terlihat bahwa Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk selanjutnya di singkat qanun adalah peraturan untuk melaksanakan otonomi khusus dalam hal yang menjadi
kewenangan pemerintah provinsi. Dengan demikian walaupun dari satu segi qanun adalah peraturan daerah, tetapi dari segi lain qanun tidak tunduk kepada peraturan
pemerintah karena qanun berada langsung di bawah undang-undang.
44
Penting untuk mendudukan qanun dalam tata urutan perundang-undangan, karena Qanun Provinsi NAD merupakan Peraturan Daerah Provinsi, yang dapat
mengesampingkan peraturan Perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis deregat lex generalis.
Sehingga Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materiel terhadap Qanun“
45
. Bahkan, qanun dapat menyingkirkan peraturan pemerintah
dan keputusan presiden sekiranya hal itu menyangkut otonomi khusus yang menjadi kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
46
C. Kebijakan Sosial Keagamaan 1. Pengertian Kebijakan Sosial Keagamaan
Nomenklatur ‘kebijakan’ yang dimaksud dalam teori ini disepadankan dengan kata bahasa Inggris ‘policy’ yang dibedakan dari kata ‘wisdom’ yang berarti
‘kebijaksanaan’ atau ‘kearifan’. Kebijakan sosial keagamaan terdiri dari tiga kata yang memiliki banyak makna, yakni kata ‘kebijakan’, kata ‘sosial’ social dan kata
44
Al Yasa’ Abubakar dan M. Daud Yoesoef, “Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah DitJend. Peraturan Perundang-undangan
DEPKUMHAM RI, www.legalitas.org
45
Penjelasan Umum UU No. 18 Tahun 2001
46
Al Yasa’ Abubakar dan M. Daud Yoesoef, “Qanun Sebagai Peraturan Pelaksanaan Otonomi Khusus”…,h. 2.
“keagamaan’. Untuk menghindari ambiguitas istilah tersebut, ada baiknya penulis membahas terlebih dahulu mengenai pengertian kebijakan dan sosial.
Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Titmuss
mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu.
47
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat
secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Sedangkan istilah sosial menurut Conyers dapat dikelompokkan kedalam 5
pengertian yaitu: a.
Kata sosial mengandung pengertian umum dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat hiburan atau sesuatu yang
menyenangkan. Misalnya, kegiatan olah raga, rekreasi, arisan sering disebut sebagai kegiatan sosial.
b. Kata sosial diartikan sebagai lawan kata individual. Dalam hal ini kata sosial
memiliki pengertian sebagai sekelompok orang group, atau suatu kolektifitas, seperti masyarakat society warga atau komunitas community.
c. Kata sosial sebagai istilah yang melibatkan manusia sebagai lawan dari
pengertian benda atau binatang. Pembangunan sosial berkaitan dengan pembangunan kualitas manusia yang berbeda dengan pembangunan fisik atau
infrastruktur, seperti pembangunan gedung, jalan, jembatan.
47
Edi Suharto, Materi Latihan : Analisis Kebijakan Sosial. Di akses pada 23 Maret 2008 dari http:www.policy.husuhartomakIndo21.html
d. Kata sosial sebagai lawan kata ekonomi. Dalam pengertian ini kata sosial
berkonotasi dengan aktifitas-aktivitas masyarakat atau organisasi yang bersifat volunter, swakarsa, swadaya, yang tidak berorientasi mencari keuntungan
finansial. Organisasi sosial, seperti Karang Taruna, PKK adalah organisasi yang menyelenggarakan berbagai kegiatan yang tidak mencari keuntungan
yang berupa uang. Ini berbeda dengan organisasi ekonomi, seperti perusahaan, Perseroan Terbatas PT, atau Bank yang tentunya kegiatan-kegiatannya
bertujuan untuk mencari keuntungan ekonomi. e.
Kata sosial berkaitan dengan hak azasi manusia baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Misalnya, setiap orang memiliki hak azasi human right
dan hak sosial social right, seperti kesamaan hak dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan, perumahan, kebebasan dalam menyatakan pendapat,
atau berpartisipasi dalam pembangunan.
48
Dalam kaitannya dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat diartikan baik secara luas maupun sempit. Secara luas kata sosial menunjuk pada pengertian umum
mengenai bidang-bidang atau sektor-sektor pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam konteks masyarakat atau kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian
ini mencakup antara lain bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau pertanian. Sedangkan dalam arti sempit, kata sosial menyangkut sektor
kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia,
terutama mereka yang dikategorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung
48
Diana Conyers, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Terj.Susetiawan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992 h. 10
disadvantaged group dan kelompok rentan vulnerable group. Kata sosial di sini
menyangkut program-program dan atau pelayanan-pelayanan sosial untuk mengatasi masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, ketidakberfungsian fisik dan
psikis, tuna sosial dan tuna susila, kenakalan remaja, anak dan jompo terlantar.
49
Adapun menurut beberapa ahli bahwa kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial adalah sebagai berikut:
50
a. Menurut Huttman kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan,
atau rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial
b. Marshall berpendapat bahwa Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan
keuangan c.
Rein juga berpendapat bahwa kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian
pelayanan dan bantuan sosial d.
Magill berpendapat bahwa Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik public policy. Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang
berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan keamanan militer, serta fasilitas-fasilitas umum lainnya air
49
Ginanjar Kartasasmita, Kebijakan dan Pembangunan Sosial, Malang: Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, 1996, h. 21
50
Suharto, Materi Latihan : Analisis Kebijakan Sosial, h. 3
bersih, listrik. Kebijakan sosial merupakan satu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial
Sedangkan pengertian kebijakan sosial social policy menurut Oxford English Dictionary
adalah suatu cara pengambilan tindakan dalam melanjutkan proses pemerintahan, ke-partaian, kekuasaan, kepemimpinan Negara, dan lain-
lain; arah dalam pengambilan suatu tindakan itu haruslah menguntungkan atau sesuai.
51
Disiplin ilmu sosiologi mengartikan kebijakan sosial adalah suatu prinsip dan cara melakukan suatu tindakan kesepakatan di suatu tataran dengan individu
dan juga menjalin hubungan dengan masyarakat. Hal ini menjadikan suatu pemikiran dalam melakukan intervensi keterlibatan dari peraturan yang berbeda
dengan sistem sosial. Menetapkan suatu kebijakan sosial haruslah menunjukkan tata cara bagaimana proses penerapannya dalam menghadapi suatu fenomena
sosial, hubungan sosial pemerintah dalam mendistribusikan penghasilan dalam suatu masyarakat.
52
Definisi lain dari kebijakan sosial adalah suatu kondisi di atas level pengembangan dalam suatu kelompok, baik itu tradisi, kebudayaan, orientasi
ideology, dan kapasitas teknologi. Sedangkan Bruce. S Jansson mendefinisikan kebijakan sosial adalah mengendalikan sasaran pemecahan masalah yang
menyangkut keuntungan orang banyak. Hal ini menekankan bahwa kebijakan sosial bertujuan untuk mengurangi masalah sosial seperti kelaparan, kemiskinan,
51
Oxford Dictionary, Fifth Impression London, London: Oxford University Press, 1995.
52
Sebagaimana dikutip dari Schorr dan Baumheir dalam Rizki Aji Hertantyo, Kebijakan Sosial Dalam
Menanggulangi Masalah Kemiskinan,
artikel diakses pada 21 maret 2008 dari www.rumahapresiasi.com
dan guncangan jiwa. Atau kebijakan sosial dapat pula di definisikan sebagai kumpulan strategi untuk memusatkan perhatian pada problem sosial.
53
Dengan demikian, kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial.
Pengertian kebijakan sosial seperti ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagai perencanaan perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan
sosial yang pertama kali muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara, sehingga meskipun pengertian perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas, di
masyarakat Barat berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat dengan perencanaan kesejahteraan sosial.
54
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan sosial keagamaan dalam konteks pembahasan ini yaitu suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip
keagamaan untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat oleh pemerintah secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
2. Proses Perumusan Kebijakan Sosial
Proses perumusan kebijakan sosial dapat dikelompokkan dalam 3 tahap, yaitu: Tahap identifikasi, tahap implementasi dan tahap evaluasi.
55
Setiap tahap terdiri dari beberapa tahapan yang saling terkait. Secara garis besar tahapan perumusan
kebijakan dapat adalah sebagai berikut:
56
a. Tahap Identifikasi
53
Rizki Aji Hertantyo, Kebijakan Sosial…., www.rumahapresiasi.com
54
Conyers, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, h. 14
55
Suharto, Materi Latihan : Analisis Kebijakan Sosial, h. 4
56
Suharto, Materi Latihan : Analisis Kebijakan Sosial, h. 4.
1 Identifikasi Masalah dan Kebutuhan: Analisis Masalah dan Kebutuhan:
Tahap berikutnya adalah mengolah, memilah dan memilih data mengenai masalah dan kebutuhan masyarakat yang selanjutnya dianalisis dan
ditransformasikan ke dalam laporan yang terorganisasi. 2
Penginformasian Rencana Kebijakan: Berdasarkan laporan hasil analisis disusunlah rencana kebijakan. Perumusan Tujuan Kebijakan: Setelah
mendapat berbagai saran dari masyarakat dilakukanlah berbagai diskusi dan pembahasan untuk memperoleh alternatif-alternatif kebijakan.
Beberapa alternatif kemudian dianalisis kembali dan dipertajam menjadi tujuan-tujuan kebijakan.
3 Pemilihan Model Kebijakan: Pemilihan model kebijakan dilakukan
terutama untuk menentukan pendekatan, metoda dan strategi yang paling efektif dan efisien mencapai tujuan-tujuan kebijakan.
4 Penentuan Indikator Sosial: Agar pencapaian tujuan dan pemilihan model
kebijakan dapat terukur secara objektif, maka perlu dirumuskan indikator- indikator sosial yang berfungsi sebagai acuan, ukuran atau standar bagi
rencana tindak dan hasil-hasil yang akan dicapai. 5
Membangun Dukungan dan Legitimasi Publik: Tugas pada tahap ini adalah menginformasikan kembali rencana kebijakan yang telah
disempurnakan. b. Tahap Implementasi
1 Perumusan Kebijakan: Rencana kebijakan yang sudah disepakati bersama
dirumuskan kedalam strategi dan pilihan tindakan beserta pedoman peraturan pelaksanaannya.
2 Perancangan dan Implementasi Program: Kegiatan utama pada tahap ini
adalah mengoperasionalkan kebijakan ke dalam usulan-usulan program program proposals atau proyek sosial untuk dilaksanakan atau
diterapkan kepada sasaran program. c. Tahap Evaluasi
Evaluasi dilakukan baik terhadap proses maupun hasil implementasi kebijakan.
3. Aspek Kebijakan Sosial
Mengkaji keadaan peta sosial dan kebudayaan suatu masyarakat adalah penting, karena ia akan menerangkan kepada kita tata cara, pandangan hidup, dan
organisasi sosialnya yang mempengaruhi pola prilaku kehidupan anggota masyarakat dalam aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, hukum, seni, adat istiadat,
tata susila, agama dan keyakinan.
57
Kebijakan sosial sangat berfungsi dalam melakukan suatu kesejahteraan bagi masyarakat. Setiap negara memiliki mekanisme tersendiri dalam proses
perumusan suatu kebijakan sosial. Sebagain besar negara menyerahkan tanggungjawab ini kepada setiap departemen pemerintahan atau pemerintah
daerah setempat, namun ada pula negara yang memiliki badan khusus yang menjadi sentral perumusan kebijakan sosial. Terdapat pula negara-negara yang
57
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post- Modernisme
Jakarta:Paramadina,1996, h. 1
melibatkan baik lembaga pemerintahan maupun swasta dalam merumuskan kebijakan sosialnya. Tidaklah mudah untuk membuat generalisasi lembaga mana
yang paling berkompeten dalam masalah ini.
58
Dalam Encyclopedia Of Social Work, bahwa kebijakan sosial meliputi 4 empat tingkatan aktivitas profesi:
59
a. Melihat aktivitas di suatu tataran dengan merespon untuk membuat suatu
kebijakan social. Penentuan bidang ini dilakukan oleh pengambil kebijakan yaitu pemerintah
b. Melihat bentuk pelayanan dan sebagai penasihat secara teknis tentang suatu
kebijakan. Bidang ini merupakan wewenang di tingkatan legislatif pada suatu Negara demokrasi.
c. Meneliti dan menginvestigasi problema sosial. Bidang ini dilakukan oleh para
pekerja sosial d.
Memberikan perlindungan atau advokasi secara khusus terhadap suatu kebijakan. Bidang ini merupakan kerja pihak LSM
Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.
60
Selain adanya tingkatan aktivitas yang dilakukan pada bidangnya masing- masing, kebijakan sosial pun memiliki 3 tiga tingkatan intervensi, yang tak jauh
berbeda dengan tingkatan aktivitas diantaranya:
58
Suharto, Materi Latihan : Analisis Kebijakan Sosial, h. 6
59
Hertantyo, Kebijakan Sosial Dalam Menanggulangi Masalah Kemiskinan, h. 3.
60
Muhtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, lembaga penelitian hukum dan kriminologi Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, t.t. h. 4. Lihat juga dalam
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberti, Yogyakarta, 1986, h. 19-20.
a. Direct-service practice, yang berkaitan dengan pekerjaan para pelaksana
kebijakan b.
Community organization, yang membicarakan pada pengerahan kemampuan seperti menghimpun koalisi
c. Administrative social work, yang berkenaan dengan pokok persoalan.
61
Suatu kebijakan yang sudah ditetapkan menurut James Midgley, yang dikutip
oleh Hertantyo haruslah meliputi dua aspek yang harus diperhatikan, diantaranya
ialah : a.
Mengaktualisasikan kebijakan dan program yang dibuat untuk kesejahteraan masyarakat
b. Menyingkap dan memperlihatkan lapangan akademis dalam penyelidikan
yang ditekankan dengan deskripsi, uraian, dan evaluasi terhadap suatu kebijakan.
62
Dengan adanya aspek tersebut maka masyarakat sebagai objek sasaran kebijakan tersebut dapat memahami dan menerapkannya dengan baik. Begitu juga
dengan pemerintah dan semua perangkatnya haruslah memperhatikan bagaimana kinerja tersebut berlangsung. Sehingga kesejahteraan masyarakat dapat
diwujudkan dengan baik.
4. Kebijakan Sosial Keagamaan Era Reformasi
Jatuhnya rezim Soeharto mendorong terlaksananya demokrasi dan kebebasan di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang,
di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan
61
Hertantyo, Kebijakan Sosial Dalam Menanggulangi Masalah Kemiskinan, h. 4
62
Hertantyo, Kebijakan Sosial Dalam Menanggulangi Masalah Kemiskinan, h. 4
tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang
lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan
pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
63
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya konkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah
membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam
tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002. Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi
sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan
hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum
Nasional kita.
64
63
Jimly Asshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, 27 September 2000.
64
Jimly Asshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional…, Makalah Seminar Penelitian Hukum, 2000
BAB III KEBIJAKAN SOSIAL KEAGAMAAN PEMERINTAH
DAERAH INDRAMAYU
A. Sekilas Demografi Daerah Indramayu
Agama sebagai sebuah sistem nilai dapat dipahami sebagai “fenomena mental” dan “fenomena sosial”. Yang pertama berhubungan dengan masalah keyakinan believing
dan yang kedua dengan masalah anutan atau kepemelukan belonging. Sebagai fenomena mental agama berisi keyakinan dasar, ide, norma, dan simbol yang
berhubungan dengan tradisi agama termasuk apa yang disebut dengan teologi atau sistem keyakinan.
65
Dalam hal kebijakan pasca UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merubah kebijakan otonomi daerah dari “dekonsentrasi” menjadi “desentralisasi”.
Artinya, wilayah-wilayah di dalam negara diberi kebebasan untuk mengatur dan melaksanakan sendiri rumah tangga pemerintahan masing-masing. Maka, setiap wilayah
memiliki pemerintahan sendiri baik eksekutif maupun legislatif kecuali yudikatif yang diharuskan sentralistik.
66
Fenomena politik pasca Orde Baru diwarnai dengan euforia demokrasi atau liberalisasi politik. Iklim politik Islam diekspresikan labih formal scriptural, nampak
65
Syaiful Mujani, Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik Indonesia Pasca Orde Baru
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007, h.40.
66
Dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri dan bebas dari intervensi kedua cabang yang lain. Hal ini menjadi
pengangan universal di negara-negara di dunia yang menganut sistem demokrasi. Lihat Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi
Jakarta: BIP, 2007, h.520-530