Penerapan The Five C’s Of Credit (5C) Dalam Pemberian Kredit Sebagai Salah Satu Upaya Mengurangi Kemungkinan Terjadinya Kredit Bermasalah (Studi PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan)

(1)

PENERAPAN THE FIVE C’S OF CREDIT (5C) DALAM PEMBERIAN KREDIT SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI KEMUNGKINAN TERJADINYA KREDIT BERMASALAH

(Studi di PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan)

S K R I P S I

Disusun dan diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

MAHRINA ADIBAH NASUTION NIM : 080200122

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan rahmat dan karuniaNya yang diberikan kepada penulis, sehingga peulis dapat mengikuti perkuliahan dan dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan “PENERAPAN THE FIVE C’S OF CREDIT (5C) DALAM PEMBERIAN KREDIT SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI KEMUNGKINAN TERJADINYA KREDIT BERMASALAH (Studi PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan)” disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatra Utara, dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya

Skripsi ini membahas tentang penerapan PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan terhadap kaitannya dalam analisis pemberian kredit yakni the five c’s of credit guna meminimalkan risiko kredit bermasalah seminimal mungkin. Penulis telah mencurahkan segenap hati, pikiran dan kerja keras dalam penyusunan skripsi ini. Namun penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya, baik isi maupun kalimatnya. Oleh sebab itu skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.


(3)

Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Perdata dan juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

4. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata

5. Ibu Puspa Melati, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

6. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu penulis selama menjalani perkuliahan.

7. Teristimewa kepada Orangtua tercinta, Ayahanda Djusman Nasution dan Ibunda Erna Z. yang telah membesarkan dan mendidik Penulis dengan kasih sayang yang tak hentinya memberikan motivasi, semangat dan mendoakan setiap langkah Penulis dalam mencapai cita-cita.


(4)

8. Kepada Kakaku Dini Meilani Nst dan Abangku Achmad Syukri Nst yang telah memberikan motivasi, semangat serta doa kepada Penulis.

9. Kepada sahabat-sahabat Penulis : Astri Grahita Putri SE, Novita Anggraini S.Hut, Swanty Eka Putri SE, Deli Utari S.Kom.

10.Teman-teman seangkatan 2008 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

11.Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT selalu memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita semua. Amin.

Medan, September 2011 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

ABSTRAK ... iii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ...20

G. Sistematika Penulisan ...23

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK A. Pengertian Perjanjian Kredit ...25

B. Bentuk dan Isi Perjanjian Kredit Bank ...32

C. Hapusnya Perjanjian Kredit Bank ...41

D. Jaminan Kredit Bank ...43

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG PENILAIAN ANALISIS THE FIVE C’S OF CREDIT (5C) & KREDIT BERMASALAH A. Penilaian Analisis The Five C’s Of Credit (5C) ...51

B. Pengertian Kredit Bermasalah ...55

C. Penyebab Kredit Bermasalah ...62


(6)

E. Tekhnik Menyelesaikan Kredit Bermasalah...72

BAB IV : PENERAPAN THE FIVE C’S OF CREDIT (5C) MENGURANGI KEMUNGKINAN TERJADINYA KREDIT BERMASALAH (Studi di PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan)

A. Gambaran Umum Mengenai PT. Bank BNI (Persero) Tbk ...77 B. Penerapan The Five C’s Of Credit (5C) dalam Analisis Pemberian

Kredit Untuk Mengurangi Risiko Kredit Bermasalah di PT. Bank

BNI (Persero) Tbk Cabang Medan ...81 C. Hambatan-Hambatan yang Menyebabkan The Five C’s Of Credit

(5C) Tidak Dapat Dilakukan Secara Optimal ...95 D. Cara Mengatasi Hambatan-Hambatan yang Terjadi dalam

Penerapan The Five C’s Of Credit (5C)...99 BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... B. Saran... ... DAFTAR PUSTAKA


(7)

ABSTRAK

Analisis kredit merupakan penilaian terhadap suatu permohonan kredit (baik permohonan kredit baru, perpanjangan/pembaharuan, maupun restrukturisasi) layak atau tidak untuk disalurkan kepada Debitur. Prinsip penilaian kredit yang yang menjadi standar minimal yang lazim digunakan dikalangan perbankan yaitu dengan analisis the five c’s of credit (5C) yaitu: Penilaian Watak (Character), Penilaian Kemampuan (Capacity), Penilaian terhadap modal (Capital), Penilaian terhadap agunan (Collateral), dan Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy). Dalam menganalisis setiap permohonan kredit, kemungkinan kredit tersebut bermasalah pasti ada. Hanya saja dalam hal ini, bagaimana meminimalkan risiko tersebut seminimal mungkin.

Dengan alasan di atas, penulis mengadakan penelitian yang dilakukan di PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan, dengan menggunakan metode analisis data kualitatif yakni menganalisis data didasarkan atas kualitas data selanjutnya dituangkan dalam bentuk deskriptif. Penelitian mulai dilakukan November 2011.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Penggunaan the five c’s of credit (5C) dalam setiap permohonan kredit merupakan hal yang mutlak dan harus dilakukan untuk menentukan keputusan diterima atau ditolaknya suatu kredit. Di PT. Bank BNI (Persero) Tbk Cabang Medan penilaian terhadap permohonan kredit dimulai dengan meneliti proposal dan berkas permohonan kredit dari calon debitur, kemudian dilakukan penyelidikan terhadap berkas pinjaman, selanjutnya dilakukan penilaian kelayakan kredit yang menggunakan analisis the five c’s of credit (5C), sebelum diputuskannya permohonan kredit diterima atau tidak, maka setelah penilaian kelayakan kredit, kemudian melalui tahap wawancara pertama, peninjauan ke lokasi, hingga wawancara kedua. Setelah itu baru diputuskan permohonan kredit tersebut diterima atau tidak. Namun dalam pelaksanaanyan di lapangan ada beberapa kendala sehingga penggunaan the five c’s of credit (5C) dalam analisis pemberian kredit tidak dapat dilaksanakan secara optimal, hal ini karena kesengajaan pihak bank yang terlibat dalam proses kredit yang tidak profesional atau bankir kurang ahli dalam menganalisis atau kesalahan prosedur manejemen bank.


(8)

ABSTRAK

Analisis kredit merupakan penilaian terhadap suatu permohonan kredit (baik permohonan kredit baru, perpanjangan/pembaharuan, maupun restrukturisasi) layak atau tidak untuk disalurkan kepada Debitur. Prinsip penilaian kredit yang yang menjadi standar minimal yang lazim digunakan dikalangan perbankan yaitu dengan analisis the five c’s of credit (5C) yaitu: Penilaian Watak (Character), Penilaian Kemampuan (Capacity), Penilaian terhadap modal (Capital), Penilaian terhadap agunan (Collateral), dan Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy). Dalam menganalisis setiap permohonan kredit, kemungkinan kredit tersebut bermasalah pasti ada. Hanya saja dalam hal ini, bagaimana meminimalkan risiko tersebut seminimal mungkin.

Dengan alasan di atas, penulis mengadakan penelitian yang dilakukan di PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan, dengan menggunakan metode analisis data kualitatif yakni menganalisis data didasarkan atas kualitas data selanjutnya dituangkan dalam bentuk deskriptif. Penelitian mulai dilakukan November 2011.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Penggunaan the five c’s of credit (5C) dalam setiap permohonan kredit merupakan hal yang mutlak dan harus dilakukan untuk menentukan keputusan diterima atau ditolaknya suatu kredit. Di PT. Bank BNI (Persero) Tbk Cabang Medan penilaian terhadap permohonan kredit dimulai dengan meneliti proposal dan berkas permohonan kredit dari calon debitur, kemudian dilakukan penyelidikan terhadap berkas pinjaman, selanjutnya dilakukan penilaian kelayakan kredit yang menggunakan analisis the five c’s of credit (5C), sebelum diputuskannya permohonan kredit diterima atau tidak, maka setelah penilaian kelayakan kredit, kemudian melalui tahap wawancara pertama, peninjauan ke lokasi, hingga wawancara kedua. Setelah itu baru diputuskan permohonan kredit tersebut diterima atau tidak. Namun dalam pelaksanaanyan di lapangan ada beberapa kendala sehingga penggunaan the five c’s of credit (5C) dalam analisis pemberian kredit tidak dapat dilaksanakan secara optimal, hal ini karena kesengajaan pihak bank yang terlibat dalam proses kredit yang tidak profesional atau bankir kurang ahli dalam menganalisis atau kesalahan prosedur manejemen bank.


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dalam dunia modern sekarang ini kegiatan bisnis adalah fenomena yang sangat kompleks karena mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Dalam kehidupan bermasyarakat, seringkali dapat dilihat bahwa aktifitas masyarakat dalam berbisnis tidak terlepas dari peran serta bank selaku pemberi layanan perbankan bagi masyarakat. Bank memiliki peran yang cukup besar dalam lalu lintas bisnis, karena dibutuhkan oleh hampir semua pelaku bisnis. Hal ini yang mendorong pertumbuhan bisnis bank di Indonesia tumbuh dengan pesat, dan tak terelakan adanya persaingan antar bank yang semakin ketat.1

Dalam pembicaraan sehari-hari, bank dikenal sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan giro, tabungan dan deposito. Kemudian bank juga dikenal sebagai tempat untuk meminjam uang (kredit) bagi masyarakat yang membutuhkannya. Di samping itu bank juga dikenal sebagai tempat untuk Peranan perbankan dalam memajukan perekonomian suatu negara sangatlah besar. Hampir semua sektor yang berhubungan dengan berbagai kegiatan keuangan selalu membutuhkan jasa bank. Suka atau tidak suka, sesungguhnya bahwa dunia perbankan memang memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dirasakan bahwa aktifitas yang dijalankan masyarakat sebenarnya selalu berhubungan dengan bank. Oleh karena itu saat ini dan dimasa yang akan datang masyarakat tidak akan terlepas dari dunia perbankan.

1

Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya (Edisi Revisi), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, Hal 1-2


(10)

menukar uang, memindahkan uang atau menerima segala macam bentuk pembayaran dan setoran seperti pembayaran listrik, telepon, air, pajak, uang kuliah, dan pembayaran lainnya.2

Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dana dan penyalur dana masyarakat serta memberikan jasa keuangan. Lembaga perbankan berfungsi sebagai lembaga perantara keuangan antara pihak-pihak yang mempunyai dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lack of funds) serta melayani kebutuhan pembiayaan dan melancarkan mekanisme sistem pembayaran yang mempunyai peranan dan strategis dalam kegiatan perekonomian.3

Dalam perbankan ada berbagai macam bentuk usaha bank dan termasuk di dalamnya usaha memberikan kredit. Kegiatan perkreditan merupakan proses pembentukan asset bank sehingga kredit merupakan asset bank yang memiliki risiko (risk asset) karena aset tersebut dikuasai oleh pihak luar yaitu debitur. Bank harus berusaha mengelola asset tersebut agar kualitas risk asset tersebut menjadi sehat dalam arti produktif sehingga dapat memberikan kontribusi pendapatan yang besar bagi bank.4

Perkreditan merupakan usaha utama perbankan (financial depening),

dimana rata-rata jumlah harta bank di banyak negara ekonomi maju dan berkembang terikat dalam bentuk kredit. Tingginya angka kredit yang tersalurkan

2

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan lainnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal 23.

3

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, (Cet.V), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal.xv.

4


(11)

dari suatu bank dikarenakan dua alasan, yaitu dilihat dari sisi internal dan eksternal Bank. Dari sisi internal, permodalan bank masih cukup kuat dan portofolio kredit meningkat, sedangkan alasan eksternal bank adalah membaiknya prospek usaha nasabah.

Dengan semakin meningkatnya penyaluran kredit, salah satu permasalahan yang sering dihadapi bank dalam hal pemberian kredit, umumnya kredit yang diberikan berakhir menjadi kredit yang bermasalah atau kredit macet atau istilah dalam perbankan disebut Non-Performing Loan (NPL). Tingginya NPL di Indonesia tidak terlepas kurang patuhnya bank-bank di Indonesia terhadap prinsip-prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.5

Kredit bermasalah atau macet memberikan dampak yang kurang baik bagi negara, masyarakat, dan perbankan Indonesia. Likuiditas, keuangan, solvabilitas dan profitabilitas bank sangat dipengaruhi oleh keberhasilan bank dalam mengelola kredit yang disalurkan. Pemberian kredit kepada konsumen atau calon nasabah atau calon debitur adalah dengan melewati proses pengajuan kredit dan melalui proses analisis pemberian kredit terhadap kredit yang diajukan, setelah menyelesaikan prosedur administrasi. Cakupan analisis yang digunakan dalam perbankan adalah paling tidak harus memuat the five c’s of credit (5C), yang merupakan standar minimal yang lazim digunakan dikalangan perbankan yaitu

Bahaya yang timbul dari

kredit bermasalah adalah tidak terbayarnya kembali kredit tersebut, baik sebagian maupun seluruhnya.

5

Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2003, hal 48.


(12)

watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), jaminan (collateral), kondisi ekonomi (condition of economy).

Bank dapat melakukan analisis permohonan kredit calon debitur apabila persyaratan yang ditetapkan oleh bank telah terpenuhi. Terhadap kelengkapan data pendukung permohonan kredit, bank juga melakukan penilaian kelengkapan dan kebenaran informasi dari calon debitur dengan cara petugas bank melakukan wawancara dan kunjungan (on the spot) ke tempat usaha debitur.

Tujuan dari analisis kredit adalah menilai mutu permintaan kredit baru yang diajukan oleh calon debitur ataupun permintaan tambahan kredit terhadap kredit yang sudah diberikan yang diajukan oleh calon debitur lama. Pengujian kemampuan dan kesediaan calon debitur melunasi kredit dipengaruhi faktor internal dan eksternal bank yang dicakup dalam analisis the five c’s of credit (5C), sehingga proses penerapan the five c’s of credit (5C) ini merupakan tahap yang penting dalam kualifikasi pemberian kredit. Maka berdasarkan uraian diatas, penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan dan menyusunnya dalam skripsi yang berjudul “Penerapan The Five C’s Of Credit Dalam Pemberian Kredit Sebagai Salah Satu Upaya Mengurangi Kemungkinan Terjadinya Kredit Bermasalah di PT. Bank BNI (Persero) Tbk Cabang Medan”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut :


(13)

1. Bagaimana penerapan the five c’s of credit (5C) dalam analisis pemberian kredit untuk mengurangi risiko kredit bermasalah di PT. Bank BNI (Persero) Tbk Cabang Medan?

2. Hambatan-hambatan apa saja yang menyebabkan the five c’s of credit (5C) tidak dapat dilakukan secara optimal?

3. Bagaimana cara mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi dalam penerapan the five c’s of credit (5C) ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan secara umum yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sesuai dengan pokok permasalahan yang ada maka tujuan penulisan skripsi adalah:

1. Untuk mengetahui penerapan the five c’s credit (5C) dalam analisis pemberian kredit sebagai salah satu upaya untuk mengurangi risiko kredit bermasalah.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang menyebabkan the five c’s of credit (5C)tidak dapat dilakukan secara optimal.

3. Untuk mengetahui cara mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi dalam penerapan the five c’s of credit (5C).

Adapun manfaat penelitian ini antara lain adalah 1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menambah wawasan dan pengetahuan di bidang karya ilmiah serta dapat melengkapi dan


(14)

mengembangkan perbendaharaan ilmu hukum perdata khususnya di bidang hukum perbankan yang berakitan dengan “penerapan analisis

the five c’s of credit”.

b. Hasil penelitian dapat menjadi referensi dalam pemecahan atas permasalahan yang berkaitan dengan penerapan analisis the five c’s of credit dalam perjanjian kredit bank untuk mengurangi kredit bermasalah dari sudut teori.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para praktisi dan pembuat kebijakan serta dapat memberikan sedikit gambaran bagi berbagai pihak tentang pelaksanaan analisis the five c’s of credit dalam pemberian kredit di PT. Bank BNI (Persero) Tbk Cabang Medan.

b. Penelitian ini merupakan latihan dan pembelajaran dalam menerapkan teori yang diperoleh sehingga menambah pengetahuan, pengalaman dan dokumentasi ilmiah.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini pada awalnya didasarkan pada ide, gagasan, pemikiran dan yang utama adalah ketertarikan terhadap penerapan the five c’s of credit (5C) untuk mengurangi risiko kredit bermasalah, mengingat perkembangan kredit secara positif sangat diharapkan oleh semua pihak, karena hal ini sangat berarti bagi perkembangan dunia perbankan dan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu


(15)

kredit bermasalah hendaklah menjadi soroton kita bersama, agar kredit bermasalah ini dapat dicegah salah satunya dengan penerapan the five c’s of credit

(5C) ini.

Berdasarkan Pengamatan yang dilakukan penulis dengan melakukan penulusuran di kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, belum ditemukan penulisan skripsi yang membahas “penerapan the five c’s of credit

dalam pemberian kredit sebagai salah satu upaya mengurangi kemungkinan terjadinya kredit bermasalah pada PT. Bank BNI (Persero) Tbk Cabang Medan”.

Oleh karena itu keaslian penulisan ini terjamin apa adanya. Kalaupun ada pendapat dan kutipan dari penulisan ini semata-mata adalah faktor pendukung dan pelengkap dalam usaha menyusun dan menyelesaikan tulisan ini. Karena memang hal tersebut sangatlah dibutuhkan untuk melengkapi tulisan ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

Bank sebagai lembaga perbankan merupakan suatu badan usaha yang bergerak dalam bidang keuangan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mendefinisikan bank yakni “sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya, dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.


(16)

Peranan perbankan dalam lalu lintas bisnis, dapatlah dianggap sebagai kebutuhan yang mutlak diperlukan oleh hampir semua pelaku bisnis, baik pengusaha besar maupun pengusaha kecil.

Salah satu produk yang diberikan oleh bank dalam membantu kelancaran usaha debiturnya, adalah dengan pemberian kredit, dimana hal ini merupakan salah satu fungsi bank yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi.

Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, adalah sebagai berikut:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga”.

Di Indonesia kegiatan bank terutama dalam pemberian kredit merupakan salah satu kegiatan bank yang sangat penting dan utama. Perbankan merupakan sumber dana terutama dalam bentuk kredit bagi masyarakat perorangan ataupun badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya atau meningkatkan produksinya.6

6

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta CV, Bandung, 2003, hal 4.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa bank mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap pembangunan melalui kegiatannya menyalurkan kredit kepada masyarakat. Tetapi di dalam Undang-Undang Perbankan sendiri tidak mengkonstruksikan hubungan hukum pemberian kredit dan nasabah peminjam dana.


(17)

Perjanjian kredit, meminjam aturan dalam KUH Perdata yaitu salah satu dari bentuk perjanjian yang dikelompokkan dalam perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata, sehingga landasan aturan yang dipergunakan dalam membuat perjanjian kredit tentunya tidak dapat dilepaskan dari ketentuan yang ada pada Buku III KUH Perdata.

