Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna dan
peningkatan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan tingkat perkembangan
dan kemajuan pembangunan. Dalam menciptakan pembangunan hingga di tingkat
akar rumput, maka terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk pembentukan desa, yakni: Pertama, faktor
penduduk, minimal 2500 jiwa atau 500 kepala keluarga. Kedua, faktor luas
yang terjangkau dalam pelayanan dan pembinaan masyarakat. Ketiga, faktor
letak yang memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun.
Keempat, faktor sarana prasarana, tersedianya sarana perhubungan,
pemasaran, sosial, produksi, dan sarana pemerintahan desa. Kelima,
faktor
sosial budaya, adanya kerukunan hidup beragama dan kehidupan bermasyarakat dalam hubungan adat istiadat. Keenam, faktor kehidupan
masyarakat, yaitu tempat untuk keperluan mata pencaharian masyarakat.
II.1.4.1 Konsep Otonomi Desa
Widjaja 2003: 165 menyatakan bahwa otonomi desa merupakan otonomi
asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah.
Sebaliknya, pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki
oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum
baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta
dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan. Dengan dimulai dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
yang kemudian disempurnakan dengan dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan landasan
kuat bagi desa
Universitas Sumatera Utara
dalam mewujudkan “Development Community”, dimana
desa
tidak lagi sebagai level administrasi atau bawahan daerah tetapi sebaliknya
sebagai “Independent Community”, yaitu desa dan masyarakatnya berhak
berbicara atas kepentingan masyarakat sendiri. Desa diberi kewenangan untuk
mengaturnya secara mandiri termasuk bidang sosial, politik dan
ekonomi. Dengan adanya kemandirian ini diharapkan akan dapat
meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan sosial dan
politik. Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki
oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang
dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan
berdasarkan penyerahan wewenang dari pemerintah. Desa atau nama lainnya,
yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat
hukum
yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang
diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
Landasan pemikiran yang perlu dikembangkan saat ini adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan
masyarakat. Pengakuan otonomi di desa, Taliziduhu Ndraha 1997:12
menjelaskan sebagai berikut :
a. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan
dilindungi oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat desa
kepada “kemurahan hati” pemerintah dapat semakin berkurang;
b.
Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan seperti sediakala atau dikembangkan sehingga mampu mengantisipasi masa
depan.
Universitas Sumatera Utara
Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan
hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk
tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan
pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang
pemerintahan kabupaten kota diserahkan pengaturannya kepada desa.
Menurut Soetardjo dalam Nurcholis 2011:21 bentuk dan isi otonomi dapat dilihat dari ciri-cirinya, antara lain:
1. Otonomi di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat. Desa secara
otonom mengatur sistem keamanan menyeluruh yang mencakup, membuat, dan memelihara gardu desa, penjagaan di gardu, penjagaan keliling desa,
penjagaan atas keselamatan pengairan dan pembagian air, dan penjagaan lumbung desa.
2. Otonomi di lapangan pertanianpeternakanperikanan. Desa memikul
tanggung jawab atas tersedianya pangan bagi warganya untuk itu, desa mangatur system pengairan dan mengelola lumbung desa.
3. Otonomi di bidang keagamaan. Bagi warga desa pranata keagamaan
mempunyai fungsi khusus, yaitu menciptakan harmoni antar warga desa. 4.
Otonomi di bidang kesehatan rakyat. Desa mempunyai kewajiban menjaga kebersihan rumah dan lingkungan warganya, kandang hewan, selokan-
selokan dalam desa, dan kuburan desa. Secara berkala desa bekerjasama dengan petugas kesehatan mengadakan suntik cacar, disentri, dan malaria.
Universitas Sumatera Utara
5. Otonomi di bidang pengajaran. Pemerintah berkewajiban mendata anak usia
sekolah. Pemerintah desa bertanggung jawab terhadap pemeliharaan gedung sekolah dan keamanan sekolah.
6. Otonomi di bidang perkreditanlumbung desa. Desa mempunyai hak untuk
menyelenggarakan usaha perkreditan bagi warga desanya. Lembaga ini dikenal dengan lumbung desa. Lumbung desa adalah usaha perkreditan yang
diusahakan sendiri dari dan oleh warga desa sendiri yang berbentuk simpan pinjam padi. Pada saat panen, petani menyimpan sebagian hasil panennya di
lumbung desa. Kemudian menjelang musim tanam, padi diambil kembali. 7.
Otonomi di bidang pasar desa. Desa mempunyai hak untuk menyelenggarakan pasar desa. Pasar desa dikelolah oleh sendiri. Penghasilan
dari pasar desa masuk ke kas desa yang selanjutnya dipakai untuk kesejahteraan dan pembangunan desa.
8. Otonomi atas tanah. Desa mempunyai dua hak atas tanah: 1 Hak Yasan dan
2 Hak Komunal. Hak Yasan adalah hak yang diberikan kepada seorang warganya untuk dimiliki secara perorangan atas hak ini, yang bersangkutan
bisa menjual atau memberikannya kepada orang lain. Jadi, hak Yasan ini sama dengan hak milik. Sedangkan Hak Komunal adalah hak untuk memiliki
tanah desa secara tetap. Warga yang menerima hak ini hanya mempunyai hak menggarap. Warga tidak boleh menjualnya. Pemilikannya sepenuhnya tetap
ada pada desa.
Universitas Sumatera Utara
9. Otonomi di bidang Gotong Royong Kerja bakti. Pemerintah desa mempunyai
hak untuk mengerahkan warganya bekerja bakti untuk kepentingan desanya, misalnya pemeliharaan jalan dan panggung, pemerliharaan parit dan selokan,
banjir, rumah roboh, dan lain-lain. 10.
Otonomi di bidang Arisan. Arisan adalah suatu perkumpulan warga desa yang bertujuan menyelesaikan pekerjaan salah satu anggotanya secara bersama
contoh kegiatan-kegiatan yang dilakukan degan cara arisan adalah mencangkul sawah, menanam padi, perayaan desa, dan sebagainya.
11. Otonomi di bidang pengadilan . Pengadilan adalah lembaga hukum asli yang
dimiliki oleh hampir semua desa di Indonesia. Dalam asasnya pengadilan hanyalah menjalankan hukum pendidikan berdasarkan prinsip bahwa hukum
itu ada bukan untuk dilanggar melainkan untuk dihormati dan ditaati. Orang yang melanggar hukum akan merasakan suatu keberatan batin.
Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan tanpa tanggungjawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh
karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam
penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai
tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
menekankan bahwa desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa
dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi
desa
menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dan
kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-
undangan yang berlaku Widjaja, 2003:166.
Universitas Sumatera Utara
II.1.4.2 Pemerintahan Desa