Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
                                                                                individual manusia sebagai hamba Allah dan tugas ini diwujudkan dalam bentuk pangabdian ritual kepada Allah SWT
4
; Kedua, manusia sebagai khalifah, dituntut untuk sukses menjalin hubungan secara horizontal dengan sesama makhluk. Tidak
sukses  sebagai  hamba,  jika  seseorang  gagal  dalam  menjalani  tugasnya  sebagai khalifatullah.  Begitu  sebaliknya,  tidak  sukses  sebagai  khalifah,  jika  seseorang
gagal menjalin hubungan sebagai hamba dengan Tuhan. Manusia yang paripurna atau  manusia  seutuhnya  insan  kamil  adalah  orang  yang  sukses  sebagai  hamba
juga sebagai khalifah. Dalam  pembahasan  mengenai  manusia  kita  dapat  menemukan  kajian  yang
membahas  tentang  kedudukan  manusia  di  alam  semesta  ini,  selalu  bahasan  itu dihubungkan  dengan  konsep  kekhalifahan  manusia  di  muka  bumi,  dan  konsep
ibadah sebagai bentuk manifestasi tugas kekhalifahannya. Secara filosofis kata khalifah ditafsirkan ke dalam tiga definisi, yaitu :
a. Manusia  sebagai  species  telah  menggantikan  species  lain  yang  sejak  itu
manusia  bertempat  tinggal  di  muka  bumi.  Karena  diakui,  bahwa  jin mendahului manusia, maka manusia sebagai pengganti jin.
b. Kata khalifah secara sederhana menunjuk kepada sekelompok masyarakat
yang menggantikan kelompok lainnya. Yang termuat dalam QS. An-Naml :  62  yang  artinya  :
“Dia  menjadikan  engkau  pewaris-pewaris  di  muka bumi”.
c. Dinyatakan  bahwa  khalifah  tidak  secara  sederhana  menggantikan  yang
lainnya,  yang  secara  nyata  memang  benar-benar  khalifah  Allah.  Allah pertama  kali  menjadikan  khalifah  yang  berjalan  dan  bertingkah  laku
mengikuti ajaran Allah. Dari  uraian  penafsiran  di  atas,  penekanan  kata  khalifah  yang  dimaksudkan
khalifah  Allah  adalah  hubungan  yang  dibangun  antara  manusia  dengan  Allah, bukannya  secara  sederhana  antara  manusia  dengan  sesamanya  atau  hubungan
antara  manusia  dengan  jin,  tetapi  khalifah  yang  disebutkan  itu  ialah  sebagai khalifah  Allah.  Dimana  seorang  khalifah  Allah  tidak  hanya  memikirkan
4
Al-Rasyidin,  Samsul  Nizar,  Filsafat  Pendidikan  Islam;  Pendekatan  Historis,  Teoritis  dan Praktis, Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005, Cet. II, h. 19.
kepentingan  diri  sendiri,  kelompok,  atau  bangsa,  dan  jenisnya  saja.  Akan  tetapi manusia sebagai khalifatullah itu harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan
semua pihak sesuai dengan kehendak Allah. Sedangkan  menurut  Ahmad  Musthafa  Al-Maraghi,  kata  khalifah  memiliki
dua  makna.  Pertama,  adalah  pengganti,  yaitu  pengganti  Allah  SWT  untuk melaksanakan  titah-Nya  di  muka  bumi.  Kedua,  manusia  adalah  pemimpin  yang
kepadanya  diserahi  tugas  untuk  memimpin  diri  dan  makhluk  lainnya  serta memakmurkan  dan  mendayagunakan  alam  semesta  bagi  kepentingan  manusia
secara keseluruhan.
5
Dari  gambaran  di  atas,  dapat  dipahami  bahwa  tugas  manusia  di  muka  bumi ini  adalah  sebagai  khalifah  yang  diartikan  sebagai  pengganti  Allah  dan  juga
diartikan sebagai pemimpin. Manusia  dikatakan  pengganti  Allah  adalah  dimana  manusia  diberi  tangung
jawab  pengelolaan  alam  semesta  untuk  kesejahteraan  umat  manusia  itu  sendiri, karena  alam  semesta  memang  diciptakan  Allah  untuk  manusia.  Pada   dasarnya,
akhlak   yang   diajarkan  al-Qur ‟an  terhadap  lingkungan  bersumber  dari  fungsi
manusia  sebagai  khalifah,  yang  sebagaimana  Allah  SWT  telah  memberikan mandat  kepada  manusia  menjadi  penguasa  untuk  mengatur  bumi  dan  segala
isinya. Kesemu a ini merupakan “kekuasaan” dan wewenang yang bersifat umum
yang diberikan Allah kepadanya sebagai khalifah untuk memakmurkan kehidupan di  bumi.  Oleh  karenanya,  tanggung  jawab  moral  manusia  untuk  mengolah  dan
memanfaatkan seluruh sumber-sumber yang tersedia di  alam ini guna memenuhi keperluan  hidupnya.  Namun,  kewenangan  manusia  untuk  memanfaatkan  alam
semesta harus didasarkan kepada garis yang telah ditetapkan Allah SWT dan tidak boleh menyalahinya.
6
Sedangkan  kata  khalifah  yang  diartikan  sebagai  pemimpin,  dituntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya, dan jika kita menyadari diri
kita sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas dunia ini  yang  tidak  mempunyai  “kedudukan”  ataupun  “jabatan”.  Jabatan-jabatan  lain
5
Al-Rasyidin, Samsul Nizar, op. cit.,  h. 18.
6
Ibid.
yang  bersifat  keduniaan  sebenarnya  merupakan  penjabaran  dari  jabatan  pokok sebagai  khalifatullah.  Jika  seseorang  menyadari  bahwa  jabatan  keduniawiannya
itu  merupakan  penjabaran  dari  jabatannya  sebagai  khalifatullah,  maka  tidak  ada satu  manusia  pun  yang  akan  menyelewengkan  jabatannya.  Sehingga  tidak  ada
satu manusia pun yang akan melakukan penyimpangan-penyimpangan selama dia menjabat.  Karena  kekhalifahan  yang  dimaksud,  yaitu  yang  mengandung  arti
pengayoman,  pemeliharaan,  serta  pembimbingan,  agar  setiap  makhluk  mencapai tujuan penciptaannya.  Dan  manusia juga diberi otoritas ketuhanan; menyebarkan
rahmat  Tuhan,  menegakkan  kebenaran,  membasmi  kebatilan,  dan  menegakkan keadilan.  Karena,  manusia  sebagai  hamba  adalah  kecil  dihadapan  Allah  SWT,
tetapi sebagai khalifah Allah manusia memiliki fungsi yang sangat besar dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan di muka bumi.
Sehingga  pengertian  abdullah  apabila  dihubungkan  dengan  khalifah, diperoleh  pemahaman  bahwa  kedudukan  sebagai  khalifah  adalah  sebagai
pengganti,  ia  menjadi  pemegang  kepemimpinan  dan  kekuasaan  yang  ada.  Oleh karena  itu,  esensi  seorang  khalifah  adalah  kreativitas.  Sedangkan  kedudukan
seorang „abd  adalah  pengabdi,  yang  pengabdiannya  itu  hanya  layak  diberikan
pada  Tuhan.  Oleh  karena  itu,  esensi  seorang  hamba  adalah  ketaatan  dan kepatuhan.  Dengan  demikian,  kedudukan  manusia  di  alam  raya  ini  di  samping
sebagai  khalifah  yang  memiliki  kekuasan  untuk  mengolah  alam  dengan menggunakan  segenap  daya  potensi  yang  dimilikinya,  juga  sekaligus  sebagai
hamba  yang  keseluruhan  usaha  dan  kreativitasnya  itu  harus  dilaksanakan  dalam rangka ibadah kepada Allah.
Agar  manusia  mampu  menjadi  khalifah  atau  sebagai ‘abd  Allah  terhadap
alam  semesta,  maka  Allah  telah  menciptakan  manusia  dan  menyiapkannya  serta memberinya  kelengkapan  dan  sarana  yang  diperlukan  dengan  sebaik-baiknya.
Allah  telah  menciptakan  manusia  dengan  struktur  yang  sebaik-baiknya.  Sesuai dengan firman Allah:
7
7
Muhaimin,  Paradigma  Pendidikan  Islam;  Upaya  Mengefektifkan  Pendidikan  Agama  Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004, Cet. III, h. 28.
 
 
 
Sesungguhnya  Kami  telah  menciptakan  manusia  dalam  bentuk  yang  sebaik baiknya . QS. At-Tin : 4.
8
Menurut HAMKA, pada diri setiap anak manusia, terdapat tiga unsur utama yang  dapat  menopang  tugasnya  sebagai  khalifah  fi  al-ardh
maupun  „abd Allah.  Ketiga  unsur  utama  tersebut  adalah  akal,  hati  atau  qalbu  roh,  dan
pancaindra penglihatan dan pendengaran yang terdapat pada jasadnya. Akal kreatif  manusia  potensi  akal  dan  rasa  ekspresinya  potensi  qalbu  yang
menjadikan  dia  mampu  mempertahankan  eksistensinya  sebagai  pembawa
amanat  “ibadah”  dan  sekaligus  “khilafah”  di  tengah-tengah  posisinya  yang menonjol dalam hubungannya dengan Tuhan.
9
Dan  dalam  usaha  manusia  menyiapkan  dirinya  dan  mengembangkan potensinya  agar  sampai  pada  kedudukan  sebagai  “pembawa  amanah”  yang
berhasil,  tidak  dapat  bekerja  sendiri  tanpa  memanfaatkan  bimbingan  Tuhan, mencari  hidayah-Nya,  menggapai  rahmat-Nya  memegang  teguh  fitrah  yang
diberikannya, baik “fitrah mukhalaqoh” fitrah yang dibekalkan kepada manusia
sejak diciptakan maupun “fitrah munazzalah” doktrin kehidupan yang diberikan
oleh  Allah  sebagai  acuan  bagi  manusia  dalam  menyusuri  perjalanan  hidupnya yang  penuh  tantangan.
10
Sehingga  perpaduan  tiga  unsur  tersebut  membantu manusia  untuk  memperoleh  ilmu  pengetahuan  dan  membangun  peradabannya,
memahami  fungsi  kekhalifahannya,  serta  menangkap  tanda-tanda  kebesaran Allah.  Dan  manusia  yang  telah  diberi  kelengkapan  kemampuan  jasmaniah
fisiologis dan rohaniah mental psikologis tersebut dapat ditumbuhkembangkan seoptimal  mungkin,  sehingga  menjadi  alat  yang  berdaya  guna  dalam  ikhtiar
kemanusiaannya untuk melaksanakan tugas pokok kehidupannya di dunia. Untuk mengembangkan atau menumbuhkan kemampuan dasar jasmaniah dan
rohaniah  itu,  pendidikan  merupakan  sarana  alat  yang  menentukan  sampai  di mana  titik  optimal  kemampuan-kemampuan  tersebut  dapat  dicapai.  Melalui
pendidikan,  manusia  akan  memperoleh  ilmu  pengetahuan  yang  dapat
8
Departemen Agama RI, op. cit., h. 1076.
9
Samsul  Nizar,  Memperbincangkan  Dinamika  Intelektual  dan  Pemikiran  HAMKA  tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008, h. 121.
10
Muhammad  Tholhah  Hasan,  Islam  dan  Masalah  Sumber  Daya  Manusia,  Jakarta: Lantabora Press, 2004, Cet. III , h. 84.
dipergunakannya  memilah  nilai  baik  dan  buruk,  serta  menciptakan  berbagai kebudayaan yang berfungsi mempermudah dan memperindah kehidupannya.
Pendidikan  merupakan  proses  menumbuhkembangkan  eksistensi  manusia yang bermasyarakat dan berbudaya dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal,
nasional,  dan  global.  Dan  penidikan  juga  bukan  sekedar  proses  transfer  of knowledge,  akan  tetapi  merupakan  petunjuk  dan  penangkal  berbagai  fenomena
sosial,  berikut  ekses  yang  dibawanya.
11
Dalam  pandangan  Ibnu  Khaldun bahwasannya  pendidikan  berusaha  untuk  melahirkan  masyarakat  yang
berkebudayaan  serta  berusaha  untuk  melestarikan  eksistensi  masyarakat selanjutnya.  Pendidikan  diarahkan  kepada  pengembangan  sumber  daya  manusia
yang berkualitas. Konsepsi  pendidikan  menurut  pandangan  Ibnu  Khaldun  untuk  menghadapi
masa  depan  yang  lebih  baik,  yaitu  untuk  melahirkan  masyarakat  yang berkebudayaan  serta  berusaha  untuk  melestarikan,  meningkatkan,  dan
mempertahankan  eksistensinya.  Tujuan  pendidikan  diarahkan  untuk  membantu individu  agar  dapat  hidup  lebih  baik  dalam  masyarakat  yang  berkualitas,  yang
dapat  hidup  layak  dalam  dunia  yang  sedang  maju,  dan  mampu  mempertahankan eksistensinya dalam masyarakat modern.
12
Dan  apabila  berbicara  tentang  Pendidikan  Islam,  kita  tidak  bisa  melepaskan dari struktur bangunan Islam dilandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam
kitab  suci  al- Qur‟an.  Karena  al-Qur‟an  mampu  mengantar  dan  mengarahkan
manusia  bersifat  dinamis  dan  kreatif,  serta  mampu  mencapai  esensi  nilai-nilai ‘ubudiyah pada Khaliqnya.
13
Karena  pada  dasarnya,  pendidikan  Islam  merupakan  proses  mentransfer sejumlah  ilmu  dan  sekaligus  membentuk  watak  pribadi  manusia,  sesuai  dengan
nilai-nilai ajaran Islam. Melalui ilmu yang dibalut dengan  akhlak, manusia dapat menciptakan  berbagai  bentuk  kebudayaan  teknologi  yang  bermanfaat  bagi
seluruh  alam  semesta.  Di  sinilah  letak  fungsi  kekhalifahan  manusia  sebagai
11
Samsul Nizar, op. cit., h. 127.
12
Nurhamzah,  “Media  Pendidikan;  Nilai-nilai  Tujuan  Pendidikan  Islam  Menurut  Ibnu Khaldun”, Jurnal Pendidikan Keagamaan, Vol. XXIV, 2009, h. 47.
13
Soleha, Rada, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: PT. Alfabeta, 2011, Cet. I, h. 26-27.
rahmatan li
al- ‘alamin.  Dengan  pendidikan  manusia  dapat  menata
kebudayaannya  secara  proporsional.  Oleh  karena  itu,  tidak  berlebihan  jika Gazalba memberikan batasan, bahwa maju mundurnya peradaban manusia, sangat
ditentukan  oleh  dinamika  manusia  untuk  mengembangkannya.  Tumbuhnya dinamika intelektual umat manusia, sangat tergantung pada pola pendidikan yang
ditawarkannya.  Di  sini  terlihat,  bagaimana  sesungguhnya  pendidikan  memiliki hubungan  simbiosis  mutualis  dengan  berbagai  aspek  kemanusiaan.
14
Pendidikan Islam  dijadikan  sebagai  sarana  yang  kondusif  bagi  proses  transformasi  ilmu
pengetahuan dan budaya Islam dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
15
Maka  pendidikan  Islam  harus  merupakan  upaya  yang  ditujukan  ke  arah pengembangan  potensi  yang  dimiliki  manusia  secara  maksimal,  sehingga  dapat
diwujudkan dalam bentuk konkrit, dalam arti berkemampuan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungannya sebagai realisasi fungsi
dan tujuan penciptaannya, baik sebagai khalifah maupun ‘abd.
Dengan  mencermati  secara  mendalam  urgensi  konsep  khalifatullah  yang dalam  kaitannya  dengan  pendidikan  Islam,  memberikan  inspirasi  penulis  untuk
lebih  jauh  mengungkap  konsep  khalifah  dan  implikasinya  terhadap  pendidikan Islam  menurut  M.  Quraish  Shihab,  yang  sebagai  salah  seorang  ilmuan  yang
menjadikan  Al-Quran  sebagai  obyek  kajiannya. Sehingga  penulis  memberi  judul penulisan ini dengan judul
“Konsep Khalifah Menurut M. Quraish Shihab dan Implikasinya terhadap
Pendidikan Islam”.
                