Sistem yang dianut oleh Buku III KUH Perdata lazimnya disebut sistem terbuka, dalam artian mengandung suatu asas kebebasan berkontrak membuat perjanjian. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Maksudnya adalah bilamana suatu perjanjian telah dibuat secara sah, yakni tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan maka perjanjian itu mengikat kedua belah pihak serta tidak dapat ditarik kembali kecuali atas kemufakatan dari kedua pihak itu sendiri dan atau karena alasan- alasan tertentu yang telah ditetapkan Undang-Undang. Karena suatu perjanjian sudah disepakati oleh para pihak, seakan-akan menetapkan undang-undang bagi mereka sendiri dan perjanjian itu tidak mengikuti pihak ketiga yang berada di luar perjanjian.7

Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa perjanjian kredit tidak dikuasai KUH Perdata tetapi perjanjian kredit memiliki identitas karakteristik sendiri. Meskipun perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata tetapi dalam membuat perjanjian kredit tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan maka untuk sahnya setiap perjanjian apapun

7


(18)

termasuk perjanjian kredit harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu kedua belah pihak harus cakap dalam arti dewasa dan tidak ditaruh di bawah pengampuan, ada obyek yang diperjanjikan dan dalam membicarakan sebab yang halal kita harus melihat tujuan dari perjanjian itu dibuat. Tujuan merupakan sebab dari adanya perjanjian, dan sebab yang disyaratkan undang-undang, yaitu harus dihalalkan oleh undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam hukum perdata.

Dalam praktek perbankan sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang tertuang dalam Instruksi Presidium Nomor 15/IN/10/66 tentang Pedoman Kebijakan di Bidang Perkreditan Tanggal 3 Oktober 1966 Junto Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb. Tanggal 8 Oktober 1966 guna mengamankan pemberian kredit, umumnya perjanjian kredit dituangkan dalam bentuk tertulis dan dalam perjanjian baku (standards contact), dimana isi atau klausula-klausula perjanjian kredit tersebut telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (blanko), tetapi tidak terikat dalam suatu bentuk tertentu (vorm vrij). Dengan demikian perjanjian kredit wajib dituangkan secara tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun akta notariil.

Sutan Remy Sjahdeni, mengatakan bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian baku karena hampir seluruh klausula-klausulanya atau isi perjanjian sudah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir oleh pemakainya dan


(19)

pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan.8

8

Sutan Remi Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta 1993 hal 66.

Klausul yang perlu dicantumkan dalam setiap perjanjian kredit adalah syarat-syarat penarikan kredit pertama kali (predisbursement clause), klausul mengenai maksimum kredit (amount clause), klausul mengenai jangka waktu kredit, klausul mengenai bunga pinjaman (interest clause), klausul mengenai barang agunan kredit, klausul asuransi (insurance clause), klausul mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (negative clause), tigger clause atau opeisbaar clause, klausul mengenai denda (penalty clause), expence clause, debet authorization clause, representation and warranties, klausul ketaatan pada ketentuan bank, miscellaneous atau boiler plate provision, dispute settlement (alternative dispute resolution), dan pasal penutup.

Dalam praktek perbankan Indonesia, pemberian kredit disyaratkan oleh bank adanya pengikatan jaminan guna memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dengan barang-barang jaminan tersebut, bila debitor bercidera janji tidak membayar kembali hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.

Menurut Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR Tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit


(20)

“merupakan keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Sedangkan guna memperoleh keyakinan tersebut maka bank sebelum memberikan kreditnya harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur”.

Dalam pemberian kredit ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh bank dalam rangka melindungi dan mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank tersebut untuk disalurkan dalam bentuk kredit, yaitu:

1. Harus dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati-hatian

2. Harus mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan

3. Wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan masyarakat yang mempercayakan dananya pada bank.

4. Harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.

Untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor, maka sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama. Pada umumnya dunia perbankan biasanya menggunakan penilaian umum untuk mendapatkan nasabah yang benar-benar layak untuk diberikan, dilakukan dengan instrumen analisa yang terkenal dengan the five c’s of credit

atau penilaian dengan analisis 5C yang menjadi standar minimal yang lazim digunakan dikalangan perbankan yakni terhadap watak (character), kemampuan (capacity to create sources of funding), modal (capital), agunan (collateral), dan prospek usaha debitor tersebut (condition of economy and sector ofbusiness).


(21)

Adapun penjelasan untuk analisis the five c’s of credit (5C) adalah sebagai berikut 9

1. Penilaian Watak (Character) :

Suatu keyakinan bahwa, sifat atau watak dari orang-orang yang akan diberikan kredit benar-benar dapat dipercaya, hal ini tercermin dari latar belakang si nasabah baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi seperti: cara hidup atau gaya hidup yang dianutnya, keadaan keluarga, hoby dan sosial standingnya. Ini semua ukuran “kemauan” membayar.

2. Penilaian Kemampuan (Capacity)

Untuk melihat nasabah dalam kemampuannya dalam bidang bisnis yang dihubungkan dengan pendidikannya, kemampuan bisnis juga diukur dengan kemampuannya dalam memahami tentang ketentuan-ketentuan pemerintah. Begitu pula dengan kemampuannya dalam menjalankan usahanya selama ini. Pada akhirnya terlihat “kemampuannya” dalam mengembalikan kredit yang disalurkan.

3. Penilaian terhadap modal (Capital)

Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif, dilihat laporan keuangan (neraca dan laporan rugi laba) dengan melakukan pengukuran seperti segi likuidats, solvabilitas, rentabilitas, dan ukuran

9


(22)

lainnya. Capital juga harus dilihat dari sumber mana saja modal yang ada sekarang ini.

4. Penilaian terhadap agunan (Collateral)

Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahannya sehingga jika terjadi suatu masalah, maka jaminan yang ditipkan akan dapat dipergunakan secepat mungkin.

5. Keadaan (Condition)

Dalam melakukan kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi dan politik sekarang di masa yang akan datang sesuai sektor masing-masing, serta prospek usaha dari sektor yang ia jalankan. Penilaian prospek bidang usaha yang dibiayai hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah relatif kecil.

Karakteristik debitur yang Bankable adalah10

1. Character, merupakan sifat-sifat si calon debitur seperti kejujuran, perilaku dan ketaatannya

:

2. Capital, merupakan dan struktur modal termasuk kinerja hasil dari modal itu sendiri dari perusahaan apabila debiturnya merupakan perorangan.

10


(23)

3. Capacity, merupakan penilaian yang diberikan terhadap kemampuan debitur yaitu menyangkut kepemimpinan dan kerjanya dalam perusahaan.

4. Collateral, merupakan kemampuan si calon debitur memberikan agunan yang baik serta memiliki nilai baik secara hukum maupun secara ekonomis.

5. Condition of Economy, yaitu segi kondisi yang sangat cepat berubah. Dalam menganalisis setiap permohonan kredit, kemungkinan kredit tersebut bermasalah pasti ada. Hanya saja dalam hal ini, bagaimana meminimalkan risiko tersebut seminimal mungkin.

Bank selalu berhati-hati dalam menyalurkan kredit, alasannya sederhana, karena bank sangat takut kredit yang disalurkan menjadi bermasalah. Kredit bermasalah tidak menghasilkan pendapatan bunga sama sekali, sehingga pendapatan bank berkurang. Akan tetapi, di sisi lain, bank tetap harus membayar bunga kepada masyarakat penabung/deposan yang menitipkan dananya. Apapun yang terjadi dengan kredit yang disalurkannya, bank tidak dapat menggunakan alasan kredit bermasalah untuk tidak membayar bunga kepada nasabah/deposan. Akibatnya, laba bank akan menurun, dan apabila kredit bermasalah ini terjadi pada suatu skala yang cukup besar, bank akan merugi.

Seperti yang telah dijelaskan diatas, Kredit yang telah diberikan tidak selamanya berkualitas lancar. Pinjaman yang diberikan bank dalam bentuk kredit merupakan riskasset berasal dari dana masyarakat maka memiliki risiko yang tinggi


(24)

yakni tidak kembalinya kredit itu tepat pada waktunya. Akibatnya kredit tidak dapat ditagih sehingga menimbulkan kerugian yang harus ditanggung oleh bank.

Dalam kasus kredit bermasalah, debitor telah dianggap mengingkari janji untuk membayar bunga dan atau kredit induk yang jatuh tempo sehingga terjadi keterlambatan pembayaran atau sama sekali tidak ada pembayaran.

Dapat dikatakan bahwa kredit bermasalah didalamnya meliputi kredit macet, meskipun demikian tidak semua kredit yang bermasalah adalah kredit macet.

Berkenaan dengan kredit bermasalah tersebut dihubungkan dengan perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh debitor atau nasabah. Ada berbagai defenisi mengenai kredit bermasalah:11

1. kredit yang didalam pelaksanaannya belum mencapai/memenuhi target yang diinginka oleh pihak bank;

2. kredit yang memiliki kemungkinan timbulnya risiko di kemudian hari bagi bank dalam arti luas;

3. mengalami kesulitan di dalam penyelesaian kewajiban-kewajibannya baik dalam bentuk pembayaran kembali pokoknya atau pembayaran bunga, denda keterlambatan serta ongkos-ongkos bank yang menjadi beban debitur yang bersangkutan;

4. kredit dimana pembayaran kembalinya dalam bahaya, terutama apabila sumber-sumber pembayaran kembali yang diharapkan diperkirakan tidak

11

Veithzal Rivai dkk, Bank and Financial Institution Management Sharia System, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hal 422.


(25)

cukup untuk membayar kembali kredit sehingga belum mencapai/ memenuhi target yang diinginkan oleh bank;

5. kredit dimana terjadi cidera janji dalam pembayaran kembali sesuai perjanjian sehingga terdapat tunggakan, atau ada potensi kerugian di perusahaan debitur sehingga memiliki kemungkinan timbulnya risiko di kemudian hari bagi bank dalam arti luas;

6. mengalami kesulitan di dalam penyelesaian kewajiban-kewajibannya terhadap baik, baik dalam bentuk pembayaran kembali pokoknya, pembayaran bunga, maupun pembiayaan ongkos-ongkos yang menjadi beban nasabah debitur yang bersangkutan;

7. kredit golongan perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan macet serta golongan lancar yang berpotensi menunggak.

Dalam dunia perbankan internasional, kredit dapat dikategorikan ke dalam kredit bermasalah bilamana

1. Terjadi kterlambatan pembayaran bunga dan atau kredit induk lebih dari 90 hari sejak tanggal jatuh temponya

2. Tidak dilunasi sama sekali, atau

3. Diperlukan negosiasi kembali atas syarat pembayaran kembali kredit dan bunga yang tercantum dalam perjanjian kredit.

Oleh karena itu, terjadinya kredit bermasalah dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Faktor intenal perbankan 2. Faktor eksternal


(26)

3. Faktor kegagalan bisnis

4. Faktor ketidakmampuan manejemen

Dampak kredit bermasalah bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan kredit bank, yakni:

1. Bankir dan karyawan bank

2. Pemilik saham bank yang bersangkutan

3. Nasabah peminjam pembuat kredit menjadi bermasalah 4. Nasabah peminjam lainnya

5. Nasabah pemilik dana atau penabung

6. Sistem perbankan dalam perekonomian negara 7. Pemerintah selaku otoritas moneter

Untuk menyelesaikan kredit bermasalah ada dua strategi yang dapat ditempuh yaitu:

1. Penyelamatan kredit

Untuk mengatasi kredit bermasalah tersebut upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pihak bank pada tahapan pertama adalah upaya penyelamatan kredit, dengan syarat apabila bank mempunyai keyakinan bahwa usaha nasabah masih mempunyai prospek untuk berkembang. Yang dimaksud dengan upaya-upaya bank yang disebut penyelamatan kredit adalah upaya-upaya bank untuk melancarkan kembali kredit yang telah tergolong tidak lancar, diragukan, atau bahkan telah tergolong macet untuk dikembalikan menjadi kredit lancar, sehingga debitor kembali mempunyai


(27)

kemampuan untuk membayar kepada bank, baik bunga maupun pokoknya. Penyelamatan terhadap kredit bermasalah dilakukan dengan cara12

a) Penjadwalan kembali (Rescheduling)

:

Perubahan syarat kredit memperpanjang jangka waktu kredit, sehingga debitur mempunyai waktu lebih lama mengembalikannya. b) Penyesuaian kembali (Reconditioning)

Perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang meliputi kapitalisasi bunga, penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu, penurunan suku bunga, pembebasan bunga.

c) Penataan kembali (Restructuring)

Perubahan syarat-syarat kredit dengan menambah jumlah kredit, dengan menambah equity yakni dengan menyetor uang tunai dan tambahan dari pemilik.

d) Kombinasi 3-R

yakni kombinasi dari tindakan rescheduling, reconditioning, dan

restructuring.

2. Penyelesaian kredit bermasalah

Yakni langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga hukum seperti Pengadilan atau Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara atau badan lainnya dikarenakan langkah penyelamatan sudah tidak

12

Johannes Ibrahim, Bank Sebagai Lembaga Intermediasi dalam Hukum Positif, CV.Utomo, Bandung, 2004, hal 119.


(28)

dimungkinkan kembali. Penyelesaian kredit bermasalah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

a) mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata, atau permohonan eksekusi grosse akta.

b) penyelesaian melalui Panitia Urusan Piutang Negara khusus bagi kredit yang menyangkut kekayaan negara.

F. Metode Penelitian

Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Tekhnik Pengumpulan Data

a. Studi lapangan atau field research

Berkenaan dengan metode field research (studi lapangan) yang dipergunakan, penelitian dilaksanakan pada PT. Bank BNI (Persero) Tbk Cabang Medan.

b. Studi kepustakaan atau library research.

Metode study kepustakaan (library research) yang digunakan mengacu kepada bahan bacaan berupa buku-buku terutama yang membahas tentang the five c’s of credit.

2. Jenis data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan : a. Data primer,

adalah data yang langsung dari sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya dan tidak melalui media


(29)

perantara.13

Wawancara dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan secara langsung kepada responden yang menjadi sampel/informan penelitian dengan teknik yang dipergunakan adalah wawancara yang dilakukan dengan tipe terarah (directive interview) yaitu wawancara menggunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan dahulu.

Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara. Wawancara adalah pengumpulan data dengan cara langsung ke lapangan untuk mencari keterangan dan informasi yang relevan dengan obyek penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara. Pada penelitian ini, wawancara dilakukan kepada pihak-pihak legal BNI mengenai segala hal yang berkaitan dengan penerapan the five c’s of credit dalam pemberian kredit.

14

1) Bapak Kepala Bagian KreditPT. Bank BNI (Persero) Tbk Cabang Medan

Responden dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang berhubungan erat dengan penelitian, dalam hal ini adalah pihak-pihak yang terkait dalam penerapan the five c’s of credit dalam pemberian kredit sebagai upaya mengurangi kemungkinan terjadinya kredit bermasalah di PT. Bank BNI (Persero) Tbk Cabang Medan, yaitu:

2) Appraisal (penilai barang jaminan) dari PT. Bank BNI (Persero) Tbk Cabang Medan

13

Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, Cetakan Kelima, CV Alfabeta, Bandung, 2003, hal.32.

14

Ronny Hanitijo Soemitro, Metedologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia, Jakarta, 1990, hal.59-60.


(30)

3) Legal Officer dari PT.Bank BNI (Persero) Tbk.Cab Medan

Hasil studi lapangan ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dalam praktik tentang bagaimana penerapan the five c’s of credit

dalam pemberian kredit sebagai salah satu upaya mengurangi kemungkinan terjadinya kredit bermasalah dan hambatan-hambatan serta cara mengatasinya yang terdapat pada PT. Bank BNI (Persero) Tbk Cabang Medan.

b. Data sekunder,

adalah data yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

1) bahan hukum primer berupa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perbankan dan peraturan lain yang terkait.

2) bahan hukum sekunder berupa literatur yang berkaitan dengan

The five c’s of credit, buku-buku, makalah dan jurnal.

3) bahan hukum tersier berupa bahan–bahan yang menunjang sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, website resmi dalam internet peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, dokumen, serta


(31)

3. Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu menganalisis data yang didasarkan atas kualitas data yang digunakan untuk memecahkan permasalahan di dalam penelitian ini yang kemudian dituangkan dalam bentuk deskriptif. Alasannya bahwa penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan atau melukiskan secara jelas dan rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala hal yang berhubungan dengan penerapan the five c’s of credit dalam pemberian kredit sebagai salah satu upaya mengurangi kemungkinan terjadinya kredit bermasalah pada PT. Bank BNI (Persero) Tbk Cabang Medan.

G. Sistematika Penulisan

Keseluruhan sistematika yang ada dalam penulisan skripsi ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya dan tidak terpisahkan. Demi memberikan kemudahan dalam penulisan ini, maka penulis menggunakan sistemtika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini merupakan bab pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sitematika penulisan.

Bab II Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Kredit Bank

Dalam Bab ini menyajikan pengertian perjanjian kredit bank, bentuk & isi perjanjian kredit bank, hapusnya perjanjian kredit bank dan jaminan kredit bank


(32)

Bab III Tinjauan Umum Tentang Prinsip Penilaian Analisis Kredit The Five C’s Of Credit (5C) & Kredit bermasalah

Dalam bab ini memaparkan mengenai penilaian analisis the five c’s of credit (5C), pengertian kredit bermasalah, penyebab kredit bermasalah, dampak kredit bermasalah, dan teknik menyelesaikan kredit bermasalah.

Bab IV Penerapan The Five C’s Of Credit (5C) dalam Pemberian Kredit Sebagai Salah Satu Upaya Mengurangi Kemungkinan terjadinya kredit bermasalah (studi di Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan)

Dalam bab ini akan menguraikan hasil penelitian dan pembahasannya yaitu gambaran umum mengenai PT. Bank BNI (Persero) Tbk, penerapan the five c’s of credit (5C) dalam analisis pemberian kredit untuk mengurangi risiko kredit bermasalah di Bank BNI (Persero) Tbk Cabang Medan, hambatan-hambatan yang menyebabkan the five c’s of credit (5C) tidak dapat dilakukan secara optimal dan cara mengatasi hambatan–hambatan yang terjadi dalam penerapan the five c’s of credit (5C).

Bab V Penutup

Merupakan penutup yang memuat kesimpulan dan saran dari hasil penelitian ini dan akan diakhiri dengan lampiran-lampiran yang terkait dengan hasil penelitian yang ditemukan di lapangan yang dipergunakan sebagai pembahasan atas hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(33)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK & KREDIT BERMASALAH

A.Pengertian Perjanjian Kredit

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentangPerubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalambentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kreditdan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Berdasarkan rumusan defenisi bank dapat dipahami pula bahwa fungsi bank adalah selain menghimpun dana masyarakat, juga menyalurkan dana masyarakat dalam bentuk pemberian kredit.

Pengertian perjanjian kredit, dari berbagai jenis perjanjian yang diatur dalam Bab V sampai dengan XVIII Buku III KUH Perdata tidak terdapat ketentuan tentang perjanjian kredit bank. Bahkan dalam Undang-Undang Perbankan sendiri yakni Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan tidak mengenal istilah perjanjian kredit, tetapi istilah perjanjian kredit ditemukan dalam Instruksi Presidium Kabinet nomor 15/EK/10 Tanggal 3 Oktober 1996 Jo. Surat Edaran Bank Negara Indonesia unit I No. 2/539/UPK/Pemb Tanggal 8 Oktober 1996 yang menginstruksikan kepada masyarakat perbankan bahwa dalam


(34)

memberikan kredit dalam bentuk apapun, bank-bank wajib mempergunakan akad perjanjian.

Ketentuan yang berlaku bagi perjanjian diatur dalam buku ketiga KUH Perdata yang berjudul “Tentang Perikatan”, terdapat dalam bab kedua. Perjanjian diatur dalam buku ketiga KUH Perdata karena perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Prof. Mariam Darus, S.H. mengatakan bahwa rumusan persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut adalah rumusan perjanjian.15 Namun defenisi perjanjian sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Pasal 1313 KUH Perdata rumusannya sangat luas.16 Sangat luas, hal mana dapat dilihat dari kata “perbuatan” yang berarti seluruh apa saja dapat diperjanjikan, termasuk misalnya mencakup hal-hal janji kawin, yang perbuatan di dalam KUH Perdata yang menimbulkan perjanjian juga. Dengan demikian, kalau suatu saat nanti pemerintah dengan DPR membentuk KUH Perdata yang baru, maka rumusan pengertian perjanjian tersebut perlu disempurnakan.17

Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

15

Mariam Darus, Hukum Perdata Tentang perikatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1974 hal 151.

16

R.Setiawan, Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1977, hal 49.

17


(35)

melaksanakan suatu hal. 18

1. R Subekti berpendapat

Seperti perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, dan tukar-menukar.

Perjanjian kredit merupakan salah satu aspek yang sangat penting yang menjadi dasar di dalam suatu pemberian kredit, tanpa perjanjian kredit yang ditandatangani antar pihak bank dan kreditur maka tidak ada pemberian kredit tersebut. Perjanjian kredit merupakan ikatan antara bank sebagai debitur dengan pihak lain nasabah peminjam dana sebagai kreditur yang isinya menetukan dan mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak yang berhubungan dengan pemberian atau pinjaman kredit berdasarkan persetujuan atau kesepakatan dalam jangka waktu tertentu yang telah disetujui atau disepakati bersama akan melunasi utangnya tersebut dengan sejumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.

Beberapa pakar hukum berpendapat bahwa perjanjian kredit dikuasai oleh ketentuan-ketentuan KUH Perdata Bab XIII buku III karena perjanjian kredit pada hakikatnya adalah perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1754 KUH Perdata.

“Dalam bentuk apa pun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada pasal 1754 sampai denang pasal 1769.” 19

2. Marhainis Abdul Hay

18

R.Subekti, Hukum Pinjaman, Cetakan IX, Pradnya Paramita, Jakarta 1979, hal 1.

19

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. hal 261.


(36)

“ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam mengganti, mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian kredit bank sebagai konsekuensi logis dari pendirian ini harus dikatakan bahwa perjanjian kredit bersifat riil.”20

3. Wiryono Prodjodikoro

“Ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata itu ditafsirkan sebagai persetujuan yang bersifat riil, berarti perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang bersifat riil, yaitu perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.”

4. Mariam Darus Badrulzaman

“Dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam KUH Perdata Pasal 1754. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yamg meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah.”

Sutan Remy Sjahdeini menyatakan perjanjian kredit memiliki identitas karakteristik sendiri bahwa sifatnya yang konsensual dari suatu perjanjian kredit bank itulah yang merupakan ciri pertama yang membedakan dari perjanjian peminjaman uang yang bersifat riil.21

a. Ciri Pertama bahwa sifatnya yang konsesual dari suatu perjanjian kredit bank yang membedakan dari perjanjian peminjaman uang yang bersifat riil. Bagi perjanjian kredit yang jelas-jelas mencantumkan syarat-syarat tangguh tidak dapat dibantah lagi bahwa perjanjian kredit ditandatangani oleh bank dan nasabah debitor, nasabah debitor belum berhak menggunakan atau melakukan penarikan kredit, masih tergantung kepada telah

Ada 3 ciri yang membedakan perjanjian kredit itu berbeda dengan perjanjian peminjaman uang yang diatur di dalam KUH Perdata, menurut Sutan Remy Sjahdeini.

20

Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan Di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979, hal. 147.

21


(37)

terpenuhinya seluruh syarat yang ditentukan di dalam perjanjian kredit.

b. Ciri Kedua adalah bahwa kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitor tidak dapat digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan yang tertentu oleh nasabah debitor, seperti yang dilakukan oleh peminjam uang (debitor) pada perjanjian peminjaman uang biasa. Pada perjanjian kredit, kredit harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dalam perjanjian dan pemakaian yang menyimpang dari tujuan itu menimbulkan hak kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak, maka berarti nasabah debitor bukan merupakan pemilik mutlak dari kredit yang diperolehnya berdasarkan perjanjian kredit itu, sebagaimana bila seandainya perjanjian kredit itu adalah perjanjian peminjaman uang.

c. Ciri Ketiga, perjanjian kredit bank yang membedakannya dari perjanjian peminjaman uang ialah mengenai syarat cara penggunaannya. Kredit bank hanya dapat digunakan menurut cara tertentu, yaitu dengan menggunakan cek atau perintah pemindah bukuan. Cara lain hampir dapat dikatakan tidak mungkin atau tidak diperbolehkan. Pada perjanjian peminjaman uang biasa, uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya oleh kreditor ke dalam kekuasaan debitor dengan tidak diisyaratkan bagaimana caranya debitor akan menggunakan uang pinjaman itu. Pada perjanjian kredit bank, kredit tidak pernah diserahkan oleh bank ke dalam kekuasaan mutlak nasabah debitor. Kredit selalu diberikan dalam bentuk rekening koran yang penarikan dan penggunaannya selalu dibawah pengawasan bank.

Pada kesimpulannya perjanjian kredit mirip dengan perjanjian pinjam uang maka sebagian dikuasai dalam KUH Perdata, sebagian lainnya tunduk pada peraturan lain yakni Undang-Undang Perbankan. Jadi Perjanjian kredit dapat dikatakan memiliki identitas sendiri tetapi dengan memahami rumusan pengertian kredit yang didefinisikan oleh Undang-Undang Perbankan sendiri maka disimpulkan dasar perjanjian kredit sebagian tetap masih bisa mengacu pada ketentuan KUH Perdata bab XIII.

Meskipun Perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata tetapi dalam membuat perjanjian kredit tidak boleh bertentangan dengan asas atau


(38)

ajaran umum yang terdapat dalam hukum perdata sebagaimana yang termuat dalam Bab I dan Bab II, semua perjanjian baik yang bernama maupun yang tidak bernama, tunduk pada peraturan-peraturan dalam hukum perdata.

Berdasarkan Pasal 1339 dan Pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat disimpulkan elemen dari perjanjian adalah22

A. Isi Perjanjian itu sendiri,

:

Maksudnya adalah apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak mengenai hak dan kewajiban mereka di dalam perjanjian tersebut. B. Kepatutan,

Kepatutan yang dimaksud adalah berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang bersama-sama dengan kebiasaan dan Undang-Undang harus diperhatikan pihak-pihak dalam melaksanakan perjanjian. Sudah tentu undang-undang yang dimaksud oleh ketentuan ini adalah undang-undang pelengkap karena undang- undang yang bersifat memaksa tidak dapat disimpangi oleh para pihak.

C. Kebiasaan,

Kebiasaan yang diatur dalam Pasal 1339 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata adalah kebiasaan pada umumnya (gewoonte) dan kebiasaan yang diatur oleh Pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah kebiasaan setempat (khusus) atau kebiasaan yang lazim berlaku di dalam golongan tertentu (bestending gebruikelijk beding).

D. Undang-undang

22


(39)

Agar suatu perjanjian kredit diakui secara yuridis, harusnya sesuai dengan syarat-syarat sahnya perjanjian atau persetujuan yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang meliputi empat syarat yaitu :

a) Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu, sepakat mengandung arti apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain.

1. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Cakap artinya orang-orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum, yaitu dewasa/akil balik, sehat jasmani dan rohani sehingga dapat membuat suatu perjanjian. Sedangkan yang dianggap tidak cakap menurut hukum yaitu ditentukan dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu :

1) orang yang belum dewasa

2) orang yang ditaruh dibawah pengampuan

3) perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang yang dilarang undang-undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu


(40)

Suatu hal atau obyek tertentu artinya dalam membuat perjanjian apa yang diperjanjikan harus jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan.

3. Suatu sebab yang halal

Suatu perjanjian adalah sah apabila tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum.23

Dibedakan dalam pengertian subyektif dan obyektif. Pengerian Subyektif adalah kejujuran dari pihak terkait dalam melaksanakan perjanjian, Perjanjian kredit juga harus memuat asas-asas perjanjian sebagaimana perjanjian pada umumnya. Menurut Pasal 1338 KUH Perdata bahwa pada dasarnya perjanjian berasaskan:

1. Asas Konsensualitas

Perjanjian terjadi ketika ada sepakat, hal ini dapat dilihat dari syarat-syarat sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata)

2. Asas Kebebasan Berkontrak

Setiap orang bebas untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang. (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata)

3. Asas Pacta Sunservanda

Perjanjian yang dibuat secara sah berlakunya sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata)

4. Asas Itikad Baik

23


(41)

sedangkan pengertian obyektif bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata).

B.Bentuk & Isi Perjanjian Kredit Bank

Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dilakukan secara lisan atau tertulis yang terpenting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUH Perdata. Namun dari sudut pembuktian, perjanjian yang dilakukan secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang kompleks ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan karena perjanjian secara lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah dikemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun haruslah dibuat secara tertulis yang digunakan sebagai alat bukti. Kita menyimpan tabungan atau deposito di bank maka akan memperoleh tabungan atau bilyet deposito sebagai alat bukti. Untuk pemberian kredit perlu dibuat perjanjian kredit sebagai alat bukti.

Dasar hukum yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah 1. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 115/EK/IN/10/1996 Tanggal 10

Oktober 1996, menegaskan bahwa bank dilarang melakukan pemberian kredit dalam berbagai bentuk tanpa ada perjanjian kredit yang jelas antara bank dengan debitur, nasabah atau bank-bank sentral dan bank-bank


(42)

lainnya. Dari sini jelaslah bahwa dalam memberikan kredit dalam berbagai bentuk wajib dibuatkan perjanjian atau akad kreditnya.

2. Surat Keputusan Direksi bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/17/UPB Tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank Bagi Bank Umum, yang menyatakan bahwa setiap kredit yang telah disetujui dan disepakti pemohon kredit dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.

3. Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap bank devisa No. 03/1093/UPK/PKD Tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit. Dengan keputusan-keputusan tersebut maka pemberian kredit oleh bank kepada debiturnya menjadi pasti bahwa:

a) Perjanjian diberi nama perjanjian kredit b) Perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis

Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang dibuat sebagai alat bukti.

Setiap kredit yang diberikan harus dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis yang sekurang-kurangnya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:24

1. memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi kepentingan bank;


(43)

2. memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan-persyaratan kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit dimaksud.

Dalam praktek bank ada dua bentuk perjanjian kredit yaitu :

1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah tangan. Menurut Pasal 1874 KUH Perdata yang dimaksud akta di bawah tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantara pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti. Pengikatan yang dilakukan antara bank dan nasabah tanpa dihadapan notaris.25

Dalam rangka penandatangan perjanjian kredit, formulir perjanjian kredit yang isinya sudah disiapkan bank kemudian disodorkan kepada setiap calon debitur untuk dipahami mengenai syarat-syarat dan ketentuan pemberian kredit tersebut yang sebelumnya syarat- syarat tersebut tidak pernah dirundingkan atau dinegosiasikan dengan calon debitur. Debitur mau tidak mau harus menerima semua persyaratan yang tercantum dalam formulir

Artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard (standaardform) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh bank tersebut termasuk jenis akta di bawah tangan.

25

Jopie Jusuf, Kriteria Jitu Memperoleh kredit bank, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta 2003, hal 165


(44)

perjanjian kredit karena calon debitur dalam posisi lemah karena sangat membutuhkan kredit sehingga apapun persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit calon debitur dapat menyetujui.

2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris atau pengikatan yang dilakukan dihadapan notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Pasal 1868 KUH Perdata akta otentik adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat atau dihadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh bank kemudian diberikan kepada kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notaril dimana notaris dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak yang bersangkutan dalam bentuk akta notaris atau akta otentik.

Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja, kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu kreditur atau lebih dari satu bank).26

26

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta CV, Bandung, 2003. hal 101.

Dengan demikian Perjanjian Kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun akta notariil.


(45)

Perbedaan kekuatan pembuktian perjanjian kredit decara notarial dan secara bawah tangan dapat disarikan sebagai berikut;27

1. Perjanjian bawah tangan

a) jika salah satu pihak menyangkal tanda tangannya, maka pihak lain yang harus membuktikan bahwa tanda tangan yang disangkal itu adalah benar adanya.

b) Salah satu pihak dapat mengajukan alibi bahwa tanda tangan tersebut benar tanda tangannya tetapi pengisiannya diluar pengetahuannya, sehingga di pengadilan perjanjian kredit di bawah tangan tersebut hanya dipakai sebagai permulaan bukti saja, bukan merupakan alat bukti yang sempurna

2. Perjanjian notarial

a) Jika salah satu pihak menyangkal tanda tangannya maka pihak tersebut yang harus membuktikan bahwa tanda tangannya adalah tidak benar atau palsu.

b) jika salinan otentiknya hilang, maka bisa dimintakan lagi kepada notaris yang bersangkutan. Bahkan apabila minutnya (akta asli) hilang, maka salinan otentiknya mempunyai kekuatan yang sama dengan minutnya.

c) membuktikan kebenaran formal, dianggap benar bahwa para pihak menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut dan material

27


(46)

bahwa apa yang diterangkan dalam akta tersebut adalah benar dan tanggal akta mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengikatan secara notarial memberikan kepastian yang lebih tinggi kepada bank. Dengan demikian maka bank lebih suka pengikatan dilakukan secara notarial.

Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis akta yang dibuat sebagai alat bukti sehingga dalam menyusun dan membuat perjanjian kredit harus memenuhi syarat hukum yaitu mencakup:

1. Judul

Perjanjian kredit tidak termasuk perjanjian bernama yang diatur dalam KUH Perdata. Dalam praktek perbankan judul yang digunakan untuk membuat perjanjian kredit berbeda-beda. Ada yang menggunakan judul perjanjian kredit, perjanjian membuka kredit, perjanjian pinjaman, perjanjian pinjam uang. Judul berfungsi sebagai nama dari perjanjian yang dibuat, setidaknya kita akan mengetahui bahwa akta atau surat itu merupakan perjanjian kredit bank.

2. Komparasi

Sebelum memasuki substansi perjanjian kredit bank, terlebih dahulu diawali dengan kalimat komparasi yang berisikan identitas, dasar hukum, dan kedudukan para pihak yang akan mengadakan perjanjian kredit bank. Disini menjelaskan sejelasnya tentang identitas, dasar hukum, dan kedudukan subjek hukum perjanjian kredit bank. Sebuah perjanjian kredit bank akan


(47)

dianggap sah bila ditandatangani oleh subjek hukum yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum yang demikian itu.

3. Substantif

Sebuah Perjanjian Kredit bank berisikan klausula-klausula yang merpakan ketentuan dan syarat-syarat pemberian kredit.

Secara umum isi Perjanjian kredit berisi pihak pemberi kredit, tujuan pemberian kredit, besarnya biaya proyek, besarnya kredit yang diberikan bank, tingkat bunga kredit, biaya-biaya lain, jangka waktu pengembalian, jadwal pengembalian, jadwal pembayaran, jaminan kredit, syarat yang harus dipenuhi sebelum dicairkan, kewajiban nasabah selama kredit belum dilunasi, serta hak-hak yang dimiliki bank selama kredit belum lunas.28

Dalam sebuah perjanjian kredit memuat serangkaian klausula/covenant

dimana sebagian besar dari klausula/covenant tersebut merupakan upaya untuk melindungi para kreditur dalam pemberian kredit yang merupakan serangkaian persyaratan yang diformulasikan dalam kondisi-kondisi kredit dari segi financial hukum.29

28

Juli Irmayanto dkk, Bank dan lembaga keuangan, Universitas Trisakti, jakarta 2004, hal 83.

29

Nortan Joseph (Ed), Commercial Loan Documentation Guide, NewYork, Mathew Bender and co,1989, chapter 11.02 dikutip dari buku Johannes Ibrahim, Bank Sebagai Lembaga Internasional dalam Hukum, CV.Utama, Bandung, 2004.

Klausula atau covenant adalah suatu persetujuan/janji oleh penerima kredit dalam suatu perjanjian untuk melakukan/tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu. Suatu covenant yang menetukan tindaka-tindakan yang harus


(48)

dilakukan disebut positife/affirmative covenant, sedangkan yang tidak boleh dilakukan disebut negative covenant.30

1. Syarat-syarat penarikan kredit pertama kali (Predisbursemt Clause). Klausul ini menyangkut;

Klausula membebankan kewajiban-kewajiban kepada penerima kredit /debitur yang bertujuan melindungi kepentingan pemberi kredit/kreditur. klausula tersebut berusaha untuk menghadapi terjadinya keadaan-keadaan tertentu dari masing-masing bisnis nasabah debitur.

Perjanjian kredit yang baik minimal memuat klausula-klausula yang berhubungan dengan;

a) pembayaran provisi, premi asuransi kredit dan asuransi barang jaminan serta biaya-biaya pengikatan jaminan secara tunai.

b) penyerahan barang jaminan dan dokumennya serta pelaksanaan pengikatan barang jaminan tersebut.

c) pelaksanaan penutupan asuransi barang jaminan dan asuransi kredit dengan tujuan untuk memperkecil risiko yang terjadi diluar kesalahan debitur maupun kreditur.

2. Klausula mengenai maksimum kredit (Amount Clause). Klausula ini mempunyai arti penting dalam beberapa hal, yaitu;

a) merupakan objek dari perjanjian kredit sehingga perubahan kesepakatan mengenai materi ini menimbulkan konsekuensi diperlukannya pembuatan perjanjian kredit baru.

30

Sutan Remy Sjahdeni, Kredit Sindikasi Proses Pembentukan dan Aspek Hukum, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997, hlm 156-157.


(49)

b) merupakan batas kewajiban pihak kreditur yang berupa penyediaan dana selama tenggang waktu perjanjian kredit, yang berarti pula batas hak debitur untuk melakukan penarikan pinjaman.

c) merupakan penetapan berapa besarnya nilai anggunan yang harus diserahkan, dasar perhitungan penetapan besarnya provinsi atau

commitment free merupakan batas dikenakannya denda kelebihan tarik (overdarft).

3. Klausula mengenai bunga pinjaman (Interest Clause). Klausula ini diatur secara tegas dalam perjanjian kredit dengan maksud untuk;

a) Memberikan kepastian mengenai hak bank untuk memungut bunga pinjaman dengan jumlah yang sudah disepakati bersama, karena bunga merupakan penghasilan bank baik secara langsung maupun tidak langsung akan diperhitungkan dengan biaya dana untuk penyediaan fasilitas kredit tersebut

b) Pengesahan pemungutan bunga diatas 6% per tahun asalkan diperjanjikan secara tertulis.

4. Klausula Asuransi (Insurance Clause)

Klausula ini bertujuan untuk pengalihan risiko yang mungkin terjadi, baik atas barang anggunan maupun atas kreditnya sendiri.

5. Klausula mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (Negative Clause) Klausula ini terdiri dari berbagai macam hal yang mempunyai akibat yuridis dan ekonomi bagi pengamanan kepentingan bank sebagai tujuan utama. 6. Tigger Clause atau Opeisbaar Clause


(50)

Klausul ini mengatur hak bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak walaupun jangka waktu perjanjia kredit tersebut belum berakhir. 7. Klausula mengenai denda (Penalty Clause)

Klausul ini mempertegas hak-hak bank untuk melakukan pemungutan baik mengenai besarnya maupun kondisinya.

8. Expence Clause

Klausul ini mengatur mengenai beban biaya yang timbul akibat pemberian kredit, dibebankan kepada nasabah meliputi pengikatan jaminan, pembuatan akta-akta perjanjian kredit, pengangkutan utang, dan penagihan kredit. 9. Deber Autho Rization Clause

Pendebetan rekening pinjaman debitur haruslah dengan izin debitur. 10. Respresentation and Warranties Clause

Klausul ini dimaksudkan pihak debitur menjanjikan dan menjamin semua data dan informasi yang diberikan kepada bank adalah benar dan tidak diputarbalikkan.

11. Pasal-Pasal Penutup

Pasal Penutup merupakan eksemplar perjanjian kredit yang maksudnya mengadakan peraturan mengenai jumlah alat bukti dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kredit secara tanggal penandatanganan perjanjian kredit.


(51)

C. Hapusnya Perjanjian Kredit

Pasal 1381 KUH Perdata mengatur cara hapusnya perikatan, dapat diberlakukan pada perjanjian kredit bank. Umumnya perjanjian kredit bank berakhir karena31

1. Pembayaran :

Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitor, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda, maupun biaya-biaya lainnya yang wajib dibayar lunas oleh debitor. Pembayaran lunas ini baik karena jatuh tempo kreditnya atau karena diharuskannya debitor melunasi kreditnya secara seketika dan sekaligus.

2. Subrogasi (Subrogatie)

Pasal 1382 KUH Perdata menyebutkan kemungkinan pembayaran utang (pelunasan) dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak berpiutang (kreditor), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak kreditor oleh pihak ketiga. Berdasarkan pasal 1400 KUH Perdata, terjadinya subrogasi bisa karena perjanjian atau subrogasi demi undang-undang yang diatur lebih lanjut dalam pasal 1401-1402 KUH Perdata.

3. Pembaruan Hutang (Novasi)

Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang baru, debitor lama dengan debitor baru, dan kreditor lama dengan kreditor baru. Bila utang lama diganti dengan utang baru terjadilah penggantian objek perjanjian yang disebut dengan novasi objektif, utang lama lenyap.


(52)

Dalam hal ini terjadi pergantian subjeknya, maka jika diganti debiturnya disebut novasi subjekti pasif, jika diganti krediturnya disebut novasi subjektif aktif. Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi dalam dunia perbankan adalah dengan mengganti atau meperbarui perjanjian kredit bank yang ada dengan perjanjian kredit yang baru. Otomatis perjanjian kredit yang lama berakhir dan tidak berlaku lagi. Pasal 1413 KUH Perdata menyebutkan 3 cara untuk melakukan novasi, yaitu:

a) dengan membuat suatu perikatan utang baru yang menggantikan perikatan utang lama yang dihapuskan karenanya,

b) dengan cara expromissie, yakni mengganti debitur lama dengan debitur baru,

c) mengganti debitur lama dengan debitur baru sebagai akibat perjanjian baru yang diadakan

4. Perjumpaan Utang (Kompensasi)

Kompensasi adalah perjumpaan dua utang, yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generieke ziken), yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbale balik, dimana masing-masing pihak berkedudukan baik sebagai kreditor maupun debitor terhadap orang lain, sampai jumlah terkecil yang ada diantara kedua utang tersebut. Dasarnya disebutkan dalam pasal 1425 KUH Perdata. Dikatakan jika dua orang saling berhutang satu pada yang lain maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang-piutang, dengan mana utang-hutang antara kedua orang tersebut dihapuskan. Kondisi ini dijalankan bank dengan cara mengkonpensasi barang jaminan


(53)

debitur dengan utangnya kepada bank, sebesar jumlah jaminan tersebut yang diambil alih tersebut.

D. Jaminan Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit biasanya diikuti dengan perjanjian jaminan. Setiap kali ada perjanjian jaminan, pasti ada perjanjian yang mendahuluinya, yakni perjanjian utang piutang disebut perjanjian pokoknya sedangkan perjanjian jaminan adalah perjanjian ikutan atau assecoir artinya ada dan berakhirnya perjanjian jaminan tergantung dari perjanjian pokoknya (perjanjian utang-piutang). Maka pengikatan perjanjian kredit pada saat yang sama juga akan dilakukan pengikatan jaminan.

Pengertian jaminan terdapat dalam SK Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991, yaitu “suatu keyakinan kreditur bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai yang diperjanjikan”.

Dalam peraturan perundang-undangan, mengenai hal jaminan diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata, dan dalam Penjelasa Pasal 8 Undang-Undang No.7 Tahun 1992 yang telah dirubah menjadi Undang-Undang-Undang-Undang No.10 Tahun 1998. Dapat kita ketahui bahwa jaminan erat hubungannya dengan masalah hutang, biasanya dalam perjanjian pinjam-meminjam uang, pihak kreditur meminta kepada debitur agar menyediakan jaminan berupa sejumlah kekayaan dalam rangka kepentingan pelunasan utang, apabila setelah jangka waktu yang telah diperjanjikan tidak debitur tidak melunasi.

Dalam Undang-Undang Pokok Perbankan yang lama yakni Pasal 24 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1967 menegaskan bahwa bank umum tidak memberikan kredit


(54)

tanpa jaminan kepada siapapun maka jelas kredit harus disertai jaminan baik materil atau in-materil. Dalam pasal 8 Undang-Undang No. 7 tahun 1992 menyatakan bahwa dalam memberikan kredit bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam pasal 8 ayat 1 Undang Undang No.10 tahun 1998 menegaskan bahwa dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas etikad baik dan kemapuan debitur serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan hutang yang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

Dari ketiga undang-undang tersebut dapat diketahui bahwa dalam Undang-Undang No.14 tahun 1967 secara tersurat ditekankan keharusan adanya jaminan atas setiap pemberian kredit. Sedangkan Undang-Undang No.7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 tahun 1998, keharusan adanya jaminan terkandung secara tersirat dalam kalimat “keyakinan berdasaran analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Ini berarti bahwa jaminan kredit yang dimaksud dalam Undang Perbankan yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 sekaligus mencerminkan apa yang dikenal dengan “The Five C’s of Credit” yang salah satunya adalah collateral (jaminan) yang harus disediakan oleh debitur.32

32

H.R Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal 207.


(55)

Keberedaan jaminan kredit (collateral) merupakan persyaratan guna memperkecil resiko bank dalam menyalurkan kredit. Jika suatu kredit dilepas tanpa adanya jaminan maka kredit itu akan memiliki resiko yang sangat besar jika investasi yang dibiayai mengalami kegagalan atau tidak sesuai dengan perhitungan semula. Mengenai pentingnya suatu jaminan merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi resiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit.33

Secara khusus, Prof. Soebekti mengatakan bahwa jaminan yang ideal (baik) tersebut dilihat dari

Dapat disimpulkan fungsi jaminan kredit adalah memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapat pelunasan dari hasil penjualan barang jaminan tersebut apabila debitur tidak mampu melunasi hutangnya dalam waktu yang ditentukan dan memberikan kepastian hukum kepada bank bahwa kreditnya akan kembali dengan cara mengeksekusi barang jaminan kredit perbankannya.

34

1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya.

:

2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si penerima kredit untuk melakukan (meneruskan usahanya).

3. Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si debitur.

Jaminan kredit dari calon debitur juga diharapkan dapat membantu memperlancar proses analisis pemberian kredit dari bank, yang dengan demikian jaminan credit atau collateral tersebut haruslah35

33

H.Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 2000, hal 57.

