Analisis Perda No. 4 tahun 2001 tentang Prostitusi dalam Persektif Hukum Islam

Berdasarkan uraian di atas tentang haramnya minuman keras maka perda No.7 tahun 2005 tentang pelarangan minuman beralkohol di Kabupaten Indramayu sesuai dengan hukum Islam. Bahkan dengan adanya perda ini dapat meminimalisir peredaran minuman keras. Karena minuman yang beralkohol secara nyata dapat membahayakan kesehatan terhadap manusia, mengancam masa depan generasi muda, bangsa serta merupakan salah satu penyebab terjadinya tindakan-tindakan yang tidak terpuji yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban didalam masyarakat.

B. Analisis Perda No. 4 tahun 2001 tentang Prostitusi dalam Persektif Hukum Islam

Perda No. 4 tahun 2001 tentang prostitusi pada BAB II pasal 2 yang berbunyi: ”siapapun dilarang mendirikan dan atau mengusahakan serta menyediakan tempat untuk melakukan prostitusi” 94 Prostitusi adalah mempergunakan badan sendiri sebagai alat pemuas seksual untuk orang lain dengan mencapai keuntungan. 95 Pengertian diatas tentunya sangat berbeda dengan pendapat para ulama yang mengaitkan dengan pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan, mazhab maliki berpendapat bahwa zina ialah hubungan orang yang mukallaf yang keduanya belum berhak melakukan hal tersebut atau belum ada ikatan pernikahan. Mazhab hanafi mengartikan zina dengan hubungan badan secara tidak normal melalui qubul-dubur yang bukan haknya. Sedangkan mazhab Syafi’i mengartikan zina dengan memasukkan alat kelamin laki-laki kedalam alat kelamin perempuan dengan jelas 94 Pasal 2 Perda No. 4 tahun 2001 Tentang Prostitusi. 95 Pasal 1 poin d Perda No. 4 Tahun 2001. memasukkannya. Mazhab Hambali mengartikan dengan perbuatan memasukkan kemaluan laki-laki kedalam dubur laki-laki atau perempuan. 96 Setidaknya ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ulama, terkait hukum melokalisasi tempat maksiat prostitusi, yaitu pendapat yang membolehkan dan pendapat yang melarang. Pendapat pertama mengacu pada kaidah ushul fiqh “Ketika ada pertentangan dua mafsadah kerusakan, maka diperhatikan yang terbesar mafsadah-nya dengan melakukan yang terringan mafsadah-nya ”. Ini artinya, kedua mafsadah yang saling bertentangan itu kita perhatikan dan cermati, mana yang memiliki kemadharatan lebih kecil, untuk kemudian kita lakukan. Dengan pertimbangan ini, jika prostitusi tidak dilokalisasi, maka keduanya akan merambah ke banyak tempat dan akan lebih sulit mengontrolnya. Ini tentu akan lebih berbahaya dan madharat dibanding jika dilokalisasi. Ini alasan perlunya lokalisasi, yaitu untuk memperkecil madharat yang akan timbul. Inilah argumentasi ulama yang membolehkan lokalisasi perjudian dan pelacuran. 97 Sedang kelompok kedua yang mengharamkan lokalisasi beralasan, melakukan lokalisasi baik perjudian maupun pelacuran, sama halnya dengan memberikan fasilitas untuk berbuat maksiat. Ini jelas dilarang Allah Swt. Allah Swt berfirman, yang berbunyi: h‚  -  jZ   b 77 • ƒ _gJ n Artinya : “…Dan janganlah kalian saling menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan….” Qs. al-Maidah: 2. 96 Abdul Qadir Audah, Attasyrie al Jinaa’i Al-Islaami Jilid II, Beirut: Muassasah Ar Risalah, 1996, h. 349. 97 Ali Mushtafa Ya’kub, Tanya Jawab Hukum Islam, Jakarta: Tp. : Tth., h. 30. Kelompok kedua ini juga memberikan alasan lain. Menurut mereka, anggapan atau kekhawatiran timbulnya madharat yang lebih besar, yaitu merambah dan tidak terkontrolnya perjudian dan pelacuran jika tidak dilokalisasi, adalah anggapan atau kekhawatiran yang belum terwujud. Kita belum melihat kemadharatan lebih besar yang timbul akibat tidak dilakukannya lokalisasi. Sementara membuat lokalisasi kemaksiatan, sudah jelas madharatnya. Karenanya, kaidah yang digunakan kelompok pertama sebagai dalil pembolehan lokalisasi, tidak dapat digunakan. Dalam firman Allah SWT dalam QS. Al Isra’ ayat 32: h‚  I H jf „ … †  : C - H _ dY9+ ‡ W €‡ ; • Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” QS. Al-Isra: 32. Perzinahan yang dilakukan secara suka rela hukumnya haram dalam fiqih, dan merupakan dosa besar bagi kedua belah pihak. Lalu bagaimana perzinahan yang dilakukan dalam situasi terpaksa seperti korban perdagangan orang trafiking yang kemudian dijadikan pelacuran. Sebagai sebuah perbuatan yang bertentangan dengan hukum agama, korban bisa jadi dihukumi dosa. Tetapi harus dipahami bahwa ini adalah korban sindikasi pelacuran. Apa yang dialami pada korban jelas bukan kehendak dan berangkat dari kesadarannya sendiri. Sesuatu yang terjadi pada korban trafiking karena kondisi terpaksa. Ada kekuatan yang membawa dan mengkondisikan korban trafiking masuk kedalam lingkaran dosa-dosa itu, dan ia tidak bisa keluar dari lingkaran itu. Apakah selayaknya kita memandang korban trafiking sebagai pelaku dosa?, yang jelas tindakan yang memaksa korban trafiking menjadi pelacur adalah suatu kejahatan. Hal tersebut lebih jahat lagi, karena tindakan pemaksaan itu menjerumuskan korban trafiking pada dunia pelacuran. Akibat tindakan ini seorang perempuan telah terjebak pada tiga hal, yaitu: perzinahan, pemaksaan dan pencucian otak. Sehingga ia tidak mempunyai pilihan untuk menolak atau menghindarinya. Orang yang melakukan tindakan trafiking yang kemudian memaksa untuk dijadikan sebagai pelacur tentu saja dikenakan dosa yang berlipat-lipat. Pada masa jahiliyah, sebelum Islam datang, tindakan orang untuk melacurkan diri dilakukan kepada para budak. Sampai pada masa nabi Muhammad pun, tindakan tersebut masih terjadi. Namun kemudian, praktik yang dalam lingkungan masyarakat jahiliyah yang dianggap sebagai hal yang biasa itu mencapat kecaman dari Allah SWT dalam surat An-Nur 24 : 33 berbunyi: h‚ ˆ I  , ] S,\+ 8 \ jZ     _ H _ 8 G G Š P 1  \] ‹ \Œ • I  f n8K W  - n 1 N ˆ I  , z _ Ž F 1  N ˆg I H v} ` 4 6 7W :? ; Artinya: dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, Karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada mereka sesudah mereka dipaksa itu Q.S An-Nur 24: 33. Ayat tersebut setidaknya mengisayaratkan dua hal: pertama, upaya yang melarang segala bentuk pemaksaan dan eksploitasi seksual, baik yang dilakukan secara individual maupun sistem sosial yang menjerumuskan perempuan pada pekerjaan pelacuran. Kedua, dukungan dan pendampingan terhadap korban eksploitasi seksual agar bisa kembali menjadi aman dan percaya diri. Ungkapan bahwa Allah akan mengampuni dan menyayangi mereka yang menjadi korban adalah anjuran yang eksplisit terhadap umat Islam untuk memberikan perlindungan dan pendampingan terhadap mereka yang menjadi korban. Larangan pemaksaan pada ayat tersebut adalah larangan yang berarti haram dan berdosa. Jika dilakukan terhadap mereka, terutama para perempuan yang merdeka karena saat ini sudah tidak ada lagi orang yang menjadi budak atau hamba sahaya maka dosanya sama persis dengan mereka yang menjual orang-orang merdeka. Larangan tegas dalam Islam terhadap tindakan pelacuran seharusnya menggerakkan orang-orang muslim, institusi keagamaan dan pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan nyata yang mengarah pada penutupan jalan-jalan yang kemungkinan terjadinya tindakan kejahatan tersebut, mengupayakan penindakan para pelaku kejahatan dan pemaksaan serta membuka kerja-kerja perlinduangan korban. Tindakan-tindakan yang mengarah pada pelacuran dalam perda di Indramayu terdapat pada No. 4 tahun 2001 tentang Prostitusi. Berdasarkan uraian di atas tentang prostitusi maka jelas dalil yang digunakan kelompok pertama tidak dapat digunakan, karena Allah SWT dengan tegas melarang perbuatan zina, hal ini termaktub dalam Q.S al-Isra : 32. oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Perda No. 4 tahun 2001 tentang prostitusi di Indramayu sesuai dengan Hukum Islam. Bahkan dengan adanya Perda No. 4 tahun 2001 tentang Prostitusi ini sebagai upaya untuk menertibkan dan melestarikan nilai-nilai luhur budaya masyarakat yang tertib dan dinamis serta dalam rangka pengendaliaan dan pengawasan terhadap praktek-praktek prostitusi dikabupaten Indramayu, karena prostitusi merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan yang berdampak negatif terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ada gerakan yang sifatnya nasional, yaitu “gerakan nasional pengentasan wanita tuna susila” dengan program pokok mengentaskan tiga bentuk kemiskinan, yaitu kemiskinan materi, kemiskinan iman dan kemiskinan informasi. Pengentasan kemiskinan materi agar orang tidak menjadi wanita tuna susila. Pengentasan kemiskinan iman agar orang tidak melacur atau berzina. Pengentasan kemiskinan informasi agar orang tahu dan mengerti, bahwa melalui perzinaan dan pelacuran sekalipun dengan memakai alat kontrasepsi berupa kondom dan sebagainya tidak menjamin aman dari penyakit HIV-AIDS dan penyakit kelamin lainnya.

C. Analisis Perda No 2 Tahun 2003 Tentang Wajib Belajar Madrasah Diniyah