plastik, alat-alat danatau obat pencegah kehamilan; teknologi dalam telekomunikasi dan transportasi. Dalam hal ini yang jelas adalah penyalahgunaan terhadap produk-produk perkembangan teknologi di
bidang industri.
3. Lemahnya penerapan, dan ringannya sanksi hukum positif yang di terapkan terhadap pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum tersebut dapat di lakukan oleh pelaku subyek prostitusi,
mucikari, pengelola hotelpenginapan, dan lain-lain. Mahalnya biaya resmi pernikahan, sulitnuya prosedur perceraian juga merupakan faktor pengembangan praktek prostitusi secara kuantitas.
4. Kondisi lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam fisik yang menunjang. Kurangnya kontrol di lingkungan permukiman oleh masyarakat sekitar, serta lingkungan alam seperti:
jalur-jalur jalan, taman-taman kota, atau tempat-tempat lain yang sepi dan kekurangan fasilitas penerangan di malam hari, sangat menunjang untuk terjadinya praktik prostitusi.
Pada tingkat pasar, misalnya, penggunaan tubuh perempuan untuk keperluan iklan barang-barang konsumtif, menunjukkan telah terjadi pergeseran seksualitas dan tubuh dari domain privat ke domain
publik; Menunjukkan bahwa masalah pelacuran adalah masalah yang multikompleks, yang tidak berhenti
pada masalah ekonomi, namun juga kelonggaran culture masyarakat di sekitarnya, pengaruh gaya hidup, tradition setempat, juga persepsi para pelacur dan keluarganya terhadap profesi tersebut.
Hal-hal itulah yang ditangkap para cukong atau para penyalur dengan memanfaatkan jaringan yang sangat rapi dan tak jarang malahan di dukung oleh backing aparat keamanan.
b. Politik
Dalam konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan di ratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa PBB perdagangan perempuan serta prostitusi paksa di masukkan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
22
Nuansa pelanggaran hak asasi manusia HAM dalam penanganan masalah prostitusi selama ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa ekonomis, kemiskinan, dan beban eksploitasi sangat kental
dialami perempuan yang dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga miskin. Setelah terjebak di dalam dunia prostitusi pun mereka tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar, hanya mampu berharap
suatu saat jalan itu terbuka.
c. Hukum
Nuansa bias gender di sini terjadi selain dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena jarang laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi di tangkap dan
diproses secara hukum. Kalaupun ada laki-laki yang tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan, dan menyuruh pulang. Sementara para perempuan yang terjaring, di data, di beri penyuluhan
dan di suruh membayar denda, atau di masukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan. Mereka juga sangat rentan pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban.
Kasus prostitusi yang menggerakkan pemerintah untuk memproduksi sebuah undang-undang KUHP sepertinya bukan khas kebingungan Indonesia. Bila di Indonesia kebingungan itu lebih pada
menyoal menentukan batas moral dan amoral – yang sama-sama kabur, di negara lain praktik prostitusi di perdebatkan karena beberapa perkara. Misalnya prostitusi di jerat sebagai aktivitas kriminal. Pandangan
ini menyakini bahwa prostitusi merupakan sebentuk perbudakan wanita. Karena itu, tidaklah berlebihan bila prostitusi di haramkan, dan pelakunya harus di jebloskan penjara.
d. Agama
22
Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the Prostitution of Others tahun 1949
Demikian pula dalam hal sulitnya menindak pelacuran. Agama tidak bisa langsung bertindak sebagai Lembaga Inkuisisi dengan menjatuhkan sanksi ‘uqubat terhadap pelacuran. Dalam fikih Islam
sendiri terdapat ragam beda pendapat, misalnya dalam kasus pelacuran. Menurut Abu Hanifah, perbuatan seks dengan wanita bayaran tidak bisa di kenai hukum Hadd karena hukum transaksinya al-Ijarah masih
samar syubhat, sedangkan pelaksanaan hukum Hadd, seperti di sabdakan nabi, harus bebas dari segala kesamaran.
23
Persoalan mendasar membangun ideologi patriarkhi bersumber pada pemegang kekuasaan dan pemilik pengetahuan yang tidak netral. Setiap kuasa pengetahuan mempengaruhi wacana yang
membangun perspektif kultural dan praktik sosial di masyarakat. Gagasan kebebasan untuk memberikan peran lebih luas dengan persaingan yang kompetitif selalu berbentur pada kepentingan yang mempunyai
modal besar. Seringkali kehendak penafsir dalam memberikan pendapat atau menentukan aturan role
membelenggu kesadaran perempuan. Seperti banyaknya penafsiran tentang poligami dari sudut pandang laki-laki, di kaitkan dengan kehendak dan perintah Tuhan. Perempuan hanya di jadikan subjek dari hasil
penafsiran tanpa sedikitpun terlibat dalam produksi tafsir yang kreatif. .Jika menelaah kitab tafsir klasik banyak pendapat yang bias gender, karena penafsirnya laki-laki,
sehingga secara nyata kepentingan laki-laki masuk dalam penafsiran mereka. Untuk memberikan imbangan pada realitas saat ini, maka perempuan perlu mampu mengakses kitab suci dan memberikan
interpretasi sesuai dengan kepentingan dan kepekaan yang di miliki oleh kaum perempuan. Misalnya, berkenaan dengan masalah reproduksi, perempuan harus berbicara dan berpendapat tentang apa yang di
alami oleh tubuhnya ketika menstruasi, hamil dan melahirkan serta menyusui,. Laki-laki tidak akan bisa memahami secara nyata, karena laki-laki tidak bisa menggantikan atau mengalami peran reproduksi
kalangan perempuan.
23
Sirajuddin Abu Hafsh, Al-Ghurrah al-Munifah, Maktabah Imam Abu Hanifah, Beirut, 1988, hal 169-170, Cet II
BAB IV PERKEMBANGAN
TRAFFICKING DAN PROSTITUSI, DAMPAK SERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA