Responden beranggapan bahwa tidak peduli berapa besarpun dana yang dikeluarkan oleh seorang caleg, namun jika Allah tidak menghendaki, maka ia
akan tetap tidak dapat menjadi anggota dewan. Selain masalah finansial, responden juga menganggap bahwa sumber
kegagalan responden disebabkan oleh kurang dikenalnya responden di antara masyarakat, kurang konsolidasi, kurang diterima masyarakat, dan kurang
mengadakan kegiatan sewaktu masa-masa kampanye. Kegagalan ini membuat responden berusaha untuk mengikhlaskan serta
mensyukuri apa yang sudah menjadi kehendak Allah. Ia memiliki keyakinan bahwa sebagus apapun rencana manusia, maka Allah juga yang menentukan.
Yang penting ia sudah berusaha dan tidak menyakiti orang dalam upaya-upaya kampanyenya.
Responden tidak menganggap kegagalan ini sebagai suatu musibah namun merupakan pelajaran berharga baginya serta suatu hal yang membuat ia senang
dan bahagia. Responden pun bersyukur ia dapat mencalonkan diri menjadi caleg karena menganggap bahwa orang-orang yang dapat menjadi caleg adalah orang
yang terbaik.
3. Responden III
a. Latar Belakang Responden Responden bernama Dana bukan nama sebenarnya dan berusia 57 tahun.
Responden bersuku bangsa Sunda dan memiliki isteri yang bersuku Jawa. Responden memiliki tiga anak, dua anak perempuan dan satu anak laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
Responden merupakan pensiunan dari Pemerintahan Kota Tebing Tinggi dan pernah menjabat sebagai lurah selama sebelas tahun.
Responden pensiun pada tahun 2007 dan setelah itu memiliki keinginan untuk menjadi anggota dewan dalam rangka berpartisipasi membangun kota
Tebing Tinggi. Selain itu juga karena didasari jiwa patriotis responden sebagai anak seorang veteran yang berjuang demi bangsa dan negara.
Peneliti memilih pak Dana sebagai responden ketiga karena peneliti mengenal anak responden yang merupakan teman peneliti, dan peneliti pun sebelumnya
sudah pernah berinteraksi dengan responden di luar dari setting interview. Mengetahui bahwa responden adalah seorang caleg gagal, maka peneliti
menghubungi anak responden untuk menanyakan kesediaan responden. Awalnya responden menolak, namun setelah diberikan pemahaman oleh anaknya maka
responden pun setuju. Setelah mendapatkan informasi tentang kesediaan responden dari teman tersebut, peneliti kemudian menemui responden di
rumahnya untuk melakukan pendekatan dengan responden serta sedikit memberi penjelasan tentang prosedur penelitian nantinya. Setelah mendapatkan kesediaan
langsung dari responden untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, peneliti kemudian menentukan jadwal pertemuan berikutnya dengan responden untuk
selanjutnya melakukan wawancara.
b. Data Hasil Wawancara
1 Sebelum Pemilu Legislatif Keinginan menjadi calon anggota legislatif caleg mulai timbul pada
responden sejak ia pensiun pada tahun 2007. Keinginan tersebut muncul diiringi
Universitas Sumatera Utara
dengan cita-citanya untuk berpartisipasi dalam membangun kota Tebing Tinggi. Cita-cita tersebut diperkuat oleh seorang ketua DPD partai Golkar yang
menawarkan responden untuk menjadi caleg dari partai Golkar. Responden beranggapan bahwa ia ditawarkan untuk menjadi caleg dari Golkar karena
pengalamannya sebagai caleg selama sebelas tahun yang notabene cukup dekat dengan masyarakat.
”O iya, jadi…sesudah pensiun lah, pensiun tahun...2008, eh 2007. 2007, emmm ada keinginan untuk menjadi anggota DPR lah, dalam
rangka...untuk mungkin berpartisipasi membangun kota Tebing.” ”Kemudian cita-cita itu ada, ditambah dengan, eee...tawaran dari ketua
DPD Golkar. Haa, tawaran dari ketua DPD Golkar untuk mencalonkan menjadi anggota DPR.”
”Kemudian saya pernah jadi lurah 11 tahun. Itulah alasan-alasannya yang mungkin, sehingga dia memprediksi bahwa saya itu banyak kenal dengan
masyarakat, silaturahmi dan sebagainya. Jadi itu diajaknya. Ketokohannya ya, itu intinya.”
Awalnya responden dijanjikan akan menjadi caleg dengan nomor urut dua, namun setelah melewati beberapa proses, akhirnya responden menjadi caleg
dengan nomor urut lima. Responden sempat kecewa, namun ia yakin akan menang karena saat itu sudah terdengar isu bahwa pemilu tahun ini akan
menggunakan sistem suara terbanyak, dan juga mengingat bahwa ia memiliki cukup pengalaman sebagai lurah selama sebelas tahun yang menjadi peluangnya
untuk menang. “Saya waktu itu dijanjikan nomor 2, tapi setelah proses dan prosedur
berlanjut jadi nomor 5.” “Sudah ada isu-isu..sudah ada isu-isu tapi belum ada ketentuan dari MK
kan? Saya nomor 5 ya saya bersedia, apalagi waktu itu punya..berkeyakinan hati lah untuk memenangkan itu, kemudian,
ditambah dengan pengalaman saya. Pengalaman saya misalnya 11 tahun jadi lurah.”
Universitas Sumatera Utara
Ternyata isu itu benar adanya, dan ketetapan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan pemilu tahun ini menggunakan sistem suara terbanyak membuat
responden semakin yakin bahwa ia akan terpilih. Responden berupaya semaksimal mungkin dalam kampanyenya, hal ini dapat dilihat dari jumlah dana
yang ia keluarkan dan juga pertemuan-pertemuan yang sering ia adakan. “Setelah MK keluar? Artinya saya betul-betul merasa, merasa...merasa apa
namanya, merasa apa yang kita cita-citakan itu mungkin bisa tercapai gitu Karena dengan suara terbanyak kan gitu kan? ”
“Emm,
kampanye secara pribadi, secara apa, individu kita, emmm....mengadakan pertemuan-pertemuan lah, pertemuan-pertemuan
dengan masyarakat, pertemuan-pertemuan dalam rangka memperkenalkan diri saya menjadi anggota DPR, karena pertemuan dan perkenalan saya
sering jumpa dengan masyarakat, sudah kenal nya semua itu kan. Cuma memperkenalkan diri saya menjadi calon anggota DPR dan memohon
dukungan, kita mengadakan pertemuan hampir di setiap kelurahan saya jumpai.”
Lima puluh juta telah dikeluarkan untuk keperluan kampanye, mulai dari kartu nama, baliho, kalender, hingga biaya untuk konsumsi di setiap pertemuan.
Belum lagi responden mengeluarkan dana untuk tim suksesnya dan memberikan uang transport untuk masyarakat yang menghadiri pertemuan-pertemuan yang ia
adakan. Semua ini ia lakukan agar masyarakat dapat menerimanya dan memilihnya sebagai anggota legislatif.
“Saya...kalau sekitar 40, 50 ribu ada...eh, 50 juta ada. Itu semua untuk...baliho, EMT..”
”Seratus ke dua ratus lah..” ”Ya..kitapun tidak serangan fajar, sekedar uang, uang, transport dia
berapa, 25 ribu..orang berani seratus ribu..haa, kita tidak memang dalam rangka siraman fajar, tidak Orang dari jauh-
jauh sudah kita galang ya kan? Datang orang itu, sebagai transport ya kita kasih, nah udah, tapi tidak semua.”
Universitas Sumatera Utara
”Iya Kita berkorban mudah-mudahan masyarakat, artinya kampanye kita bisa diapain masyarakat gitu...diterima masyarakat gitu..”
Keyakinan responden untuk menang semakin besar, karena dalam setiap
pertemuan berhasil menghadirkan sekitar empat puluh orang. Suatu angka yang cukup besar yang dapat meyakinkan responden bahwa ia sudah memegang
kemenangan sebesar sembilan puluh persen 90 . Yang menghadiri pertemuan pun bukan hanya masyarakat tetapi juga tokoh masyarakat setempat.
“Aa setiap pertemuan minimal 40 orang..” ”Waktu kampanye lancar-lancar aja. lancar, bahkan dukungan itu seperti
membludak gitu Artinya saya sudah 90 menang gitu Sudah yakin” Selain mengadakan pertemuan-pertemuan, responden juga mendatangi
pengajian-pengajian. Setiap menghadiri pengajian tersebut responden selalu membawa tikar dan meminta dukungan dari masyarakat yang menghadiri
pengajian. Upaya menghadirkan para masyarakat dan tokoh masyarakat itu dibantu oleh tim sukses responden.
”Pas pertemuan-pertemuan, kita bawa tikar.. di setiap wirid saya membawa tikar misalnya kan.”
”Kalau tikar di setiap wirid saya bawa. Setiap wirid saya bawa tikar.”
Tidak hanya tim sukses, teman-teman dan keluarga pun mendukung responden. Ada beberapa teman yang memberikan bantuan kepada responden
berupa baliho dan uang tunai. Mereka optimis responden akan terpilih melihat kredibilitas responden selama ini. Perjuangan memenangkan pemilu pun
dilakukan oleh keluarga responden, seperti isteri yang meminta dukungan keluarganya dan anak-anaknya yang mensosialisasikan dirinya pada teman-teman
anaknya.
Universitas Sumatera Utara
“Mereka mensupport semua, haa..melihat pengalaman kemudian kredibilitas, mereka mensupport untuk mendukung kita.”
”Iya total, misalnya ada 1 orang yang membantu delapan ratus ribu untuk membuat baliho”
”Eh iya, keluarga..terutama macam isteri misalnya, menjumpai keluarga- keluarga yang lain, mencari dukungan dari keluarga gitu, keluarga dari
pihak dia gitu.”
Menjelang hari pemilihan, responden merasakan ketegangan mengusik diri. Hal ini disebabkan ia mendengar bahwa banyak caleg lain yang melancarkan
serangan fajar atau money politic dan di samping itu ia juga melihat bahwa masyarakat memang membutuhkan uang. Namun ia masih optimis karena tim
sukses dan teman-teman tetap yakin bahwa ia akan menang. “Oi tegang.”
”Dari tim kita, tim kita... secara langsung nggak ada, tapi lewat tim ada..kemudian istilah serangan fajar itu memang masih dominan, aaa
masih dominan dimana-mana.” “Dan masyarakat kelihatannya uang yang jadi sasaran mereka. Seminggu
sebelum hari H kita sudah bisa merasakan itu.” “Iya, sampai hari H saya masih optimis.”
“Iya mensupport. Dan itu sampai dengan hari H, itu prediksi orang saya tetap..bahkan saya orang yang diunggulkan.”
2 Setelah Pemilu Legislatif Walaupun responden merasa tegang pada saat sehari menjelang pemilu
namun responden masih tetap optimis hingga hari pemilihan. Ia yakin bahwa ia akan menang karena figur yang melekat padanya sebagai tokoh masyarakat dan
juga pengalaman-pengalaman dirinya sebagai lurah selama sebelas tahun. Di samping itu, kampanye yang terbilang lancar dan dihadiri oleh sekitar empat
Universitas Sumatera Utara
puluh orang dalam setiap kampanye membuatnya semakin yakin sembilan puluh persen bahwa ia akan menang.
“Ya memang karena rasa optimis tadi, nggak gitu apa dia...nggak gitu cemas..karena kita masih optimis. Kawan semua optimis, tim semua
optimis. Kalau kita bakal menang, gitu” “Saya nomor 5 ya saya bersedia, apalagi waktu itu punya..berkeyakinan
hati lah untuk memenangkan itu, kemudian, ditambah dengan pengalaman saya. Pengalaman saya misalnya 11 tahun jadi lurah. Lurah di lokasi ini,
lokasi di daerah pemilihan. Kemudian dari silaturahmi yang selama ini ya, selama ini 10 15 tahun kita jalanin, kemudian ditokohkan oleh masyarakat
gitu ya? Sehingga kita berkeyakinan untuk terpilih menjadi calon anggota DPRD, itu yang pertama.”
Dari hasil perhitungannya, ia akan memperoleh sekitar 1500 suara. Namun kenyataan berkata lain. Pukul 18.00 sore ia mendapati dirinya hanya memperoleh
525 suara. Responden tidak percaya dengan hasil suara yang ia peroleh dan rasa kecewapun mengusik diri.
“Haa 2000 lebih dia. Tapi karena suara terbanyak, suara terbanyak di partai itu dah menang. Prediksi memang 1500 di partai itu dah menang.”
”500 aja. 500...525 entah berapa..” “Ya pertama nggak percaya gitu ya, nggak percaya bahwa saya gagal.”
“Itu memang kecewa kali. Kecewa berat itu. Padahal selama kampanye, banyak yang mendukung kita, itulah kecewa kita. Timbul tadi..”
Kekecewaan yang dirasakan responden sangat besar. Rasa kecewa ini tertumpah pada masyarakat yang memilih caleg yang tidak dikenalnya hanya
karena diberikan uang sejumlah Rp. 50.000,- atau Rp. 100.000,-. Responden menganggap bahwa kemiskinan yang mendera masyarakatlah yang membuat
masyarakat memilih caleg yang dapat memberikan keuntungan secara instan tanpa memikirkan efek dari keputusan yang mereka ambil. Selain itu, hal ini juga
disebabkan masyarakat tidak memahami cara-cara berdemokrasi.
Universitas Sumatera Utara
“Aaa iya..akhirnya ada memang....tidak terlepas dari apa...ada..money politik ya, tidak terlepas dari uang, karena masyarakat butuh uang, apa
namanya...ekonomi masyarakat yang rendah itu sehingga masyarakat juga, apa ya? Tidak lagi melihat figur yang dari awal saya...saya apa, saya
prediksi. Rupanya mereka asal dikasih uang, udah..” “Karena yang dipilihnya dia nggak kenal gitu Yang dipilihnya aja dia
nggak kenal, tapi dipilihnya juga gitu Ha itu, rasa kecewa itu disitu. Masyarakat itu nggak kenal sama calonnya, tapi dengan dengan dengan
uang 50 ribu, seratus ribu, lupa dia. Sehingga dipilihnya aja gitu yang penting dia dapat uang gitu”
“Iya, ha itu tadi, itu tadi, mungkin lebih besar. Jadi pemilih sekarang ini memang faktor uang, atau siraman, atau serangan fajar itu memang kuat
sekali. Artinya apa? Artinya cara-cara kita berdemokrasi itu memang belum...belum dipahami oleh masyarakat.”
Namun hal ini juga tidak akan terjadi jika para caleg lain tidak
melancarkan serangan fajar atau money politic. Bukan hanya itu, serangan fajar tidak hanya dilakukan oleh caleg dari partai lain, tetapi juga dilakukan oleh caleg
dari partai yang sama dengan responden. “Tapi biasanya, setelah kita evaluasi, kita mendengar banyak masukan-
masukan bahwa kontestan yang lain, caleg-caleg yang lain, yang menang itu memang memakai uang. Melalui uang.”
Ternyata uang memang sukses dalam mempengaruhi orang, tidak hanya
pada masyarakat, uang juga menyebabkan responden kehilangan beberapa orang tim suksesnya karena berpaling ke caleg lain.
“Contoh gini, misalnya adek tim saya, tahu-tahu adek diganggu tim lain sana, diiming-imingi misalnya. Adek membelot. Nggak jadi memilih,
nggak mencarikan suara saya lagi..” Kekecewaan terhadap kegagalan yang dialami responden, membuat ia
menjadi lesu dan tidak bergairah. Responden menjadi malas keluar rumah karena merasa dkhianati oleh masyarakat. Rasa kecewa dan malas untuk keluar rumah
terjadi pada responden dalam waktu satu hingga dua bulan. Responden menganggap masyarakat sebagai orang-orang munafik yang telah membuatnya
Universitas Sumatera Utara
sakit hati. Rasa sakit hati ini mendera responden selama sekitar tiga hingga empat bulan dan menimbulkan sikap antipati terhadap masyarakat.
“O tidak-tidak, saya hanya waktu itu, apa namanya...lesu ya.. lesu dia. Saya rasakan kelesuan itu, gairah itu hilang, yang itu tadi malas jumpai
masyarakat.”
“Yang paling klimaks itu, kekecewaan itu..timbul apa, timbul...antipati gitu ya..antipati bahwa masyarakat itu artinya tidak..apa ya..perlu berbuat
itu tadi. Itu udah udah apa namanya, suatu apa, suatu apa pemikiran yang memang jelek gitu ya, pemikiran dari kita timbul gitu, jelek kejelekannya
itu timbul bahwa berbuat baik itu nggak bagus rupanya gitu”
”Ya sebulan, dua bulan lah..” “Efek pada diri kita, malas jumpa masyarakat, merasa dikhianati saya.
Dengan kata kasarnya penuh kemunafikan. Masyarakat ini memang sangat luar biasa.”
”Sekarang sudah, tiga empat bulan. Sekarang udah biasa lagi.”
Pada awalnya, kegagalan ini juga menimbulkan sikap apriori responden terhadap masyarakat. Ia merasa bahwa tidak ada gunanya berbuat baik terhadap
masyarakat karena tidak mendatangkan hasil. Namun, setelah itu ia tidak menyalahkan masyarakat tetapi malah menyalahkan diri karena telah menjadi
caleg. Atau dengan kata lain, ia menyesal telah menjadi caleg. Perasaan menyesal ini berlangsung selama kurang lebih satu bulan lamanya.
“Karena stress tadi, apa namanya itu kecewa gitu ya..sebenarnya, faktanya masyarakat itu kayaknya suka sama kita, dengan ketokohan kita, saya
sebagai lurah. Kecewanya mereka tidak memilih kita. Ha itu aja Jadi sehingga kadang-kadang waktu itu eh, datang apa.. apa namanya itu,
datang..datang apa namanya itu? Apriori, sikap apriori kita itu. Berbuat baik pun kita tidak berguna gitu kan? Itu kan salah itu kan? Tapi itu datang
gitu Rupanya berbuat baik itu nggak guna kan gitu Tapi salah, ha gitu”
“...dan akhirnya.. kalau saya tidak mencalonkan, kita nggak begini gitu kan? Artinya dari saya sendiri, kan gitu kan? kesalahan itu semua dari
saya, saya tidak, tidak..bukan menyalahkan masyarakat. Jadi waktu saya bilang, percuma berbuat baik, percuma berbuat baik..kita menyalahkan
masyarakat kan? Tapi setelah kita sadari, kita yang salah. Kenapa?
Universitas Sumatera Utara
Salahnya,kok kita mencalonkan jadi anggota DPR, sehingga masyarakat kayak gini, kan gitu ya? Ah itu tadi.”
Responden juga menyesali telah salah menduga bahwa masyarakat akan
memilih caleg yang memiliki figur yang kuat tetapi ternyata mereka lebih memilih caleg yang dapat memberikan uang sewaktu kampanye. Responden juga
menyesal karena telah mengeluarkan dana yang cukup besar. ”Walaupun kadang-kadang suatu saat timbul itu. Sebagai manusia punya
cita-cita, pasti timbul itu penyesalan itu, walaupun nanti hilang lagi. Tapi pasti timbul, kenapa? Timbul karena kondisi keuangan kita yang pas-pas,
kita habiskan untuk kegiatan tadi, ya kan? Ha itu, pasti timbul.”
Kekecewaan terhadap masyarakat yang tidak memilih responden menimbulkan rasa tidak memiliki harga diri pada responden. Responden merasa
bahwa ia tidak memiliki harga diri lagi sebagai tokoh masyarakat. Kekecewaan itu juga menyebabkan ia menjadi malas datang ke masjid. Jika bukan karena status
responden sebagai ketua kenaziran masjid, responden akan lebih memilih untuk berdiam diri di rumah sepanjang waktu.
“Iya membantu apa...membantu..ini bicara harga diri kita soalnya. Haa gitu Jadi apapun alasannya bahwa harga diri kita sudah tidak...apa..sudah
tidak ada harga diri kita sebagai tokoh lagi perasaaan kita ya, perasaan ini Seolah sudah nggak ada harga diri kita karena masyarakat tidak memilih
kita. Ha itu kan masalahnya harga diri, marwah.” ”Ke masjid tetap...O enggak Sempat juga waktu itu, sempat juga beberapa
hari..tapi karena saya ketua kenaziran, jadi itu yang mendorong saya untuk datang. Haa..jadi itu yang mendorong saya untuk kesana, karena tugas
tadi, tugas kenaziran. Seandainya, tapi kalau kita bicara seandainya saya tidak ketua kenaziran, mungkin saya bisa di rumah saja sepanjang
waktu...” Responden mengobati rasa kekecewaannya dengan berserah diri pada
Tuhan. Dengan shalat dan ke masjid membuat responden menjadi lebih ringan perasaannya. Selain itu ia juga sering berkumpul dengan teman-temannya untuk
meringankan perasaan kecewa tersebut. Dan di setiap berkumpul dengan teman-
Universitas Sumatera Utara
temannya, responden akan menghindari perbincangan mengenai pemilu karena menganggapnya sebagai hal yang sudah berlalu.
“Ya..menyerahkan diri lah, shalat..jadi lebih ringan...” “Oh saya menyerahkan diri kepada..kepada Allah bahwa memang
wamakaru, wamakarullah, kita punya rencana, tapi rencana Allah yang paling baik. Haa artinya yang ini, inilah rencana Allah untuk kita. Jadi kita
nggak tahu apa hikmahnya ke depan nanti gitu kan?” “Iya, iya. Artinya kami kumpul-kumpul, saya manfaatkan untuk
menghilangkan apa tadi, kekecewaan tadi kan..” “Iya setelah hari H, habis itu nggak lagi gitu Dan saya pun menghindari
bicara-bicara soal itu, gitu”
Responden menganggap kekalahannya dalam pemilu sebagai takdir dan belum rezeki untuk menjadi anggota dewan. Selain itu responden juga
menganggap bahwa segala sesuatu yang dilakukan memang butuh pengorbanan. Perasaan kecewa yang dialami responden juga terobati dengan sikap keluarga
yang tidak menunjukkan perasaan menyesal dan masih menuruti permintaan responden untuk melakukan sesuatu. Teman pun tidak diam saja, mereka juga
menghibur responden, bahkan mendukung responden untuk mencalonkan diri kembali sebagai caleg dalam pemilu 2014. Dorongan, semangat, serta
pemahaman-pemahaman dari jamaah masjid pun juga meringankan perasaan kecewa responden.
”Tak ada penyesalan di mereka. Itu aja yang membuat apa saya...artinya saya yang kasihan pada mereka..”
”Mereka ikut prihatin, prihatin..” ”Artinya ada memberikan dorongan lah, semangat, belum rezeki kita..”
Saat ini yang menjadi beban bagi responden adalah kewajiban untuk membayar
hutang pada bank. Hutang yang ia pinjam untuk memenuhi dana kampanye.
Universitas Sumatera Utara
Hutang ini akan lunas dalam jangka waktu lima tahun, dan pelunasannya dipotong dari gaji pensiun responden sehingga gaji pensiun tersebut berkurang hingga
menjadi sekitar Rp. 400.000,- hingga Rp. 500.000,- Gaji pensiun, mungkin yang menjadi apa ya..yang menjadi bebannya
sekarang itu, itu aja.”
”O itu lima tahun..” Ternyata ada beberapa hal lain yang membuat responden menjadi down
dan stress, yaitu persepsi masyarakat yang tidak memperdulikan siapapun caleg yang akan menjadi anggota dewan asalkan mereka mendapatkan uang. Selain itu
responden merasa down karena banyak masyarakat yang mengira bahwa ia terpilih menjadi anggota dewan. Namun ada satu hal yang membuat responden
menjadi kuat, yaitu kenyataan bahwa responden mendapatkan suara terbanyak di TPS tempat ia memilih atau TPS yang berada di dekat rumahnya.
“Ada, ada. Ini yang penting dia dapat duit, siapapun yang mencalon, itu kata masyarakat itu. Siapapun yang menjadi anggota DPR, kita harusnya
kenal. itu kan ucapan yang salah itu kan? Ucapan itu...siapa yang nggak apa? Saya kalau ada orang meninggal sibuk saya mengurusi orang itu
misalnya. kalau boleh membangkit gitu kan? Ahh, kalau boleh membangkit gitu kan? Ha itu yang jadi apa trauma kita. Kok begitu ya
pemikiran masyarakat ini.”
”Karena semua orang bilang saya itu jadi. Jangankan, itu jangankan masyarakat yang di Padang Hilir ini, atau di dapem I ya, di dapem lain pun
orang mengatakan begitu. Karena masyarakat itu bicara sama orang-orang disana, ha itu Jadi sampai sama saya, sampai sama saya. Dan akhirnya.”
”Di TPS kita ini menang kita, jadi kita menang gitu Dari Golkar menang, dari seluruh partai pun saya menang disini. Itu yang memberikan dorongan
pada kita bahwa masyarakat sekitar sini alhamdulillah memilih kita. Yang lebih parah, seandainya saya kalah di TPS sini, itu yang jadi boomerang
itu”
Universitas Sumatera Utara
C. Interpretasi Data 1. Responden I
a. Stress
Menjadi anggota legislatif dan dapat berbuat untuk masyarakat merupakan cita-cita responden semenjak ia masih menjadi PNS. Ia menganggap dengan
menjadi anggota legislatif akan lebih banyak yang dapat ia lakukan untuk masyarakat. Cita-cita itu berusaha ia wujudkan dengan mencalonkan diri menjadi
caleg pada pemilu legislatif 2009. Namun cita-cita itu harus ia simpan dulu untuk tahun ini, karena ternyata responden tidak mendapatkan suara yang cukup untuk
terpilih sebagai anggota legislatif. Kegagalannya untuk mencapai cita-citanya tersebut membuat dirinya kecewa. Menurut Lazarus dalam Musbikin, 2005,
stress dapat dianggap sebuah gejala yang timbul akibat adanya kesenjangan antara realita dan idealita, antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan
kemampuan, antara peluang dan potensi. Banyak sekali hal yang membuat responden optimis sehingga ia dan
keluarga tidak menyangka akan gagal dalam pemilu tahun ini. Diantaranya responden adalah seorang yang dikenal sebagai tokoh masyarakat dan selalu aktif
berbuat untuk masyarakat dalam kegiatan-kegiatan sosial. Selain itu responden juga yakin masyarakat akan memilihnya karena sewaktu kampanye begitu banyak
masyarakat yang hadir sehingga memberikan keyakinan kuat pada responden dan isterinya. Bandura dalam Taylor, dkk., 2009 mengungkapkan bahwa kejadian
yang tidak dapat dikontrol atau tidak terduga biasanya lebih membuat stress ketimbang kejadian yang dapat diprediksi. Kejadian yang tak dapat dikontrol dan
Universitas Sumatera Utara
tak dapat diprediksi tidak memungkinkan orang untuk menyusun rencana guna mengatasi masalah yang timbul.
Strategi caleg lain yang melancarkan serangan fajar atau money politic dan kondisi masyarakat yang tidak cerdas dalam memilih serta hanya mengharapkan
materi dari para caleg membuat responden kesal dan kecewa. Hal ini dapat dijadikan stressor dimana bentuk yang spesifik dari stimulus, baik itu fisik atau
psikologis, menjadi tuntutan yang membahayakan well being individu dan mengharuskan individu untuk beradaptasi dengannya. Semakin besar perbedaan
antara situasi dengan sumber daya yang dimiliki, maka situasi tersebut akan dipandang semakin kuat menimbulkan stress Passer Smith, 2007. Perbedaan
yang besar antara banyaknya terjadi money politic saat pemilu dengan kondisi responden yang kampanye secara sederhana dikarenakan keterbatasan dana,
diduga menjadi sumber stress yang cukup kuat bagi responden.
b. Strategi Coping Stress
Rasa kecewa yang melanda responden karena telah gagal dalam pemilu membuat responden berserah diri pada Allah dan memohon diberi kekuatan.
Setelah itu ia menganggapnya sebagai suatu tarbiyah pendidikan yang membuatnya menjadi lebih dewasa dan belajar menerima realitas. Responden juga
menilai kegagalan ini sebagai hasil terbaik yang diberikan Allah, responden tidak ingin kegagalan ini dapat merugikan dirinya sendiri dan bernilai negatif, justru ia
ingin menjadikan kegagalan ini sebagai sesuatu yang lebih baik dan dapat bernilai positif.
Universitas Sumatera Utara
Responden juga menjadikan kegagalan dalam pemilu legislatif ini sebagai pengalaman hidup yang membuatnya berjiwa besar agar tidak membenci dan
menyalahkan masyarakat yang tidak memilihnya, serta membuatnya memahami tindakan para masyarakat dan menambah wawasan tentang masyarakat. Beberapa
hal di atas dapat dikategorikan sebagai strategi coping yang berfokus pada emosi emotion-focused coping, yaitu individu yang mengalami stress mencoba untuk
melihat sesuatu dari sisi lain yang lebih positif. Sumber kekecewaan responden ada pada ketidakcerdasan masyarakat
dalam menentukan keputusan untuk memilih dan ketergantungan para masyarakat kepada para caleg yang memberikan keuntungan instan atau materi.
Ketidakcerdasan ini akan dijadikan responden sebagai bahan-bahan materi dalam pengajian-pengajian yang ia isi, dan juga menjadi program bersama para caleg
gagal untuk mencerdaskan masyarakat dalam berpolitik. Upaya-upaya ini dapat dikatakan sebagai coping yang berfokus pada masalah problem-focused coping
yang merupakan strategi kognitif untuk penanganan stress atau coping yang digunakan oleh individu yang menghadapi masalahnya dan berusaha
menyelesaikannya.
c. Sumber Daya Eksternal
1 Dukungan Sosial Sewaktu responden merasa sedih karena telah gagal dalam pemilu
legislatif 2009, kehadiran cucu dapat mengobati rasa sedih itu. Selama seminggu setelah pemilu, cucu menjadi hiburan bagi kesedihan responden, namun setelah
seminggu responden harus merelakan cucunya pulang bersama orang tuanya ke
Universitas Sumatera Utara
Lhoksemauwe. Kesedihan yang responden rasakan semakin bertambah. Namun kesedihan itu tidak berlangsung lama, responden dapat mengobati rasa sedih itu
dengan menelpon cucunya dan berdoa kepada Allah agar selalu memberikan kesehatan pada cucunya.
Selepas tersiar kabar bahwa dirinya tidak terpilih, teman-teman responden banyak yang menelpon dan menghibur, malah ada yang bersyukur dirinya tidak
terpilih dan menganggap bahwa dirinya lebih baik menjadi tokoh masyarakat. Pandangan-pandangan seperti itu dapat meringankan kesedihan dan kekecewaan
yang dialaminya. Tidak hanya responden, para tetangga juga ada yang beberapa datang mengunjungi responden dan menghiburnya. Perlakuan para teman dan
tetangga yang datang menghibur serta kehadiran cucu yang dapat mengobati rasa sedih responden dapat dikatakan sebagai bentuk dukungan sosial.
Menurut Sarason dalam Baron Byrne, 2005, dukungan sosial merupakan kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang
lain. Dukungan sosial ini merupakan hal yang bermanfaat tatkala individu mengalami stress Frazier dalam Baron Byrne, 2005
2 Peranan Waktu dan Uang Responden merasa prihatin dengan ketidakcerdasan masyarakat selama
dua minggu lamanya, namun responden masih merasa kecewa tidak terpilih menjadi anggota legislatif hingga sekarang.
Dana yang dikeluarkan responden untuk kampanye terbilang cukup kecil, tapi responden dan isteri merasa uang yang tidak lebih dari satu juta rupiah
tersebut sangat berarti bagi mereka karena uang pensiun mereka menjadi habis
Universitas Sumatera Utara
untuk mencetak baliho, kartu nama dan lain-lain. Uang pensiun yang telah habis membuat isteri responden tidak setuju jika responden mencalonkan diri kembali
pada pemilu 2014.
3 Stressor Lain Responden berusaha untuk tidak benci dan memahami tindakan para
masyarakat yang mengambil keputusan salah menurut responden. Namun setelah pemilu, responden malah berubah sikap pada responden, dan menghindari untuk
membicarakan masalah pemilu lagi. Responden menganggap perubahan sikap masyarakat ini karena mereka merasa malu karena mereka tidak memilih
responden.
2. Responden II a. Stress