Undang, Undang-Undang, Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia bahkan Ensiklopedi baik hukum maupun umum
3. Pengumpulan dan Pengolahan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka
30
yang meliputi sumber primer, yaitu perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan. Sumber
sekunder, yaitu buku-buku literatur ilmu hukum terutama tentang hukum Pidana serta tulisan-tulisan hukum lainnya termasuk media Internet untuk mengakses bahan-bahan
hukum yang relevan dengan permasalahan. Sumber tertier, yaitu Rancangan Undang- undang, Undang-Undang, Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia serta
ensiklopedi. Studi pustaka dilakukan melalui tahap-tahap identifikasi sumber data, identifikasi bahan hukum yang diperlukan dan inventarisasi bahan hukum data yang
diperlukan tersebut. Data yang sudah terkumpul kemudian diolah melalui tahap pemeriksaan editing, penandaan coding, penyusunan reconstructing,
sistematisasi berdasarkan pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang diidentifikasi dari rumusan masalah systematizing.
31
30
Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif.
Lihat: Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 81
31
Editing yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuairelevan dengan masalah; penandaan coding, yaitu memberi catatan atau
tanda yang menyatakan jenis sumber data buku literatur, perundang-undangan, atau dokumen, pemegang hak cipta atau urutan rumusan masalah. Catatan atau tanda akan ditempatkan dibagian
bawah teks yang disebut catatan kaki footnote dengan nomor urut; penyusunan reconstructing, -
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
4. Analisis Data
Data yang berupa dari berbagai sumber baik bahan hukum data hasil pengolahan tersebut dianalisis secara kualitatif, komprehensif dan lengkap,
32
kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil pembahasan kemudian diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
G. Kerangka Teoretis dan Kerangka Konsepsional
a. Kerangka Teoritis
Islam adalah agama para Rasul dan Nabi seluruhnya, dari sejak Nabi Adam.as sampai kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi pemungkas risalah-risalah
Allah SAW.
33
Islam merupakan agama penyempurnaan terhadap ajaran-ajaran agama yang dibawakan oleh Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, dimana Islam
memberikan tuntunan aqidah, syariah dan muamalat, kesemuanya itu tidak lain adalah untuk kemaslahatan ummat. Islam tidak saja berkisar antara ibadah-ibadah
yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan; dan sistematisasi berdasarkan pokok bahasan dan sub-pokok bahasan yang
diidentifikasi dari rumusan malasah systematizing, Ibid, hal. 126
32
Analisis kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan selektif, sehngga memudahkan interpretasi data dan
pemahaman hasil analisis. Konprehensif artinya analisis data secara mendalam dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlupakan, semuanya sudah
masuk dalam analisis. Analisis data dan interpretasi seperti ini akan menghasilkan produk penelitian hukum normatif yang bermutu dan sempurna. Ibid. hlm.127
33
Lihat Al Qur`an dalam surat Al-Baqarah; 128, 132, Al-Maidah; 44, Ali Imran; 52, Al- Araf; 126, Yunus; 72, 84, Yusuf; 101, Al-Naml; 44, Al-Ahqaaf; 15, dan Asy-Syuura; 13
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
yang rutinitas tetapi Islam membawa dan mengajarkan kepada ummatnya seluruh persoalan yang dihadapi dalam kehidupan dunia.
Dengan demikian Islam adalah aqidah, ibadah, manhaj kehidupan dan dukungan-dukungan penguatnya, seperti tergambar dalam tabel berikut ini.
34
Jihad, amar makruf, nahi mungkar, hukum
dan sanksi
Manhaj-manhaj kehidupan, berupa manhaj politik, manhaj
ekonomi, manhaj militer, manhaj pendidikan, manhaj akhlak dan
manhaj sosial
Rukun-rukun
Dukungan- dukungan
Bangunan
Ibada-ibadah berupa: shalat, zakat, puasa dan haji, dan
aqidah yaitu dua syahadat, keimanan kepada Allah,
malaikat, kitab-kitab, para rasul dan hari kiamat.
I s
l a
m
Gambar 1. Bangunan Islam dalam kehidupan
Islam memiliki pandangan yang unik tentang kejahatan dan hukuman diantara semua sistem yang ada di permukaan bumi ini. Islam memiliki komitmen teguh
terhadap keadilan absolut yang sedapat mungkin untuk diwujudkan dalam kemaslahatan kehidupan masyarakatnya. Karena itu semua kejahatan yang dilarang
34
Said Hawwa, Al Islam, Op Cit., hal. 25
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
dalam Islam merupakan perbuatan yang melahirkan kekacauan dan merusak keamanan serta ketertiban dalam masyarakat.
Bila dikaji lebih mendalam posisi hukum di Indonesia, khususnya hukum Islam ternyata masih belum dapat diterapkan secara sempurna, ini mengingat bukan
saja karena penduduknya yang notabene pemeluk agama Islam akan tetapi karena negara Indonesia bukan negara Islam. Namun demikian kedudukan hukum Islam di
bidang keperdataan di Indonesia mendapat tempat yang sangat bagus dalam hukum positif yang merupakan modifikasi norma-norma agama yang kemudian dirumuskan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan, maka lahirlah Undang-Undang No. 7 Tahun 1998 tentang Peradilan Agama. Lalu bagaimana dengan hukum Islam di
bidang pidana, ternyata belum mendapat tempat yang bagus, buktinya hukum pidana Islam dianggap hukum yang mempunyai sifat yang sangat kejam dan tidak selaras
dengan perkembangan zaman modern
35
. Pada hal hukum Islam secara spesifik lebih dari semua hukum manusia dan dapat dipertahankan disetiap zaman.
36
Hukum pidana positif merupakan hukum publik, dimana hukum pidana tersebut memberikan dan menetapkan sanksi pada perlanggaran norma lainnya.
Norma hukum itu adalah norma hukum yang dianggap sangat penting bagi
35
ada dua kelompok besar yang berbeda memegang pendapat bahwa sistem hukum Islam tidak selaras dengan perkembangan zaman. Kelompok pertama, mereka yang tidak punya
pengetahuan baik hukum Islam maupun hukum modern sementara kelompok yang kedua, mengenal hukum modern tetapi tidak tahu apa-apa tentang hukum Islam, lihat Topo Santoso, Menggagas Hukum
Pidana Islam: penerapan syariat Islam dalam konteks modernitas, hal. 16
36
Abdul Qadir Audah Criminal Law of Islam dalam Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: penerapan syariat Islam dalam konteks modernitas, Op Cit., hal. 16
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
kelangsungan hidup masyarakat yang aman dan tertib. Oleh sebab itu hukum pidana pada umumnya memuat aturan-aturan hukum yang mengikat kepada perbuatan-
perbuatan yang memenuhi syarat tertentu, suatu akibat yang berupa pidana. Maka dengan syarat tersebut melahirkan suatu perbuatan pidana yang dapat
dipertanggungjawabkan. Sejalan dengan itu maka KUHP Indonesia memuat dua hal pokok yaitu;
Pertama, memuat pelukisan dari perbuatan-perbuatan orang yang diancam pidana, yaitu syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan Pengadilan menjatuhi
hukuman kepada si pelanggar. Kedua, menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu.
37
Aturan hukum pidana karena itu menjaga dan mempertahankan kepentingan- kepentingan. Memberikan sanksi untuk pencuri, karena menjaga kepentingan harta
benda seseorang dari memiliki barang yang tidak sah, memberi sanksi terhadap penghinaan agar menjaga dan mempertahankan ketertiban dalam masyarakat dan
sebagainya. Semua itu diatur dalam hukum pidana dengan mengedepankan asas bahwa tiada di pidana seseorang jika tidak ada aturannya, di samping itu asas dalam
hukum pidana tidak berlaku surut terhadap perbuatan pidana yang belum ada aturannya. Asas ini yang terdapat dalam Al-Qur`an, yang menekankan bahwa hukum
baru berlaku kalau risalahnya telah sampai kepada ummat atau masyarakat yang bersangkutan.
37
Topo Santoso, Op Cit., hal. 23
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Adapun yang menjadi teori, yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang tindak pidana yang berkaitan dengan kesalahan, karena kesalahan dan
pertanggungjawaban pidana erat kaitannya. Karena adanya kesalahan menyebabkan terjadinya pertanggungjawaban, akan tetapi yang terlihat menunjukkan pada sebuah
kenyataan di lapangan, yang mana terjadi perbedaan dalam praktek hukum yaitu tidak ada satu kesamaan dalam memahami satu bentuk kesalahan dan pertanggunjawaban.
Salah satu pandangan yang dikemukakan oleh Schaffmeister menyebutkan bahwa penggunaan kesalahan sebagai dasar pemidanaan bukan suatu keharusan menurut
perundang-undangan empiris akan tetapi asas normatif.
38
Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Curzon, yang menyatakan bahwa untuk dapat
mempertanggungjawabkan seseorang dan karenannya mengenakan pidana terhadapnya.
39
Schaffmeister menyatakan bahwa istilah kesalahan mempunyai arti yang berbeda jangkauan dan isinya, yaitu kesalahan dipakai sebagai syarat umum untuk
dapat dipidananya perbuatan di samping sifat melawan hukum, dan juga kesalahan dipakai untuk bagian khusus rumusan delik yaitu sebagai sinonim dari sifat tidak
berhati-hati.
40
Kesalahan dalam hukum pidana adalah suatu ikhwal yang tidak dapat dihindari, kesalahan selalu mempunyai kaitannya dengan tindak pidana yang
38
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggungajawaban Pidana tanpa Kesalahan, Cet. I, Jakarta: Predana Media, 2006, hal. 2
39
Chairul Huda, Ibid.
40
D. Schaffmeister, N. Keijzer, dkk., editor J.E. Sahetapy, Hukum Pidana; Kumpulan bahan penataran Hukum Pidana dalam rangka kerjasama Hukum Indonesia - Belanda, cet. III,
Yogyakarta: Liberty, 2004, hal. 85
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
dilakukan oleh setiap orang. Setiap orang tidak ingin terlibat dalam perbuatan terlarang, hanya saja memang patut dan diyakini bahwa orang dapat dipersalahkan
karena tindakannya. Suatu perbuatan harus memiliki sifat layak dipidana, dengan kata lain mempunyai relevansi dari sudut pandang hukum pidana.
Sifat kesalahan mempunyai tingkatan yang berkenaan dengan kesengajaan dolus dan kesalahan dikarenankan kelelaian culpa. Dollus dapat di mengerti
sebagai berbuat dengan kehendak dan maksud untuk memenuhi unsur-unsur delik sebagaimaan dirumuskan dalam kejahatan. Sedangkan culpa dalam perbuatan kurang
mendapat perhitungan terhadap munculnya akibat fatal yang tidak dikehendaki oleh sipelaku tindak pidana.
b. Kerangka Konsepsional
Konsep jinayah atau dalam istilah Indonesia disebut pidana, membicarakan tentang masalah larangan, karena setiap perbuatan yang dilakukan berkaitan dengan
larangan selalu terangkum dalam konsep jinayah yang merupakan perbuatan tersebut dilarang oleh syara. Lahirnya larangan karena perbuatan tersebut mengancam
kehidupan sosial masyarakat atau sendi-sendi kehidupan masyarakat. Kata jinayaat berasal dari bahasa Arab, ia merupakan bentuk jamak dari kata
jinayah yang diambil dari kata janaaya yang berarti memetik. Adapun kata jinayah menurut syari’at Islam ialah segala tindakan yang dilarang oleh hukum syari’at untuk
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
dilakukan.
41
Berkaitan dengan kejahatan, kata al-jinayat dalam bentuk jama’ jinâyah berakar dari kata Janaz-Zanba–Jinayatan, yang berarti melakukan kejahatan, hal ini
disebut dalam bentuk jamak karena modusnya beragam, adakalanya menyangkut jiwa dan anggota tubuh, adaklalanya dengan sengaja dan tidak sengaja tersalah.
42
Kata jinayat atau disebut dengan Fiqh Jinayah merupakan satu bagian dari bahasan fiqh Fikih, kalau pemahaman fiqh itu adalah ketentuan yang berdasarkan
wahyu Allah dan bersifat amaliah operasional yang mangatur tentang kehidupan manusia dalam sistem hubungannya dengan Allah dan manusia, maka fiqh jinayah
secara khusus mengatur tentang pencegahan tindak kejahatan yang dilakukan oleh manusia dan akan diberikan sanksi hukuman sesuai dengan tingkat kejahatan,
karenanya tujuan dari ketentuan itu tidak lain diciptakan Allah adalah untuk mendatangkan kemaslahatan ummat. Hal ini dipertegas oleh hadits Nabi SAW, yang
mengatakan tidak boleh terjadi kerusakan terhadap manusia dan tidak boleh manusia melakukan perusakan terhadap orang lain
43
. Segala bentuk tindakan pengrusakan terhadap orang ataupun makhluk lainnya
di larang oleh agama dan tindakan tersebut merupakan kejahatan atau disebut dengan jinayah atau istilah yang lebih tepat untuk itu disebut dengan jarimah. Fiqh jinayah
41
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 3, diterjemahkan oleh Nur Hasanuddin, Cet. I, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, hal. 399
42
Abd. Rasyid Salim, Meraih Jalan Petunjuk Syarah Bulugul Maram Hidayatul anam Bisyarhi Bulughul Maram min Adillati al Ahkam, penerj. Bahrun Abubakar Ihsan, Lc, Cet. 1,
Bandung: Nuansa Aulia, 2007, hal. 20
43
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, edisi pertama, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal. 253
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
sendiri berbicara tentang tindak kejahatan yang dilarang Allah pada manusia untuk melakukannya dan oleh karenanya ia berdosa kepada Allah dan akan mendapat sanksi
hukuman di akhirat. Ali ‘Audah menyebutkan, Jinayat dalam pengertian istilah adalah perbuatan
yang diharamkan secara syariat, apakah perbuatan itu terjadi terhadap jiwa manusia, hartanya atau selain keduanya.
44
Sedangkan dalam kebanyakan ahli fiqih memberikan pengertian secara mutlak terhadap perbuatan yang terjadi pada manusia saja, seperti
pembunuhan, melukai dan memukul, namun sebagian fuqaha yang lainnya mengkhususkan penggunaan kata jinayat pada jarimah huduud dan qishash.
45
Dalam banyak kesempatan para fuqaha sering menggunakan kata jinayah dengan maksud jarimah, penggunaan kata jarimah ini dimaksudkan pada pembatasan
perbuatan yang dilarang saja. Dengan mengenyampingkan perbedaan pemakaian kata-kata jinayah di kalangan fuqaha, dapat disimpulkan bahwa kata jinayah dalam
istilah fiqih adalah sinonim muradif dengan kata jarimah. Di dalam hukum Islam, setiap tindakan jarimah disebut juga sebagai tindakan
jinayah, baik itu hukuman yang dijatuhkan berupa kurungan, denda atau hukuman yang lebih berat. Di samping itu yang menjadi perhatian tentang jarimah ini dalam
hukum Islam adalah sifat kepidanaan dari suatu tindak pidana, sementara dalam
44
Abdul Qadir ‘Audah, Al-Tasyri’ al-Janaiy al-Islamiy, Muqaranan bil-Qanunil Wadh’iy, Juz Awal, Beirut: Muasasah Risalah, 1996, hal. 67
45
Abdul Qadir ‘Audah, Ibid.67
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
hukum positif yang menjadi perhatian adalah berat ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada si pelaku tindak pidana.
Ada beberapa bentuk pidana atau jinayah dengan istilah jarimah yang disebutkan dalam pidana Islam, di lihat dari segi mengerjakannya, yaitu :
46
1. Dengan cara berbuat atau melakukan tindak pidana, disebut dengan jarimah
ijabiyahdelict commisionis. 2.
Dengan cara tidak melakukanmelaksanakan hal yang diperintahkan, disebut dengan jarimah salabiyahdelict ommisonis.
3. Jarimah ijabiyah taqau bithariq al-salabdelict commisionis per
ommisionem commisa. Jenis jarimah yang ketiga ini adalah menahan seseorang tahanan dengan tidak memberi makan dan tidak memberi minum
sehingga tawanan tersebut meninggal. Hal inilah sebagaimana dicontohkan oleh mazhab Maliki, Syafii dan Hanbali.
Terlepas dari perbedaan pandangan mengenai tentang bentuk atau istilah yang tepat terhadap perbuatan itu disebut jinayat atau jarimah, dalam hal ini jarimah dibagi
ke dalam tiga golongan : 1.
Golongan jarimah hudud, yang terdiri dari perzinahan, menuduh orang lain berzina, meminum minuman khamar memabukkan, merampok, merusak,
membuat onar, murtad dan memberontak.
46
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, kajian kebijakan kriminalisasi dan dekriminalisasi, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal. 130
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
2. Golongan jarimah qishash atau diyat, yang terdiri atas pembunuhan sengaja,
pembunuhan mirip sengaja dan pembunuhan tidak sengaja 3.
Golongan jarimah tazir, yaitu laranganperintah tentang sesuatu hal yang tidak dirumuskan secara pasti, termasuk sanksinya dan pelaksanaan hukumannya
diserahkan kepada pihak penguasa. Pada hakekatnya, di lihat dari karakter atau sifat dari pelanggaran dan
perbuatan pada ketiga golongan di atas, maka hanya jarimah tazir yang dapat dianggap sesuai dengan delik-delik hukum pidana. Sementara itu jarimah hudud dan
jarimah qishashdiyat lebih dogmatis dan menjadi hak Allah yang tidak mungkin diubah atau dikurangi oleh manusia. Hal ini sangat berbeda dengan delik hukum
pidana yang sifatnya dapat diubah, dikurangi, dihapuskan dan diperbaharui sesuai dengan kepentingan hukum atau masyarakat yang senantiasa tumbuh dan
berkembang. Suatu perbandingan bila di lihat dalam Kitab Undang-Undang Pidana Mesir,
terdapat tiga macam penggolongan tindak pidana yang didasarkan kepada berat
ringannya hukuman, yaitu; 1 Jinayah kejahatan; suatu tindak pidana yang
diancamkan hukuman mati, hukuman kerja berat seumur hidup, hukuman kerja berat
sementara dan hukuman penjara Pasal 10, 2 Janhah kejahatan ringan; suatu
tindak pidana yang dijatuhi hukuman kurungan lebih dari satu minggu atau hukuman
denda lebih dari 100 qirasy Pasal 11, dan 3 Mukhalafa pelanggaran; suatu
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
tindak pidana yang dijatuhi hukuman tidak lebih dari satu minggu atau hukuman denda ynag jumlahnya tidak lebih dari 100 qirasy Pasal 12.
47
Islam menetapkan bentuk-bentuk hukuman untuk suatu tindakan kejahatan atau jinayah berdasarkan apa yang ditetapkan sendiri oleh Allah SWT dalam wahyu-
wahyu-Nya dan penjelasannya diberikan oleh Nabi dalam haditsnya. Al-Qur`an telah memaparkan beberapa kejahatan tertentu yang mempunyai dampak negatif terhadap
kehidupan umumnya dan ketertiban khususnya dalam masyarakat. Al-Qur`an juga mewajibkan dijatuhi hukuman terhadap kejahatan dalam upaya mencegah dan
mengurangi kejahatan dalam masyarakat. Kejahatan-kejahatan tersebut berupa kejatahanpelanggaran terhadap jiwa, hal
ini bisa berupa pembunuhan atau perusakan anggota tubuh, Kejahatan terhadap harta benda dalam bentuk pencurian, kejahatan terhadap kehormatan dalam bentuk
penuduhan zina, kejahatan terhadap keturunan dalam bentuk perzinahan, akal dalam bentuk meminum minuman keras khamar, kejahatan terhadap agama dalam bentuk
kemurtadan keluar dari agama Islam dan terhadap perundang-undangan umum kemasyarakatan dalam bentuk menyamun dan membuat kerusakan di muka bumi
ini.
48
47
Ali Yafie, Ahmad Sukarja, Muhammad Amin Suma, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Edisi Indonesia, Jilid I, Jakarta: Kharisma Ilmu, 2008, hal. 88
48
Mahmud Syaltut, Islam Aqidah dan Syariah Al-Islamu Aqidatun wa Syariatun, Op Cit., hal. 610
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Di dalam al-Qur`an ditegaskan bahwa yang termasuk dalam tindak pidana adalah:
49
1. Pembunuhan, al-Baqarah; 178
2. Pencurian sirqah, al-Maidah; 38-39
3. Penzinahan, an-Nur; 3-5
4. Tuduhan penzinahan, 4-5
5. Perusuhan dan pengacau keamanan
6. pemberontakan
7. Kemurtadan
8. Minum Khamar, al-Maidah; 90-91
9. Keengganan melaksanakan hukum Allah, al-Maidah; 44, 45 dan 47
10. Pelanggaran terhadap aturan Allah yang menyebabkan seseorang harus
membayar kafarah ataupun fidiyah, al-Maidah; 89, 95-96
Secara tradisional, bentuk-bentuk pidana Islam itu meliputi :
50
1. Pidana qishash atas jiwa
2. Pidana qishash atas badan
3. Pidana diyat denda ganti rugi
4. Pidana Mati
5. Pidana Penyaliban salib
6. Pidana pelemparan batu sampai mati rajam
7. Pidana potong kaki atau tangan
8. Pidana pengusiran atau pembuangan
9. Pidana cambuk atau dera dan sebagainya
Selain bentuk-bentuk pidana yang tersebut di atas, baik bentuk yang ditegaskan dalam al-qur`an maupun secara tradisional, ada pidana yang dihukum
dengan hukuman hadd. Para fuqaha menyebutnya dengan istilah kejahatan huduud, dimana hukuman dari kejahatan atau tindak pidana tersebut sudah merupakan
49
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op Cit., hal. 132
50
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ibid,. hal. 133
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
ketetapanditetapkan oleh Allah SWT. Syariat Islam telah membatasi kejahatan ini dalam tujuh macam, yaitu
51
: 1.
Zina 2.
Menuduh orang lain berzina 3.
Meminum khamar 4.
Mencuri 5.
Merampok 6.
Menganiaya 7.
Murtad Pengertian hukum Islam diterjemahkan sebagai al~fiqh al Islamy atau dalam
kontek tertentu disebut al syariah al Islamy, dan yang penekanannya lebih besar adalah al fiqh al Islamy.
52
Hasbi Ash Shiddieqi, mendefinisikan hukum Islam itu adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan
masyarakat. Dalam kajian hukum Islam terdapat istilah yaitu; fiqh, syariah dan tasyri
Islam, ketiga istilah ini memiliki keterkaitan tetapi mempunyai makna yang berbeda. Kata Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam yang membutuhkan
pengerahan potensi akal.
53
Karena norma-norma dasar yang terdapat dalam al-qur`an dan hadits banyak yang bersifat global atau umum, perlu dilakukan perumusan secara
mendetil terhadap pemahaman yang umum itu untuk direalisasikan dalam kehidupan
51
Said Hawwa, Op Cit., hal. 658
52
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 7
53
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh–1, Cet., III, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, hal. 2
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
sehari-hari yaitu melalui ilmu Fiqh. Karena itu di dalam fiqh membutuhkan aktualita pemikiran untuk merespon perkembangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Secara definitif Ibnu Subkiy dalam kitabnya Jamu al-Jawami menyatakan bahwa fiqh berarti; ilmu tentang hukum-hukum syari yang bersifat amaliyah yang
digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili
54
Secara leksikal kata Syariah berarti jalan ke tempat pengairan atau jalan yang harus diikuti atau tempat lalu air di sungai
55
di antara pakar hukum Islam memberikan definisi kepada syariah itu dengan segala titah Allah yang berhubungan
dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak.
