Penduduk Dan Mata Pencaharian

- Sebagai pemukiman penduduk pinggir kota. Adanya terminal bis tersebut mempermudah pendatang untuk keluar masuk daerah tersebut. Saat ini, ada enam kawasan pelacuran besar di Surabaya. Dolly adalah lokalisasi paling terkenal yang tumbuh sejak tahun 1960-an. Bersebelahan dengan Dolly, ada lokalisasi Jarak. Para pelacur dan germo di situ merupakan pindahan dari Jagir, Wonokromo. Sejarah prostitusi di Surabaya hampir setua sejarah Ibukota Jawa Timur ini. Pada mulanya, pelacuran ini merebak di kawasan pesisir, lantas merambah daerah pinggiran. Kini, Surabaya di kepung bisnis jasa seks itu. Prostitusi di Surabaya tumbuh seiring dengan perkembangan kota itu sebagai kota pelabuhan, pangkalan Angkatan Laut, dan tujuan akhir kereta api. Saat penjajahan Belanda pada abad ke-19, Surabaya sudah di kenal dengan kegiatan pelacuran. Catatan resmi Kota Surabaya menyebutkan, tahun 1864, terdapat 228 pelacur di rumah-rumah bordil di kawasan Bandaran di pinggir Pelabuhan Tanjung Perak. Jumlah itu belum memperhitungkan praktik prostitusi liar yang berlangsung di beberapa titik., seperti di kompleks makam Kembang Kuning-Sido Kumpul, di kawasan Jalan Diponegoro, atau di kawasan Monumen Bambu Runcing di Jalan Panglima Sudirman. Apa mau di kata, Kota Surabaya seperti di kepung praktik pelacuran. Wajar saja, jika tahun 1980-an, kota ini sempat diolok-olok “Kota Prostitusi”. Di antara enam kawasan pelacuran itu, Dolly-lah yang menjadi primadona. Saking masyhurnya, sampai-sampai banyak kalangan yang beranggapan, Dolly sudah jadi salah satu ikon Kota Surabaya. Para pelancong belum terasa menginjakkan kaki di kota itu kalau belum mampir ke sana.

B. Penduduk Dan Mata Pencaharian

Terlepas dari kacamata moral, lokalisasi justru penting untuk mengumpulkan dan mengontrol “barang najis” di satu kawasan tertentu. Di situ, pemerintah bisa mengawasi persoalan kesehatan, keamanan, narkoba, dan penyebaran HIVAIDS. Jika lokalisasi ditutup, barang najis itu akan berceceran ke mana-mana dan menjadi semakin sulit di kendalikan. Para penduduk yang menempati lingkungan lokalisasi,sebagian besar merupakan PSK, mucikarigermo, pengelola wisma. Dan sebagian besar mata pencarian mereka bersumber dari bisnis “sex. Bersamaan dengan roda bisnis seks yang berputar, ekonomi rakyat juga berdenyut. Itu terlihat dari ratusan mobil dan motor yang memenuhi teras rumah penduduk yang di sulap jadi lahan parkir. Tarif parkir mobil sekitar Rp. 20.000, motor Rp. 3.000. Jika menginap, tarifnya bisa berlipat. Para penjaja makanan, penganan kecil, minuman, dan rokok tak mau ketinggalan. Jalan yang sesak itu pun menjadi riuh oleh “teng-teng” tukang nasi goreng, kepulan asap tukang sate, atau dentingan minuman keras. Taksi, becak, bahkan pengemis pun turut memeriahkan jalanan sempit itu. “Sudah lima tahun saya jualan di sini. Pendapatan kotor rata-rata Rp. 400.000 per malam,” kata Supin 46, pedagang kaki lima yang menjual aneka rokok di Jalan Jarak, di ujung Gang Dolly. Suasana di lokalisasi Jarak, yang tersebar di perkampungan di seberang Dolly, juga begitu. Tak hanya malam hari, perputaran ekonomi juga menggeliat pada pagi dan siang hari, ketika para PSK sedang beristirahat. Saat itu, banyak ibu rumah tangga mencucikan baju para PSK, pedagang pakaian menawarkan pembelian kredit, dan para pedagang minuman memasok bir atau bermacam minuman keras lain. “Cuci satu baju Rp. 1.000, celana panjang Rp. 1.500, satu singlet Rp. 500. Satu hari, saya bisa dapat Rp. 30.000,” kata Narti 37, warga Putat Jaya yang menekuni jasa cuci baju sejak lima tahun berakhir. Keramaian di Dolly dan Jarak menggambarkan, betapa banyak orang yang kecipratan rezeki. Keberadaan bisnis seks itu terlanjur memberikan multiplying effect dampak berganda yang menghidupkan ekonomi rakyat setempat. Pada titik tertentu, bahkan sebagian masyarakat sudah menggantungkan kebutuhan hidup dari situ. Jika Dolly identik dengan jasa seks bagi kalangan kelas menengah, Jarak lebih murah dan banyak didatangi kelas bawah. Jasa PSK di Dolly sekitar Rp. 70.000 – Rp. 130.000 untuk sekali kencan selama satu jam. Di Jarak, tamu hanya perlu merogoh kocek Rp. 60.000 – Rp. 70.000 sekali kencan. Sebenarnya berapa jumlah uang yang beredar di Dolly-Jarak setiap malam? Jika satu PSK melayani 10 tamu per malam dengan tarif rata-rata Rp 100.000 sekali kencan, uang yang beredar di Dolly sekitar Rp 530 juta per malam. Dengan penghitungan satu PSK di Jarak punya tiga tamu dengan tarif Rp. 70.000 sekali kencan, maka transaksi bisnis seks di situ mencapai RP 452,55 juta per malam. Jadi, total uang beredar di Dolly dan Jarak mencapai Rp 982,55 juta per malam. Jika hitungan itu diperpanjang selama satu bulan, total peredaran uang di dua kawasan itu berkisar Rp 29,476 miliar per bulan Itu pun hanya menghitung jasa pelayanan seks oleh PSK, belum mencakup penjualan minuman, makanan, dan lain-lain yang mencapai ratusan juta rupiah. Taruhlah jika satu wisma menjual dua kerat bir seharga sekitar Rp 250.000 per kerat, maka transaksi penjualan bir dari 455 wisma di Dolly-Jarak mencapai Rp 227,5 juta per malam. “Itu hitungan minimal. Pendapatan kami dari menjual bir malah sering Rp 1 juta per malam,” kata Bambang 42 pengelola wisma dan karaoke di kawasan Dolly. Roda ekonomi miliaran rupiah itu berpangkal pada jasa pelayanan seks oleh PSK. Dari total tarif jasa pelayanan kencan, seorang PSK rata-rata hanya menerima separuhnya, bahkan kurang. Separuh lagi masuk kantong germo atau mucikari. Sebagian kecil disimpan sebagai laba bersih, sebagian lagi untuk membiayai operasional wisma, membayar makelar, preman, keamanan, dan berbagai pungutan lain. Begitulah, dalam bisnis seks PSK adalah mesin industri yang menghidupkan hampir semua lini. Mereka dieksploitasi untuk mendulang uang yang dinikmati banyak kalangan. Jika sudah beranjak tua dan kehilangan pesona seksual, dengan sendirinya PSK itu bakal tersingkir. Di luar hitung-hitungan bisnis tadi, sebagian masyarakat Surabaya menginginkan, Dolly-Jarak dipindah saja ke wilayah pinggiran kota. Alasannya, praktik pelacuran itu menyalahi aturan dan moral agama. Apalagi, kawasan tersebut berada di tengah kota yang padat pemukiman sehingga dikhawatirkan berdampak buruk bagi masyarakat.

C. Sosial Kemasyarakatan