Responden I Responden II Responden III

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami stress dan coping stress para responden maka data akan dijabarkan dan dianalisa per responden.

A. Deskripsi Data Tabel IV. A

Gambaran Umum Responden Penelitian Dimensi Responden 1 Responden II Responden III Nama samaran Sani Iwan Dana Usia 59 tahun 33 tahun 57 tahun Jenis Kelamin Pria Pria Pria Caleg dari Partai PAN PPP Golkar Nomor Urut 1 6 5 Pekerjaan Pensiunan Pengadilan Negeri Pedagang Koran Pensiunan Pemkot Tebing Tinggi Pendidikan S1 Hukum SMA SMA Agama Islam Islam Islam Suku Bangsa Batak Mandailing Sunda

1. Responden I

a. Tanggal Wawancara Proses wawancara dilakukan di rumah responden sebanyak tiga kali, dengan rincian sebagai berikut: 1 Hari Sabtu, 01 November 2009; Pukul 13.50 – 14.40 WIB. 2 Hari Minggu, 08 November 2009; Pukul 09.10 – 10.01 WIB. Universitas Sumatera Utara 3 Hari Rabu, 25 November 2009; Pukul 07.50 – 08.48 WIB.

2. Responden II

a. Tanggal Wawancara Proses wawancara dilakukan di warung makan, tempat responden sering berkumpul dengan teman-temannya, sebanyak tiga kali, dengan rincian sebagai berikut: 1 Hari Selasa, 08 September 2009; Pukul 16.12 – 17.02 WIB. 2 Hari Kamis, 15 Oktober 2009; Pukul 15.10 – 15.50 WIB. 3 Hari Jumat, 20 November 2009; Pukul 14.40 – 15.38 WIB.

3. Responden III

a. Tanggal Wawancara Proses wawancara dilakukan di rumah responden sebanyak tiga kali, dengan rincian sebagai berikut: 1 Hari Rabu, 25 November 2009; Pukul 09.10 – 09.52 WIB. 2 Hari Jumat, 27 November 2009; Pukul 20.00 – 20.36 WIB. 3 Hari Sabtu, 28 November 2009; Pukul 08.30 – 09.12 WIB.

B. Analisa Data 1. Responden I

a. Latar Belakang Responden

Responden bernama Sani bukan nama sebenarnya. Responden lahir 59 tahun yang lalu di keluarga yang bersuku Batak. Responden memiliki seorang Universitas Sumatera Utara isteri dan empat orang anak. Anak pertama dan anak ketiga responden sudah menikah dan masing-masing sudah memiliki satu anak. Sedangkan kedua anak yang lainnya sudah bekerja di Tebing Tinggi dan Aek Kanopan. Responden menamatkan pendidikan sarjananya di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dengan mengambil jurusan Hukum. Responden sudah pensiun dari Pengadilan Negeri kota Tebing Tinggi pada tahun 2006, dan saat ini responden mengisi kesehariannya dengan aktif di organisasi Muhammadiyah serta sering mengisi pengajian baik di sekitar tempat tinggalnya maupun di luar daerah tempat tinggalnya. Keseharian responden yang banyak berinteraksi dan aktif dengan masyarakat ini membuat banyak teman menganjurkan responden untuk mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif tahun 2009. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, banyak dukungan, dan juga karena cita-citanya yang sedari dulu ingin berbuat untuk masyarakat, membuat responden memutuskan menjadi caleg 2009. Peneliti mengenal responden dari seorang teman yang kebetulan adalah tetangga responden. Peneliti bersama dengan teman peneliti menemui responden di rumahnya untuk berkenalan dan melakukan pendekatan dengan responden serta sedikit memberi penjelasan tentang prosedur penelitian nantinya. Setelah mendapat kesediaan langsung dari responden untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, peneliti kemudian menentukan jadwal pertemuan berikutnya dengan responden untuk selanjutnya melakukan wawancara. Universitas Sumatera Utara

b. Data Hasil Wawancara

1 Sebelum Pemilu Legislatif 2009 Responden seorang tokoh masyarakat yang juga dikenal sebagai figur yang sering mengisi pengajian baik di daerah tempat tinggalnya maupun di luar daerah tempat tinggalnya. Selain itu responden juga aktif di organisasi Muhammadiyah dan memiliki peran sebagai pengurus harian di organisasi Muhammadiyah tersebut. Keaktifan responden dalam masyarakat membuat para temannya menyarankan beliau untuk terjun dalam dunia politik yang dalam hal ini menyarankan untuk menjadi calon anggota legislatif caleg, namun karena saat itu, yaitu pada tahun 1999, beliau masih berstatus sebagai PNS Pegawai Negeri Sipil maka beliau menolak ajakan teman-temannya tersebut. “Jadi pada tahun 1999 yang lalu, sehabis reformasi, saya pun sudah bolak- balik diajak untuk menjadi caleg, tapi karena saya masih jadi pegawai negeri kan nggak bisa...” Pada tahun 2006 responden pensiun dari Pengadilan Negeri di kota Tebing Tinggi. Perbincangan mengenai menjadi caleg terus berlanjut dan cita-cita responden yang ingin berbuat untuk masyarakat membuat tahun 2009 menjadi awal bagi responden untuk terjun di dunia politik. Awal langkah itu ia lakukan dengan memilih Partai Amanat Nasional PAN sebagai partai yang akan dia tunggangi menuju pemilu legislatif 2009. Responden memilih PAN karena ia menganggap bahwa PAN merupakan sebuah partai yang basic atau landasan berpikirnya sama dengan organisasi Muhammadiyah yang selama ini ia terlibat di dalamnya. ”Kemaren ini, karena saya sudah pensiun, teman-teman dari beberapa partai mengajak saya untuk terjun ke dunia politik, karena sudah pensiun, kan sudah tidak ada kendala lagi, kan gitu?” Universitas Sumatera Utara ”Dan setelah saya pikir-pikir pun setelah berbincang-bincang dengan mereka, ya saya pun jadi tertarik juga, tertarik untuk yah..aktif di politik lah. Langkah pertama waktu itu pas pula sewaktu mau pemilu, inilah langkah pertama, jadi caleg lah..itulah kenapa saya jadi caleg pada pemilu 2009 yang lalu.” ”Karena saya kebetulan dari dulu aktif di Muhammadiyah dan saya juga di Tebing ini terakhirnya pimpinan Muhammadiyah, dan selama ini partai politik yang hubungannya dekat dengan Muhammadiyah adalah Partai Amanat Nasional...” Keinginan untuk menjadi caleg itu didasari oleh keinginan responden berbuat untuk masyarakat. Dia mengharapkan dengan terpilihnya ia sebagai anggota legislatif maka ia akan dapat berbuat lebih banyak untuk masyarakat. Harapan itu diperkuat oleh PAN dengan menetapkan responden sebagai caleg dari PAN di daerah pemilihan Dapem Padang Hilir dengan nomor urut 1, dengan pertimbangan bahwa Responden sudah memiliki citra atau figur kuat di masyarakat sebagai orang yang aktif berbuat untuk masyarakat. Responden mengakui bahwa dirinya sangat diandalkan PAN untuk dapat memperoleh suara terbanyak di dapem Padang Hilir tersebut. ”Itulah motivasinya, motivasinya ingin berbuat untuk masyarakat.” ”Harapan sih memang, kalau bisa berkiprah disanalah gitu. Barangkali apa-apa yang selama ini dilakukan dengan masyarakat itu, mungkin kalau sudah menjadi anggota legislatif, lebih banyak lagi yang bisa dilakukan, kan gitu..” ”Iya, iya partai memang mengharapkan, karena partai melihat bahwa saya sudah banyak aktifitas di masyarakat, maka dikasih kesempatan untuk menjadi caleg nomor satu.” ”Tapi kita menganggap kan kalau kita menjadi anggota legislatif lagi, bertambahlah yang bisa kita lakukan apa namanya pemberdayaan masyarakat ini, itulah kenapa kita mencalonkan diri jadi anggota legislatif.” Universitas Sumatera Utara Keputusan responden menjadi caleg tidak sepenuhnya berdasarkan keinginan diri sendiri, tetapi juga karena dukungan keluarga dan juga dorongan serta sugesti dari teman-temannya sehingga responden yakin bahwa ia memiliki peluang untuk menjadi anggota dewan. Selain itu, Responden juga merasa yakin bahwa dia akan terpilih karena selama ini ia aktif di masyarakat, sering berinteraksi, aktif dalam kegiatan sosial, dan juga sebagai tokoh yang sering dimintai nasehatnya. ”Ya keluarga terutama mendukung la, terutama istri dan anak saya.” “Kawan-kawan pun banyak yang mendukung, banyak yang menyarankan supaya ikut menjadi caleg.” “Iya..perbincangan itu pulak, mereka kan barangkali, mereka melihat potensi, ”ah kalau bapak cocok lah disana, bapak kan begini begini.” Maksud mereka itu sudah berpengalaman lah di masyarakat, di pemerintahan pun sudah, kemudian latar belakang pendidikannya pun kebetulan hukum, ya kan?” “Kita optimis sebenarnya dengan latar belakang kita selama ini di tengah- tengah masyarakat.” Tiba masa kampanye, tidak seperti caleg-caleg yang lain, Responden hanya 1 satu kali mengumpulkan orang-orang di sekitar tempat beliau di rumahnya untuk mensosialisasikan bahwa beliau adalah caleg dengan nomor urut 1 dari PAN di dapem Padang Hilir. Media yang ia gunakan untuk kampanye pun seadanya saja dan dalam jumlah sedikit seperti baliho, poster 10 buah, dan kartu nama. Sehingga tidak heran bila ia hanya menghabiskan dana kurang dari 1 satu juta rupiah untuk kampanye tersebut. Responden mengakui bahwa ia tidak mau menghabiskan banyak dana untuk kampanye tersebut, selain dikarenakan keterbatasan dana, dia juga yakin bahwa ia sudah cukup yakin dengan masyarakat yang akan memilih dia. Universitas Sumatera Utara “Dan terus terang saya, walaupun saya caleg, tapi yang namanya kampanye, ya sekedarnya saja lah, hanya mengenalkan kepada masyarakat bahwa saya calon legislatif, istilahnya tidak melakukan langkah-langkah seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang, sosialisasinya hanya sekedar begitu saja.” ”Ada ada. Saya buat sepuluh biji. 10 biji itu untuk satu kecamatan ini lah. Satu untuk satu kelurahan lah” “Nggak, saya nggak punya...ya di samping saya tidak punya uang untuk dibagi kesana kemari dan saya menganggap terlalu mubazir lah untuk kebutuhan seperti...” “Dana saya yang keluar? Barangkali sekitar...nggak sampe sejuta lah.” Sewaktu masa kampanye, Responden banyak dibantu dalam hal pengadaan atribut kampanye oleh caleg lain seperti baliho dan kartu nama. Selain itu Responden juga dibantu oleh anak dan teman-temannya dalam hal memasang baliho dan penyebaran kartu nama. Dalam hal sosialisasi, sebenarnya Responden diminta oleh para tetangga untuk mengadakan acara sosialisasi di rumahnya, dan karena itu permintaan dari tetangga, maka Responden dan isterinya pun mengadakan sosialisasi di rumahnya dengan sederhana. Acara sosialisasi tersebut dihadiri oleh banyak tetangga sekitar sehingga hal ini membuat Responden dan isterinya merasa yakin bahwa beliau akan terpilih dalam pemilu legislatif 2009. Pengakuan bahwa sosialisasi tersebut diadakan karena permintaan dari para tetangga itu didapatkan dalam wawancara ketiga, dan pengakuan ini pun muncul dari isteri responden yang ikut serta dalam proses wawancara. ”Bersosialisasi lah, silaturahmi, buat acara di rumah...” ”Iya orang itu yang ngajak, bukan saya..” ”Bukan, bukan...orang iniawak yang diperli orang ini, ”bu, masa’ orang lain ngajakin kami bersosialisasi, masa’ tetangga nggak ngajak, jadi kami dianggap apa?” ini kan suatu..lima puluh persen adalah harapan ya kan?” Universitas Sumatera Utara Selama masa kampanye, Responden sering mendengar dari teman-teman yang membantu sosialisasi dirinya bahwa masyarakat banyak yang ingin diberi uang dari para caleg. Itu sebabnya sewaktu beberapa hari sebelum pencontrengan, Responden merasa cemas dengan kondisi tersebut namun tetap yakin bahwa masyarakat akan memilih individu yang layak untuk menjadi anggota dewan. Satu hari sebelum pemilu, Responden tetap melakukan aktifitas seperti biasanya. ”Di samping memang rumor-rumor yang kita dapatkan dari luaran, bahwa memang mereka mengaku kalau mereka nggak dikasih uang, ya macam mana ya?” “Kita kan optimis bahwa masyarakat itu..masa’ mereka tidak bisa membedakan mana yang pantas dipilih mana yang tidak.” “Ya biasa aja, nggak ada masalah Biasa aja, saya kan nggak pernah di rumah terus. Kegiatannya kegiatan harian tetap, nggak pala ada yang istimewa lah menunggu hari H itu.” 2 Setelah Pemilu Legislatif Dengan langkah optimis, Responden bersama keluarga mendatangi Tempat Pemungutan Suara TPS untuk proses pencontrengan. Saat itu TPS masih sepi karena memang Responden dan keluarga mendatangi TPS dengan cukup pagi. Responden dan keluarga menghabiskan waktu selama tiga puluh menit di TPS. Selama di TPS, Responden melihat orang-orang dan menebak- nebak siapa yang akan memilih dia dan siapa yang tidak. “Ini orang ini milih siapa, tapi kan apa namanya itu, tengok-tengok mukanya, ah kalau ini tak diharapkan lah ini, begitu juga, udah ada feeling. Ada feeling, ah kalau ini tak iya ini...nggak, nggak..kan nampak itu kita kesehariannya ya kan? Alah nggak ini, ah kalau ini paling ini nanti, kan gitu kan? Gitu juga” Selesai mencontreng, Responden berkeliling dan singgah ke TPS-TPS di dapem Padang Hilir untuk melihat proses perhitungan suara, tapi Responden tidak mengikuti proses perhitungan suara di setiap TPS hingga akhir. Responden Universitas Sumatera Utara mengetahui jumlah suara sementara dari anaknya yang juga saksi dari PAN. Saat itu Responden belum menduga bahwa dirinya tidak akan mendapatkan suara yang cukup yang dapat menghantarkannya menjadi anggot a legislatif. Di TPS tempat Responden mencontreng, Responden hanya mendapatkan tujuh belas 17 suara, dan hanya mendapatkan sekitar seratus suara dari keseluruhan TPS di dapem Padang Hilir. Jumlah suara yang tidak sesuai target ini membuat responden dan keluarga sedih serta tidak percaya dengan hasil yang didapatkan. ”Yah orang ini pun kasihan juga..karena kenapa, ya kan? Istilahnya itu kan, ya kita kan di tengah-tengah keluarga kan, istilahnya kan, mmm diharapkan mereka juga, tahu mereka juga macam mana keseharian kita di keluarga, ya kan? Rasa orang itu, kok gitu orang ya? Orang itu pun sama kayak gitu juga, nggak sangka, katanya juga gitu” ”Ya...netral aja waktu itu biasa aja..makanya begitu shock setelah dibilang..anakku kan panitia, cuma 1 mak bapak, cuma 1 mak..haaa???” ”Begitulah pengalaman, yang paling terasa shock begitu tahu jumlahnya, disini satu, di SD satu, disitu satu, tempat kami itu berapa, baru disana lagi di Waringin itu tiga, nggak sedih kami mendengarkannya itu?” Cita-cita Responden yang ingin berbuat untuk masyarakat dan berharap akan banyak yang dapat dilakukan bila menjadi anggota dewan tidak dapat dilaksanakan. Hal ini membuatnya kecewa. Padahal Responden sangat optimis bahwa dia akan terpilih mengingat eksistensinya selama ini di masyarakat ditambah dengan dukungan teman-teman dan tetangga sewaktu masa kampanye. ”Kalaupun dikatakan kecewa, saya kecewa tak bisa terlaksana, tak bisa tercapai, apa yang menjadi cita-cita saya untuk melakukan langkah- langkah di legislatif, kan begitu?” ”Sebenarnya penuh harapan, ya kan? Kita optimis sebenarnya dengan latar belakang kita selama ini di tengah-tengah masyarakat.” ”Kita menaruh bahwa berdasarkan pengalaman kita bersosialisasi selama ini, bermasyarakat di lingkungan kita ini, kita itu menaruh optimisme, ah masa’ mereka tidak tahu, orang selama ini sudah intim kok, orang itu pun Universitas Sumatera Utara minta nasehat sama kita, ya kan? Ternyata dalam hal ini mereka punya pendirian lain, kan gitu?” ”.... mereka kan barangkali, mereka melihat potensi, ”ah kalau bapak cocok lah disana, bapak kan begini begini.” Maksud mereka itu sudah berpengalaman lah di masyarakat, di pemerintahan pun sudah, kemudian latar belakang pendidikannya pun kebetulan hukum, ya kan? Jadi banyaklah yang menyarankan itu. Di samping itu, macam kata mereka itu, “kalau bapak kan kami lebih percaya.” Kan begitulah teman-teman itu kan, sudah berpengalaman sekian lama bersama, bergerak di tengah- tengah kehidupan masyarakat, ya kan? Itulah harapan mereka itu.” Tidak terpilihnya Responden sebagai anggota legislatif membuat ia mengambil kesimpulan bahwa ia tidak terpilih karena memang masyarakat belum menaruh kepercayaan pada ia untuk menjadi anggota legislatif. Namun di samping itu, ia juga menilai bahwa kondisi masyarakat saat ini yang tidak cerdas dalam mengambil keputusan dan tidak memikirkan efek yang akan dituai ke depannya. ”Jadi pendek ceritanya, kita harus mengakuila memang bahwa masyarakat memang belum menaruh kepercayaan kepada kita untuk menjadi wakilnya dibanding calon-calon yang lain, ya kan?” ”Kita merasa kesal, kok masyarakat ini mengambil keputusan yang salah menurut kita, gitu ya kan?” ”Ya kesal juga, ya kesal Kesal kok orang ini nggak cerdas gitu Ah itu persoalannya. Orang ini kok nggak cerdas gitu Ya kan?” Responden dan isteri juga mengecewakan tetangga sekitar rumah yang tidak memilih dia, padahal mereka sudah sering berinteraksi dan tentunya para tetangga tersebut sudah melihat bagaimana keseharian Responden. “Saya kira seperti masyarakat sekeliling rumah saya ini sajalah, bukan orang jauh semuanya disini ya kan? Sudah tahu kesehariannya bagaimana. Tapi ternyata mereka tidak memilih kita. Ternyata orang itu tak memilih. Kenapa saya katakan tidak memilih? Bayangkanlah disini, berapa ratus KK di Perumnas sini, ya kan? Ternyata mereka memilih bukan kita. Padahal mereka melihat keseharian kita. Padahal mereka melihat Universitas Sumatera Utara bagaimana kita bergaul, bagaimana kita ramah dan segala macam, bertamu, keseharian biasa, ya kan?” Selain itu Responden juga menyesalkan kondisi masyarakat yang akan memilih seorang caleg jika diberikan uang dan para caleg yang melancarkan serangan fajar atau money politic. Peneliti menilai Responden sangat kecewa dengan keadaan ini, peneliti menyimpulkan dari cara Responden yang selalu bersuara keras setiap kali mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang berhubungan dengan kondisi masyarakat yang mengharapkan materi. “Teman-teman yang tadinya mensosialisasikan supaya memilih kita, mereka itu melaporkan pada kita itu, ”aduh payah lah pak masyarakat kita ini Orang itu mengharapkan materi.” Nah ini yang payah itu..” ”Iya, mereka tidak siap. Mental masyarakat kita tidak siap kalau tidak menerima duit. Karena kan sekarang sudah apa, di tengah masyarakat itu..berapa satu suara..kalau si anu sekian, si anu sekian..udah itu yang terjadi.” “Sudah jelaslah main duit semua Itu nggak bisa dibantah, nggak terbantahkan itu Cuman secara hukum….sudah rahasia umum lah Cuman secara hukum tidak bisa kita buktikan.” Responden menganggap ketetapan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan sistem suara terbanyak menimbulkan terjadinya persaingan internal, sehingga suara berserak. Padahal menurutnya jika dalam pemilu legislatif yang lalu itu terjalin kerja sama yang baik antara sesama caleg PAN untuk mengandalkan satu orang caleg maka hasil yang didapatkan akan lebih baik dan suara tidak akan berserak. Kekecewaan dan kesedihan Responden atas kekalahannya dalam pemilu legislatif 2009 semakin bertambah ketika cucu yang selama ini menjadi hiburan di kala ia sedih harus pergi meninggalkan dirinya ke Lhoksemauwe. Perpisahan Universitas Sumatera Utara Responden dengan cucunya membuat ia menangis. Responden pun menangis ketika menceritakan hal tersebut pada peneliti. “Seminggu pemilu..sudahlah kita dirundung perasaan apa namanya itu..ya sedih karena tak jadi duduk, tak dapat suara pemilu ya kan? Tahu-tahu cucu pun yang dimomong setiap hari itu, tahu-tahu dibawa pulang sama mamaknya, karena orang itu tinggal di Lhoksemauwe. Iya kan? Terpisah dengan cucu ini..aduh tak tahu lagi bilangkannya, enggak tahu lagi bilangkannya” “Nengok saya macam anak kecil menangis, pisah sama cucu saya, aduh Nggak tahu bilangkannya ya kan?” Sewaktu wawancara ketiga, di tengah wawancara, isteri Responden ikut bergabung bersama peneliti dan Responden. Isteri responden pun mengungkapkan perasaan-perasaan beliau pasca pemilu legislatif. Isteri responden mengecewakan sikap para tetangga yang begitu mendukung sewaktu kampanye namun tidak memberikan suaranya sewaktu pemilu. Hal ini membuat isteri responden bersikap dingin dan tidak simpati pada para tetangga selama beberapa hari setelah pemilu. “Baru tahu awak kejamnya dunia ini..responden tertawa begitu bersahabatnya minta disosialisasikan. Kami nggak punya niat itu. ‘Rupanya orang bersosialisasi, tetangga nggak...’ masa’ kami begini- begini..ternyata..ooo begitulah hancurnya lah hati awak melihat manusia- manusia ini.” “Apa loh, begitulah pukulan itu..begini rupanya manusia ini, agak...ya dibilang stress nggak stress lah, nengok-nengok orang-orang yang apa ini..wihh, jahanam juga lah orang ini” “Ayok, ayok Tiba di hari H, ya Allah..mohon ampun..raib semua” “Kurang lebih lima hari lah..jijik nengoknya...ai jijik ai..” Kegagalan responden dalam pemilu legislatif ini membuat isteri responden tidak mau lagi jika responden mencalonkan kembali menjadi caleg karena telah menghabiskan dana yang cukup besar dan sangat berarti bagi responden dan isterinya walaupun dana yang dikeluarkan terbilang cukup kecil dibandingkan dengan caleg-caleg lain. Universitas Sumatera Utara “Nehi tidak lah, nehi, nehi lah tertawa.. itu aja yang lumayan sikit ajapun terkuras, gimana lagi nanti..aih, tidaklah jang” “Jujur-jujur lah ya nak..walaupun begitu nggak pakai uang, kan keluar juga uang kan? Baliho, hantu belau, cetak ini, cetak itu, terkuras juga Ahh, tidak lah jang Gini-gini pun hidupnya awak..” “Walaupun begitu..seberapalah uang awak yang pensiun, habis juganya kutengok.. gundullah ketiak itu tertawa iyalah, jujur aja jadi kita alhamdulillah..” ”Yah sama kita sih, barangkali sama orang uang sejuta...nggak ada artinya..awak...” Kegagalan dalam pemilu legislatif ini juga sempat membuat responden menyesal telah mencalonkan diri. Namun penyesalan tersebut segera dikesampingkan oleh responden dan menganggapnya sebagai takdir dan mencoba untuk berserah diri pada Tuhan dan memohon diberi kekuatan. “Tapi ada juga itu, tapi kan kalau nggak mencalon nggak capek, begini begini, toh hasilnya nggak ada juganya..ada juga selintas itu..tapi kita menafikkan aja, kita kesampingkan itu Ya prinsipnya yang namanya menyesal secara sadar itu nggak lah.” “...dan terakhirpun saya memang ya, intinya ya takdir Allah memang sudah seperti itu, ya kan? Tapi analisis saya, memang cocok juga. Yang pasti bahwa Allah tidak mengkehendaki saya untuk menjadi anggota legislatif, itulah kesimpulannya.” ”Ya itu tadilah, ya istilahnya kan kalau kita sedih ini kan harus kembali lagi, minta kekuatan sama Tuhan lah ya...nggak ada jalan lain lah. Cuma itu lah yang..paling penting itu kita cepat sadar bahwa semuanya ini kan begini situasinya.” Kesedihan dan kekecewaan yang menggelayuti diri, membuat responden dan keluarga lebih banyak diam dan tidak banyak tingkah. Mereka sama-sama kecewa dan masing-masing menghibur diri sendiri. Namun responden yang merasa kasihan dengan keluarganya yang menaruh harapan besar padanya untuk menjadi anggota dewan berusaha untuk memberikan motivasi dan pemahaman bahwa yang terjadi memang sudah kehendak Allah. Universitas Sumatera Utara ”Bah, sama-sama menghibur diri sendiri lah tertawa, sama-sama kecewanya pulak. tertawa lagi, macam mana menghibur nya orang sama- sama kecewa. Banyakan diamlah ya kan? Dalam arti diam itu memperhatikan, nggak banyak tingkah ya kan?” “Nggak kalau orang ini, kita kan cerahkan mereka, kita kasih motivasi, ya kan? Berarti kita kan orang yang sudah mengetahui bahwa kalau sudah terjadi sesuatu, kita itu kan harus mampu menerima itu dan menjadikan itulah yang terbaik dari keputusan Tuhan. Kalau kita diberikan yang seperti itu kan berarti Tuhan menghendaki seperti itu.” Responden menganggap bahwa kegagalan dalam pemilu legislatif merupakan suatu proses tarbiyah pendidikan. Kegagalan tersebut membuatnya menjadi lebih dewasa dan berjiwa besar dalam menerima realitas. Responden juga berusaha menjadikan kegagalan tersebut tidak merugikan dirinya dan menganggapnya sebagai hasil yang terbaik. Dengan kata lain, keikutsertaannya dalam pemilu legislatif ini tidak akan dijadikannya sebagai hal yang sia-sia karena dari sini ia dapat menjadikannya sebagai pengalaman hidup dan menambah wawasannya tentang masyarakat. “Kalau sudah terjadi harus diterima dan menjadikan itu merupakan suatu tarbiyah, ya kan? Jadi istilahnya berarti, kita macam mana menjadikan situasi itu lebih baik, tidak merupakan sesuatu yang merugikan kepada diri pribadi kita. Kan itu kan menambah wawasan kita juga. Bahwa rupanya masyarakat yang kita hadapi itu tipenya begini, ya kan?” “Jadi sekarang saya sedang berusaha, kegagalan saya itu..untuk tidak berdampak negatif, nah itu yang mau saya upayakan itu, kalaupun ya memang tentu untuk itu ya kan..butuh kesabaran lah ya kan? Butuh kekuatan lah untuk itu, tapi setidaknya kan dengan apa namanya..aqidah itu yang sudah ada, dengan prinsip yang sudah kita apa namanya..kita pahami selama ini, bahwa itu kan sesuatu yang harus kita terima dengan..dengan jiwa besar, ya kan? Jangan sampai karena apapun yang menimpa kita itu kan, kita harus mampu menjadikannya itu bernilai positif.” Kekecewaan pada masyarakat akibat ketidakcerdasan masyarakat dalam memilih membuat responden memutuskan untuk menjadikannya sebagai materi dalam mengisi pengajian. Hal ini juga karena ia merasa bahwa itu merupakan Universitas Sumatera Utara suatu bagian dalam berdakwah untuk mencerdaskan masyarakat dalam hal berpolitik. Selain bergerak sendiri, ia bersama para caleg gagal lainnya juga membuat program untuk mencerdaskan masyarakat dan merubah paradigma masyarakat dalam membuat keputusan untuk memilih. “Haa jadi menghindarkan itu tentu ya itu tadi lah kita melakukan langkah- langkah, maka saya katakan tadi, justru kegagalan saya ini saya jadikan bahan di ceramah-ceramah, dari mimbar dimana-mana saya lempar itu. Sampai sekarang belum berhenti itu, di mimbar masih saya angkat itu.” “...kita masih punya program yang lain, jadi caleg-caleg yang gagal, kalaupun belum dikonkretkan langkah-langkahnya ya kan? Bagaimana menyadarkan masyarakat itu bahwa apa yang sudah mereka lakukan di 2009 ini, itu menjadi tolak ukur untuk langkah mereka nanti di 2014..” Berbeda dengan isteri responden, kekecewaan responden terhadap masyarakat tidak membuat responden menunjukkan sikap tidak suka ataupun menaruh sikap benci, karena menurutnya hal itu merupakan urusan pribadi dan tiap orang harus memenuhi hak tetangganya. Walaupun gagal, ia berusaha untuk tetap realistis dan rasional serta tidak ingin segala yang terjadi bernilai bathil ataupun sia-sia. “Kita kan istilahnya karena sudah biasa apa namanya itu..sudah biasa kita dilatih mengendalikan diri ya kan? Jadi segala apa pun dalam hati kita, kita tetap berusaha supaya kita realis bertindak, tetap rasional, ya kan?” ”Kita sudah biasa melatih diri kita, kalaupun sebenarnya kita tidak suka, tapi kan ketidaksukaan kita itu urusan pribadi kita ya kan? Tapi secara yang hak, disamping ketidaksukaan kita itu, gimana ya, merefleksikannya itu..bahkan benci aja pun kita sama seseorang nggak boleh kita tidak memberikan haknya kalau memang dia berhak ya kan?” “Apapun yang terjadi ini diciptakan Allah ini, ma khalaktaha djabatilan, jangan sampai dia bernilai bathil, sia-sia. Haa kan gitu?” Setelah terdengar kabar bahwa responden tidak terpilih, teman-teman dekat responden pun banyak yang menghubungi dan mengemukakan pandangan- pandangan yang cukup menghibur hati responden. Hal ini membuat responden Universitas Sumatera Utara tidak berlarut terlalu lama dalam kesedihan dan menganggap bahwa ia dapat berbuat untuk masyarakat walaupun tidak menjadi anggota dewan. Selain itu, kehadiran cucu pun dapat mengurangi rasa sedih responden karena tidak terpilih, dan walaupun merasakan sedih sesaat karena ditinggal cucu, sedih itu dapat terobati kembali karena beliau dapat berhubungan melalui handphone dengan cucu. ”Haa iya-iya...itu kenyataan itu Ada kawan saya yang di Padang, spesial di telponnya saya. Yang sekitar sinipun banyak Kalau kawan-kawan dekat saya iyalah Makanya kekesalan saya tadi itu, itu terobati dengan pandangan-pandangan kawan-kawan itu, ya kan?” “Kala berduka kita itu, karena kan...iyalah sekitar seminggu pemilu orang itu balek ke Lhoksemauwe, pisah dengan cucu ya kan? Aduh.. Rasanya entah macam mana macam mana.” ”Nggaklah, kan bisa berkomunikasi juga nya dengan telepon. Modal itu lah, melalui HP lah, teleponlah, ngagah-ngagah cucu, ya kan? Manggil- manggil cucu di telepon bolak-balik ya kan? Hehehe.” Tidak tercapainya cita-cita responden untuk menjadi anggota dewan masih menyisakan rasa kecewa hingga sekarang. Namun ia berusaha agar rasa kecewa itu berada dalam tahap sewajarnya dan menjadikannya sebagai pengalaman positif. Rasa prihatin terhadap masyarakat dirasakan responden selama sekitar dua minggu dari pemilu dan dari situ responden bertekad untuk merubah cara berpikir masyarakat yang seperti itu.

2. Responden II