perempuan yang berjumlah 10 orang (31,3%). Penelitian Paduppai (2010) juga menunjukkan bahwa angka kejadian retinoblastoma pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan yakni laki-laki sebanyak 38 orang (56,7%) dan perempuan 29 orang


(50)

(43,3%). Namun menurut (AAO 2007), tidak ada kecenderungan jenis kelamin tertentu untuk menderita penyakit retinoblastoma.

Dari tabel 5.2. diketahui bahwa penderita retinoblastoma lebih banyak terjadi pada usia 0-5 tahun dengan jumlah pasien sebanyak 34 orang (91,9%), diikuti usia 6-10 tahun dengan jumlah pasien sebanyak 2 orang (5,4%) dan terakhir di usia >10 tahun sebanyak 1 orang (2,7%). Pada penelitian Nafianti (2006) juga didapati bahwa usia terbanyak penderita retinoblastoma yaitu 0-5 tahun dengan jumlah pasien sebanyak 28 orang (87,5%), diikuti usia 6-10 tahun sebanyak 3 orang (9,4%) dan terakhir di usia >10 tahun sebanyak 1 orang (3,1%). Sebagaimana yang dituliskan dalam literatur, Shetlar (2010) menyebutkan bahwa dua per tiga kasus muncul sebelum akhir tahun ketiga.

Dari tabel 5.3. dapat dilihat proporsi retinoblastoma unilateral lebih banyak dibandingkan retinoblastoma bilateral dimana pasien retinoblastoma unilateral berjumlah 33 orang (89,2%) dan pasien retinoblastoma bilateral berjumlah 4 orang (10,8%). Pada penelitian Rosdiana (2011) juga didapati hal serupa dimana proporsi pasien retinoblastoma unilateral lebih banyak dibandingkan pasien retinoblastoma bilateral dengan jumlah pasien retinoblastoma unilateral sebanyak 53 orang (86,89%) dan pasien retinoblastoma bilateral sebanyak 8 orang (13,11%). Namun hal berbeda ditemukan dalam penelitian Nafianti (2006) dimana proporsi pasien retinoblastoma unilateral lebih sedikit dibandingkan pasien retinoblastoma bilateral dengan jumlah pasien retinoblastoma unilateral sebanyak 15 orang (46,9%) dan pasien retinoblastoma bilateral sebanyak 17 orang (53,1%).

Pada tabel 5.4 didapati sebanyak 19 orang (57,6%) pasien laki-laki dan 14 orang (42,4%) pasien perempuan mengalami retinoblastoma unilateral, sedangkan 1 orang (25%) pasien laki-laki dan 3 orang (75%) pasien perempuan mengalami retinoblastoma bilateral. Hal yang hampir serupa juga disampaikan Rosdiana (2011) dalam penelitiannya, pasien retinoblastoma unilateral pada jenis kelamin laki-laki berjumlah 28 orang (52,83%) dan pada jenis kelamin wanita 25 orang (47,17), sedangkan pasien retinoblastoma bilateral pada pasien laki-laki berjumlah 3 (37,5%) orang dan pada pasien perempuan berjumlah 5 orang (62,5%).


(51)

