1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa.
1
Secara realita perkawinan adalah bertemunya dua mahluk lawan jenis yang mempunyai kepentingan dan pandangan hidup yang sejalan.
2
Sedangkan tujuan perkawinan itu adalah supaya manusia mampunyai kehidupan yang
bahagia dunia dan akherat, atau dengan kata lain perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warohmah.
Seiring dengan tujuan tersebut maka dapat di artikan juga agar perkawinan menjadi kekal dan abadi sehingga tidak putus begitu saja. Ini juga mengandung
pengertian bahwa pernikahan adalah akad suci yang mengandung serangkai perjanjian diantara dua belah pihak,yakni suami dan istri. Maka kedamaian kedua
istri sangat bergantung pada pemenuhan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut.
1
Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan, Bandung: Fokus Media, 2005, cet. ke-1, hal. 1.
2
Titik Triwulan Tutik , Poligami Prespektif Perikatan Nikah, Jakarta : Prestasi Pustaka Raya, 2007 cet, h. 4.
2
Bahkan menyebut pernikahan itu sebagai mitsaqqan ghalizan perjanjian yang kokoh, seperti termaktub pada ayat tersebut:
ﺎﹰﻈﻴﻠﹶﻏ ﺎﹰﻗﺎﹶﺜﻴﻣ ﻢﹸﻜﻨﻣ ﹶﻥﹾﺬﺧﹶﺃﻭ ﹴﺾﻌﺑ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﻢﹸﻜﻀﻌﺑ ﻰﻀﹾﻓﹶﺃ ﺪﹶﻗﻭ ﻪﻧﻭﹸﺬﺧﹾﺄﺗ ﻒﻴﹶﻛﻭ ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ
٣ :
٢١
Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada isterimu padahal kamu telah bergaul bercampur dengan yang
lain sebagai suami isteri. Dan mereka isteri-isterimu telah mengambil perjanjian yang kuat”. QS. an Nisa3 : 21
Di antara musafir menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian yang kokoh adalah perjanjian yang telah diambil Allah dari para suami. Sesuai
dengan bunyi surat Al-Baqarah ayat 231:
ﻑﻭﺮﻌﻤﹺﺑ ﻦﻫﻮﺣﺮﺳﻭﹶﺃ ﻑﻭﺮﻌﻤﹺﺑ ﻦﻫﻮﹸﻜِﺴﻣﹶﺄﹶﻓ ﻦﻬﹶﻠﺟﹶﺃ ﻦﻐﹶﻠﺒﹶﻓ َﺀﺂﺴﻨﻟﺍ ﻢﺘﹾﻘﱠﻠﹶﻃ ﺍﹶﺫﹺﺇﻭ ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ
٢ :
٢٣١
Artinya: “Apabila menalak istri-istrimu,lalu mereka mendekkati akhir
iddahnya,maka rujukilah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikan dengan yang baik pula” Qs.Al-Baqarah2 : 231.
Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat adalah poligami. Persoalan poligami bukanlah fenomena yang baru,
ini dapat di lihat bagaimana pernikahan semacam ini dilakukan oleh banyak kalangan dari waktu ke waktu meskipun sering kali menimbulkan kontroversi dari
berbagai pihak dengan alasan merugikan kaum perempuan.
