30
d. Persetujuan isteri tidak diperlukan lagi dalam hal isteri tidak mampu
menjadi pihak dalam perjanjian seperti isteri kurang mampu untuk melakukan perbuatan hukum karena sakit ingatan, gila, ganguan saraf dan
lain–lain, tidak ada kabar dari isteri selama sekurang–kurangnya dua tahun, karena sebab–sebab lain yang perlu dapat penilaian hakim berupa
keadaan–keadaan yang menjadi alasan dan perlu dipertimbangkan dalam memberikan keputusan, seperti itikad isteri tidak memberikan persetujuan
dengan maksud jahat agar suami tersiksa lahir batinnya atau hendak mempermainkan saja atau keadaan tentang adanya kabar dari isterinya
akan tetap domisili yang jelas tidak diperoleh sedang suami telah berusaha keras mencarinya.
24
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Perkawinan tersebut telah berpihak pada kewajaran dan nyata dalam hal
poligami yaitu, poligami diperbolehkan dengan syarat–syarat yang ketat.
2. Poligami dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam.
Secara resmi Kompilasi Hukum Islam KHI merupakan hasil consensus ijma’ ulama melalui media lokakarya, yang kemudian mendapat
legalitas dari kekuasaan negara dan disebarluaskan untuk memenuhi
24
Martiman Prodjohamidjojo, Tanya Jawab Mengenai Undang – undang Perkawinan dan Pelaksanaannya disertai Yurisprudensi, Jakarta : Pradya Paramita, 1979 h.26
31
kebutuhan hukum substansial bagi orang–orang yang beragama Islam.
25
Selain itu perumusan KHI bertujuan untuk menyiapkan pedoman yang seragam unifikatif bagi Hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum
positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam.
26
Masalah poligami dalam KHI terdapat pada Buku 1 Bab IX pasal 55–59 berikut akan dikutipkan pasal demi pasal.
27
Pasal 55 1
Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
2 Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku
adil terhadap isteri–isteri dan anak–anaknya. 3
Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
Pasal 56 1
Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2 Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat 1 dilakukan menurut
tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
3 Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat
tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
1 Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat 2 maka untuk
memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat–syarat yang
25
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998, cet. Ke -2, h. 122.
26
Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000 , cet. Ke -4, h. 43.
27
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Departemen Agama RI Tahun 1998 1999, h. 33 –
35.
32
ditentukan pada pasal 5 Undang–undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, yaitu :
a. Adanya persetujuan dari isteri atau isteri–isteri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
isteri–isteri dan anak–anak mereka. c.
Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak–anak mereka.
2 Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b. PP No. 9 Tahun 1975,
persetujuan isteri atau isteri–isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan isteri, pada sidang pengadilan agama.
3 Persetujuan dimaksud ayat 1 Huruf a. tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila isteri atau isteri–isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar
dari isteri atau isteri–isterinya sekurang–kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
Pasal 59 Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin
untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat 2 dan pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan
tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri
atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Jika diperhatikan, substansi poligami dalam KHI tidak berbeda dengan aturan poligami dalam Undang–undang Perkawinan. Hal ini dikarenakan dalam
bidang perkawinan buku 1 KHI, dalam pelbagai hal, merujuk kepada peraturan perundang–undangan yang berlaku. Disamping itu, KHI juga merujuk kepada
pendapat fuqaha para ahli fiqih yang sangat dikenal di kalangan ulama dan masyarakat Islam Indonesia. Maka dapat dikatakan, KHI merupakan norma
hukum antara yang ditetapkan oleh penguasa negara dan pandangan ulama.
28
28
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998 , cet. Ke -2, h. 125
33
3. Poligami menurut PP No. 10 Tahun 1983.