Studi terbaru meunjukkan bahwa evaluasi metastasis sistemik, khusunya sumsum tulang dan lumbal punksi, tidak diindikasikan pada anak tanpa
abnormalitas neurologis atau bukti perluasan ekstraokular. Jika dicurigai perluasan ke bagian saraf optikus, maka dianjurkan untuk dilakukan lumbal
punksi. Orang tua dan saudara kandung harus diperiksa untuk membuktikan retinoblastoma atau retinoma, karena hal ini akan memberikan bukti untuk
predisposisi herediter terhadap penyakit American Academy of Ophthalmology, 2007.
2.2.9. Histopatologi
Tumor terdiri dari sel-sel basofilik kecil dengan nukleus hiperkromatik besar dan sedikit sitoplasma. Retinoblastoma banyak yang tidak berbeda, tetapi
pada berbagai tingkat diferensiasi dapat dibedakan dengan pembentukan rosettes, yang terdiri dari tiga tipe :
1. Flexner-Wintersteiner rosettes, terdiri dari lumen pusat yang dikelilingi oleh sel-sel kolumnar tinggi. Inti sel-sel ini terletak jauh dari lumen.
Gambar 7. Gambaran Histopatologi Flexner-Wintersteiner Rosettes emedicine.medscape.co
2. Homer-Wright rosettes, tidak memiliki lumen dan sel terbentuk di sekitar massa proses eosinofilik.
Universitas Sumatera Utara
3. Fleurettes, fokus dari sel tumor, yang menunjukkan diferensiasi fotoreseptor, kelompok sel dengan proses panjang pembentukan
sitoplasma dan tampilan seperti karangan bunga Kanski, 2007.
2.2.10. Diagnosis Banding
Tabel 2.6. Diagnosis Banding 1
Congenital cataract 2
Persistent anterior fetal vasculature 3
Coats disease 4
Retinopathy of prematurity 5
Toxocariasis 6
Uveitis 7
Retinal dysplasia 8
Incontinentia pigmenti 9
Retinoma retinocytoma 10
Retinal astrocytoma Sumber : Clinical Ophthalmology, 2007
Sebagian besar kondisi ini dapat dibedakan dengan retinoblastoma berdasarkan riwayat yang komperhensif, pemeriksaan klinis, dan tes diagnostik
tambahan yang sesuai American Academy of Ophthalmology, 2007.
2.2.11. Penatalaksanaan
Dalam menangani retinoblastoma, hal pertama dan yang paling penting untuk difahami adalah bahwa Retinoblastoma merupakan suatu keganasan. Dalam
menentukan strategi pengobatan, tujuan pertama adalah untuk menyelamatkan kehidupan, selanjutnya menyelamatkan mata, dan terakhir untuk menyelamatkan
visus American Academy of Ophthalmology, 2007.
Universitas Sumatera Utara
1. Enukleasi Enukleasi masih menjadi terapi definitif untuk retinoblastoma. Walaupun
beberapa dekade terakhir terjadi penurunan frekuensi enukleasi baik pada kasus unilateral maupun bilateral Honavar dalam Hidayat, 2010.
Biasanya, enukleasi dianggap sebagai intervensi yang tepat jika : Tumor melibatkan lebih dari 50 bola mata
Diduga adanya keterlibatan orbita dan saraf optik. Melibatkan segmen anterior dengan atau tanpa Glaukoma Neovaskular
American Academy of Ophthalmology, 2007. Enukleasi diindikasikan jika terdapat rubeosis, perdarahan vitreus atau
invasi saraf optik. Hal ini juga dilakukan jika kemoreduksi gagal atau mata yang normal membuat kemoterapi agresif sulit dilakukan. Enukleasi juga berguna pada
resiko tinggi kekambuhan dengan modalitas terapi lain Kanski, 2007. 2. Kemoterapi
Kemajuan yang signifikan dalam penanganan retinoblastoma intraokular bilateral dalam beberapa dekade terakhir telah menggunakan kemoterapi sistemik
primer. Pemberian
kemoterapi sistemik
mengurangi ukuran
tumor, memungkinkan untuk penggabungan fokal terapi dengan laser, krioterapi, atau
radioterapi. Saat ini digunakan kombinasi berbagai regimen seperti Carboplatin, Vincristine, Etoposide dan Cyclosporine. American Academy of Ophthalmology,
2007. Pada tumor berukuran besar, kemoterapi berguna untuk mengecilkan
ukuran tumor, memfasilitasi terapi lokal berikutnya sehingga menghindari enukleasi atau external beam radiotherapy. Pada tumor berukuran kecil,
kemoterapi dapat digunakan tanpa terapi lainnya, juga untuk melindungi visus sebisa mungkin, tetapi resiko kekambuhan tumor meningkat. Kanski, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Keberhasilan pengobatan dengan kemoterapi dipengaruhi beberapa faktor yaitu: Beban tumor
Suatu masa tumor yang mencapai berat 1 kg yang terdiri dari sekitar 10
12
sel umumnya menyebabkan kematian pasien. Pemberian kemoterapi tunggal umumnya tidak dapat membasmi seluruh sel ganas ini. Obat kemoterapi tidak
membasmi sel tumor menurut jumlah absolut, tetapi menurut presentasi tertentu. Bila diumpamakan pemberian satu kemoterapi dapat membasmo 90 sel tumor
dari jumlah 10
9
sel, maka tersisa sel 10
8
yang tidak mati dan kemudian akan tumbuh kembali. Makin besar masa tumor pada awal pengobatan, makin buruk
pula hasil pengobatannya Setiabudi, 2010. Bila pemberian satu obat kemoterapi menyisakan 10 sel tumor, maka
pemberian kombinasi 2 macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda akan menyisakan 1 sel tumor yang tidak mati. Dan pemberian 3-4 macam kemoterapi
dengan mekanisme kerja yang berbeda, sepanjang dapat ditoleransi pasien dan sel tumor sensitif terhadap obat itu, akan menyisakan sel tumor yang masih hidup
masing-masing 0,1 dan 0,01. Teori bahwa terapi kombinasi kemoterapi yang memberikan hasil lebih baik dari obat tunggal ini telah terbukti pada berbagai
penelitian klinik Setiabudi, 2010. Heterogenitas sel tumor
Suatu masa tumor terdiri dari sel-sel yang heterogen. Secara genetik sel tumor kurang stabil dibandingkan dengan sel biasa, karena itu selama pembelahan
sel seringkali terjadi mutasi sehingga terbentuk berbagai subpopulasi sel tumor. Sel-sel tumor yang sensitif umumnya mati pada tahap awal pemberian keomterapi
sehingga hanya subpopulasi sel resisten yang bisa hidup. Lama-kelamaan tumor yang berukuran besar didominasi oleh sel yang resisten. Fenomena ini juga
menjelaskan mengapa respon pengobatan yang baik terlihat pada awal pemberian kemoterapi kemudian memburuk dalam terapi lanjutan walaupun obat yang
diberikan tetap sama Setiabudi, 2010.
Universitas Sumatera Utara
Resistensi terhadap kemoterapi Kebanyakan resistensi tumor terhadap kemoterapi disebabkan karena sel
kanker secara genetik tidak stabil. Sifat ini menyebabkan laju mutasi pada sel tumor ini tinggi dan hal ini mengakibatkan terbentuknya berbagai subpopulasi sel
yang heterogen. Sebagian subpupolasi sel ini bersifat resisten terhadap obat Setiabudi, 2010.
Beberapa mekanisme penting dalam timbulnya resistensi ini ialah: a. Pengeluaran obat dari dalam sel efluks dengan P-glycoprotein pada
membran sel. Mekanisme ini menggunakan energi dan dikenal sebagai mekanisme multidrug resistance MDR. Obat kemoterapi yang dipompa
keluar dari sel dengan mekanisme ini mengenai banyak obat, antara lain golongan alkaloid dan antrasiklin.
P-glycoprotein secara fisiologis ada di mukosa usus, ginjal, dan pleksus koroideus sebagai mekanisme tubuh untuk mencegah masuknya zat toksik
ke dalam bagian tubuh tertentu. Beberapa tumor yang pada awal terapi tidak mempunyai P-glycoprotein dapat berubah menjadi mempunyainya
setelah diberi terapi dengan golongan obat tersebut di atas dan mengalami kekambuhan Setiabudi, 2010.
b. Penegluaran obat dari dalam sel dengan mekanisme multidrug resistance protein MRP yang juga menggunakan energi. MRP ini terdapat pada
membran sel dan juga retikulum endoplasmik, tapi tidak mempunyai P- glycoprotein. Obat dikeluarkan setelah dikonjugasi dengan glutation.
Spektrum obat yang dikeluarkan oleh MRP cenderung mengeluarkan leukotrien yang telah terkonjugasi dari sel Setiabudi, 2010.
c. Mutasi yang menyebabkan perubahan pada reseptor obat dapat menyebabkan berkurangnya afinitas antara reseptor dengan obat dan
menimbulkan resistensi sel tumor. Fenomena ini terlihat pada : - Mutasi pada topoisomerase I dan II yang mengakibatkan timbulnya
resistensi terhadap obat-obat penghambat topoisomerase I dan II.
Universitas Sumatera Utara
- Mutasi pada enzim dihidrofolat reduktase yang menyebabkan metotreksat sulit bergabung dengan resptornya.
- Mutasi pada tubulin menyebabkan alkaloid vinka sulit bergabung dengan reseptor ini Setiabudi, 2010.
d. Meningkatkan produksi zat yang menetralisasi obat atau meningkatkan produksi enzim yang menginaktifkan obat. Fenomena ini terlihat pada
resistensi terhadap obat golongan alkilator. Di sini sel tumor meningkatkan aktivitas glutation S-transferase yang mengkatalisasi pengikatan obat
dengan glutation Setiabudi, 2010. Intensitas dosis
Intensitas dosis adalah dosis kemoterapi yang diberikan kepada pasien dalam kurun waktu tertentu. Dalam pemberian kemoterapi, dosis seringkali tidak
dapat diberikan secara optimal karena terhambat oleh toksisitas obat atau pemberian obat terhambat karena pulihnya kondisi pasien tidak secepat seperti
yang diharapkan sehingga pemberian dosis berikutnya terpaksa ditunda. Hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya efikasi pemberian kemoterapi Setiabudi,
2010. Faktor spesifik pada pasien
Meskipun sensitivitas sel tumor merupakan determinan utama dalam menentukan keberhasilan pengobatan kanker, berbagai aspek farmakokinetik
yaitu cara pemberian, bioavailabilitas, metabolisme, dan eliminasi obat juga memegang peran penting. Banyak obat kemoterapi mempunyai batas keamanan
yang sempit dan ini berarti bahwa dosis yang terlalu kecil mungkin tidak memberi efek terapi, tetapi pada dosis yang sedikit terlalu tinggi sudah dapat menimbulkan
efek toksik Setiabudi, 2010.
Universitas Sumatera Utara
3. Periocular Chemotherapy
Periocular chemotherapy sudah dicantumkan dalam uji COG mendatang berdasarkan pada data terakhir penggunaan Carboplatin Subkonjungtiva sebagai
terapi retinoblastoma. Dalam fase 1 dan 2 percobaan klinis, baik vitreous seeds maupun tumor retina didapati respon terhadap penggunaan terapi ini. Toksisitas
lokal minor dalam bentuk orbit mysotisis pernah dilaporkan dan respon kortikosteroid lokal, juga reaksi yang lebih parah termasuk atrofi optik pernah
dilaporkan American Academy of Ophthalmology, 2007. 4.
Photocoagulation and Hyperthermia Xenon dan laser argon 532nm sudah lama digunakan untuk terapi
retinoblastoma dengan tinggi apek kurang dari 3mm dengan dimensi basal kurang dari 10mm. Dua sampai tiga siklus Photocoagulation merusak suplai darah tumor
yang selanjutnya mengalami regresi. Laser yang lebih baru memungkinkan untuk terapi langsung pada permukaan tumor. Laser diode 810nm digunakan untuk
menghasilkan hipertermia. Pemakaian langsung meningkatkan temperatur tumor hingga 45
o
-60
o
C dan memiliki pangaruh langsung sitotoksik, yang dapat bertambah dengan kemoterapi dan radiasi American Academy of Ophthalmology,
2007. 5.
Cryotherapy Juga efektif untuk tumor dengan ukuran dimensi basal kurang dari 10mm.
Krioterapi digunakan dengan visualisasi langsung dengan Triple Freeze-Thaw Technique. Secara khusus, Laser photoablation dipilih untuk tumor yang terletak
pada bagian posterior dan cryoablation untuk tumor yang terletak pada bagian anterior. Terapi tumor berulang sering memerlukan kedua tehnik tersebut,
bersama dengan pemantauan pertumbuhan tumor atau komplikasi terapi American Academy of Ophthalmology, 2007.
Universitas Sumatera Utara
6. External-Beam Radiation Therapy
Tumor retinoblastoma responsif terhadap radiasi. Saat ini tehnik terbaru yang dipusatkan pada terapi radiasi megavoltase, sering kali menggunakan lens-
sparing techniques, untuk melepaskan 4000-4500 cGy dengan interval terapi lebih dari 4-6 minggu American Academy of Ophthalmology, 2007.
Bukti menunjukkan kombinasi modalitas terapi menggunakan dosis rendah
external-beam radiotherapy
digabungkan dengan
kemoterapi dimungkinkan untuk meningkatkan keselamatan bola mata dengan menurunkan
morbiditas radiasi. Sebagai tambahan, penggunaan kemoterapi sistemik dapat memperlambat kebutuhan untuk external-beam radiotherapy, memungkinkan
perkembangan orbita yang lebih baik, dan bermakna menurunkan resiko dari keganasan sekunder sewaktu anak berumur lebih dari satu tahun American
Academy of Ophthalmology, 2007. 7.
Plaque Radiotherapy Brachytherapy Plaque Radioactive therapy dapat digunakan pada terapi penyelamatan
mata dimana terapi penyelamatan bola mata gagal untuk menghancurkan semua tumor aktif dan sebagai terapi utama terhadap beberapa anak dengan ukuran
tumor yang relatif kecil hingga sedang American Academy of Ophthalmology, 2007 .
Follow up Setelah radioterapi atau kemoterapi, tumor mengalami regresi menjadi
massa kalsifikasi „cottage-cheese‟, „fish-flesh‟, gabungan keduanya atau skar atrofik datar.
Tumor baru dapat berkembang pada pasien retinoblastoma herediter, khususnya yang diterapi pada usia yang sangat muda. Kecenderungan
pertumbuhan ke anterior dan tidak dapat dicegah dengan kemoterapi karena tidak ada pasokan darah. Kekambuhan tumor lokal biasanya
terjadi dalam 6 bulan setelah terapi.
Universitas Sumatera Utara
Jika retinoblastoma diterapi secara konsevatif, pemeriksaan tanpa anestesi dilakukan setiap 2-8 minggu hingga usia 3 tahun, setelah periode ini,
setiap 6 bulan dilakukan pemeriksaan tanpa anestesi hingga umur sekitar 5 tahun, kemudian setiap tahun hingga usia 10 tahun.
Orbital MR diindikasikan pada kasus resiko tinggi pada usia sekitar 18 bulan. Jika anak memiliki resiko perkembangan neoplasma ganas
sekunder, orang tua harus diberikan informasi untuk waspada terhadap rasa sakit, nyeri dan bengkak, serta berhak mendapatkan bantuan medis
jika tidak ada perbaikan dalam satu minggu Kanski, 2007
2.2.12. Prognosis