Pengertian Khalifah Konsep Khalifah

beraniaya dan menegakkan hukum segala perbuatan yang keji dan munkar ”. 5 Sayyid Qutb mendefinisikan khalifah dengan: “makhluk yang diciptakan oleh Allah untuk mengendalikan bumi dan memberikannya banyak potensi untuk mengelola bumi dan potensi tersebut harmonis antara undang-undang yang mengatur bumi dengan undang-undang yang mengatur makhluk manusia dengan segala kekuatan potensinya.” 6 Adapun Hasan Langgulung membagi pengertian khalifah berdasarkan siapa menggantikan siapa dalam kata khalifah menjadi tiga pendapat. Pertama, mengatakan bahwa umat manusia sebagai makhluk yang menggantikan makhluk yang lain yang telah menepati bumi ini. Dipercayai bahwa makhluk itu adalah jin. Kedua, khalifah hanya bermakna mana-mana kumpulan manusia menggantikan yang lain. Ketiga, Khalifah tidak sekadar seorang menggantikan orang lain, tapi ia manusia adalah pengganti Allah. Allah datang dulu, khalifah bertindak dan berbuat sesuai dengan perintah Allah. 7 Pengertian khalifah adalah kedudukan manusia sebagai pengganti Allah. Yang mana kedudukan manusia sebagai pengganti Allah itu mempunyai tiga makna sebagaimana yang yang dikemukakan oleh Dawam Raharjo, yaitu : 1. Khalifah adalah Adam. Karena Adam simbol bagi seluruh manusia, maka manusia adalah khalifah. 2. Khalifah adalah suatu generasi penerus atau pengganti, yaitu khalifah diemban secara kolektif oleh suatu generasi. 3. Khalifah adalah kepala negara atau kepala pemerintahan. 8 Sehingga secara umum khalifah didefinisikan sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah sebagai pengganti Allah yang diberikan amanat untuk menjaga dan mengatur seisi alam dengan berbagai potensi yang dianugerahi oleh Allah dengan sebaik mungkin, sehingga akan terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan di bumi maupun di akhirat kelak. 5 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya: Bina Ilmu, 1987, h. 369. 6 Sayyid Quthb, Taf sir Fizilali Qur’an, Di Bawah Naungan Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, Cet. III, h. 95. 7 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan Jakarta: Pustaka Al Husna, 1989, hlm. 75. 8 M. Dawam Raharjo, op. cit., h. 357.

b. Manusia dalam Perspektif Kekhalifahan

Awal mula penciptaan manusia merupakan pengetahuan pertama yang diperoleh Adam a.s. sehingga ia mendapatkan keistimewaan dibanding dengan semua Makhluk ciptaan Allah. 9 Keistimewaan ini bisa dilihat dari sisi penciptaan fisik maupun personalitas karakternya. Karena keistimewaannya itu, manusia memiliki tugas dan kewajiban yang berbeda dengan makhluk yang lain. Keistimewaan dan kelebihan manusia, diantaranya berbentuk daya dan bakat sebagai potensi yang memiliki peluang begitu besar untuk dikembangkan. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan fisiknya, manusia dilengkapi dengan potensi berupa kekuatan fisik, fungsi organ tubuh dan panca indera. Kemudian dari aspek mental, manusia dilengkapi dengan potensi akal, bakat, fantasi maupun gagasan. Di luar itu manusia juga dilengkapi unsur lain, yaitu kalbu. Dengan kalbunya ini terbuka kemungkinan manusia untuk menjadi dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran Ilahi secara spiritual. 10 Dalam paham dualisme, bahwa manusia sebagai makhluk adalah integritas antara unsur jasmaniah dan rohaniah. Manusia ditempatkan sebagai makhuk yang memiliki peluang untuk dikembangkan pada kedua unsur tersebut. Seperti Al-Ghazali dan Al-Farabi menyatakan, bahwa manusia terdiri atas unsur jasad badan dan roh atau jiwa. Dengan jasad manusia dapat bergerak dan merasa, sedangkan dengan roh manusia dapat berpikir mengetahui dan sebagainya. Dalam pandangan ini tercermin akan adanya hubungan yang terintegrasi antara kedua unsur dimaksud. Hal yang sama juga dikemukakan oleh M. Qutb bahwa dalam perspektif Islam eksistensi manusia yang merupakan perpaduan antara ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang terpadu dan saling berkaitan, badan yang bersifat materi tidak bisa dipisahkan dengan akal dan ruh yang bersifat immateri. Masing-masing dari ketiga unsur tersebut 9 Abbas Mahmud Al-Aqqad, Manusia Diungkap Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, Cet. III, h. 13. 10 Jalaludin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002, Cet. II, h. 13-14. memiliki daya atau potensi yang saling mendukung dan melengkapi dalam perjalanan hidup manusia. 11 Menurut Harun Nasution, “unsur materi manusia mempunyai daya fisik seperti mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium dan daya gerak ”. Sementara itu unsur immateri mempunyai dua daya, yaitu daya berfikir yang disebut akal dan daya rasa yang berpusat di kalbu. Untuk membangun daya fisik perlu dibina melalui latihan-latihan ketrampilan dan panca indera. Sedangkan untuk melatih daya akal dapat dipertajam melalui proses penalaran dan berfikir. Sedangkan untuk mengembangkan daya rasa dapat dipertajam melalui ibadah seperti shalat, puasa dan lain- lain, karena intisari ibadah dalam Islam adalah taqarrub ilallah, mendekatkan diri kepada Allah. Yang Maha Suci hanya dapat didekati melalui ruh yang suci dan ibadah adalah sarana latihan strategis untuk mensucikan ruh atau jiwa. 12 Uraian di atas memberi gambaran bahwa Islam memiliki cara pandang yang utuh terhadap diri atau eksistensi manusia, yang mana dalam pandangan Islam eksistensi manusia itu ada tiga unsur penting, diantaranya yaitu ruh, akal dan badan. Islam menolak pandangan yang parsial sebagaimana yang telah dilakukan materialisme dan spiritualisme yang hanya menonjolkan satu aspek unsur manusia. Sehingga dapat kita lihat dalam surat al-Baqarah ayat 30-33 yang memaparkan proses kejadian manusia dan pengangkatannya sebagai khalifah.                    11 M. Qutb, Sistem Pendidikan Islam terj. Salman Harun, Bandung: Al-Maarif, 1993, h. 127. 12 Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995, h. 37.