Kata kerja yang berakar kata dengan huruf ha, kaf, dan mim mempunyai makna “mencegah”, serta bermakna leksikal “menyelesaikan atau memutuskan suatu
urusan” serta mencegah seseorang dari apa yang diinginkannya”. Apabila dalam kamus, kata hukm berarti “ilmu pengetahuan dan memutuskan dengan adil’, maka
dapat dikatakan demikian karena pengetahuan dan keputusan yang adil mempunyai kemampuan mencegah seseorang berbuat kerusakan.
21
a. Syariah
Secara etimologi syariah berarti “jalan ketempat pengairan” atau “tempat lalu air disungai”. Kata syariah dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti dalam surat al-
Maidah : 48 yang artinya: “Kami berikan aturan dan jalan yang terang..” Adapun syariah secara terminilogi, menurut para ahli definisi syariah adalah Segala titah
Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlaq. Dengan demikian “syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang
bersifat amaliah”. Walaupun pada mulanya syariah itu diartikan “agama” sebagaimana yang disinggung dalam surat al-Syura: 13, namun kemudian
dikhususkan penggunaannya untuk hukum amaliah. Pengkhususan ini dimaksudkan karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku universal,
sedangkan syariah berlaku untuk masing-masing umat yang berbeda dengan umat sebelumnya. Dengan demikian syariah lebih khusus dari agama.
22
Dalam perkembangan selanjutnya kata syariah tertuju atau digunakan untuk menunjukan hukum-hukum Islam baik yang ditetapkan langsung dari al-
21
Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah…, h. 160.
22
Djalil, Pernikahan lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, h. 21
Quran dan al-Sunnah maupun yang telah tercampur dengan pikiran-pikiran manusia.
Istilah syariah erat kaitanya dengan istilah tasyri’, syariah tertuju kepada materi hukum, sedangkan tasyri’ merupakan ketentuan materi syariah tersebut.
Pengetahuan tentang tasyri’ berarti pengetahuan tentang cara, proses, dasar, dan tujuan Allah SWT menetepkan hukum- hukum tersebut.
23
b. Fiqh
Kata “fiqh”, secara etimologi berarti “paham yang mendalam”. Bila “paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti paham
yang menyampaikan ilmu zhahir pada ilmu batin, karena itulah al-Tirmizi meyebutkan, “fiqh tentang sesuatu” berarti mengetahui batinnya sampai kepada
kedalamannya.
24
Secara terminologi, Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan fiqh dengan ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan
dari dalil-dalil yang tafsil.
25
Sedangkan Al-Amidi memberikan definisi fiqh dengan ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyah
yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal.
26
Menurut Amir Syarifuddin yang dikutip oleh Basiq Djalil, Fiqh adalah “Ilmu tentang hukum-
23
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I Jakarta ; Logos Wacana Ilmu, 1997, Cet. Ke-1, h. 10
24
Djalil, Pernikahan lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, h. 20
25
Abdul Wahab Khalaf, Ilm al-Ushul al-Fiqh, Darul Qalam, 1978, h. 11
26
Syarifuddin, Ushul Fiqh ,h. 3
hukum syar’i yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dalil-dalil yang tafsili”.
27
Dalam definisi ini, fiqh diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan. Memang fiqh itu tidak sama dengan ilmu seperti disebutkan
diatas, fiqh itu bersifat Zhanni. Fiqh adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan zhan-nya, sedangkan ilmu tidak bersifat zhanni seperti fiqh. Namun
karena zhan dalam fiqh ini kuat, maka ia mendekati kepada ilmu; karena dalam definisi ini ilmu digunakan juga untuk fiqh.
28
Kata Hukum Islam merupakan term ”Islamic law” dari literatur barat.
29
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqi bahwa hukum Islam yang sebenarnya tidak lain adalah fiqh Islam, atau syari’at Islam, yaitu: “hasil daya upaya para fuqaha dalam
menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat”.
30
Berbeda dengan Hasbi Ash-Shiddieqi, Amir Syarifuddin mendefinisikan bahwa Hukum Islam berarti “Seperangkat aturan yang berdasarkan wahyu Allah
dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”
31
.
27
Basiq Djalil, Pernikahan lintas Agama dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, h. 20
28
Basiq Djalil, Pernikahan lintas Agama…, h. 20.
29
Dalam penjelasan Hukum Islam dari literature Barat ditemukan definisi keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya dari definisi ini arti hukum islam kepada
sebagai syarat, lihat Joseph Schaft, an Introduction of Islamic law, Oxford: University Press, 1964, h.1 dikutip oleh fahurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, Cet Ke-1, h.
11
30
Hasbi Ash-Shiddieqi, Falsafah Hukum Islam, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001 Cet. Ke-1, h.29
31
Amir Syarifudin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam dalam Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara -Depag, 1992, cet ke-1, h. 14
Hukum Islam diciptakan karena ia mempunyai maksud dan tujuan, tujuan dari adanya hukum Islam ialah terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagiaan di
akhirat. Jadi, hukum Islam bukan bertujuan untuk meraih kebahagiaan yang fana dan pendek di dunia semata. Tetapi juga mengarahkan kebahagiaan yang kekal di
akhirat kelak. Inilah yang membedakanya dengan hukum manusia yang menghendaki kebahagiaan di dunia saja. Tujuan hukum Islam tersebut merupakan
manifestasi dari sifat rahman dan rahim maha pengasih dan maha penyayang Allah SWT kepada semua makhluknya, rahmatan lil alamin adalah inti dari
syari’at atau hukum Islam. Dengan adanya syari’at tersebut dapat di tegakkan perdamaian di muka bumi dengan pengaturan masyarakat yang memberikan
keadilan bagi seluruh manusia. Keadilan sangat mulia di mata Allah SWT dan sifat adil merupakan jalan menuju taqwa setelah iman kepada Allah SWT.
32
B. Konstitusionalitas Hukum Islam di Indonesia