3
Yang dibutuhkan sekarang adalah usaha mencerdaskan perempuan- perempuan dan menyadarkan mereka tentang hak mereka. Karena selama ini yang
selalu dimunculkan dalam wacana poligami adalah perempuan harus bahkan wajib menerima atau mengizinkan bila suami minta izin untuk beristri lagi,
dengan alasan menjalankan syariat islam, tunduk kepada perintah Allah. Rumah tangga merupakan lembaga masyarakat terkecil yang menjadi
dasar terbentuknya masyarakat yang lebih besar. Ketentraman dan keserasian masyarakat sangat besar ditentukan oleh ketentraman dan keserasian masyarakat
kacil tersebut. Banyak unsur yang menimbulkan rasa cinta kasih diantara dua orang manusia, terutama suami dan istri, namun yang paling menonjol adalah
sikap dan tindakan yang melahirkan rasa keadilan. Untuk dapat berlaku adil diperlukan pertimbangan yang matang dengan melihat seluruh aspek yang
mungkin mempengaruhi rasa keadilan itu. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai poligami, berikut ini akan
dijelaskan terlabih dahulu sepintas tentang poligami. Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak suami mengawini beberapa istri dalam satu
waktu yang bersamaan. Islam membolehkan pernikahan dengan lebih dari satu orang wanita atau satu orang laki-laki untuk lebih dari seorang wanita poligami,
hal ini sebagaimana tercantum didalam surat Annisa Ayat 3 :
…. ﻟﺍ ﻦﻣ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﺏﺎﹶﻃﺎﻣ ﺍﻮﺤﻜﻧﺎﹶﻓ
ﻉﺎﺑﺭﻭ ﹶﺙﹶﻼﹸﺛﻭ ﻰﻨﹾﺜﻣ ِﺀﺂﺴﻨ ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ
٣ :
٣
Artinya : “......maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, satu,dua,tiga, atau empat.” Qs. An-Nisa3:3.
4
Cukup logis Islam menetapkan berbagai ketentuan untuk mengatur ikatan antara laki-laki dan perempuan yaitu dalam bentuk pernikahan, sehingga dengan
kedua belah pihak, suami istri dapat memperoleh kedamaian, kecintaan, keamanan dan ikatan kekerabatan. Unsur-unsur ini sangat diperlukan untuk
mencapai tujuan perkawinan yang paling besar yaitu Ibadah kepada Allah SWT. Pada prinsipnya perkawinan menurut hukum Islam dan Undang-undang
perkawinan tahun 1974 adalah monogami, sedangkan poligami hanya pengecualian saja. Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang
mubah, namun demikian dalam pelaksanaan poligami tersebut harus dibarengi dengan keadilan terhadap para istri dan penuh dengan tanggung jawab. Apabila
tidak dibarengi dengan rasa kesdilan tidak menutup kemungkinan akan membawa dampak negatif bagi orang yang melakukan poligami.
Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan telah mengatur secara khusus tentang perkawinan, perceraian dan hal-hal yang
berkaitan dengan keduanya, telah mengakomodasi kepentingan tersebut, sebagaimana yang tertuang dalam enam azas yang prinsipil.
3
Dalam salah satu azasnya disebutkan bahwa untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,
maka suami hanya dibolehkan memiliki seorang istri dalam satu waktu. Prinsip ini lebih dikenal dengan azas monogami.
3
Enam azas yang dianut dalam UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
meliputi : 1 azas tujuan perkawinan, 2 azas syahnya perkawinan, 3 azas monogamy, 4 azas kematangan jiwa dan raga, 5 azas perceraian dipersulit, dan 6 azas keseimbangan hak dan
kedudukan suami isteri dalam membina rumah tangga.
5
Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang mubah, namun hanya demikian apabila di kehendaki oleh yang bersangkutan, seorang
suami dapat beristri lebih dari seorang setelah dipenuhinya berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Apabila bandingkan pelaksanaan
poligami menurut hukum Islam dan undang-undang perkawinan, maka secara sepintas persyaratan-persyaratan yang ditentukan antara kedua peraturan itu tidak
sama, namun apabila dikaji lebih lanjut kedua peraturan tersebut memiliki persamaan tujuan.
Keberadaan poligami atau menikah lebih dari seorang isteri dalam lintasan sejarah bukan merupakan masalah baru. Poligami telah ada dalam kehidupan
manusia sejak dahulu kala diantara berbagai kelompok masyarakat diberbagai kawasan dunia. Orang-orang Arab telah berpoligami jauh sebelum kedatangan
Islam. Demikian pula masyarakat di luar bangsa Arab, bahkan di Arab sebelum Islam telah dipraktekkan poligami yang tanpa batas. Bentuk poligami ini dikenal
pula oleh orang-orang Babilonia, Abbesinia, dan Persia.
4
Memang masalah poligami tetap menarik diperbincangkan dan menimbulkan pro dan kontra di dalamnya. Menurut Nasaruddin Umar, kondisi
sosio kultural saat turunnya ayat Al-Quran yang mengizinkan poligami adalah setelah perang Uhud dimana umat Islam kalah dan populasi laki-laki dan
perempuan tidak imbang. “Berdasarkan studi-studi yang ada, poligami umumnya
4
Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007, cet. 1. h. 57.
6
membawa kesengsaraan pada umat, negara, dan bangsa,” ujar Nasaruddin.
5
Bahkan Musdah Mulia berpendapat poligami pada hakikatnya merupakan penghinaan terhadap perempuan.
6
Lain halnya, Hartono Jaiz berpendapat bahwa peraturan tentang poligami dan praktiknya di dunia Islam mempunyai manfaat
besar yang membersihkan masyarakat dari akhlak yang tercela dan menghindarkan penyakit masyarakat yang banyak timbul di negara-negara yang
tidak mengenal poligami yakni pelacuran.
7
Praktik poligami ini khusus di Indonesia telah terjadi di berbagai kalangan, pengusaha, kiai, ulama, politisi, artis,
maupun tokoh masyarakat. Pemilik Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo, Puspo Wardoyo, dengan bangga telah memberikan Polygami Award kepada laki-
laki yang melakukan praktik poligami. Bahkan ia mengatakan: “Poligami jangan dilarang karena poligami bagi saya adalah kebutuhan paling primer. Bisa
bahaya kalau jadi presiden, saya akan mengangkat orang yang berpoligami untuk menjadi menteri”.
8
Sekarang orang bukan hanya ramai-ramai membicarakan poligami tetapi juga melakukan praktik poligami. Memang kita
ketahui praktik poligami bukan kisah baru dalam catatan sejarah umat manusia di belahan bumi ini. Tidak terkecuali di Indonesia. antara lain: Puspo Wardoyo
5
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007, cet. 1. h 194.
6
Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, Jakarta, 1999, Cet. 1. h. 50.
7
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2007, cet. 1. h 124.
8
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, Yogyakarta : Pustaka Marwa, 2007 cet 1, h. 22.
7
pengusaha, Aa Gym kiai dan pebisnis, Zainal Ma’arif politisi, KH. Noer Iskandar SQ kiai dan pengasuh pesantren, Fauzan al Anshari aktivis dakwah,
bukanlah wajah-wajah baru yang membuat sejarah poligami di Indonesia. Jauh sebelum mereka, para raja dahulu mempunyai isteri selir yang tidak terhitung
jumlahnya, kiai pun mempunyai isteri lebih dari satu orang. Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur dalam Islam
tidak ada ketentuan secara pasti. Namun di Indonesia Undang – undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam KHI menganut
kebolehan poligami, telah mengatur walaupun terbatas sampai empat orang istri. Ketentuan tercantum dalam pasal 3 – 4 Undang – Undang perkawinan dan Pasal
55 – 57 KHI. Kebolehan poligami dalam KHI tertuang pada bab IX pasal 55 – 59, antara lain menyebutkan : syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus
mampu berlaku adil terhadap isteri – isteri dan anak-anaknya pasal 55 ayat 2 . Selain syarat utama tersebut ada lagi syarat lain yang harus dipenuhi sebagaimana
termaktub dalam pasal lima 5 Undang –Undang nomor 1 tahun 1974, yaitu adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka. Pasal-pasal ini adalah suatu bagian dari prosedur apabila seorang suami
hendak berpoligami. Diperbolehkannya poligami dalam Islam itu bukan dibuka lebar, akan tetapi sebagai solusi dalam keadaan tertentu yang diperkenankan
diperbolehkan, bagi orang-orang yang memerlukannya, dengan syarat adanya kepercayaan pada dirinya bahwa ia dapat berlaku adil dan untuk berbuat jujur.
8
Namun, dari praktek poligami yang menimbulkan polemik penulis merasa
tertarik untuk membahas dan mengangkat judul skripsi “ Pandangan Tokoh Masyarakat Kecamatan Sawangan Kota Depok Terhadap Poligami”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah