konsep pendidikan karakter bangsa menurut tafsir almisbah karya M.Quraish Shihab

(1)

TAFSIR AL-MISBAH KARYA M. QURAISH SHIHAB

TESIS

Di susunoleh: JULIASARI NIM 2811011000001

Pembimbing :

Prof. Dr. ZAINUN KAMAL F, MA Dr. AKHMAD SODIQ, MA

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

Tesis ini menemukan temuan sementara bahwa konsep pendidikan karakter bangsa menurut Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab lebih Pancasilais jika dibandingkan dengan konsep pendidikan karakter yang ditetapkan oleh Pemerintah melalui Kemendiknas. Konsep Pendidikan Karakter Bangsa menurut Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab tidak sekedar menanamkan, memupuk, dan menumbuhkan beraneka ragam karakter bangsa pada individu manusia semata, namun juga yang terpenting adalah kesemuanya dilandaskan atas prinsip ketauhidan. Dengan demikian, konsep Pendidikan Karakter Bangsa menurut Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab lebih Pancasilais. Karena, sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi ruh bagi kedelapanbelas pendidikan karakter bangsa yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kemendiknasnya.

Kedelapanbelas komponen pendidikan karakter bangsa: religius, jujur, toleransi, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab dalam Tafsir al-Mishbah membentuk karakter bangsa yang rahmat bagi seluruh makhluk (rahmatan li al-alamin).

Metode penelitian ini bersifat kualitatif, karena hanya memustakan pada kegiatan ontologisme, yaitu pengumpulan data berupa kata-kata, gambar yang memiliki yang lebih nyata daripada sekedar angka atau frekuensi, sehingga analisis pun bukan menggunakan angka, tetapi dengan interprestasi terhadap data yang berupa kata-kata, kalimat ataupun dokumentasi lainnya. Metode yang digunakan adalah Tafsir

Maudhu’i (tafsir tematik). Selain itu, penelitian ini juga menekankan pada analis induktif. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dengan pendekatan kualitatif dengan membaca sumber utama atau primer Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab dari Volume 1 sampai 15.


(6)

(7)

(8)

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata‟ala yang telah memberikan hidayah yang diberikan, sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Selesainya tesis dengan judul” Konsep Pendidikan Karakter Bangsa Menurut Tafsir al-Misbah Karya M.Quraish Shihab” Ini memberikan kebanggaan tersendiri bagi penulis. Tentunya, banyak kalangan yang terlibat memberikan kontribusi baik dalam bentuk materi, pikiran, maupun waktu mulai dari persiapan penelitian (proposal) hingga BAB V dalam bentuk karya tesis.

Tesis ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak yang telah ikut mendukung baik secara moral, pengayaan gagasan serta metodologi penelitian. Oleh karena itu dari lubuk yang paling dalam, Penulis menghaturkan terima kasih sebanyak-banyaknya

Kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA . Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Prof.Dr.H.Zainun kamal,MA dan Dr.Akhmad Sodiq, MA. Dosen

pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi sehingga selesai tesis ini.

3. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan

4. Dr. Fahriany, M.Pd. Ketua Program Studi Magister FITK

5. Dr. Jejen Musfah, MA. Sekretaris Program Magister FITK serta penguji Work in Progres I, II dan sidang promosi tesis yang telah memberikan motovasi dengan memberikan tahapan cara menulis yang baik dan benar 6. Prof. Dr. Rif‟at Syauqi Nawawi. MA . Penguji promosi sidang tesis yang

telah memberikan masukan dan arahannya.

7. Prof. Dr. Salman Harun, MA . Penguji Work in Progres II

8. Dr. Khalimi, MA . Penguji Komprehensif , Work in progress I dan II serta sidang promosi tesis yang telah memberikan motivasi

9. Dr. Anshari, Lal, MA. (alm) selaku penguji Komprehensif dan Work in Progres 1 yang telah memberikan masukan positif

10.M.Zeni S, Adam Ziad dan Kafka Ranggani yang merupakan bagian dari keluarga yang dengan ikhlas memberikan semangat.

Akhirnya, penulis mengucapkan do‟a kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis dan kepada semua pihak, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang turut memberikan jasa dan budi baiknya.

Jakarta, 10 Juli 2015 Juliasari


(9)

HALAMAN JUDUL ... i

PERYATAAN PENULIS ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

PEDOMAN LITERASI ... vii

BAB 1 : PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Permasalahan ... 8

C.Tujuan Penelitian ... 9

D.Tinjauan kepustakaan ... 9

E. Metode Penelitian ... 9

BAB II : KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA A.Pengertian dan Tujuan Pendidikan ... 11

B.Pengertian Karakter ... 13

C.Pendidikan Karakter Bangsa ... 19

D.Fungsi dan Tujuan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa ... 25

E. Pendidikan Karakter Menurut al-Quran ... 27

BAB III : BIOGRAFI QURAISH SHIHAB A. Pendidikan dan karir ... 32

B. Karya-karya M.Qraish shihab ... 34

C. Karakteristik Tafsir al-Misbah ... 35

BAB IV : ANALISIS PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA DALAM TAFSIR AL-MISBAH A. Religius ... 41

B. Jujur ... 51

C. Toleransi ... 57

D. Disiplin ... 69

E. Kerja Keras ... 78

F. Kreatif ... 86


(10)

I. Rasa Ingin Tahu ... 107

J. Semangat Kebangsaan ... 111

K. Cinta Tanah Air ... 114

L. Menghargai Prestasi ... 116

M. Bersahabat/Komunikatif ... 119

N. Cinta Damai ... 122

O. Gemar Membaca ... 132

P. Peduli Lingkungan ... 138

Q. Peduli Sosial ... 146

R. Tanggung Jawab ... 149

BAB V : PENUTUP ... 155


(11)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Para pakar pendidikan, yang kemudian diamini oleh pemerintah, menyebutkan “nation and character building” (membangun karakter bangsa) adalah tugas dan

inti pokok tujuan pendidikan nasional Negara Republik Indonesia (Azra, 2006; Djalil dan Megawangi, 2006; Jalal dan Supriadi, 2001; Suyatno, 2010; Lickona, 1992; Lickona, Schaps, Lewis, 2007). Apapun bentuk kurikulum pendidikan nasional, bertujuan untuk membentuk generasi bangsa yang berkarakter kebangsaan. Visi-misi profetik pendidikan nasional Indonesia diterjemahkan kemudian oleh pemerintah melalui “Pendidikan Karakter” (BSNP, 2006; Tim Pendidikan Karakter-Kemendiknas, 2010).

Pendidikan karakter bangsa menjadi “booming”, seakan ini adalah hal baru

pendidikan di Indonesia. Dapat dilihat misalnya, tiap pidato pejabat Negara, di kementerian dan lemabaga apapun, judulnya adalah “Membangun Karakter Bangsa” atau “Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa”, bahkan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), melalaui Badan Penelitan dan Pengembangan-Kemendiknas, memunculkan 18 (delapanbelas) karakter bangsa yang menjadi acuan/pedoman pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 – 2025; PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014; Inpres No.1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pembangunan Nasional Tahun 2010; Permendiknas No.22 Tahun 2006 tentang Standar Isi; Permendiknas No.23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan; Permendiknas No, 2 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional).

Kemudian, Kemendiknas mewajibkan Pusat Kurikulum dan Buku (Puskurbuk) meredisain Kurikulum Nasional yang berpedoman pada 4 Pilar bangsa. Setiap mata pelajaran di sekolah harus berpedoman dan menanamkan 4 Pilar itu. Sehingga Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI harus diterjemahkan ke dalam setiap mata pelajaran. Secara konsep sosiologis, 18 nilai karakter yang dikembangkan Kemendikbud ini digali dari nilai-nilai khas/asli bangsa Indonesia. Pertanyaan yang menggelitik penelitian ini adalah bagaimanakah konsep pendidikan karakter bangsa yang terperinci dalam 18 nilai secara Islami?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan mendedahkan konsep pendidikan karakter bangsa menurut Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab. Mengapa Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab? Menurut penulis, Quraish Shihab merupakan salah seorang penulis yang produktif yang menulis berbagai karya ilmiah baik yang berupa artikel dalam majalah maupun yang berbentuk buku yang diterbitkan yang paling banyak dipercayai oleh umat Islam dengan berbagai aneka-ragam mazhab-nya. Selain itu, ia merupakan praktisi pendidikan Mantan


(12)

Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang juga menulis berbagai wilayah kajian yang menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer, tak terkecuali pendidikan. Salah satu karya yang fenomenal dari Quraish Shihab adalah tafsir al-Misbah.

Pengambilan nama Al-Misbah pada kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab tentu saja bukan tanpa alasan. Bila dilihat dari kata pengantarnya ditemukan penjelasan, yaitu al-Misbah berarti lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yaitu memberi penerangan bagi mereka yang berda dalam kegelapan. Dengan memilih nama ini, dapat diduga bahwa Quraish Shihab berharap tafsir yang ditulisnya dapat memberikan penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur‟an secara lansung karena kendala bahasa. Disamping itu, beliau juga berharap agara karyanya dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pegangan hidup. Al-Qur‟an itu adalah petunjuk, tapi karena al-Qur‟an disampaikan dengan bahasa Arab, sehingga banyak orang yang kesulitan memahaminya. Disinilah manfaat tafsir Al-Misbah diharapkan, yaitu dapat membantu mereka yang kesulitan memahami wahyu ilahi tersebut, begitupun dengan konsep pendidikan karakter bangsa (Shihab, Vol. 15, 2006: 645).

Sementara itu, pendidikan di Indonesia cendrung mengukur keberhasilan pendidikan dari kelulusan nilai ujian dan juga angka-angka yang bagus dalam

raport guna memenuhi keberhasilan suatu pendidikan. Padahal yang demikian itu cendrung mengabaikan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang bermakna sebagai standar pendidikan, yang mengakibatkan pendidikan di Indonesia tidak membaik, terlebih lagi dapat membentuk karakter kebangsaan. Karena mengabaikan potensi pendidikan untuk membangun masyarakat, lingkungan dan bangsanya. Kondisi pelajar dewasa ini cukup memprihatinkan, maraknya seks bebas dikalangan pelajar, beredarnya video-video porno, penyalahgunaan narkotika, tawuran antar pelajar, pelanggaran nilai-nilai agama, moral dan etika (Estede, 2014).

Berlawanan dengan fakta negatif pelajar di atas, berbagai pengalaman menunjukan bahwa bangsa Indonesia ini merupakan bangsa yang unik. Unik merujuk pada kondisi yang dialami bangsa sampai saat ini. Banyak orang yang menilai dan bertanya, apa yang salah dengan bangsa ini? Mungkin gambaran ini dapat kita lihat apa yang salah dengan bangsa ini. Pertama, kondisi moral generasi muda yang rusak, hal ini ditandai dengan maraknya seks bebas di kalangan remaja, peredaran narkoba, tawuran pelajar, peredaran foto dan video porno pada kalangan pelajar dan sebagainya. Kedua, pengangguran terdidik yang mengkhawatirkan (lulusan SMA, SMK dan perguruan tinggi). Ketiga, rusaknya moral bangsa dan mejadi akut, korupsi, asusila, kejahatan, tindakan criminal pada semua sektor pembangunan, dan lain-lain). Keempat, kemiskinan yang mencapai 40 juta dan terus bertambah. Kelima, daya kompetitif yang rendah, sehingga banyak produk dalam negeri dan sumber daya manusia tergantikan oleh produk dan sumber daya manusia luar negeri (Kesuma dkk, 2012: 2).


(13)

Anshari menambahkan informasi bahwa kemorosotan moral tersebut tidak hanya di Indonesia saja yang pernah mengalaminya, bahkan Negara besar dan maju seperti Amerika, Inggris, Prancis, Jepang, China juga pernah mengalaminya. Sehingga untuk keluar dari masalah tersebut, para pendidik disana menganjurkan agar pendidikan nilai dilaksanakan disemua sekolah (Anshari, 2012: 3). Menyikapi problema pendidikan di atas, E. Mulyasa menyimpulkan bahwa korban dari pendidikan yang kurang efektif dan sedang mengalami krisis sebenarnya adalah peserta didik, bukan guru. Kondisi seperti ini tidak dapat dibiarkan berlarut larut dan berjalan terus menerus. Harus diciptakan suatu cara sehingga keingintahuan anak anak yang bersifat alamiah, perbedaan individual, dan kemampuan peserta didik sendiri dapat penghargaan dan berkembang secara wajar (Mulyasa, 2009: 60). Menurut Darma Kusuma, dalam kerangka inilah perlunya modernisasi pembelajaran untuk mewujudkan proses pembelajaran yang efektif, dengan system evaluasi yang adil dan transparan untuk mewujudkan perbaikan yang berkesinambungan. Pembelajaran efektif ditandai oleh sifatnya yang menekankan pada pemberdayaanpeserta didik secara aktif. Pembelajaran bukan sekedar memorasi dan recall, bukan pula sekedar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan, tetapi lebih penekanan kepada interalisasi apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani serta dihayati dan dipraktekan dalam kehidupan oleh peserta didik. Pembelajaran efektif juga akan melatih dan menanamkan sikap demokratis bagi peserta didik. Lebih dari itu, pembelajaran efektif menekan kan bagaimana agar peserta didik mampu belajar cara belajar (learning how to learn) (Kesuma, 2009: 4).

Ia juga menjelaskan bahwa melalui kreatifitas guru, pembelajaran dikelas melalui sebuah aktifitas yang menyenangkan (joyfull learning). Pembelajarn efektif antara lain mewujudkan dengan kecakapan hidup (life skill), dan kompetisi kewirausahaan (enterpreneurship) kepada peserta didik, sebagai bekal dasar sebagi hidup dimasyarakat yang sangat beragam dan penuh tantangan. Moderalisasi pembelajaran juga ditandai dengan sistem evaluasi yang efektif dan perbaikan berkelanjutan. Evaluasi secara teratur bukan hanya ditunjukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tapi yang terpenting adalah memanfaatkan hasilnya untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses pembelajaran sistem evaluasi harus mampu memberikan umpan balik kepada guru untuk terus menerus meningkatkan kemampuan setiap peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan (Kesuma, 2009: 4).

Di sisi lain, Sunarsih (2010) berpendapat bahwa pendidikan dan pengajaran, baik formal, nonformal maupun informal, merupakan salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, agar manusia tersebut dapat berhasil dalam kancah perjuangan hidup bermasyarakat dan bernegara. Juga menjadi bekal dalam meniti kehidupan serta menjadikan manusia yang beramal saleh. Pendapat Sunarsih diperkuat oleh pakar Pendidikan Karakter Thomas Lickona bahwa dunia pendidikan perlu mengangkat masalah-maslah moral yang muncul, mulai dari masalah ketamakan dan ketidakjujuran hingga tindak kekerasan dan pengabaian diri, seperti penyalah


(14)

gunaan narkoba dan tindakan bunuh diri. Pandangan baru tentang konsep pendidikan moral pun akhirnya mencapai suatu kesepakatan. Saat ini, di seluruh dunia mulai dari masyarakat secara individual sampai dengan organisasi kemasyarakatan, baik kaum liberal maupun konservatif, telah meminta sekolah-sekolah untuk melibatkan peran pendidikan moral sebagai bagian dari pendidikan anak-anak (Lickona, 2012: 4).

Sejalan dengan pendapat Lickona, pakar pendidikan Indonesia Abuddin Nata (2010: 150) juga menyatakan lebih lanjut bahwa pendidkan karakter juga terkait dengan tiga mantra pendidikan, yaitu pendidikan individual, pendidikan sosial, dan pendidikan moral. Pendidikan individual terkait dengan kebebasan seseorang mengekpresikan diri dan potensinya secara bertanggung jawab, sehingga ia memiliki kebebasan untuk melakukan pilihan pilihan atas berbagai alternatif yang kemudian menjadikan pilihan moralnya.

Kepedulian masyarakat mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa telah pula menjadi kepedulian pemerintah. Berbagai upaya pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa telah dilakukan diberbagai direktorat dan bagian lembaga pemerintah, terutama di berbagai unit Kementerian Pendidikan Nasional. Upaya pengembangan itu berkenaan dengan berbagai jenjang dan jalur pendidikan walaupun sifatnya belum menyeluruh. Keinginan masyarakat dan kepedulian pemerintah mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa dan menjadi salah satu program unggulan pemerintah, paling tidak lima tahun mendatang. Pedoman sekolah ini adalah rancangan operasionalisasi kebijakan pemerintah dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa (Kesuma dkk, 2009: 2).

Saat ini pendidikan karakter sedang dan telah menjadi trend serta isu penting dalam sistem pendidikan. Upaya menghidupkan kembali (reinventing) pendidikan karakter ini tentunya bukanlah hal yang mengada-ada, tetapi justru merupakan amanat yang telah digariskan dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” (Kesuma dkk, 2009: 6). Amanah UU Sisdiknas Tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau karakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafaskan nilai-nilai luhur bangsa serta agama (Undang-Undang SistemPendidikan Nasional no. 20 Tahun 2003, Pasal 3 ayat 2 dan 3).

Menurut Ibnu al-Qayyim, sebagaimana dikutip Yayah Khaeriyah (2010: 10), menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang utama adalah mengantarkan anak pada tujuan penciptaannya, yaitu beribadah kepada Allah semata dan beribadah kepada Allah itu menurut adanya ilmu tentang hakikatnya. Berupa ilmu mengenai asma, sifat, perintah dan seluruh larangan-Nya. Ibadah menuntut kepada kedua dasar utama, pertama Kecintaan kepada Allah. Kedua, kerendahan hati dan ketundukan kepada-Nya. Pendidikan pada anak sejak usia dini diakui sebagai periode yang sangat penting dalam pengembangun sumber daya manusia (SDM), sehingga


(15)

stimulasi dini yang salah satunya adalah pendidikan mutlak diperlukan dalam membentuk kepribadian dan karakter yang tepat pada anak, baik itu yang ada hubungannya dan karakter anak atau sebagai warga negara yang baik.

Dalam ajaran Islam, fase pendidikan kepada bayi dimulai dengan melantunkan

azan di telinga kanannya, dan iqamat di telinga kirinya. Ajaran ini bertujuan untuk memperkenalkan sejak dini kata-kata yang berisikan kebesaran dan keagungan Tuhan kepada anak. Dengan mendengar azan, maka kalimat syahadat yang merupakan inti dari ajaran Islam menjadi salah satu kalimat yang pertama kali di dengar oleh anak sebagi titik tolak pengenalan terhadap ajaran Islam. Begitulah cara Islam memberi ajaran dan pelajaran dini bagi anak tentang syiar Islam (Kemendiknas, 2010: 183). Secara fitrah, orang tua muslim ingin agar anaknya menjadi anak yang shaleh berbudi pekerti yang baik, patuh pada norma-norma agama, hormat terhadap kedua orang tua serta sukses di dunia-akhirat, bermanfaat bagi masyarakat serta menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan negaranya. Hal tersebut merupakan motivasi dan keinginan yang sangat dalam guna meraih keinginan dan harapan.

Dalam sejarahnya, pendidikan karakter bangsa bukanlah suatu topik baru dalam pendidikan. Pada kenyataannya pendidikan pendidikan karakter bangsa sudah seumur pendidikan itu sendiri. Berdasarkan penelitian sejarah dari seluruh negara yang ada di dunia ini, pada dasarnya pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu membimbing para generasi muda untuk menjadi cerdas dan memiliki perilaku yang berbudi (Lickona, 2012: 7). Dalam analisa Thomas Lickona bahwa pendidikan karakter sama halnya dengan mendidik watak, moral, perilaku atau mendidik ahlak mulia anak sehingga memiliki kepribadian yang luhur. Pendidik anak sejak usia dini sangat penting dilakukan, karena dalam pendidikan tersebut merupakan dasar pembentukan kepribadian manusia dalam menanamkan nilai-nilai budi pekerti yang luhur, kepandaian dan keterampilan. Karakter atau akhlak yang baik dapat mengantarkan manusia untuk mencapai kesenangan, keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Akhlak bukan hanya sekedar teori, tetapi juga pernah dipraktikkan oleh sejumlah manusia dalam suatu zaman, sehingga muncul sebagai penyelamat dunia dan pelopor peradaban (Lickona, 2012: 8).

Pendidikan karakter atau pendidikan moral memegang peranan sebagi salah satu pondasi yang sangat penting dalam pendidikan anak. Oleh karena itu, seorang guru dituntut memiliki kepandaian untuk membantu anak untuk membentuk akhlak atau karakternya. Dalam prosesnya diperlukan suatu keteladanan dari guru, baik dari perilaku maupun cara guru berbicara, dan sebagainya yang terkait dengan hal itu. Isjoni menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) akan menjadi cikal bakal pembentukan karakter anak negeri kita, sebagai titik awal dari pembentukan SDM yang berkualitas, yang memiliki wawasan, intelektual, kepribadian, tanggung jawab, inovatif, kreatif, proaktif dan partisipatif serta semangat mandiri. Pendidikan anak memang harus dilaksanakan sejak dini, agar anak biasa mengembangkan potensinya secara optimal. Anak-anak yang mengikuti


(16)

pendidikan sejak dini menjadi lebih mandiri, disiplin, dan mudah diarahkan untuk menyerap ilmu pengetahuan secara optimal (Isjoni, 2010: 40).

Sementara itu, Anton Widyanto dalam penelitiannya di wilayah Bireun dan Banda Aceh, seperti yang dikutip oleh Anshari (2012: 2), menyatakan bahwa salah satu kondisi yang menyebabkan kemorosotan moral bangsa saat ini yang terjadi di sekolah adalah terkait dengan akhlak siswa. Keluhan-keluhan tentang sikap dan perilaku siswa terhadap guru, ketaatan terhadap peraturan sekolah, maupun sikap dan perilaku antar sesama siswa itu sendiri, walaupun bukanlah hal yang baru. Intinya, kebanyakan (tentu tidak semua) para siswa dan bahkan mahasiswa di tingkat perguruan tinggi dewasa ini telah mengalami kemorosotan akhlak yang semakin memperihatinkan.

Mengingat adanya tuntutan tingkat intensitas dan kualitas pendidikan karakter, proses pendidikan karakter ini akan dapat dilakukan dengan berpedoman pada konsep pendidikan dari al-Qur‟an. Karena dalam hal ini konsep pendidikan Al-Qur‟an yang apabila ditanamkan sejak kecil, dapat dijadikan sebagai tonggak utama terbentuknya mental dan kepribadian anak sehat. Hal tersebut berlandaskan pada hasil penelitian Diana Mutiah (2010: 10) yang berkesimpulan bahwa masa kanak-kanak yang bahagia dapat menjamain paling tidak lebih dari separuh keberhasilannya di masa dewasa. Masa-masa ini adalah peletak dasar dalam keberhasilannya kelak usia dewasa, peletak dasar dalam perkembangan fisik, kognitif, bahasa, emosi, kepribadian, sosial dan spiritualanak usia dini memiliki karakter yang khas, baik secara fisik maupun mental. Oleh karena itu, metode pengajaran yang diterapkan untuk anak usia dini juga perlu disesuaikan dengan kekhasan yang dimiliki oleh anak. Potensi dan kemampuan anak akan berkembang secara optimal bila pengunaan metode pengajaran yang diterapkan tepat dan sesuia dengan karakter anak sehingga memacu tumbuhnya sikap dan prilaku yang positif (Isjoni, 2010: 41).

Berdasarkan hal tersebut, Bimo Walgito (2010: 180) menyatakan bahwa sikap seseorang merupakan sesuatu yang tidak dibawa sejak lahir, tetapi dibentuk dan dipelajari, seperti dari kedua orang tuanya, orang yang disekitarnya, atau dari masyarakat. Sikap dibentuknya atau dipelajari terhadap objek tertentu, misalnya objek terhadap anak, sikap terhadap orang tua, sikap terhadap orang asing.Karena sikap dibentuk atau dipelajari maka sikap dapat disesuaikan dengan perilaku, namun sebaliknya orang dapat mengubah perilaku sesuai dengan sikapnya, yang mengubah perilaku sesuai dengan sikapnya. Selaras dengan Waalgito, Samsul Munir (2007: 224) berpendapat bahwa berkaitan dengan konsep pendidikan al-Qur‟an, biasanya anak kecil oleh kebanyakan orang dianggap tidak layak untuk diberi penjelasan mengenai al-Qur‟an dan dianggap tidak berhak untuk diberi perhatian terhadap mentalisasinya. Padahal sebenarnya mereka mampu menyimpan memori seperti yang terdapat disimpan oleh computer.

Dapat ditegaskan pula bahwa pendidikan karakter di atas merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang


(17)

terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatanyang berpedoman paada al-Qur‟an (Amin, 2007: 224). Abuddin Nata (2012: 166) memperkuat pernyataan itu dengan menjelaskan bahwa ketika menjelaskan tentang karakter, al-Qur‟an memperkenalkan sejumlah karakter yang buruk dan baik, apabila orang mempraktikannya akan mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Al-Qur‟an, misalnya, memperkenalkan karakter Fira‟un yang sombong, melanggar larangan Tuhan, melampui batas, berbuat zalim, durhaka diktator, dan otoriter, bahkan mengaku dirinya sebagai Tuhan dan memperkenalkan juga karakter Nabi Muhammad Saw yang tidak mau kompromi terhadap kemungkaran, kasih sayang terhadap sesama, senantiasa ruku, sujud, dan senantiasa mengharap ridha Allah.

Dalam konteks kekinian, pendidikan karakter menjadi tema hangat untuk diterapkan melalui lembaga pendidikan formal. Bahkan Kementrian Pendidikan Nasional melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurilulum telah merumuskan proram “Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” atau disingkat dengan PBKB, sejak tahun 2010 lalu (Kesuma dkk, 2009: 8). Adapun tentang istilah pendidikan karakter bangsa, Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan fungsi dan tujuan Pendidikan Nasioanal yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab,” (Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).

Dalam proses PBKB, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. Dan dalam program tersebut, terdapat 18 nilai yang dikembangkan, yaitu: religius, jujur, toleransi, displin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Puskur Balitbang-Kemendiknas, 2010: 4).

Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Pemerintah sudah mencanangkan sejak 2010 mengenai pendidikan karakter. Ada delapan belas karakter yang diterapkan oleh pemerintah berkaitan dengan karakter bangsa. Karena hal-hal tersebut itulah penulis merasa tertarik untuk meneliti kedelapan belas karakter bangsa tersebut


(18)

secara Islami. Oleh karenanya, konsep pendidikan karakter bangsa akan dibahas menurut persfektif Tafsiral-Misbah karya Quraisy Shihab.

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian mengenai latar belakang permasalahan yang diungkapkan, maka dapat diidentifikasi berbagai masalah yang muncul dalam penelitian ini, antar lain: pertama, tentang kemerosotan akhlak bangsa Indonesia yang hal ini memunculkan beberapa persoalan, antara lain: pertama, terdapat kerusakan karakter bangsa yang terjadi dan dialami oleh bangsa Indonesia saat ini, khususnya dalam dunia pendidikan. Kedua, penyebab kemerosotan moral bangsa Indonesia. Ketiga, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kemerosotan moral bangsa. Keempat, apakah pendidikan karakter di sekolah sudah menjadi jembatan bagi pemerintah dan insan pendidikan untuk membangun bangsa. Kelima, apakah pendidikan karakter bangsa sudahkah sejalan dengan tuntunan dan tuntutan nilai-nilai Islami. Keenam, Bagaimana pandangan tafsir al-Misbah terhadap pendidikan karakter Bangsa.

2. Batasan Masalah

Berdasarkan dari masalah-masalah di atas penelitian ini dibatasi hanya akan difokuskan pada delapan belas karakter bangsa. Focus obyek permasalahan pun dibatasi hanya mengenai pendidikan karakter bangsa dalam perfektif Tafsir al-Misbah Karya Quraisy Shihab. Sekali lagi, sebagaimana sudah di jelaskan di atas, karya tafsir al-Misbah dijadikan focus objek kajian karena tafsir ini banyak diakui dan dipercayai oleh segenap kalangan umat Islam di Indonesia dan dunia dalam segenap mazhabnya. Di samping itu, selain sebagai seorang mufassir, M. Quraish Shihab juga sekaligus merupakan seorang praktisi pendidikan. Hal tersebut ditunjukkan dengan jabatan kerjanya yang pernah menjadi Mantan Rektor Universita Islam Negeri Peringkat Kesatu di Indonesia, yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bahkan ia juga pernah menjadi Menteri Kementerian Agama, yang salah satu divisinya adalah menangani Pendidikan Islam di Indonesia.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka permasalahan dalam tesis ini dapat dirumuskan ke dalam sebuah pernyataan sebagai berikut: a. Bagaimana rumusan pendidikan karakter bangsa yang Islami sebagaimana yang

terdapat dalam Tafsir al-Misbah?

b. Bagaimana konsep al-Qur‟an dalam Tafsir al-Misbah tentang delapan belas nilai karakter bangsa yang ditetapkan oleh pemerintah?

c. Apakah nilai-nilai karakter bangsa yang ditetapkan oleh pemerintah sudah sesuai dengan tuntunan dan tuntutan al-Qur‟an?


(19)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui konsep al-Qur‟an dalam Tafsir al-Misbah tentang delapan belas nilai karakter bangsa yang ditetapkan oleh pemerintah?

2. Apakah nilai-nilai karakter bangsa yang ditetapkan oleh pemerintah sudah sesuai dengan tuntunan dan tuntutan al-Qur‟an?

D. Tinjauan Keperpustakaan

Penelitian mengenai pendidikan karakter bangsa dalam pandangan al-Qur‟an memang bukanlah hal yang baru untuk diteliti, banyak sudah peneliti yang melakukan kajian terhadap permasalahan ini, di bawah ini penulis akan menguraikan satu persatu penelitian-penelitian tersebut, yaitu:

Disertasi yang ditulis oleh Anshori UIN Syarif Hidayatullah (2006) yang berjudul Penafsiran Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Misbah. Desertasi ini menuliskan langkah-langkah yang ditempuh Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran berkenaan dengan jender dalam Tafsir al-Misbah. Meskipun sama-sama memfokuskan kajian pada Tafsir al-Misbah, Disertasi ini tidak menganalisa ayat-ayat yang berkaitan dengan karakter bangsa tetapi hanya terbatas pada penafsiran ayat-ayat jender.

Metode dan Konsep Pendidikan Akhlak dalam Tafsir al-Misbah karya Lailatul Maskhuroh (2010). Penelitian tesis ini mengemukakan bagaimana Tafsir M. Quraish Shihab terhadap ayat-ayat akhlak dan konsep pendidikan akhlak menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah. Tesis ini tidak menganalisa ayat-ayat yang berkaitan dengan karakter bangsa tetapi hanya terbatas pada penafsiran ayat-ayat akhlak, adapun relevansi karakter dan akhlak saling berkaitan antara satu dengan yang lain.

Berdasarkan kajian literatur pustaka sependek yang penulis temukan tersebut, maka apa yang menjadi kajian penulis bukan merupakan pengulangan tema-tema penelitian yang sudah ada.

E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Penelitian ini tergolong ke dalam penelitian yang bersifat kualitatif, karena hanya memustakan pada kegiatan ontologisme, yaitu pengumpulan data berupa kata-kata, gambar yang memiliki yang lebih nyata daripada sekedar angka atau frekuensi, sehingga analisis pun bukan menggunakan angka, tetapi dengan interprestasi terhadap data yang berupa kata-kata, kalimat ataupun dokumentasi lainnya (Sugiono, 2006: 20). Metode yang digunakan adalah Tafsir Maudhu’I

(tafsir tematik). Tafsir maudhu’i menurut ‟Abd al-Sattar ialah salah satu metodologi ilmu tafsir yang membahas dalam berbagai masalah al-Qur‟an yang menyatu dari sisi makna atau tujuan, yaitu dengan cara mengumpulkan ayat-ayatnya yang bertebaran di dalam berbagai surah, kemudian menelitinya dalam bentuk khusus dan dengan beberapa syarat khusus untuk menjelaskan maknanya,


(20)

mengeluarkan inti sarinya, dan menyatukannya dengan ikatan yang menyeluruh (al-Farmawi, 1994: 41). Selain itu, penelitian ini juga menekankan pada analis induktif (Raco, 2010: 44). Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dengan pendekatan kualitatif dengan membaca sumber utama atau primer Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab.

2. Sumber Penelitian

Dalam penelitian ini penulis melakukan pengumpulan data pada dua sumber, yaitu sumber primer dan sumber sekunder (Sugiono, 2006: 308). Sumber primer berupa Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab. Adapun sumber sekundernya adalah Kitab-kitab tafsir, baik yang berbahasa Arab maupun bahasa Indonesia. selain itu, juga penulis menggunakan jurnal-jurnal, buku-buku, makalah-makalah seminar, tesis atau desertasi yang ada kaitannya dengan yang pembahasan yang penulis teliti. Sumber tersebut juga dilengkapi dengan Kamus-kamus bahasa yang memuat daftar kata-kata, yang mana isinya dipakai untuk menemukan ayat-ayat dalam al-Quran dan merupakan petunjuk praktis dan kamus-kamus yang lain yang relevan dengan pembahasan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka cara pengumpulan data yang dilakukan penulis menggunakan teknik studi dokumentasi. Karena itu, penulis menggunakan metode maudhu’i (pendekatan tafsir tematik), yaitu dengan cara menghimpun ayat ayat yang bekaitan dengan tema, teknik studi dokumentasi di antaranya: Studi dokumen serta studi pustaka. Sebuah tafsir akan coba menelaah noktah-noktah al-Qur‟an berdasarkan tema per tema, agar ditemukan titik konfigurasi antara satu ayat dengan ayat yang lainnya secara logis, agar bisa ditemukan kuantum epistemologis yang ditorehkannya secara relevan (Umar, 2005: 4).

4. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data merupakan upaya mencari dan mengumpulkan serta menata sistematis berdasarkan pada konsep teori tentang Pendidikan karakter bangsa dengan data-data yang diperoleh penulis dari sumber-sumber primer maupun sekunder (Sugiono, 2006: 309). Dalam penelitian ini data-data yang telah terkumpul, selanjutnya diidentifikasi, diolah dengan menggunakan pola diskriptif-analisis, lalu diuraikan secara sistematis. Kemudian data tesebut akan dielaborasi dengan teori-teori yang dikembangkan oleh para pakar pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan karakter bangsa dan al-Qur‟an (Sugiono, 2006: 309).


(21)

11

KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA

A. Pengertian dan Tujuan Pendidikan

Dalam dunia pendidikan ada dua istilah yang hampir sama bentuknya dan juga sering digunakan, yaitu paedagogie dan paedagogiek. Paedagogie berarti pendidikan, sedangkan paedagogiek artinya ilmu pendidikan. Istilah ini berasal dari kata pedagogia (Yunani) yang berarti pergaulan dengan anak-anak (Djumransyah, 2008: 21). Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999: 232), pendidikan merupakan kata benda yang mendapat awalan „pe‟ dan akhiran „an‟ yang berarti proses, perbuatan, cara mendidik. Dalam bahasa Inggris, kata

“pendidikan” diterjemahkan dengan “education” merupakan kata benda dari kata “educate” yang berarti mendidik. Sedangkan dalam bahasa Arab, umumnya pendidikan disepadankan dengan kata ta‟lim. Kata ta‟lim, dalam Kamus Munjid (Ma‟luf, 1986: 526, 512, 247) merupakan bentuk masdardari „alama yang berarti pengajaran. Sementara itu kata ta‟dib berasal dari kata adaba artinya mendidik dan melatih akhlaknya. Adapun kata tarbiyah yang memiliki akar kata rabaya berarti mendidik, mengasuh dan memelihara.

Selaras dengan pengertian sematik tersebut, Abuddin Nata (2012: 164) menyatakan bahwa pendidikan secara umum adalah upaya mempengaruhi orang lain agar berubah pola pikir, ucapan, perbuatan, sifat dan wataknya sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Berdasarkan hal tersebut, dalam pengertian yang sederhana dan umum, makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan (Djumransyah, 2008: 22).

Sama dengan pendapat Abudin, Doni Koesoema (2007: 4) mendefinisikan bahwa pendidikan bukan hanya berurusan dengan penanaman nilai pada diri peserta didik semata, melainkan sebuah usaha bersama untuk menciptakan sebuah lingkungan pendidikan tempat setiap individu dapat menghayati kebebasannya sebagai sebuah prasarat bagi kehidupan moral yang dewasa. Ia juga menjelaskan

bahwa dalam perkembangan selanjutnya, kata “pendidikan” secara terminologi

memiliki beberapa pengertian di antaranya, dalam ensiklopedi pendidikan, pendidikan berarti sutu usaha manusia untuk membawa si anak yang belum dewasa ketingkat kedewasaan dalam arti sadar dan mampu memikul tanggung jawab atas segala perbuatan secara moril (Poerbakawatja, 1981: 257). Pengertian pendidikan yang jelas lagi didefinisikan oleh Azyumardi Azra (1999: 3). Menurut Azra, meskipun pendidikan didefinisikan secara berbeda oleh berbagai kalangan, namun pada dasarnya semua pandangan tersebut bertemu pada satu kesimpulan awal bahwa pendidikan merupakan proses penyuapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara efektif dan efisien.

Dalam konstituas legalitas pendidikan nasional, khususnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional


(22)

Pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara,” (UU RI Nomor 14 Tahun 2005 dan Permendiknas Nomor 11 Tahun 2011).

Konstitusi pendidikan sebelumnya, menjelaskan bahwa ada tiga tujuan pendidikan, yaitu pertama, menurut Undang-undang No.2 tahun 1985, pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa. Kedua, dalam TAP MPR No. ll/MPR/1993 tujuan pendidikan lebih terperinci disebutkan bahwa pendidikan bertujuan meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja professional, serta sehat jasmani dan rohani. Ketiga, TAP MPR No. 4/MPR/1975 secara lebih terperinci dari point kedua menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membangun dibidang pendidikan yang didasarkan atas falsafah Negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangun yang berpancasila sekaligus membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab, menyuburkan sikap demokratis dan penuh tenggang rasa , mampu mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, serta mencintai bangsa dan ssama manusia sesuai dngan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945 bab ll (Pasal 2,3 dan 4) (Aunillah, 2011: 11-12).

Fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional menurut UUSPN No.20 tahun 2003 bab 2 pasal 3 adalah; Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Kesuma dkk, 2012: 6).

Sementara itu, menurut Hasan Langgulung, sebagaimana dikutip oleh Hamdani dan Saebani (2013: 5), menjelaskan bahwa bahwa pendidikan memiliki empat fungsi, yaitu: pertama, fungsi edukatif, artinya mendidik dengan tujuan memberi ilmu pengetahuan kepada anak didik agar terbebas dari kebodohan. Kedua, fungsi pengembangan kedewasaan berfikir melalui proses transmisi ilmu pengetahuan. Ketiga, fungsi penguatan keyakinan terhadap kebenaran yang diyakini dengan pemahaman ilmiah. Keempat, fungsi ibadah, yaitu sebagai bagian dari pengabdian hamba kepada Sang Pencipta yang telah menganugerahkan kesempurnaan jasmani dan rohani kepada manusia.


(23)

Azyumrdi Azra (1999: 5) menjelaskan bahwa pendidikan sejatinya membuat manusia menjadi lebih terarah dengan tuntunan yang dipelajari dan memiliki kedewasaan dalam berfikir dan bertindak untuk mencapai tujuan hidup, pendidikan itu sendiri bermanfaat bagi manusia untuk berfikir kreatif dan ketajaman analisis serta tetap menjaga kelembutan hati. Dengan demikian, dapat disimpulkan proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan yang dilakukan dan dipersiapkan menuju kedewasaan, berkecakapan tinggi, berkepribadian akhlak mulia kecerdasa berfikir dan bertindak serta tunduk dan patuh terhadap norma sosial masyarakat dan agama dan menjadi manusia bertakwa kepada Tuhannya. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan dalam tulisan ini adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam semua lingkungan dan sepanjang hayat dan semua situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hidup.

B. Pengertian Karakter

Karakter merupakan kepribadian yang mendasar dalam kehidupan seseorang yang menjadi indikator perilaku kehidupan sehari-hari, jika baik karakter seseorang maka baik pula kehidupannya begitu juga sebaliknya jika buruk karakter seseorang maka buruk pula kehidupannya. Menurut Thomas Lickona (2012: 10-12) menyatakan bahwa terdapat beberapa konsep lain yang memiliki kemiripan makna dengan karakter, yaitu moral, etika, akhlak, dan budi pekerti. Antara karakter dan moral misalnya, memiliki hubungna yang sangat erat, antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Karakter merupakan sikap dan kebiasaan seseorang yang memungkinkan dan mempermudah tindakan moral. Dengan kata lain, karakter merupakan kualitas moral seseorang. Jika seseorang mempunya moral yang baik, maka akan memiliki yang baik terwujud dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1991: 1149), watak diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap

pikiran dan perbuatannya, dan berarti pula tabi‟at, dan budi pekerti. Selanjutnya jika ada ungkapan pendidikan karakter, maka yang dimaksud adalah upaya mempengaruhi segenap pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu, sehingga dapat membentuk watak, budi pekerti, dan mempunyai kepribadian. Sedangkan yang dimaksud dengan sifat adalah rupa dan keadaan yang tampak pada sesuatu benda (Poerwadarminta, 1991: 941).

Dalam bahasa Arab, karakter sering disebut dengan istilah akhlak, yang oleh Ibnu Maskawaih diartikan sebagai sifat atau keadaan yang tertanam dalam jiwa yang paling dalam yang selanjutnya lahir dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi. Sedangkan menurut Imam al-Ghazali, akhlak adalah sifat dan yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan berbagai macam perbuatan dengan gampang kungan.dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Kasron, 2000: 56). Secara etimologi, kata akhlak berasal dari bahasa

arab yang merupakan bentuk jamak „khuluk‟ yang berarti watak, budi pekerti, karakter (Mustofa, 1999: 11). Dengan demikian, kata akhlak menujukan pada


(24)

pengertian adanya hubungan yang baik antara khaliq dan makhluk yang diatur dalam agama (Amin, 1988: 59).

Adapun kata akhlak/karakter dari segi terminologi di antaranya adalah menurut Ahmad Amin (Amin, 1988: 62), Akhlak ialah kehendak yang dibiasakan artinya kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak. Sebelum Amin, Ibnu Maskawaih (1999: 56) mengartikan akhlak sebagai karakter yang merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa melalui pertimbangan pemikiran terlebih dahulu. Lebih rinci, Zakiah Daradjat (1998: 6) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah akhlak ialah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut. Tindakan ini harus mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Sedangkan, kata „moral‟ secara terminologi berasal

dari bahasa Latin “mores” yang berarti adat kebiasaan batas-batas dari sifat perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara langsung dapat dikatakan benar, salah, baik, buruk (Abdullah, 2007: 90).

Berdasarkan pendapat para pakar di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa akhlak adalak suatu sifat yang mengatur tingkah laku, kebiasaan manusia dan segala perbuatan yang dianggap baik dan buruk oleh masyarakat yang bersangkutan serta tatanan masyarakat yang menjadi pedoman di suatu tempat baik dan buruk yang menjadikan seseorang tersebut bertanggung jawab atas perbuatannya, karena akhlak itu timbul dari fikiran , kebiasaan dan bawaan yang tertanam dalam dari diri manusia itu sendiri.

Akhlak berbeda dengan karakter. Secara etimologi, karakter berarti mengukir dan sifat-sifat kebajikan. Secara konseptual, konsep karakter dapat diartikan sebagai usaha terus menerus seorang individu atau kelompok dengan berbagai cara untuk mengukir, mengembangkan atau melambangkan sifat-sifat kebajikan pada dirinya sendiri atau pada orang lain ((Poerwadarminta, 1991: 347). Dalam kamus psikologi, sebagaimana dikutip oleh M. Furqon Hidayatullah (2010: 9), karakter didefinisikan dengan kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap.

Karakter juga berbeda dengan etika. Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu

ethos, yang berarti watak kesusilaan atau adat, memiliki terminology yang berbeda-beda. Ahmad Amin dalam buku Akhlak Tasawuf karya Abudin Nata (2006: 90) mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dijalankan oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat. Titik tekan etika ada pada masalah baik dan buruknya perilaku manusia dalam akal dan fikiran manusia.

Karakter merupakan unsur antropologis manusia, disanalah manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur antropologi ini melihat bahwa karakter bukan sekedar hasil dari sebuah tindakan. Karakter


(25)

dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum , tata krama, budaya, adat istiadat, dan estetika. Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun bertindak (Samani dan Haryanto, 2011: 42).

Pakar pendidikan karakter dari Barat, Winston menyatakan bahwa dalam pengertian yang sederhana pendidikan karakter adalah hal positip apa saja yang dilakukan guru dan dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya (Samani dan Haryanto, 2011: 43).

Selaras dengan pendapat Winston, Ross Stagner (1974: 245) mendifinisikan bahwa bahwa:

The term character has almost as extensive a variety of meaning as does the term as

"personality" we shall confine our attention to two of these, which cover all the important

penomena which are relevant to our topic. character first of all refers to individual‟s behavior

in so far as it conforms to local mores or ethical standards . thus one in said to have a good character if he act executes those acts which are expected by his society and refrains from those which are forbidden in the society. to some extant this tend to reduce to the common saying that a man of good character is one who has never been arrested although most of us are inclined to go a little further than this. character may be thought of as behaving in

accordance with social expectancies.” Karakter mengacu pada individu, perilaku sejauh itu

sesuai dengan adat-istiadat lokal atau standar etika, sehingga dapat dikatakan memiliki karakter yang baik jika ia bertindak sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat dan menjauhi hal-hal yang dilarang dalam masyarakat. Beberapa yang masih ada ini cenderung mengurangi ke umum mengatakan bahwa seorang karakter yang baik adalah orang yang tidak pernah ditangkap meskipun kebanyakan dari kita cenderung untuk pergi sedikit lebih jauh dari ini. Karakter dapat dianggap sebagai berperilaku sesuai dengan harapan sosial.”

Meringkas pendapat di atas, Suyanto (http://belajarpsikologi.com/pengertian-pendidikan-karakter diakses tanggal 3 Juli 2014) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Sedangkan menurut Kertajaya bahwa karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada

kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang

mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu.

Menurut pakar pendidikan karakter, Lickona (2012: 79), secara sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang


(26)

tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Lickona menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti.

Seorang Filusuf Yunani bernama Aristoteles mendefinisikan karakter yang baik sebagai kehidupan dengan melakukan tindakan-tindakan yang benar sehubungan dengan diri seseorang dan orang lain. Aristoteles mengingatkan kepada kita tentang apa yang cendrung kita lupakan dimasa sekarang ini: Kehidupan yang berbudi luhur termasuk kebaikan yang berorientasi pada diri sendiri (seperti kontrol diri dan moderenisasi) sebagaimana halnya dengan kebaikan yang berorientasi pada hal lainnya seperti kemurahan hati dan belas kasihan, dan kedua jenis kebaikan ini berhubungan. Kita perlu untuk mengendalikan diri kita sendiri-keinginan kita, hasrat kita untuk melakukan hal yang baik bagi orang lain (Lickona, 2012: 81).

Karakter merupakan pondasi kehidupan bermasyarakat, perbaikan moral tidak akan terwujud tanpa adanya keimanan kepada Tuhan, karakter yang dimiliki setiap orang berbeda dan unik oleh karena itu yang berorientasi terhadap dirinya itu menjadi manusia yang lebih baik dan bermatabat. Karakter adalah sifat pribadi yang relative stabil pada diri individu yang jadi landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai dan norma yang tinggi. Sifat pribadi maksudnya ciri-ciri yang ada di dalam pribadi seseorang yang terwujudkan dalam tingkah laku. Relatif stabil adalah suatu kondisi yang apabila telah terbentuk akan tidak mudah diubah (Budimansyah, 2012: 2).

Dalam pengertian yang lebih luas, pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan budi pekerti, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Budimansyah, 2012: 6). Kebutuhan manusia akan pendidikan merupakan suatu yang sangat mutlak dalam hidup ini, dan manusia tidak bisa dipisahkan dari kegiatan pendidikan. Fatah Yasin (2008: 15) mengutip perkataan John Dewey yang juga dikutip dalam bukunya Zakiyah Daradjat menyatakan bahwa “pendidikan merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia guna membentuk dan mempersiapkan pribadinya agar hidup dengan disiplin.”

Pernyataan Dewey mengisyaratkan bahwa sejatinya suatu komunitas kehidupan manusia, di dalamnya telah terjadi dan selalu memerlukan pendidikan, mulai dari model kehidupan masyarakat primitif sampai pada model kehidupan masyarakat modern. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan secara alami merupakan kebutuhan hidup manusia, upaya melestarikan kehidupan manusia dan telah berlangsung sepanjang peradaban manusia itu ada. Dan hal ini sesuai dengan kodrat manusia yang memiliki peran rangkap dalam hidupnya yaitu sebagai makhluk individu yang perlu berkembang dan sebagai anggota masyarakat di mana mereka hidup. Untuk itu pendidikan mempunyai tugas ganda, yakni di samping mengembangkan kepribadian manusia secara individual, juga mempersiapkan


(27)

manusia sebagai anggota penuh dari kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan lingkungan dunianya (Yasin, 2008: 16).

Saat ini pendidikan karakter sedang dan telah menjadi trend serta isu penting dalam sistem pendidikan kita. Upaya menghidupkan kembali pendidikan karakter ini tentunya bukanlah hal yang mengada-ada, tetapi justru merupakan amanat yang telah digariskan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Amanah UU Sisdiknas Tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafaskan nilai-nilai luhur bangsa serta agama (Diknas, 2012: 64).

Menurut Diana Mutiah (2010: 5) bahwa pendidikan karakter sama halnya dengan mendidik watak, moral, perilaku atau mendidik akhlak anak sehingga memiliki kepribadian yang luhur. Karakter atau akhlak yang baik dapat mengantarkan manusia untuk mencapai kesenangan, keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Akhlak bukan hanya sekedar teori tetapi juga pernah dipraktikkan oleh sejumlah manusia dalam suatu zaman, sehingga muncul sebagai penyelamat dunia dan pelopor peradaban. Masih Menurut Diana Mutiah (2010: 6),

“Pendidikan karakter atau pendidikan moral memegang peranan sebagai salah satu fondasi yang sangat penting dalam pendidikan terutama pada pendidikan anak usia dini. Oleh karena itu, seorang pendidik dituntut memiliki kepandaian membantu anak untuk membentuk akhlak atau karakternya.”

Sedikit lebih rinci, Isjoni (2012: 40) menyatakan bahwa dalam prosesnya sangat diperlukan suatu keteladanan dari guru, baik dari perilaku maupun cara guru berbicara, dan sebagainya yang berkaitan dengan hal itu. Pendidikan karakter akan menjadi cikal bakal pembentukan karakter anak negeri ini, sebagai titik awal dari pembentukan SDM yang berkualitas, yang memiliki wawasan, intelektual, kepribadian, tanggung jawab, inovatif, kreatif, proaktif dan partisipatif serta semangat mandiri. Pendidikan anak memang harus dilaksanakan sejak dini, agar anak bisa mengembangkan potensinya secara optimal.

Mengingat adanya tuntutan tingkat intensitas dan kualitas pendidikan karakter, proses pendidikan karakter ini dapat dilakukan dengan berpedoman pada pendidikan al-Qur‟an. Karena dalam hal ini, pendidikan al-Qur‟an yang apabila ditanamkan sejak kecil, dapat dijadikan sebagai tonggak utama terbentuknya mental dan kepribadian anak yang sehat. “Masa kanak-kanak yang bahagia dapat menjamin paling tidak lebih dari separuh keberhasilannya di masa dewasa. Masa-masa ini adalah peletak dasar dalam keberhasilannya kelak di usia dewasa, peletak


(28)

dasar dalam perkembangan fisik, kognitif, bahasa, emosi, kepribadian, sosial dan

spiritualnya” (Mutiah, 2010: 10).

Dalam kaitan ini, maka nilai-nilai akhlak mulia hendaknya ditanamkan sejak dini melalui pendidikan agama dan diawali dalam lingkungan keluarga melalui pembudayaan dan pembiasaan. Kebiasaan itu kemudian dikembangkan dan diaplikasikan dalam pergaulan hidup kemasyarakatan. Di sini diperlukan kepeloporan para pemuka agama serta lembaga-lembaga keagamaan yang dapat mengambil peran terdepan dalam membina akhlak mulia di kalangan umat (al-Munawwar, 2003: 27).

Apa isi karakter? Menurut Lickona (2013: 15) isi dari karakter yang baik adalah kebaikan. Kebaikan seperti kejujuran, keberanian, keadilan, dan kasih sayang adalah disposisi untuk berprilaku secara moral. Karakter adalah objektifitas yang baik dan kualitas manusia, baik bagi manusia diketahui atau tidak. kebaikan – kebaikan tersebut ditegaskan oleh masyarakat dan agama diseluruh dunia. Karena hal tersebut secara intristik baik, punya hak atas atas nurani kita.

Ada sepuluh esensi kebajikan menurut Thomas Lickona (2013: 18-19) yang dapat membangun karakter kuat, yaitu kebijaksanaan, keadilan, keberanian, pengendalian diri, cinta, sikap positif, bekerja keras, integritas, syukur dan kerendahan hati. Jelas sangat sulit untuk mempraktikkan sepuluh kebajikan tersebut dalam kehidupan nyata setidaknya dalam beberapa waktu, tetapi jika lebih konsisten dalam mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari tidak tutup kemungkinan akan menjadi harapan bagi kemajuan. Pendidikan karakter menjadi tema hangat untuk diterapkan melalui lembaga pendidikan formal. Bahkan Kementerian Pendidikan Nasional melalui Badan Penelitian dan Pengembangan

Pusat Kurikulum telah merumuskan program “Pendidikan Budaya dan Karakter

Bangsa” atau disingkat dengan PBKB, sejak tahun 2010 lalu (Puskur-Balitbang Kemendiknas, 2010: 3-4).

Dalam proses PBKB, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. Dan dalam program tersebut, terdapat 18 nilai yang dikembangkan, yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komuniktif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung-jawab (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Pasal 3 ayat 2 dan 3).

Pemerintah sudah mencanangkan sejak tahun 2010 melalui renstranya mengenai pendidikan karakter. Ada 18 karakter yang ditetapkan oleh pemerintah berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa. Ke 18 karakter tersebut akan dibahas menurut al-Qur‟an.


(29)

C. Pendidikan Karakter Bangsa

Di atas telah disinggung bahwa pendidikan karakter bukan hanya sekedar memberikan pengertian atau definisi-definisi tentang yang baik dan yang buruk, melainkan sebagai upaya mengubah sifat, watak, kepribadian dan keadaaan batin manusia sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan terpuji. Melalui pendidikan karakter ini diharapkan dapat melahirkan manusia yang memiliki kebebasan menentukan pilihannya, tanpa paksaan dan penuh tanggung jawab. Yaitu manusia Indonesia yang religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif,cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab (Puskur-Balitbang Kemendiknas, 2010: 4). “Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekat, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil”(Auinillah, 2011: 19).

Pendidikan Karakter sebagai usaha membangun kesadaran melakukan berbagai kebajikan untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Menurut Hill (Budimansyah, 2012: 5), karakter menentukan pikiran pribadi seseorang dan tindakan yang dilakukannya, karakter yang baik adalah motivasi batin untuk melakukan apa yang benar, sesuai dengan standar tertinggi perilaku, dalam setiap situasi. Dengan demikian pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berfikir dan berprilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, masyarakat, dan warga Negara serta dengan membantu mereka membuat keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Seseorang dianggap memiliki karakter mulia apabila mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang potensi dirinya serta mampu mewujudkan potensi itu dalam sikap dan tingkahlakunya. Adapun ciri yang dapat dicermati pada seseorang yang mampu memanfaatkan potensi dirinya adalah terpupuknya sikap-sikap terpuji, seperti penuh reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif-inovatif, mandiri, berhati-hati, rela berkorban, berani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet, gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat, efisien, menghargai waktu, penuh pengabdian, dedikatif, mampu mengendalikan diri, produktif, ramah, cinta keindahan, sportif, tabah, terbuka, dan tertib (Majid dan Andayani, 2011: 8).

Seseorang yang memiliki karakter positif juga terlihat dari adanya kesadaran untuk berbuat yang terbaik dan unggul, serta mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Dengan demikian karakter atau karakteristik adalah realisasi perkembangan positif dalam hal intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku (Majid dan Andayani, 2011: 9). Menurut Suwito (1995: 174), tujuan pendidikan


(30)

akhlak yang dirumuskan oleh ibn Maskawaih dalam desertasi yang dikutip oleh Suwito adalah merupakan perwujudan sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga memperoleh kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan.

Pendidikan karakter yang ditanamkan sejak dini akan akan memiliki potensi karakter yang kuat yang bertindak tanpa ada paksaan untuk melakukan sesuatu yang baik yang sesuai dengan ajaran agam dan norma social. Bila peserta didik bertindak sesuai dengan potensi dan kesadarannya tersebut maka disebut sebagai pribadi yang berkarakter baik atau unggul indikatornya adalah mereka selalu berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, negara, serta dunia internasional pada umumnya, dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasi (Aunillah, 2011: 19). Di antara karakter baik yang hendak dibangun dalam kepribadian peserta didik adalah bisa bertanggung jawab, jujur, dapat dipercaya, menepati janji, ramah, peduli kepada orang lain, percaya diri, pekerja keras, bersemangat, tekun, tak mudah putus asa, bisa berpikir rasional dan kritis, kreatif dan inovatif, dinamis, bersahaja, rendah hati, tidak sombong, sabar, cinta ilmu dan kebenaran, rela berkorban, berhati-hati, bisa mengendalikan diri, tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang buruk, mempunyai inisiatif, setia, menghargai waktu, dan bisa bersikap adil (Azzet, 2011: 29).

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada siswa maupun warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai kehidupan, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan (http://imamkarawang.wordpress.com/2012/01/18/9-pilar-pendidikan-berkarakter diakses tangggal 3 Juli 2014).

Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dan terkondisikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka kebiasaan itu akan berubah menjadi kebiasaan.Lebih lanjut bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta


(31)

didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya (Samani dan Haryanto, 2011: 105).

Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dinyatakan sebagai berikut: pertama, Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh. Kedua, pendidikan budaya karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh. Ketiga, pendidikan budaya karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah, masyarakat, sekolah dan orang tua. Oleh karena itu, pelaksaaan Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur tersebut. Keempat, dalam upaya merevitalisasi Pendidikan budaya dan karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan (Samani dan Haryanto, 2011: 106).

Dewasa ini banyak pihak ataupun lembaga menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang sedang terjadi, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal, perkosaan, minum minuman keras, mencuri, dan lain sebagainya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal atau biasa disebut sekolah dijadikan sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter agar muncul suatu generasi yang handal (Samani dan Haryanto, 2011: 107).

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama (Budimansyah, 2012: 8).

Pendidikan karakter di nilai sangat penting untuk di mulai pada anak usia dini karena pendidikan karakter adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Nilai-nilai positif dan yang seharusnya dimiliki seseorang menurut ajaran budi pekerti yang luhur adalah amal saleh, amanah, antisipatif, baik sangka, bekerja keras, beradab, berani berbuat benar, berani memikul resiko, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertaqwa, berinisiatif, berkemauan keras, berkepribadian, berpikiran jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersifat konstruktif, bersyukur, bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdas, cermat, demokratis, dinamis, efisien, empati, gigih, hemat,


(32)

ikhlas, jujur, kesatria, komitmen, kooperatif, kosmopolitan (mendunia), kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, patriotik, pemaaf, pemurah, pengabdian, berpengendalian diri, produktif, rajin, ramah, rasa indah, rasa kasih sayang,rasa keterikatan, rasa malu, rasa memiliki, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan, setia, siap mental, sikap adil, sikap hormat, sikap nalar, sikap tertib, sopan santun, sportif, susila, taat asas, takut bersalah, tangguh, tawakal, tegar, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, ulet, dan sejenisnya (Budimansyah, 2012: 9-10).

Dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa yang diterbitkan oleh Kemendiknas (Puskur-Balitbang Kemendiknas, 2010: 4) dijelaskan

bahwa “Pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang

mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif.”

Anak-anak adalah generasi yang akan menentukan nasib bangsa di kemudian hari. Karakter anak-anak yang terbentuk sejak sekarang akan sangat menentukan karakter bangsa di kemudian hari. Karakter anak-anak akan terbentuk dengan baik, jika dalam proses tumbuh kembang mereka mendapatkan cukup ruang untuk mengekspresikan diri secara leluasa. Pendidikan karakter akan berjalan efektif dan utuh jika melibatkan tiga institusi, yaitu keluarga sekolah dan masyarakat. Pendidikan karakter tidak akan berjalan dengan baik jika mengabaikan salah satu institusi, terutama keluarga. Pendidikan informal dalam keluarga memiliki peran penting dalam proses pembentukan karakter seseorang. Hal ini disebabkan keluarga merupakan lingkungan tumbuh dan berkembangnya anak sejak mulai usia dini hingga menjadi dewasa. Melalui pendidikan dalam keluargalah karakter seorang anak dibentuk (Syarbini, 2014: 3). Mengapa perlu melakukan pendidikan karakter? Bagi bangsa Indonesia sekurang-kurangnya memiliki empat alasan utama, yakni historis, yuridis, sosiologis, dan paedagogis.

1. Alasan historis

Alasan historis perlunya pendidikan karakter terkait dengan proses perjalanan sejarah perjuangan bangsa sejak perlawanan yang bersifat kedaerahan, kebangkitan nasional, revolusi fisik merebut kemerdekaan, hingga mempertahankan kemerdekaan. Pada setiap periode perlawanan tersebut terdapat etos perjuangan yang patut diteladani, seperti jiwa sepi in pamrih rame ing gawe. Mentalis tersebut dimanifestasikan oleh perjuangan yang tanpa pamrih, tidak mengharapkan imbalan jasa, yang penting Indonesia terbebas dari penjajahan yang menghisap darah Ibu Pertiwi. Berholopis kuntul baris, rawe-rawe rantas malang-malang putung adalah mentalis bekerja sama yang kokoh antara rakyat dan pemimpin, antara sesame rakyat, maupun antara sesama pemimpin sehingga daya juang waktu itu sangat


(1)

____. Educating For Character: Mendiddik Untuk Membentuk Karakter. (terj.) Juma Abdu Wamaungo Jakarta: Bumi Aksara, 2012.

____. Educating For Character: Mendidik Untuk Membentuk Karakter. (terj.) Jumu Abdu Wamaungo Jakarta: Bumi Aksara, 2012.

____. Schaps, Eric, dan Lewis, Catherine. Eleven Principles of Effective Character Education. New York: Bantam Books: Character Education Partnership, 2007.

Lindgren, Henry Clay. Psychologi In The Classroom. New York: Jhon Wiley & Sons., INC., 1960.

Ma‟luf, Louis. al-Munjid fi al-Lughoh wa al-A‟lam. Beirut: Dar al-Masyriq, 1986. Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang

Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina, 1992.

Mahmuddin, “Membentuk Karakter Kreatif pada Diri Anak melalui Pembelajaran Bersiklus,” Makalah, dalam Seminar Pendidikan Karakter Bangsa, Jakarta, UIN JKT, (2011): 3-5.

____. “Pembelajaran Sains Melebihi Fakta,” http://mahmuddin

wordpress.com/2007/08/10/pembelajaran-sains-melebihi-fakta-dengan-model-kemitraan/. diakses senin, 10 April 2015.

Majid, Abdul, dan Andayani, Dian. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011.

Mansyur dkk,. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: CV Forum, 1981. Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi, Jilid 3. Lebanon: Dar Al-Kutub

Al-Ilmiyyah, 2006).

Maskawaih, Ibnu. Menuju Kesempurnaan Akhlak (terj.) Helmi Yahya. Bandung: Mizan, 1999.

Megawangi, R. Semua Berakar Pada Karakter: Isu-isu Permasalahan Bangsa. Jakarta: Lembaga Penerbitan FE UI, 2008.

Meitasari. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga, 2004.

Monks, F.J., Knoers, A.M.P. dan Haditono, S.R., Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989.

Muhammad, Abu Bakar. Pedoman Pendidikan dan Pengajaran. Surabaya: Usaha Nasional, 2005.

Mulyasa, E. Peneltian Tindakan Sekolah Meningkatkan Produktivitas Sekolah. Bandung: PT Remaja Rodakarya. 2009.


(2)

Munandar, S.C. Utami. Pemanduan Anak Berbakat. Jakarta: Rajawali, 1982. al-Munawar, Said Agil Husin. Aktualisasi Nilai-nilai Qur'ani dalam Sistem

Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Mustofa, A. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Mutiah, Diana, Psikologi Bermain Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana, 2010.

Nasution, Kasron. “Konsep Pendidikan Akhlak: Konsep Perbandingan Ibn Maskawaih dengan al-Ghazali,” Tesis: UIN Jakarta, 2000.

Nata, Abuddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2012.

____. Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru – Murid; Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

____. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy). Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010.

____. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.

Nawawi, Hadari. Organisasi Sekolah dan Pengolaan Kelas. Jakarta: Tema Baru, 1989.

Nugroho, Tofiq. Implementasi Nilai-Nilai Dasar Pendidikan Karakter Bangsa. Surakarta: UMS Press, 2011.

Permendiknas No, 2 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional.

____. No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi; Permendiknas No.23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.

Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014.

Poerbakawatja, Soegarda. Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung, 1981. Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indoenesia. Jakarta: Balai Pustaka,

1991.

PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Prihartanti, N. “Model Pembelajaran Toleransi Pada Siswa Sekolah Dasar,” Proceedings Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia, Bandung: Universitas Padjajaran (2008).

Pudjijogyanti, Clara R. Konsep Diri dalam Pendidikan. Jakarta: Arcan, 1995. Pulungan, Suyuti. Prinsip-prinsip Pemerintah dalam Piagam Madinah Ditinjau


(3)

Puskur Balitbang Kemendiknas. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Puskur Balitbang Kemendiknas, 2010.

Qutub, Sayyid. Islam dan Perdamaian Dunia. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987. Raco, J.R. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grasindo, 2010.

Rakhmat, Jalaluddin. Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 2003. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.

Ramirez, Laura M. Mengasuh Anak Dengan Visi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2004.

Rangga Sa‟adillah, “Benang Merah Pendidikan Islam dan Pendidikan Karakter Membentuk Karakter Bangsa Bermartabat”, dalam Mimbar Pembangun Agama, Edisi Januari (2012).

Romdhoni, Ali. Al-Qur‟an dan Literasi: Sejarah Rancangan Bangun Ilmu-ilmu Keislaman. Jakarta: Litera Nusantara, 2013.

Rusman. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011.

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Jilid 12, (terj.), Nor Hasanuddin. Bandung: Pustaka dan Al-Ma'arif, 1988.

Al-Sajistany, Abi Daud Sulaiman Ibnu Al-Asy„ats. Sunan Abi Daud. Juz. IV. Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.

Saleh, A. Rahman. Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa. Jakarta: Raja grafindo persada, 2006.

Salim, Peter dan Salim, Teni. Kamus Bahasa Indonesia Kontamporer. Jakarta: Modern English Press, 1991.

Samani, Muchlas, dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung; Remaja Rosda Karya, 2011.

Scaeffer, Charles. Bagaimana Membimbing Anak Secara Efektif. (terj. R.Tusman Sirait). Jakarta: Restu Agung, 1987.

Al-Shabuny, Muhammad Ali. Cahaya al-Quran Tafsir Tematik Surat al-Baqarah al-Anam (terj.) Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000.

al-Shiddieqy, TM. Hasbi. Sejarah dan Penantar Ilmu al-Qur‟an. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

Shihab, M. Quraish. Al-Lubab: Makna Tujuan dan Pelajaran dari Al-Fatihah dan Juz-Amma. Jakarta: Lentera Hati, 2008.


(4)

____. Membumikan al-Qur‟an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994.

____. Secercah Cahaya Ilahi. Jakarta: Penerbit Mizan, 2010.

____. Tafsir al-Misbah, Pesan Kesan dan keserasian al-Quran, Vol. 1-15. Jakarta: Lentera Hati, 2000.

____. Tafsir al-Quran al-Karim; Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.

____. Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat. Jakarta; Mizan, 1997.

____. Perjalangan Menuju Keabadian, Kematian, Surga dan Ayat-ayat Tahlil. Jakarta: Lentera Hati, 2006.

____. Sunnah-Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?. Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2007.

____. et.al., Sejarah dan Ulumul Quran. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.

Shihab, Umar. Kontekstualitas Quran: Kajian Tematik Atas Hukum dalam al-Qur‟an. Jakarta: Penamadani, 2005.

Sinamo, Jansen. 8 Etos Kerja Profesional. Jakarta: Institut Darma Mahardika, 2011.

Al-Sirjani, Raghib. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2011.

Slameto. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta, 1995.

Stagner, Ross. Psychology of Personality. Wayne State Univer: Kingsport Press, inc., 1974.

Sugiono. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kualitatif, Kuantitaif dan R & D. Bandung Alfabeta, 2006.

Sujiono, Bambang dan Sujono, Yuliani Nurani, Mencerdaskan Perilaku Anak Usia Dini. Jakarta: PT Elex Media Komputendo, 2005.

Sunarningsih. “Peranan dan Manfaat PAUD Secara Holistic,” Makalah pada Seminar PAUD Nasional, di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Mei (2010).

Suprayogo, Imam. Quo Vadis Madrasah: Pengajaran Iman menuju Madrasah Impian. Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2007.

Suratno P. dan Astiyanto, H. Gusti Ora Sare: 90 Mutiara Nilai Kearifan Budaya Jawa. Yogyakarta: Adiwacana, 2009.


(5)

Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan.Jakarta: Rajawali, 1990.

Suwito, “Konsep Pendidikan Akhlak menurut Ibn Maskawaih.” Disertasi, Program Pasca Sarjana, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1995.

Suyadi. Strategi Pemebelajaran Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.

Suyatno. “Peran Pendidikan Sebagai Modal Utama Membangun Karakter Bangsa,” Makalah yang disampaikan dalam “Sarasehan Nasional “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” oleh Kopertis Wilayah 3 DKI Jakarta, 12 Januari (2010).

Syarbini, Amirulloh. Model Pendidikan Karakter dalam Keluarga. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014.

Syarbini, Amirulloh. Model Pendidikan Karakter dalam Keluarga. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014.

Taher, Tarmizi. Menjadi Muslim Moderat. Jakarta: Hikmah, 2004. Tim KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud, 1999.

Tim Pendidikan Karakter. Grand Design Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional, 2010.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka, 1999.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2011 Tentang Kesejahteraan Sosial.

Undang-Undang SistemPendidikan Nasional no. 20 Tahun 2003.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 – 2025.

UU RI Nomor 14 Tahun 2005 dan Permendiknas Nomor 11 Tahun 2011.

Verba, Almond, The Civic Culture. Princeton, NJ, Princeton University Press, 1963.

Walgito, Bimo, Bimbingan dan Koseling: Studi dan Karier. Yogyakarta: Andi Offset, 2010.

Wuryanto, Agus. “Panduan Guru: Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran,” Makalah, dalam Seminar Pendidikan Karakter, Bima, NTT, (2011): 7.

Yahya, Harun. Keadilan dan Toleransi dalam al-Qur‟an. Jakarta: Iqra Insan Press, 2004.


(6)

Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press, 2008.