Poligami dalam Undang–undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

26 suami; pertama, seorang lelaki yang ingin berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Dalam fatwa Abduh, keadilan di sini yang di syaratkan al-Qur’an adalah keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta dan perhatian yang semuanya tidak bisa di ukur dengan angka atau nominal. Sebagian besar ahli hukum islam menyadari bahwa keadilan kualitatif ini sesuatu yang sangat mustahil untuk diwujudkan. Abdurahman al-Jaziri di dalam kitabnya menulis bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kewajiban bagi orang-orang yang berpoligami karena sebagai manusia wajar tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang berada di luar batas kontrol manusia.

C. Poligami menurut Hukum Positif.

1. Poligami dalam Undang–undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan Telah kita ketahui, Undang–undang RI No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975. Salah satu permasalahan yang diatur di dalamnya adalah tentang poligami. Ada 27 kesamaan antara poligami Islam dengan aturan poligami yang terdapat dalam Undang–undang Perkawinan yaitu pintu poligami dibuka hanya bagi orang– orang yang memiliki alasan–alasan tertentu. Supaya masalah poligami menurut Undang–undang Perkawinan ini dapat diketahui dengan jelas dan terperinci, akan dikutip dan dijelaskan pasal– pasal yang mengaturnya sebagai berikut : Pasal 3 1 Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. 2 Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak–pihak yang bersangkutan. Pasal 4 1 Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 undang–undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah tempat tinggalnya. 2 Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 1 Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat–syarat sebagai berikut : a. Adanya persetujuan isteri atau isteri–isteri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan– keperluan hidup isteri–isteri dan anak–anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak-anak mereka. 2 Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri–isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang–kurangnya dua 28 tahun, atau karena sebab–sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan. Pasal 65 1 Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan pasal 3 ayat 2 undang–undang ini, maka berlakulah ketentuan–ketentuan berikut : a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya. b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi. c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing–masing. 2 Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut undang–undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan–ketentuan ayat 1 pasal ini. Dari pasal–pasal mengenai poligami yang telah disebutkan diatas dapat dijelaskan tatacara dan ketentuan permohonan izin poligami sebagai berikut : a. Poligami harus ada izin dari Pengadilan Agama yang diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya dengan membawa surat permohonan izin beristeri lebih dari seorang yang isinya memuat nama, umur, tempat kediaman pemohon suami dan termohon isteri, alasan– alasan untuk beristeri lebih dari seorang dan petitum. 21 b. Setelah surat permohonan izin poligami diajukan, maka Majelis Hakim memeriksa berkas–berkas tersebut selambat–lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan tersebut pasal 42 ayat 2 PP No. 9 1974. 21 H. A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000, cet. Ke -3, h. 241. 29 Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama meliputi : a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami menikah lagi sebagai syarat alternatif yaitu : 1 Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri seperti, tidak dapat mendampingi dan melayani suami dengan baik, mengatur rumah tangga dan mengurus serta mendidik anak–anak dengan baik, termasuk tidak menjaga kehormatan dirinya dengan baik. 2 Isteri cacat badannya, misalnya lumpuh, lemah syaraf, berpenyakit yang tidak dapat disembuhkan, seperti gila, batuk menahun, lepra dan sebagainya. 3 Isteri tidak dapat memberikan keturunan. 22 b. Ada atau tidaknya persetujuan isteri baik lisan maupun tertulis yang harus dinyatakan di depan sidang. c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri–isteri dan anak–anak dengan mempelihatkan surat–surat mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat kerja, surat keterangan pajak penghasilan atau surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan. Sedangkan jaminan bahwa suami akan berlaku adil adalah dengan pernyataan atau perjanjian dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. 23 22 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundang – undangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, Bandung : Penerbit Mandar Jaya, 1990 , cet. Ke -1, h.35. 23 Ibid 30 d. Persetujuan isteri tidak diperlukan lagi dalam hal isteri tidak mampu menjadi pihak dalam perjanjian seperti isteri kurang mampu untuk melakukan perbuatan hukum karena sakit ingatan, gila, ganguan saraf dan lain–lain, tidak ada kabar dari isteri selama sekurang–kurangnya dua tahun, karena sebab–sebab lain yang perlu dapat penilaian hakim berupa keadaan–keadaan yang menjadi alasan dan perlu dipertimbangkan dalam memberikan keputusan, seperti itikad isteri tidak memberikan persetujuan dengan maksud jahat agar suami tersiksa lahir batinnya atau hendak mempermainkan saja atau keadaan tentang adanya kabar dari isterinya akan tetap domisili yang jelas tidak diperoleh sedang suami telah berusaha keras mencarinya. 24 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Perkawinan tersebut telah berpihak pada kewajaran dan nyata dalam hal poligami yaitu, poligami diperbolehkan dengan syarat–syarat yang ketat.

2. Poligami dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang