Hasil Analisa Skor Kualitas Hidup
Gambar 4.4. Skor mental pada tingkat ketergantungan nikotin
Berdasarkan tabel 4.3. didapatkan median skor fisik pada subjek penelitian yang tidak adiksi 88, dengan rentang skor 59
– 100. Sementara pada subjek penelitian yang mengalami ketergantungan nikotin ringan 86, dengan rentang skor 69
– 89. Pada subjek penelitian yang mengalami ketergantungan nikotin ringan
– sedang 83, denan rentang skor 64
– 94. Pada subjek penelitian yang mengalami ketergantungan nikotin sedang 60, denan rentang skor 54
– 68. Berdasarkan tabel 4.3. didapatkan median skor mental pada subjek penelitian
yang tidak adiksi 89, dengan rentang skor 57 – 100. Sementara pada subjek penelitian
yang mengalami ketergantungan nikotin ringan 78, dengan rentang skor 65 – 94.
Pada subjek penelitian yang mengalami ketergantungan nikotin ringan – sedang 85,
denan rentang skor 72 – 100. Pada subjek penelitian yang mengalami ketergantungan
nikotin sedang 53, denan rentang skor 51 – 69.
Tabel 4.4. Hasil analisa korelasi skor fisik dan skor mental dengan skor Fagerstrom Test for Nicitine Dependence FNTD
Skor fisik Skor mental
Nilai p 0,056
0,105 Nilai r
-0,301 -0,257
Dalam penelitian ini didapatkan nilai p dari hasil uji korelasi antara skor fisik dengan skor Fagerstrom Test for Nicitine Dependence FNTD sebesar 0,056
0,05 hal ini menunjukkan tidak terdapat korelasi yang bermakna. Hal tersebut juga terjadi pada hasil uji korelasi antara skor mental dengan skor FNTD, dimana
didapatkan nilai p 0,105 0,05 .
4.3.Pembahasan
Pada penelitian ini didapatkan subjek penelitian yang berjumlah 25 orang untuk kelompok laki - laki perokok dan 16 orang untuk laki - laki bukan perokok.
Kelompok laki - laki perokok memiliki usia dengan jumlah paling banyak ada pada usia 25
– 34 tahun yaitu 6 orang 26,8 . Hal ini hampir sesuai dengan data prevalensi laki - laki perokok yang dikeluarkan oleh Riskesdas pada tahun 2010
diamana pada rentang usia 25 – 34 tahun didapatkan prevalensi perokok sebesar 31,1
1,1 lebih rendah dari prevalensi perokok tertinggi pada rentang usia 45 – 54
tahun . Selain itu Sirait 2002 dalam penelitiannya melaporkan bahwa dari ± 80 ribu perokok yang disurvey di 27 provinsi di Indonesia paling banyak berada pada
rentang usia 30 – 50 tahun 74,4 .
27,28
Sementara itu pada kelompok laki - laki perokok didapatkan subjek penelitian memiliki status pendidikan SMP tamat SD yaitu berjumlah 11 orang 31,7 . Hal
jini sedikit berbeda dari data prevalensi perokok berdasarkan status pendidikan yang dilaporkan dalam Riskesdas 2010, dimana prevalensi perokok paling tinggi berada
pada status pendidikan SD tidak tamat SD yaitu sebesar 31,9 sementara pada status pendidikan SMP tamat SD prevalensinya sebesar 30,4 . Perbedaan ini juga
terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Sirait dkk 2002 tentang kebiasaan merokok di Indonesia, dimana dilaporkan prevalensi perokok tertinggi berada pada
status pendidikan SD atau tidak tamat SD yaitu sebesar 75,5 . Dari data – data
tersebut meskipun peneliti belum mendapatkan kebermaknaan secara statistik, dapat terlihat bahwa makin rendah status pendidikan seseorang maka makin tinggi
kecenderungan seseorang untuk konsumsi rokok dan hal inipun erat kaitannya dengan sulitnya mengendalikan angka konsumsi rokok. Tentu hal ini dikarenakan makin
rendahnya status pendidikan seseorang maka makin rendah pengetahuan dan kewaspadaan akan bahay yang dapat disebabkik,an oleh konsumsi rokok. Pendapat
ini dikuatkan oleh Matthew Allan 2001 yang melaporkan bahwa yang menyebabkan sulitnya mengendalikan angka konsumsi rokok pada remaja di
Indonesia adalah diakibatkan rendahnya pengetahuan mereka tentang bahaya yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi rokok.Namun selain rendahnya pengetahuan
perokok terhadap bahaya yang ditimbulkan akibat konsumsi rokok, terdapat faktor lain yang juga dapat menyebabkan seseorang memulai kebiasaan mengkonsumsi
rokok. Salah satunya peran serta keluarga dan lingkungan sekitar yang dapat mempengaruhi dan membentuk kebiasaan untuk mengkonsumsi rokok. Hal ini
dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Soemartono 1998 yang melaporkan bahwa adanya hubungan antara kebiasaan merokok pada orang tua, kakak tertua, dan
teman dengan angka prevalensi perokok pada SLTA di Jarakarta, dimana apabila ayahnya merokok maka anaknya memiliki kecenderungan untuk merokok 2 kali lipat,
sementara jika kakak tertua merokok maka kecenderungannya akan meningkat 3 kali, dan apabila ada teman disekitarnya yang merokok maka orang tersebut kan
meningkat kecenderungannya untuk merokok 3,2 kali lipat. Namun pada penelitian ini peneliti tidak memfokuskan bahasan pada faktor
– faktor tersebut.
27,28
Pada penelitian ini didapatkan, pada kelompok perokok paling banyak mengalami adiksi nikotin rendah yaitu 11 orang 26,8 . Hal ini berkaitan dengan
dengan lamanya perokok mengkonsumsi rokok, dimana pada penelitian ini didapatkan pada kelompok perokok telah mayoritasnya mengkonsmsi rokok 10
tahun. Selain itu makin tinggi adiksi seseorang terhadap nikotin maka makin tinggi pula rokok yang dikonsumsinya dalam sehari, dan pada penelitian ini didapatkan 8
orang 19,5 mengkonsumsi rokok 10 batang per hari dan 17 orang 41,5 mengkonsumsi rokok 11
– 20 batang perhari. Hal ini tentunya dikarenakan makin banyak dan lama mengkonsumsi rokok semakin banyak nikotin yang terkonsumsi.
Hal ini dikuatkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Bagus Artana dan Ngurah Rai pada tahun 2009 tentang tingkat ketergantungan nikotin dan fakto
– faktor yang berhubungan pada perokok di desa Panglipuran. Dimana dilaporkan peningkatan
ketergantungan terhadap nikotin adiksi nikotin berbanding lurus dengan lamanya perokok telah mengkonsumsi rokok, namun juga berkaitan dengan jumlah rokok
yang dikonsumsi dalam 1 harinya.
29
Berdasarkan tabel 4.3. dan gambar 4.1 diperoleh nilai median skor fisik pada perokok 83,00 dengan rentang 54
– 96, sementara pada kelompok bukan perokok memiliki median skor fisik 88,50 dengan rentang 59
– 100. Hal ini memperlihatkan kelompok perokok memiliki median skor fisik yang lebih rendah dibanding
kelompok bukan perokok. Namun hal ini tidaklah signifikan secara statistik, hal ini dikarenakan nilai p yang dihasilkan dari uji statistik adalah 0,099 0,05 . Hal yang
serupa juga terjadi pada rerata skor mental kelompok perokok yang lebih rendah dari kelompok bukan perokok 78,00 : 89,00 , namun juga tidak bermakna secara
statistik P = 0,048 . Peneliti berpenapat bahwa hal tersebut dikarenakan kurang terpenuhinya besar
sempel yang dibutuhkan dalam penelitian ini, dimana jumlah yang dibutuhkan adalah 72 orang untuk masing masing kelompok sementara pada penelitian ini hanya
berjumlah 41 orang 16 orang untuk kelompok bukan perokok dan 25 orang kelompok perokok. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan waktu dan biaya yang
dimiliki oleh peneliti serta sulitnya mencari subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan. Pendapat ini diperkuat oleh
laporan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bellido – Cassado pada
tahun 2004 di Valladolid, dimana tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik pada skor fisik maupun skor mental pada populasi perokok dan bukan
perokok yang dikarenakan kurang terpenuhinya besar sempel yang dibutuhkan pada penelitian tersebut.
30
Walaupun tidak bermakna secara statistik, lebih rendahnya rerata skor fisik dan skor mental kelompok perokok dibanding kelompok bukan perokok bisa disebabkan
oleh dampak dari konsumsi rokok walaupun banyak faktor yang dapat menurunkan skor kualitas hidup seseorang. Sehingga jika ingin dikaitkan antara lebih buruknya
skor kualitas hidup kelompok perokok dengan konsumsi rokok, maka tentu tidak terlepas dari peran zat berbahaya yang terkandung dalam rokok.
Lebih rendahnya rerata skor fisik dan skor mental kelompok perokok diakibatkan efek negatif yang diberikan zat kimia berbahaya yang terkandung dalam
rokok terhadap kesehatan tubuh, baik secara fisik maupun mental. Sebagai contoh beberapa substansi yang terkandung dalam rokok dapat menyebabkan asthenia,
hilangnya vitalitas, kelaianan otot, ataupun gangguan psikologis. Selain itu dari literatur lain menyatakan nikotin dapat menyebabkan takikardi dan vasokonstriksi
perifer, hal ini menyebabkan menurunnya aliran darah yang menuju ke jaringan perifer sehingga berpotensi menggagu fungsi dari jaringan tersebut akibat
terganggunya metabolisme jaringan. Hal tersebut juga dapat diperparah dengan meningkatnya kadar karboksihemoglobin dan karbon monoksida pada darah yang
dapat menggagu oksigenasi jaringan. Selain itu seperti yang dilaporkan dalam literatur lain, zat kimia yang terkandung dalam rokok dapat merusak fungsi dari organ
kardio – respirasi. Selanjutnya dari rusaknya fungsi jaringan – jaringan yang terkena
dampak akan menggagu fungsi fisik secara keseluruhan. Sementara itu penjelasan mengenai rendahnya rerata skor mental kelompok perokok dibanding kelompok
bukan perokok disebabkan kondisi psikologis dan mental yang sudah mulai buruk ketika si perokok mulai mencoba mengkonsumsi rokok. Hal ini diperkuat oleh
penelitian yang dilakukan oleh Jose Antonio Baddini pada tahun 2004 di Brazil,
dimana dilaporkan dari seluruh respondennya yang merokok menjadikan a kurangnya rasa percaya diri dan ingin diakui dalam pergaulan serta perasaan sering depresi
sebagai alasan memulai kebiasaan mengkonsumsi rokok. Namun pada penelitian ini peneliti tidak membahas hubungan antara kondisi psikologis sebelum perokok
memiliki kebiasaan mengkonsumsi rokok dengan kondisi psikologis saat ini.
25
Pada penelitian ini tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara skor fisik dan skor mental dengan skor adiksi nikotin FNTD . Hal ini berbeda dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan Norbert, dkk di Jerman pada tahun 2003, pada penelitian tersebut didaptakan perokok denagn ketergantungan nikotin memiliki skor
kualitas pada seluruh aspek yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perokok yang belum mengalami ketergantungan terhadap nikotin dan bukan perokok, hal ini
dikarenakan efek nikotin yang tidak hanya terjadi pada sistem respirasi dan kardiovaskular namun juga memiliki efek yang dapat mempengaruhi emosi dan
mental seperti rasa cemas, depresi, dan lain – lain. Peneliti beranggapan ketidak
bermaknaan yang terjadi pada uji korelasi antara skor mental serta skor fisik dan tingkat ketergantungan nikotin dikarenakan banyaknya faktor perancu seperti status
ekonomi, satatus sosial, pekerjaan dan keadaan keluarga dan lingkungan yang juga dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang.
23