12
BAB II KERANGKA TEORITIS TENTANG POLIGAMI
A. Pengertian Poligami
Kata poligami termasuk kata yang umum yang sudah dipakai, dalam artian kata ini sudah dikenal dan sering kali orang menggunakannya. Walaupun mereka
sering kali mengungkapkan kata ini, bukan berarti mereka mengetahui secara detail tentang pengertian poligami yang sebenarnya, bahkan di antara mereka
masih banyak yang verbalisme. Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly atau polus yang
berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Kalau kedua kata tersebut digabungkan menjadi poligami, maka artinya adalah
perkawinan yang banyak atau dengan ungkapan lain adalah suatu perkawinan yang lebih dari satu orang.
1
Dalam bahasa Arab poligami disebut Ta’adduduz Zaujaat, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut madu.
2
Menurut Arij Abdurrahman As Sanan dalam bukunya Al ‘Adlu Baina az Zaujaat, yang
dimaksud dengan Ta’adduduz Zaujaat adalah perbuatan seorang laki–laki mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat orang isteri, tidak lebih
darinya.
3
1
Humaidi Tatapangarsa, Hakekat Poligami dalam Islam, t.t., Usaha Nasional, t.th h.12.
2
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, Yogyakarta : Pustaka Marwa, 2007 cet 1, h. 29.
3
Arij Abdurrahman As- Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami, Jakarta : PT. Global Media Cipra Publishing, 2003 , h. 25.
13
Menurut Islah Gusman, arti poligami adalah banyak nikah. Istilah ini digunakan untuk menunjuk pada praktek perkawinan lebih dari satu suami atau
istri sesuai dengan jenis kelamin orang yang bersangkutan. Ia berpendapat bahwa poligami dan poligini adalah berbeda. Poligini menurutnya adalah banyak
perempuan. Istilah ini digunakan untuk menunjuk pada seorang pria yang melakukan praktek banyak nikah dengan banyak perempuan pada masa yang
sama, dan bukan karena kawin cerai.
4
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa poligami adalah Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan, dan berpoligini berarti menjalankan poligami.
5
Dan pengertian ini pun senada dengan yang di kemukakan oleh Save M’ bahwa poligini sama dengan poligami.
6
Begitu pula Sayuti Thalib, ia mengemukakan bahwa arti dari kata poligami adalah sama
dengan poligini, yaitu seorang suami beristri lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama.
7
Dan pengertian inilah yang secara umum berlaku di masyarakat. Oleh karena itu penulis dalam skripsi ini mengartikan poligami
sebagaimana yang di kemukakan oleh Sayuti Thalib.
4
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 26.
5
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1996 , Cet. ke- 7, h. 18.
6
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta : LPKN, 1997 , h. 866.
7
Sayuti Thib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : Bina Aksara, 1981 , h. 169.
14
Menurut Qasim Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah sebagaimana yang dikutip oleh Musdah Mulia, bahwa dalam sejarah manusia, perkembangan
poligami mengikuti pola pandang masyarakat terhadap kaum perempuan. Ketika masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan hina, poligami
menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat yang memandang kedudukan perempuan terhormat, poligami pun berkurang.
8
Islam bukanlah yang pertama menerapkan aturan poligami, karena jauh sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Nabi dan membawa Islam,
poligami telah lama dipraktekkan oleh umat–umat terdahulu. Bahkan hampir semua bangsa melakukannya. Dan cukup banyak fakta yang dapat membuktikan
kebenaran ini, seperti yang dikatakan oleh Musthafa al Siba’i, bahwa poligami itu sudah ada pada masyarakat bangsa–bangsa yang hidup di zaman purba, pada
bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Syria, Mesir, dan lain–lain. Pada saat itu, praktek poligami tidak terbatas jumlah istrinya, sehingga mencapai ratusan
orang istri dalam satu waktu tanpa cerai dan tanpa faktor ke matian bagi satu laki–laki suami.
9
Agama Yahudi memperbolehkan poligami tanpa batas. Nabi–nabi yang namanya disebut dalam Taurat, semuanya berpoligami tanpa pengecualian. Dan
8
Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999, cet. 1. h. 3.
9
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 30.
15
ada keterangan dalam Taurat, bahwa Nabi Sulaiman AS mempunyai tujuh ratus orang istri yang merdeka dan tiga ratus istri yang berasal dari budak.
10
Dan meskipun dalam Taurat tidak melarang poligami dan tidak menghalangi seorang laki–laki untuk menikah dengan berapa saja banyaknya
istri, namun pendeta–pendeta Yahudi membenci poligami itu, lalu berusaha mempersempit poligami dengan mengadakan pembatasan banyaknya istri hanya
empat saja, dan menetapkan harus ada faktor–faktor pendorong yang sah menurut agama, untuk bolehnya laki–laki menikah dengan istri baru.
11
Agama Kristen pun pada asalnya tidak melarang poligami. Karena larangan itu tidak ditentukan dalam Injil maupun dalam surat-surat para Rasul
sahabat–sahabat Yesus yang dikenal dengan Kitab Perjanjian Baru. Dalam kitab itu tidak ada keterangan yang jelas mengenai larangan poligami. Sehingga Dr.
Khafi sebagaimana yang dikutip oleh Abbuttawab Haikal mengatakan bahwa kebiasaan poligami itu sudah ada pada bangsa Israil sebelum Nabi Isa diutus, ia
kemudian menetapkan kebiasaan poligami itu. Bahkan Nabi Musa mewajibkan seorang untuk mengawini janda saudara laki-lakinya sendiri yang meninggal dan
tidak mempunyai anak, walaupun ia sendiri sudah berkeluarga. Apa yang diperbolehkan dalam Taurat, sejauh tidak ada nash yang pasti dalam Injil yang
melarangnya, maka diperbolehkan pula dalam agama Kristen, termasuk di
10
Musthafa as Siba’i, Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang – undangan, Jakarta : Bulan Bintang, 1977 , cet. 1. h. 100.
11
Abdul Nasir Taufiq al ‘Atthar, Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang – undangan, Jakarta : Bulan Bintang, 1976 , cet. 1. h. 80
16
dalamnya poligami. Karena tidak ada nash keterangan yang melarang poligami dalam Injil. Dan sejarah membuktikan bahwa umat–umat Kristen terdahulu dan
para pemuka agama banyak melakukan poligami.
12
Tetapi bapak–bapak gereja pendeta dan para pembuat undang–undang gereja, ada yang berpendapat bahwa
ada naskah dalam Perjanjian Baru yang menyinggung tentang pengertian haramnya poligami, yaitu bahwa barang siapa yang menceraikan istrinya dan lalu
menikah dengan wanita lain, maka hukumnya adalah ia berzina dengan wanita itu, dan begitu pula sebaliknya. Tetapi penafsiran haramnya poligami ini hanya
sesuai dengan pendapat golongan Kristen Katolik saja, karena golongan ini tidak membolehkan pembubaran akad nikah kecuali dengan kematian saja. Sedangkan
golongan Orthodok dan Protestan Gereja Masehi Injili, semuanya memperbolehkan bagi seorang Kristen untuk menceraikan isterinya dalam
suasana dan dengan syarat–syarat tertentu.
13
George Zaidan, sebagaimana yang dikutip al Siba’i berkata bahwa tidak ada keterangan yang jelas dalam agama Kristen yang melarang para pengikutnya
berpoligami dengan dua orang istri ataupun lebih. Kalau sekiranya orang–orang Kristen itu mau, tentu saja mereka boleh berbuat demikian. Tetapi bapak–bapak
gereja itu mencukupkan seorang istri saja, demi untuk menjaga kerukunan rumah tangga mereka, seperti yang terdahulu terjadi di kalangan bangsa Romawi.
12
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasullallah SAW, Poligami dalam Islam Vs Monogami Barat, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993 , cet. 1. h. 49
13
Abdul Nasir Taufiq al ‘Atthar, Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang– undangan, Jakarta : Bulan Bintang, 1976 , cet. 1. h. 81
17
Kemudian mereka membawa idenya itu dalam menafsirkan ayat–ayat tentang perkawinan dalam kitab suci mereka, seperti yang sudah kita ketahui secara
populer.
14
Sekarang ini kita lihat gereja–gereja di Afrika Hitam mengakui bolehnya poligami, karena para petugas penyiar agama Kristen itu menemukan diri mereka
berhadapan dengan susunan masyarakat yang biasa berpoligami, yaitu di kalangan bangsa–bangsa Afrika yang beragama Animisme. Bapak–bapak Gereja
berpendapat bahwa kalau mereka terus–menerus melarang poligami, maka akhirnya masalah poligami itu akan menjadi penghalang bagi bangsa–bangsa
Afrika untuk memasuki agama Kristen. Mereka lalu mempropagandakan bolehnya poligami tanpa batas. Dan dalam masyarakat tradisional Afrika,
banyaknya jumlah istri merupakan kebanggaan tersendiri, lambang kesuksesan dan status sosial tinggi serta menandakan kesejahteraan. Poligami merupakan adat
warisan leluhur orang–orang Afrika, bukan saja dianggap sebagai kewajaran bahkan hampir sebagai kelembagaan.
15
Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah mempraktekkan poligami bahkan tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan
bahwa rata–rata pemimpin suku memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku yang mempunyai sampai ratusan istri.
16
Nabi Muhammad SAW membolehkan poligami di antara masyarakatnya karena hal itu telah dipraktekkan
14
Musthafa as Siba’i, Wanita diantara Hukum Islam, h. 104
15
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2000, cet. 1. h.120.
16
Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007
18
juga oleh orang-orang Yunani dan bangsa–bangsa lain yang di antaranya bahkan seorang istri bukan hanya dapat dipertukarkan tetapi juga bisa diperjualbelikan
secara lazim antara mereka.
17
Dalam konteks pernikahan, kedatangan Islam jelas memberikan suatu arah baru untuk memperoleh kebahagiaan dan rahmat bagi
kedua belah pihak. Inheren di dalamnya adalah usaha–usaha pembelaan dan sekaligus pemberdayaan atas perempuan. Ini dilakukan Islam, karena perempuan
sebelumnya pada masyarakat Arab pra Islam sama sekali tidak dihargai dan bahkan dilecehkan, lalu ia diangkat martabatnya oleh Islam menjadi subyek yang
bermartabat.
18
B. Poligami Menurut Hukum Islam.