Tabel 5.5 menunjukkan bahwa pada usia 0-5 tahun ditemukan sebanyak 30 orang (90,9%) pasien retinoblastoma unilateral dan 4 orang (100%) pasien retinoblastoma bilateral. Pada usia 6-10 tahun ditemukan sebanyak 2 orang (6,1%) pasien retinoblastoma unilateral dan tidak ditemukan pasien retinoblastoma bilateral. Pada usia >10 tahun didapati sebanyak 1 orang (3%) pasien retinoblastoma unilateral dan tidak ditemukan pasien retinoblastoma bilateral. Herzog (2004) menyebutkan bahwa sekitar 60% kasus bersifat unilateral dan non-herediter, dan 25 % bilateral dan herediter. (AAO 2007) juga menyebutkan 60-70 % pasien retinoblastoma unilateral didiagnosis pada usia rata-rata 24 bulan, sedangkan 30-40% pasien retinoblastoma bilateral terdiagnosa pada usia rata-rata 12 bulan. Pada penelitian Nafianti (2006) didapati pasien retinoblastoma unilateral berjumlah 13 orang (40,6%) dan pasien retinoblastoma bilateral 5 orang (46,9%) pada kelompok usia 0-5 tahun, diikuti 2 orang (6,3%) pasien retinoblastoma unilateral dan 1 orang (3,1%) pasien retinoblastoma bilateral pada kelompok usia 6-10 tahun dan pada kelompok usia >10 tahun tidak ditemukan pasien retinoblastoma unilateral dan hanya ditemukan 1 orang (3,1%) pasien retinoblastoma bilateral.

Dari tabel 5.6. diketahui bahwa keluhan utama terbanyak pada pasien retinoblastoma adalah proptosis yang dialami oleh 24 orang (64,9%) pasien, diikuti oleh leukokoria yang dialami 11 orang (29,7%) pasien, kemudian gangguan penglihatan yang dialami 2 orang (5,4%) pasien. Rosdiana (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa keluhan utama terbanyak yang dialami pasien adalah proptosis dengan jumlah pasien sebanyak 40 orang (65,57%) diikuti oleh leukokoria sebanyak 13 orang (21,31%), hal ini menunjukkan adanya kesesuaian dengan tabel 5.6. mengenai keluhan utama terbanyak khususnya urutan dua teratas. Keterlambatan deteksi dini pasien retinoblastoma menjadi alasan utama yang menunjukkan proporsi keluhan utama berupa proptosis cukup tinggi. Sulivan (2010) dalam tulisannya menyebutkan bahwa terjadinya proptosis merupakan akibat dari penambahan isi orbita yang dapat berupa massa neoplastik dan menyebabkan terdorongnya organ mata ke arah depan. Hal ini berarti bahwa


(52)

pasien retinoblastoma dengan keluhan proptosis sudah memiliki massa tumor yang cukup besar di rongga orbita, sehingga sering kali penanganannya terlambat.

Pada tabel 5.7. menunjukkan bahwa jenis terapi terbanyak pada pasien retinoblastoma adalah kemoterapi saja dengan jumlah 18 orang (48,6%) pasien, diikuti oleh terapi konservatif saja sebanyak 10 orang (27,0%) pasien, kemudian gabungan antara kemoterapi dan konservatif sebanyak 8 orang (21,6%) pasien dan terakhir pembedahan sebanyak 1 orang (2,7%) pasien. Sebagaimana yang dituliskan Shetlar (2010), kemotrapi dapat digunakan untuk memperkecil ukuran tumor besar sebelum dilakukan terapi jenis lain dan terkadang sebagai terapi tunggal. Kim dkk (2003) juga menyebutkan retinoblastoma telah menjadi terapi lini pertama terhadap retinoblastoma oleh beberapa ahli onkologi mata.

Pada tabel 5.8. menunjukkan bahwa pasien retinoblastoma terbanyak berasal dari Sumatera Utara dengan jumlah 26 orang (70,3%), namun jumlah pasien dari luar Sumatera Utara yang terbanyak berasal dari Aceh dengan jumlah 10 orang (27,0%), dan diikuti oleh Riau sebanyak 1 orang (2,7%). Dalam penelitian Hidayat (2010), diperoleh informasi bahwa penderita retinoblastoma didominasi oleh suku Aceh dengan jumlah 15 orang (83,33%), diikuti suku melayu dengan jumlah 2 orang (11,11%) dan terakhir adalah suku padang dengan jumlah 1 orang (5,56%). Menurut (AAO 2007), tidak ada predileksi ras pada penyakit retinoblastoma.


(53)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Pasien retinoblastoma terbanyak terdapat pada kelompok usia 0-5 tahun dengan jumlah 34 orang (91,9%). Pasien berjenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita retinoblastoma dibandingkan pasien berjenis kelamin perempuan dengan jumlah 20 orang (54,1%) berbanding 17 orang (45,9%).

2. Dari 37 orang pasien, penderita retinoblastoma unilateral lebih banyak dibandingkan retinoblastoma bilateral dengan jumlah 33 orang (89,2%) berbanding 4 orang (10,8%).

3. Pada pasien retinoblastoma unilateral, jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan jenis kelamin perempuan dengan jumlah 19 orang (57,6%) berbanding 14 orang (42,4%). Pada retinoblastoma bilateral, jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan jenis kelamin laki-laki dengan jumlah 3 orang (75%) berbanding 1 orang (25%).

4. Pasien retinoblastoma unilateral paling banyak terdapat pada kelompok usia 0-5 tahun dengan jumlah 30 orang (90,9%), sedangkan pada pasien retinoblastoma bilateral juga paling banyak terdapat pada kelompok usia 0-5 tahun dengan jumlah 4 orang (100%).

5. Dari 37 orang pasien retinoblastoma, keluhan utama terbanyak yang dialami adalah proptosis dengan jumlah 24 orang (64,9%), lalu diikuti oleh leukokoria dengan jumlah 11 orang (29,7%), kemudian gangguan penglihatan sebanyak 2 orang (5,4%).

6. Daerah Sumatera Utara merupakan daerah asal terbanyak pasien retinoblastoma dengan jumlah 26 orang (70,3%), sedangkan dari luar Sumatera Utara pasien retinoblastoma terbanyak berasal dari Aceh dengan jumlah 10 orang (27%), diikuti oleh Riau dengan jumlah 1 orang (2,7%).

7. Jenis terapi berupa kemoterapi saja merupakan jenis terapi yang paling banyak dengan jumlah 18 orang (48,6%) pasien, diikuti oleh terapi konservatif saja


(54)

sebanyak 10 orang (27,0%) pasien, kemudian gabungan antara kemoterapi dan konservatif sebanyak 8 orang (21,6%) pasien dan terakhir pembedahan sebanyak 1 orang (2,7%) pasien.

6.2. Saran

1. Untuk mencegah berkembangnya tumor dan memaksimalkan pengobatan, maka sangat penting untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat melalui upaya promosi kesehatan terkait retinoblastoma agar deteksi dini dapat dilakukan sehingga tidak ada lagi pasien yang datang ke sarana pelayanan kesehatan pada stadium yang sudah sulit untuk diatasi.

2. Dianjurkan kepada masyarakat luas agar dapat mengetahui karakteristik pasien retinoblastoma sehingga dapat dijadikan tambahan informasi yang berguna untuk melakukan deteksi dini terhadap pasien-pasien retinoblastoma.

3. Agar diperoleh data yang informatif, maka kelengkapan data dalam pengisian rekam medis sangat diperlukan.

4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar terkait karakteristik pasien retinoblastoma agar diperoleh informasi yang lebih representatif. Penelitian berikutnya diharapkan dapat dilakukan dengan mengatasi kelemahan-kelemahan pada penelitian ini


(55)

DAFTAR PUSTAKA

American Acedemy of Ophthalmology. 2007. Ophthalimic Pathology and Intraocular Tumors. San Francisco: American Academy of Ophthalmology.

American Cancer Society. 2011. Retinoblastoma. Available from : http://www. cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003135-pdf.pdf.

[Acessed 10 April 2012]

Augsburger, James, Taylor Asbury. 2010. Aspek Genetik Penyakit Mata. In: Riordan-Eva, P., John P. Whitcher. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta: Penerbit EGC. 369-370.

Fredrick, Douglas R... 2010. Subjek Khusus yang Berkaitan dengan Pediatri. In: Riordan-Eva, P., John P. Whitcher. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta: Penerbit EGC. 361-362.

Friedman, Neil J., Peter K. Kaiser. 2007. Pediatric Ophthalmology and Strabismus. Essentials of Ophthalmology. Philadelphia: Saunders Elsevier. 103-104.

Herzog, Cynthia E.. 2004. Retinoblastoma. In: Behrman, Richard E., Robert Kliegman, Hall B. Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. Philadelphia: WB Saunders.

Hidayat, Ruly. 2010. Perbandingan Hasil Pengobatan Retinoblastoma Antara Tindakan Kemoterapi diikuti Enukleasi dengan Tindakan Enukleasi diikuti Kemoterapi di RS. H Adam Malik Medan Periode 2008-2009. Available from : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20319/3/Chapter% 2011.pdf.[Acessed 10 April 2012]


(56)

Jackson, Timothy L.. 2008. Ocular Oncology. Moorfields Manual of Ophthalmology. Philadelphia: Mosby Elsevier. 407-408.

Kanski, Jack J.. 2007. Ocular Tumours and Related Conditions. Clinical Ophthalmology : A Systematic Approach. Philadelphia: Elsevier. 542-552.

Kim, Hun Jeong et al., 2003. Clinical Result of Prolonged Primary Chemotherapy in Retinoblastoma Patients. Available from : www.ncbi.nlm.nih.gov

[Acessed 29 Mei 2012]

Kresno, Siti Boedina. 2010. Tumor Suppressor Genes. In: Perhimpunan Onkologi Indonesia. Basic Science of Oncology. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. 55-67.

Maitra, Anirban, Vinay Kumar. 2007. Penyakit Genetik dan Anak. In: Kumar, V., Ramzi S. Cotran, Stanley L. Robbins. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: Penerbit EGC. 287-288.

Nafianti, Selvi. 2006. Retinoblastoma in Children in Haji Adam Malik Hospital Medan. Available from : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/ 15625.[Acessed 8 April 2012]

Paduppai, Suliati. 2010. Characteristic of Retinoblastoma Patiens at Wahidin Sudirohusodo Hospital 2005-2010. Available from :

http://med.unhas.ac.id/jurnal/2011_vol2_no1/1-AA_2.pdf. [Acessed 18 Oktober 2012)

Pratt, Charles B.. 2000. Retinoblastoma. In: Behrman, Richard E., Robert Kliegman, Ann M. Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta: Penerbit EGC. 1793-1794.

Riordan-Eva, Paul. 2010. Anatomi dan Embriologi Mata. In: Riordan-Eva, P., John P. Whitcher. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta: Penerbit EGC. 7-14.


(57)

Rosdiana, Nelly. 2011. Gambaran Klinis dan Laboratorium Pasien

Retinoblastoma. Available from :

http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/12-5-6_3.pdf. [Acessed 9 oktober 2012]

Setiabudi, Rianto. 2010. Dasar-Dasar Biologis, Farmakologis, dan Resistensi Kemoterapi. In: Perhimpunan Onkologi Indonesia. Basic Science of Oncology. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. 403-411.

Shetlar, Debra J.. 2010. Tumor Retina. In: Riordan-Eva, P., John P. Whitcher. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta: Penerbit EGC. 208-209.


(58)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Hasiholan Sachdapul

Tempat / Tanggal Lahir : Baturaja / 30 November 1991

Agama : Islam

Alamat : Jl. Petula No. 35, Medan Baru, Medan Riwayat Pendidikan : 1. SD Negeri 119 OKU (1997-2003)

2. SMP Negeri 2 Martapura (2003-2006) 3. SMA Negeri 3 Martapura (2006-2009) Riwayat organisasi : 1. PEMA FK USU (2011)

2. PHBI FK USU (2012) 3. KAMMI MP USU (2010) 4. KAM RABBANI FK USU (2012) 5. LMAI USU (2012)


(59)

LAMPIRAN HASIL ANALISIS DATA

Distribusi Frekuensi Jenis kelamin

JenisKelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid laki-laki 20 54.1 54.1 54.1

perempuan 17 45.9 45.9 100.0

Total 37 100.0 100.0

Distribusi Frekuensi Usia

Usia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 0-5 tahun 34 91.9 91.9 91.9

6-10 tahun 2 5.4 5.4 97.3

>10 tahun 1 2.7 2.7 100.0

Total 37 100.0 100.0

Distribusi Frekuensi Lokasi Tumor

Lokasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Unilateral 33 89.2 89.2 89.2

Bilateral 4 10.8 10.8 100.0


(60)

Distribusi Frekuensi Lokasi Tumor Berdasarkan Jenis Kelamin

jenis kelamin * lokasi Crosstabulation

lokasi

Total unilateral bilateral

jenis kelamin laki-laki Count 19 1 20

% within lokasi 57.6% 25.0% 54.1%

perempuan Count 14 3 17

% within lokasi 42.4% 75.0% 45.9%

Total Count 33 4 37

% within lokasi 100.0% 100.0% 100.0%

Distribusi Frekuensi Lokasi Tumor Berdasarkan Kelompok Usia

usia pasien * lokasi Crosstabulation

lokasi

Total unilateral bilateral

usia pasien 0-5 tahun Count 30 4 34

% within lokasi 90.9% 100.0% 91.9%

6-10 tahun Count 2 0 2

% within lokasi 6.1% .0% 5.4%

> 10 tahun Count 1 0 1

% within lokasi 3.0% .0% 2.7%

Total Count 33 4 37


(61)

Distribusi Frekuensi Keluhan Utama

KeluhanUtama

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Proptosis 24 64.9 64.9 64.9

Leukokoria 11 29.7 29.7 94.6

Gangguan Penglihatan 2 5.4 5.4 100.0

Total 37 100.0 100.0

Distribusi Frekuensi Jenis Terapi

JenisTerapi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Kemoterapi 18 48.6 48.6 48.6

Konservatif 10 27.0 27.0 75.7

Kemoetrapi + Konsevatif 8 21.6 21.6 97.3

Pembedahan 1 2.7 2.7 100.0

Total 37 100.0 100.0

Distribusi Frekuensi Asal Daerah

Asal

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Sumatera Utara 26 70.3 70.3 70.3

Aceh 10 27.0 27.0 97.3

Riau 1 2.7 2.7 100.0


(1)

Jackson, Timothy L.. 2008. Ocular Oncology. Moorfields Manual of Ophthalmology. Philadelphia: Mosby Elsevier. 407-408.

Kanski, Jack J.. 2007. Ocular Tumours and Related Conditions. Clinical Ophthalmology : A Systematic Approach. Philadelphia: Elsevier. 542-552.

Kim, Hun Jeong et al., 2003. Clinical Result of Prolonged Primary Chemotherapy in Retinoblastoma Patients. Available from : www.ncbi.nlm.nih.gov

[Acessed 29 Mei 2012]

Kresno, Siti Boedina. 2010. Tumor Suppressor Genes. In: Perhimpunan Onkologi Indonesia. Basic Science of Oncology. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. 55-67.

Maitra, Anirban, Vinay Kumar. 2007. Penyakit Genetik dan Anak. In: Kumar, V., Ramzi S. Cotran, Stanley L. Robbins. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: Penerbit EGC. 287-288.

Nafianti, Selvi. 2006. Retinoblastoma in Children in Haji Adam Malik Hospital Medan. Available from : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/ 15625.[Acessed 8 April 2012]

Paduppai, Suliati. 2010. Characteristic of Retinoblastoma Patiens at Wahidin Sudirohusodo Hospital 2005-2010. Available from :

http://med.unhas.ac.id/jurnal/2011_vol2_no1/1-AA_2.pdf. [Acessed 18 Oktober 2012)

Pratt, Charles B.. 2000. Retinoblastoma. In: Behrman, Richard E., Robert Kliegman, Ann M. Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta: Penerbit EGC. 1793-1794.


(2)

Rosdiana, Nelly. 2011. Gambaran Klinis dan Laboratorium Pasien

Retinoblastoma. Available from :

http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/12-5-6_3.pdf. [Acessed 9 oktober 2012]

Setiabudi, Rianto. 2010. Dasar-Dasar Biologis, Farmakologis, dan Resistensi Kemoterapi. In: Perhimpunan Onkologi Indonesia. Basic Science of Oncology. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. 403-411.

Shetlar, Debra J.. 2010. Tumor Retina. In: Riordan-Eva, P., John P. Whitcher.


(3)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Hasiholan Sachdapul

Tempat / Tanggal Lahir : Baturaja / 30 November 1991

Agama : Islam

Alamat : Jl. Petula No. 35, Medan Baru, Medan Riwayat Pendidikan : 1. SD Negeri 119 OKU (1997-2003)

2. SMP Negeri 2 Martapura (2003-2006) 3. SMA Negeri 3 Martapura (2006-2009) Riwayat organisasi : 1. PEMA FK USU (2011)

2. PHBI FK USU (2012) 3. KAMMI MP USU (2010) 4. KAM RABBANI FK USU (2012) 5. LMAI USU (2012)


(4)

LAMPIRAN HASIL ANALISIS DATA

Distribusi Frekuensi Jenis kelamin

JenisKelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid laki-laki 20 54.1 54.1 54.1

perempuan 17 45.9 45.9 100.0

Total 37 100.0 100.0

Distribusi Frekuensi Usia

Usia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 0-5 tahun 34 91.9 91.9 91.9

6-10 tahun 2 5.4 5.4 97.3

>10 tahun 1 2.7 2.7 100.0

Total 37 100.0 100.0

Distribusi Frekuensi Lokasi Tumor

Lokasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Unilateral 33 89.2 89.2 89.2

Bilateral 4 10.8 10.8 100.0


(5)

Distribusi Frekuensi Lokasi Tumor Berdasarkan Jenis Kelamin

jenis kelamin * lokasi Crosstabulation lokasi

Total unilateral bilateral

jenis kelamin laki-laki Count 19 1 20

% within lokasi 57.6% 25.0% 54.1%

perempuan Count 14 3 17

% within lokasi 42.4% 75.0% 45.9%

Total Count 33 4 37

% within lokasi 100.0% 100.0% 100.0%

Distribusi Frekuensi Lokasi Tumor Berdasarkan Kelompok Usia

usia pasien * lokasi Crosstabulation lokasi

Total unilateral bilateral

usia pasien 0-5 tahun Count 30 4 34

% within lokasi 90.9% 100.0% 91.9%

6-10 tahun Count 2 0 2

% within lokasi 6.1% .0% 5.4%

> 10 tahun Count 1 0 1

% within lokasi 3.0% .0% 2.7%

Total Count 33 4 37


(6)

Distribusi Frekuensi Keluhan Utama

KeluhanUtama

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Proptosis 24 64.9 64.9 64.9

Leukokoria 11 29.7 29.7 94.6

Gangguan Penglihatan 2 5.4 5.4 100.0

Total 37 100.0 100.0

Distribusi Frekuensi Jenis Terapi

JenisTerapi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Kemoterapi 18 48.6 48.6 48.6

Konservatif 10 27.0 27.0 75.7

Kemoetrapi + Konsevatif 8 21.6 21.6 97.3

Pembedahan 1 2.7 2.7 100.0

Total 37 100.0 100.0

Distribusi Frekuensi Asal Daerah

Asal

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Sumatera Utara 26 70.3 70.3 70.3

Aceh 10 27.0 27.0 97.3

Riau 1 2.7 2.7 100.0