BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Repolitisasi Islam cenderung diartikan sebagai fenomena maraknya kehidupan politik Islam. Indikator utama yang digunakan sebagai dasar penilaian itu adalah
munculnya sejumlah partai yang menggunakan simbol dan asas Islam atau yang berbasis massa komunitas Islam, maka muncul pendapat lain yang mendefinisikannya sebagai
munculnya kembali kekuatan politik Islam.
1
Hubugan Islam dan Politik adalah subjek yang sangat menarik, sepanjang masa akan menjadi persoalan yang bersifat recurrent.
Artinya, masalah ini akan selalu muncul, sebab pada dasarnya Islam, umat Islam atau kawasan Islam, tak akan pernah bisa dipisahkan dari persoalan-persoalan politik.
2
Begitupun dalam sejarah politik Indonesia, selalu diwarnai perdebatan antara kekuatan Islam Politik dan nasionalis ditingkat elit. Secara empiris, hasil riset Lembaga
Survei Indonesia, melansir bahwa dukungan terhadap gerakan Islamisasi di Indonesia dilihat dari presentasenya dukungan terhadap aksi-aksi radikal dengan mengatas namakan
Islam secara umum signifikan pada 2005-2007. Bila ada kekuatan untuk aktivasi simpati atau dukungan ini bisa menjadi kekuatan besar.
3
Tentunya indikator tersebut perlu untuk diperhitungkan oleh kekuatan politik lokal terhadap kemungkinan pertarungan kebijakan
di daerah.
1
Bahtiar Effendy, RePolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung: Mizan, 2000, Cet.1., h. 195
2
Bahtiar Effendy, “Disartikulasi Pemikiran Politik Islam”, Kata Pengantar dalam buku Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik,
Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, Cet. 1, 2002, h. iii.
3
Lembaga Survei Indonesia, Trend Orientasi Nilai-Nilai Politik Islamis Vs Nilai-Nilai Politik Sekuler Dan Kekuatan Islam Politik
, Jakarta: Oktober, 2007.
Fenomena munculnya kebijakan-kebijakan pemerintah daerah tentang sosial keagamaan di Indonesia seolah menemukan momentumnya pasca suksesi kepemimpinan
nasional tahun 1998 yang lazim disebut sebagai Era Reformasi. Pada era tersebut pemerintah sepertinya berlomba-lomba untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
berkaitan dengan sosial keagamaan. Hal ini dilakukan melalui jalur struktural dan kultural, dari pusat sampai ke daerah. Kalangan ini menuntut agar hukum-hukum di
Indonesia harus sejalan dengan hukum Islam. Kehendak untuk memformalkan hukum Islam ke dalam hukum positif, juga
terus disuarakan oleh partai-partai Islam dan ormas-ormas tertentu ditingkat pemerintahan daerah. Bahkan di kepala daerah berinisiatif untuk memformalkankan
hukum Islam dalam bentuk Peraturan Daerah, Surat Edaran SE, Surat Keputusan SK dan bentuk peraturan lainnya. Hal ini tidak lepas dari adanya pergeseran hubungan
kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Penerapan Undang-undang No 22 tahun 1999 yang diberlakukan pada 1 Januari 2001 dan perubahannya UU No. 32
tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, memberi peluang besar bagi daerah untuk mengeluarkan berbagai kebijakan terkait pengelolaan daerahnya masing-masing.
Menguatnya keinginan berbagai daerah untuk melakukan formalisasi hukum Islam melalui berbagai produk perundang-undangan, menjadi salah satu isu pokok yang
penting untuk dibahas. Keinginan tersebut tidak saja dapat dilihat sebagai akses dari otonomi daerah semata, tetapi juga cerminan kegamangan masyarakat dalam menyikapi
perkembangan yang terjadi, seperti prilaku generasi muda dalam berpakaian dan maraknya kemaksiatan serta rasa frustasi masyarakat berhadapan dengan sistem
pemerintahan yang ‘korup’. Dalam hal ini kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan hukum Islam dianggap sebagai salah satu problem solving.
Fenomena kebijakan-kebijakan sosial keagamaan di beberapa daerah ini semakin terasa setelah reformasi digulirkan pada 1998. Sebelumnya, hanya Aceh yang
secara gencar menuntut perwujudan syariat Islam di daerahnya, yang belakangan disetujui pemerintah pusat melalui otonomi khusus. Sekarang, dalam rentang waktu yang
relatif singkat, beberapa daerah seperti Sulawesi Selatan, Dompu NTB, Lombok Timur, Banten, Pamekasan Jatim, Riau, Padang, Ternate, Gorontalo dan beberapa daerah di Jawa
Barat, sedang melakukan penggodokan untuk menetapkan beberapa peraturan daerah tentang sosial keagamaan.
Di Jawa Barat, peraturan yang bernuansa sosial keagamaan, hampir diproduksi oleh tiap daerah seperti Tasikmalaya, Banjar, Cianjur, Garut, Bandung, Sukabumi,
Kuningan, Majalengka, Cirebon dan Indramayu. legislasi yang dikeluarkan juga beragam bentuknya, mulai dari larangan perjudian, jum’at khusu, wajib zakat, kewajiban memakai
jilbab bagi siswi, anjuran membaca Al-Qur’an sebelum melakukan aktivitas, larangan prostitusi, kewajiban menyertakan sertifikat Madrasah Diniyah bagi siswa dan siswi yang
hendak melanjutkan sekolah dan lain sebagainya.
4
Di antara daerah di Jawa Barat, yang belakangan kuat memproduksi legislasi yang berbasis agama, sebagaimana disebutkan di atas, adalah Kabupaten Indramayu.
Sebagai salah satu daerah yang terletak di pantai utara Jawa Barat, daerah ini telah memiliki beberapa kebijakan yang berkaitan dengan sosial keagamaan. Beberapa legislasi
4
Lihat, Arskal Salim, Peraturan Daerah Berbasis Syariat dan Masalah Penegakan HAM, Jakarta: FSH UIN JKT, 2007. Lihat juga, Wahiduddin Adams, Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan
Kebijakan Terkait Moral Keagamaan , Jakarta: Direktorat Fasilitasi Perancangan Perda DEPKUMHAM
RI, 2007
yang telah dikeluarkan diantaranya Perda No. 30 tahun 2001 tentang pelarangan peredaran dan pengunaan minuman keras revisi perda No.7 tahun 2005, perda No. 7
tahun 1999 dan perubahannya No. 4 tahun 2001 tentang prostitusi, Perda tentang Kewajiban menyertakan Sertifikat Diniyah bagi Siswa yang ingin melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, Surat Edaran Bupati mengenai anjuran membaca Al-Qur’an 15 menit sebelum melakukan aktivitas, kewajiban menggunakan jilbab bagi
pelajar dan pegawai pemda selama bekerja dan lain sebagainya. Akan tetapi apakah kebijakan-kebijakan tersebut sudah sejalan dengan hukum Islam yang sebenarnya.
Dari pemaparan di atas, maka penulis merasa tertarik untuk membahas secara detail tentang kebijakan-kebjakan sosial keagamaan pemerintah daerah ditinjau dari
hukum Islam dalam sebuah skripsi dengan judul: “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KEBIJAKAN SOSIAL KEAGAMAAN PEMERINTAH DAERAH
INDRAMAYU”
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah