Peran Pemerintah Political Will Dalam Penanggulangan Trafficking dan Prostitusi

Nuansa bias jender di sini terjadi selain dalam bentuk Stigmatisasi, juga Diskriminasi, karena jarang laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi di tangkap dan di proses secara hukum. Kalaupun ada laki-laki yang tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan, dan menyuruh pulang. Sementara para perempuan yang terjaring, di data, di beri penyuluhan dan di suruh membayar denda, atau di masukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan. Mereka juga sangat rentan terhadap pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban. Dengan banyaknya tempat-tempat untuk melacur yang di sediakan oleh mucikari, maka pelacuran akan semakin sulit dapat di kontrol, mereka dapat dengan mudah berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lain dalam melakukan operasinya dengan aman, bahkan hal demikianlah yang lebih memungkinkan banyaknya pengaruh jelek terhadap masyarakat di sekitarnya. Seks sebagai “komoditi” telah menimbulkan suatu profesi yang memerlukan totalitas dari sebagai modal kerja. Hubungan seks antara dua jenis manusia sudah setua adanya manusia di muka bumi ini.

C. UPAYA PENANGGULANGAN TRAFFICKING DAN PROSTITUSI

1. Peran Pemerintah Political Will Dalam Penanggulangan Trafficking dan Prostitusi

Salah satu upaya political will Pemerintah Indonesia untuk memerangi trafficking tercermin dengan The Convention on the Elimination of Discrimination Against Women ‘CEDAW’. Pemerintah Indonesia menandatangani konvensi ini Kopenhagen pada tanggal 29 Juli 1980. Ratifikasi ini di lakukan dengan mereservasi pasal 29 ayat 1 yang pada pokoknya mengatur tentang prosedur mekanisme penyelesaian perselisihan antara Negara-negara peserta konvensi tentang penafsiran dan penerapan konvensi dan membawanya kepada Mahkamah Internasional. Pengertian diskriminasi dalam konvensi ini pada pokoknya di artikan sebagai bentuk pengingkaran terhadap aktualisasi sepenuhnya hak asasi manusia yang meliputi hak sosial, politik, ekonomi, dan budaya kaum perempuan sesuai konvensi-konvensi internasional tentang Hak Asasi Manusia HAM seperti misalnya konvensi hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta deklarasi hak atas pembangunan. Dengan kata lain, konvensi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan ini menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai parameter atau tolak ukur bagi ada atau tidaknya diskriminasi terhadap perempuan. 32 Pengarusutamaan Gender gender mainstreaming. Dalam Inpres di nyatakan bahwa setiap instansi pemerintah mengintegrasikan program pemberdayaan perempuan ke dalam sektor dan daerah masing- masing untuk mewujudkan target Millennium Development Goals MDG, yaitu kesetaraan dan keadilan gender yang pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia secara keseluruhan. Sumberdaya manusia yang berkualitas akan menjadi sumber penggerak driving force di seluruh sektor pembangunan nasional. Pembangunan sumberdaya manusia merupakan bagian yang integral dari program-program pembangunan di Indonesia dan terkait erat dengan komitmen internasional dalam mewujudkan Millenium Development Goals MDG yang telah di canangkan sejak tahun 2000 melalui Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa Penguatan komitmen Pemerintah RI dalam penghapusan perdagangan orang tercermin dari Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak RAN P3A dan pengajuan Rencana Undang-undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang RUU PTPPO kepada DPR RI untuk disahkan. Dalam Program Legislasi Nasional 2005-2009, RUU Tindak Pidana Perdagangan Orang berada di urutan 22 dari 55 prioritas RUU yang akan dibahas. Penindakan hukum kepada pelaku trafficker digiatkan melalui peningkatan kapasitas penegak hukum serta peningkatan kerjasama dengan pemangku kepentingan yang lain dan pihak penegak hukum negara sahabat sehingga Kepolisian RI berhasil memproses 23 kasus dari 43 kasus yang terungkap. Pada tahun 2007-2008 Maret, sebanyak 53 terdakwa telah mendapat vonis Pengadilan dengan putusan: bebas. Dan hukuman penjara 6 bulan sampai yang terberat 13 tahun penjara atau rata-rata hukuman 3 tahun 3 32 Nur Syahbani Katjasungkana Penyunting, penghapusan diskriminasi terhadap kaum perempuan, APIK, tt, hal. 4 bulan. Sosialisasi dan advokasi dari berbagai pihak kepada aparat penegak hukum telah rnernbuahkan di jatuhkannya vonis hukuman yang cukup berat kepada trafficker. 33 Peningkatan perlindungan kepada korban perdagangan orang dilaksanakan dengan meningkatkan aksesibilitas layanan melalui pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu di Rumah Sakit Umum milik Pemerintah Pusat, Propinsi dan KabupatenKota serta Rumah Sakit Kepolisian Pusat dan Rumah Sakit Bhayangkara di daerah. Ruang Pelayanan Khusus Kepolisian yang dikelola oleh Polisi Wanita semakin ditambah yang kini jumlahnya mencapai 226 unit di 26 Kepolisian Daerah Propinsi dan masih akan terus diperluas ke Kepolisian Daerah yang lain dan Kepolisian Resort KabupatenKota seluruh Indonesia. Di samping itu juga semakin banyak LSM dan organisasi masyarakat yang mendirikan womens crisis centre , Drop In Center. atau shelter yang kini jumlahnya 23 unit yang tersebar di 15 propinsi. Lembaga bantuan hukum dan LSM yang sebagian tugasnya juga memberikan bantuan hukum kepada korban perdagangan orang kini semakin banyak tersebar di berbagai kabupatenkota. Dengan adanya kondisi yang bersifat kultural terkait dengan nilai-nilai budaya patriarkal dan sekaligus bersifat struktural di mapankan oleh tatanan sosial politik yang ada tersebut, maka di perlukan tindakan pemihakan yang jelas dan nyata guna mengurangi kesenjangan gender di berbagai bidang pembangunan. Untuk itu, di perlukan political will yang kuat agar semua kebijakan dan program pembangunan memperhitungkan kesetaraan dan keadilan gender serta peduli anak. Prioritas dan arah kebijakan pembangunan yang akan di lakukan adalah: 1. Memajukan tingkat keterlibatan perempuan dalarn proses politik dan jabatan publik; 2. Meningkatkan taraf pendidikan dan layanan kesehatan serta program- program lain, untuk mempertinggi kualitas hidup dan sumberdaya kaum perempuan; 3. Meningkatkan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak; 4. Menyempurnakan perangkat hukum pidana yang lebih lengkap dalam melindungi setiap individu dari 33 Laporan tahunan KOMNAS PP 2008 kekerasan dalam rumah tangga; 5. Meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak; dan 6. Memperkuat kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak, termasuk ketersediaan data dan peningkatan partisipasi masyarakat. Melalui program peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan. tujuan program ini untuk meningkatkan kualitas hidup, peran, dan kedudukan perempuan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan; dan meningkatkan perlindungan bagi perempuan terhadap berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Kegiatan pokok yang di lakukan antara lain: 1. Meningkatkan kualitas hidup perempuan melalui aksi afirmasi, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial, politik, dan ekonomi; 2. Meningkatkan upaya perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi, termasuk upaya pencegahan dan penanggulangannya; 3. Mengembangkan dan menyempurnakan perangkat hukum dan kebijakan peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan di berbagai bidang pembangunan di tingkat nasional dan daerah; 4. Melakukan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi KIE, peningkatan kualitas hidup, dan perlindungan perempuan di tingkat nasional dan daerah; 5. Menyusun sistem pencatatan dan pelaporan, dan sistem penanganan dan penyelesaian kasus tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi terhadap perempuan; 6. Membangun pusat pelayanan terpadu berbasis rumah sakit dan berbasis masyarakat di tingkat propinsi dan kabupatenkota sebagai sarana perlindungan perempuan korban kekerasan, termasuk perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga; serta 7. Meningkatkan peran masyarakat dan media dalam penanggulangan pornografi dan pornoaksi. Meski di atas kertas perlindungan terhadap anak di jamin oleh berbagai peraturan, hal itu belum sepenuhnya di jalankan negara, Undang-Undang 212007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU 232002 tentang Perlindungan Anak, pada kenyataannya belum dijalankan dengan baik oleh aparat penegak hukum. Berdasarkan realitas tersebut, maka Pemerintah Indonesia sejak tahun 1984, dengan Undang- undang RI No.7 tahun 1984, telah meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk terhadap diskriminasi. 34 Dan turut di tandatanganinya Bangkok Accord and Plan of Action to Combat Trafficking in Women pada tahun 1998. Plan of Action ini merupakan konsensus bagi negara-negara di wilayah regional Asia- Pasifik dalam memerangi perdagangan perempuan di kawasan ini. Dalam hal ini pemerintah menetapkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan Meneg PP sebagai vocal point dalam menindaklanjuti pemberantasan perdagangan perempuan. Namun, Annual Trafficking in Person Report menunjukkan, bahwa pada periode antara April 2001 dan Maret 2002, Indonesia termasuk dalam negara yang di anggap tidak memenuhi ketentuan standar minimum The Trafficking Victims Protection Act of 2000 pencegahan, perlindungan, penindakan dan upaya-upaya mengeliminasi perdagangan orang, padahal Indonesia termasuk dalam kategori sumber trafficking dengan peringkat Tier 3 kategori nilai terendah, khususnya untuk perdagangan perempuan belia. Evaluasi di atas paling tidak menstimulasi pemerintah untuk meningkatkan upaya dalam mengatasi hal ini, salah satunya dengan di sahkannya UU PTPPO. Ini di ikuti dengan upaya-upaya lain yang signifikan, terutama oleh Meneg PP sebagai vocal point. Pertemuan Regional II Pemberdayaan Lembaga Masyarakat yang di laksanakan di Manado, 19-21 Juni 2007 atas kerja sama antara Meneg PP dan Biro Pemberdayaan Perempuan Sulawesi Utara untuk wilayah Indonesia Timur adalah salah satu di antara upaya tersebut. Pertemuan ini di maksudkan untuk ‘penguatan kelembagaan’ dalam upaya memperkuat 34 Perisai Perempuan, Op.Cit, APIK hal. 155 jaringan antar-organisasi pemerintah dan non-pemerintah agar aktivitas masing-masing dapat saling bersinergi untuk memerangi segala bentuk kekerasan yang terjadi di masyarakat. Penguatan kelembagaan ini merupakan bagian dari amanat UU No 212007 Pasal 46 tentang pembentukan pusat pelayanan terpadu bagi saksi dan korban tindak perdagangan orang yang di buat berdasarkan “Kesepakatan Bersama” antara Meneg PP, Menteri Kesehatan dan Kepala Kepolisian RI yang di tandatangani pada tanggal 23 Oktober 2002 yang lalu. Sebagai realitas sosial, prostitusi dianggap mengganggu ketenteraman masyarakat ataupun pemerintah setempat. Oleh karena itu, ketika Otonomi Daerah di berlakukan, beberapa daerah melakukan hal yang sama, yaitu membuat peraturan yang melarang praktik pelacuran. Peraturan Daerah PERDA tersebut kemudian menjadi kekuatan hukum bagi Pemerintah Daerah menangkap seseorang yang di anggap atau di curigai sebagai pelaku prostitusi. Political will terhadap prostitusi dengan mengeliminir pekat - karena istilah ‘memberantas’ nyaris mustahil di gang Dolly Surabaya tentu di perlukan adanya political will pemerintah. Solusinya antara lain : Pertama : dengan mengimplementasikan semua ketentuan perundang-undangan yang telah ada. Di atas kertas, UU dan peraturan itu sudah bagus, atau sudah memadai, namun implementasinya, nihil. Selama ini, minimnya kemauan politik dan penegakan hukum menjadi penyebabnya. Tarik ulur kepentingan pemilik modal dan pejabat negara eksekutif, legislative dan yudikatif seringkali terjadi. Pembuatan UU baru juga sangat diperlukan. Salah satu contoh tentang UU pornografi dan proaksi, MUI dan LSM pemerhati pornografi mendorong UU segera disahkan, sampai sekarang belum juga selesai. Kedua : perlunya pendidikan agama dan budi pekerti di rumah tangga, Pendidikan keluarga merupakan fondasi pertama untuk meletakkan nilai-nilai agama dan budi pekerti. Ketiga : media massa perlu menyikapi secara arif berbagai penyakit masyarakat. Kearifan itu di perlukan dalam membentuk sikap dan perilaku masyarakat dengan positif. Selama ini, sebagian media terkesan masih kurang peduli terhadap dampak negatif pemberitaan atau penayangannya, mengekspose pornografi dan pornoaksi, tindak kekerasan dan lain-lain yang merugikan masyarakat. 35 Wacana relokasi Dolly-Jarak sudah muncul sejak tahun 1984, ketika Kota Surabaya dipimpin oleh Walikota Muhaji Wijaya. Namun, hingga kini, wacana itu timbul-tenggelam tanpa kejelasan. Banyaknya kepentingan yang bermain dalam bisnis miliaran rupiah di situ akhirnya mengandaskan rencana relokasi. Kepala Dinas Sosial Pemerintah Kota Surabaya Muhammad Munif menegaskan, Pemerintah tidak pernah memberi izin pada lokalisasi di Dolly-Jarak yang tumbuh alami sejak tahun 1960-an. “Secara hukum sudah jelas, prostitusi dilarang. Tapi, kami tidak bisa merelokasi begitu saja karena masalahnya sangatlah kompleks,” katanya. 36 Meskipun demikian, menurut Camat Sawahan Dwi Purnomo, isu relokasi itu “hanya baru sebatas wacana saja”. Di kalangan masyarakat setempat di Dolly dan Jarak sendiri, menurut Dwi Purnomo, “tidak ada gejolak”. Artinya, tak ada protes warga setempat terhadap kegiatan di Dolly. “Saya sendiri belum dengar adanya rencana penggusuran. Kalau toh ada, tentunya saya orang pertama yang di beritahu. Itu baru sebatas wacana saja,” kata Dwi Purnomo. 37 Memang, wacana relokasi perlu di sertai berbagai pertimbangan sosial-ekonomi yang matang. Salah satunya, jika Dolly-Jarak di pindah, bagaimana nasib ribuan orang yang terlanjur menggantungkan hidupnya dari bisnis seks itu?

2. Masyarakat dan Lingkungan