34 Djumhana, Op.Cit hal 56.


(56)

1. Secured, artinya terhadap jaminan kredit tersebut dapat dikatakan pengikatan secara yuridis formal, sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku sehingga apabila dikemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur Pasal tersebut tidak mengharuskan adanya jaminan dalam pemberian kredit. Bank hanya diminta untuk meyakini berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik debitur dan kemampuan dari debitur yang dapat dianalisa dari pendapatan debitur dalam berusaha atau pendapatan dari pekerjaannya seorang pemohon kredit.

2. Marketable, artinya apabila jaminan tersebut harus atau perlu dieksekusikan maka jaminan kredit tersebut dapat dengan mudah dijual atau diluangkan untuk melunasi utang debitur. Marketability berkaitan dengan kemudahan penjualan jaminan atau dengan kata lain, jaminan yang diterima oleh bank haruslah yang laku dijual. Faktor yang mempengaruhi marketability diantaranya: kemudahan akses, lokasi yang strategis, jarak dengan objek-objek vital di masyarakat. Beberapa kondisi yang seringkali dihindari bank dalam menerima jaminan diantaranya: lokasi dekat dengan makam, dibawah tegangan tinggi, tanah helikopter, lebar jalan kurang dari 4 meter, dsb.

Selain istilah jaminan, dikenal juga istilah atau kata-kata agunan. Dalam Kamus Besar Indonesia, tidak membedakan pengertian jaminan maupun agunan, yang sama-sama memiliki arti “tanggungan”. Namun dalam Undang-Undang

35


(57)

No.14 Tahun 1967 dan Undang-Undang No.10 Tahun 1998, membedakan pengertian dua istilah tersebut. Undang-Undang No.14 Tahun 1967 lebih cenderung menggunakan istilah “jaminan” daripada agunan.

Pada dasarnya, pemakaian istilah jaminan dan agunan adalah sama. Namun, dalam praktek perbankan istilah tersebut dibedakan. Istilah jaminan mengandung arti sebagai kepercayaan/keyakinan dari bank atas kemampuan atau kesanggupan debitur untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan agunan diartikan sebagai barang/benda yang dijadikan jaminan utang nasabah debitur. Mengenai agunan sebagai jaminan tambahan, secara tegas diungkapkan dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang perbankan, yang berbunyi

“ agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.” Oleh karenanya jelas bahwa yang dimaksud dengan agunan atau jaminan kebendaan adalah jaminan tambahan.”

Adapun jaminan kredit yang diatur secara khusus dalam praktik dunia perbankan terdiri dari36

1. Jaminan Perorangan (Personal Guaranty) :

Dalam Pasal 1820 KUH Perdata jaminan peorangan disebut bahwa jaminan perorangan adalah suatu perjanjian dengan mana pihak ketiga, guna kepentingan pihak si berpiutang (kreditur), mengikatkan diri untuk

36

Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, PT. Suka Buku, Jakarta, 2010 hal 68-70.


(1)

d. Dari segi Collateral (jaminan), penilaian meliputi barang jaminan yang diserahkan calon debitur kepada Bank sebagai jaminan atas kredit yang diterimanya.

e. Dari segi Condition Of Economy (keadaan ekonomi), menilai keadaan usaha dari calon debitur, serta keadaan pasar dan kebijakan pemerintah pada masa kredit berlangsung.

Faktor yang ada dalam analisis the five c’s of credit (5C) merupakan faktor-faktor penting dalam menjamin mutu kredit. Setiap permohonan kredit yang telah melewati tahap analisi penilaian kredit yakni the five c’s of credit (5C), maka kredit yang berjalan akan menjadi kredit yang faktor risikonya minim. Hal ini dapat berarti bahwa analisis the five c’s of credit (5C) yang baik membantu dalam menghasilkan kredit dengan mutu yang baik dengan faktor risikonya yang rendah.

Sebelum diputuskannya permohonan kredit diterima atau tidak, maka setelah penilaian kelayakan kredit, kemudian melalui tahap wawancara pertama, peninjauan ke lokasi, hingga wawancara kedua. Setelah itu baru diputuskan permohonan kredit tersebut diterima atau tidak.

2. Hambatan-hambatan yang menyebabkan the five c’s of credit (5C) tidak dapat dilakukan secara optimal

a. Penilaian terhadap watak merupakan aspek analisis the five c’s of credit yang paling penting namun harus diakui bahwa untuk mengetahui karakter, bukanlah pekerjaan mudah. Sebaliknya justru merupakan pekerjaan yang paling sulit, dimana menilai watak dan


(2)

kepribadian seseorang membutuhkan kejelian dan kemampuan khusus yang berkaitan dengan isting atau naluri.

b. Penerapan penilaian analisis the five c’s of credit tidak tepat dan ketat, karena sebagian masih dilakukan oleh bankir-bankir yang kurang ahli di bidang analisis tersebut atau bertindak tidak profesional.

c. Penerapan analisis the five c’s of credit (5C) yang dilakukan terhadap permohonan kredit sangat banyak dan dengan berbagai pemasalahan yang cukup kompleks, sementara waktu yang diberikan terbatas, sehingga mengakibatkan penerapan analisis penilaian the five c’s of credit ini menjadi kurang optimal.

3. Cara mengatasi hambatan-hambatan yang dilakukan PT. Bank BNI dengan cara:

a) PT Bank BNI (Persero) Tbk melakukan pengecekan standar yaitu BI checking menerapkan analisis the five c’s credit berdasarkan aspek kredit secara tajam. untuk mengetahui kondisi debitor apakah debitor telah memiliki pinjaman di bank lain apa tidak, selain itu dapat dilihat dari kualitas kredit dari calon debitor bersangkutan dan apakah nasabah yang bersangkutan masuk dalam kategor daftar hitam Bank Indonesia,

b) PT Bank BNI (Persero) tbk melakukan trade checking (konfirmasi kepada pihak ketiga), biasanya checking dilakukan ke supplier, buyer, dan competitor maupun pihak-pihak yang independent. Hal mana diperlukan guna memperoleh informasi mengenai reputasi dan


(3)

kualifikasicalon debitur dalam hubungandagang dengan supplier dan buyer.

c) Menerapkan prinsip analisis the five C’s Of Credit (5C) tersebut berdasarkan faktor penilaian kredit secara tepat dan ketat berdasarkan aspek –aspek analisis kredit.

B.SARAN

Adapun saran-saran yang perlu kiranya penulis sampaikan adalah sebagai berikut :

1. Pemilik atau pemegang saham mayoritas dari Bank Swasta dan pejabat pemerintah (untuk Bank BUMN) memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada manajemen bank secara profesional memutuskan kebijaksanaan perkreditan secara independen sesuai dengan intuisi bisnisnya, sehingga keputusan akan permohonan kredit benar-benar telah melalui analisis dan penilaian kelayakan kredit yang memadai sesuai dengan standar manajemen Bank.

2. Manajemen bank memberikan tenggang waktu yang memadai untuk penilaian kelayakan kredit sehingga pelaksanaan analisis penilaian kredit berjalan optimal dan analisis the five c’s of credit (5C) dapat terpenuhi dalam pemberian kredit.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdulkadir ,Rilda Murniati, 2004, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

As.Mahmoeddin, 2004, Melacak Kredit Bermasalah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Badriyah Harun, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, PT. Suka Buku, Jakarta.

Budi Untung, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta. Gatot Supramono, S.H., 1995, Perbankan Dan Masalah Kredit, Djambatan,

Jakarta.

Gunarto Suhardi, 2006, Risiko Kriminalitas Kredit Perbankan, Universitas Atmajaya, Yogyakarta.

H.R Daeng Naja, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Iswi Hariyani, 2010, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, PT.Gramedia, Jakarta.

Johannes Ibrahim, S.H.,MH, 2004, Bank Sebagai Lembaga Intermediasi dalam Hukum Positif, CV. Utamo, Bandung.

---, 2004, Bank Sebagai Lembaga Internasional dalam Hukum, CV.Utama, Bandung.

Jopie Jusuf, 2003, Kriteria Jitu Memperoleh kredit bank, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

J. Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Juli Irmayanto, 2004, Bank dan lembaga keuangan, Universitas Trisakti, Jakarta. Kasmir, 2000, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

---, 2008, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya (Edisi Revisi), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.


(5)

Lukman Dendawijaya,2009, Manajemen Perbankan, Penerbit Ghalia Indonesia.

Marhainis Abdul Hay, 1979, Hukum Perbankan Di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.

Mariam Darus Badrulzaman, 1974, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman Djamil, Taryana Soenandar, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

M. Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

Rachmadi Usman, S.H., 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia,Jakarta.

R. Setiawan, S.H., 1997, Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung. R. Subekti, 1979, Hukum Pinjaman, Pradnya Paramita, Jakarta.

Siswanto Satojo, 2008, Menangani Kredit Bermasalah Konsep dan Kasus, PT. Damai Mulia Pustaka, Jakarta.

Sugiono, 2003, Statistika untuk Penelitian, CV.Alfabeta, Bandung.

Sutarno, 2003 Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung . Suyanto, 1997, Kelembagaan Perbankan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. St. Remi Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang

Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Insititut BI, Jakarta.

---, 1997, Kredit Sindikasi, Proses Pembentukan Dan Aspek Hukum, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Veithzal Rivai, Andria Permata Veithzal, Ferry N. Idroes, 2007, Bank and Financial

Institution Management Sharia System , Rajawali Pers Jakarta.

Widjanarto, 2003, Hukum dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.


(6)

Peraturan dan Perundang-undangan: Kitab Undang-undang Hukum Perdata

SK Dir Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR Tanggal 12 November 1998, tentang Ukuran Mengenai Kualita Bank.

SK Dir Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR Tanggal 28 Februari 1998, tentang Jaminan Pemberian Kredit.

Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992