56
Di samping istilah syariah diterjemahkan oleh Abdullah Yusuf Ali sebagai jalan yang betul yang lebih luas dari sekedar ibadah formal dan ayat-ayat hukum yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad.
57
Namun demikian Pengertian syariah di sini mempunyai dua makna; pertama, makna yang umum yaitu keseluruhan tata
kehidupan dalam Islam, termasuk pengetahuan tentang ketuhanan, dan yang kedua, dalam makna yang khusus yang berkonotasi fiqih yaitu ketetapan hukum yang
dihasilkan dari pemahaman muslim yang memenuhi syarat tertentu tentang Al Qur`an dan Sunnah dengan menggunakan metode tertentu.
54
Ibnu Subkiy, Jamu al-Jawami dalam Amir Syarifuddin, Garis-garis besar Fiqh, Op. Cit., hal 5
55
Amir Syarifuddin, Ibid., hal. 2
56
Amir Syarifuddin, Ibid., hal. 3
57
Abdullah Yusuf Ali dalam Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, Cet. 1, Nanggaroe Aceh Darussalam: Yayasan Nadiya, 2004, hal. 74
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Antara Fiqh dan Syariah menunjukkan hubungan yang sangat erat, karena Fiqh adalah formula yang dipahami dari syariah dan syariah tidak dapat dijalankan
dengan baik tanpa dipahami melalui fiqh. Hukum secara etimologi berarti manu yaitu mencegah, hukum juga berarti qadha yang memiliki arti putusan.
Dalam khazanah ilmu hukum di Indonesia, istilah hukum Islam dipahami sebagai penggabungan dua kata yaitu hukum dan Islam. Hukum adalah seperangkat
perundang-undangan yang mengatur tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.
Pidana jinayah adalah segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seorang mukallaf yang melanggar perintah atau larangan Allah yang dikhitbahkan kepada
orang-orang mukallaf, dikarenakan ancaman hukuman, baik sanksi hukuman itu harus dilaksanakan sendiri maupun dilaksanakan oleh para penguasa ataupun Allah
sendiri akan menghukumnya baik di dunia maupun di akhirat.
58
Istilah jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang, biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqaha,
perkataan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut syara. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan
syara yang diancam Allah dengan hukuman had atau tazir.
59
Istilah jarimah oleh Imam al-Mawardi mendefinisikannya sebagai berikut
60
:
58
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op Cit, hal. 125
59
A. Djazuli, Op Cit, hal. 1
60
A. Djazuli, Ibid., hal. 11
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Segala larangan syara melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan yang diancam dengan hukuman had atau
tazir Dalam hukum Islam syariat Islam, pertanggungjawaban pidana diartikan
pembebenan seseorang dengan hasil akibat perbuatan atau tidak ada perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud
dan akibat-akibat dari perbuatannya itu.
61
Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas 3 tiga dasar yaitu:
62
a. Adanya perbuatan yang dilarang
b. Dikerjakan dengan kemauan sendiri
c. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut
Menurut Djazuli, dalam bukunya Fiqh Jinayah, menyebutkan bahwa pertanggungjawaban pidana didasarkan kepada tiga prinsip, yaitu:
1. Melakukan perbuatan yang dilarang dan atau meninggalkan perbuatan
yang diwajibkan, 2.
Perbuatan tersebut dikerjakan atas kemauan sendiri, artinya si pelaku memiliki pilihan yang bebas untuk melaksanakan atau tidak melakukan
perbuatan tersebut, 3.
Si pelaku mengetahui akan akibat perbuatan yang dilakukan.
63
61
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Op Cit., hal. 154
62
Ahmad Hanafi, Ibid.
63
A. Djazuli, Op Cit., Hal. 242
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Hukuman yang merupakan cara pembebanan pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat, dengan kata
lain sebagai alat menegakkan kepentingan masyarakat, karenanya besarnya hukuman masyarakat harus disesuaikan dengan seberapa besar kejahatan atau tindak pidana
yang dilakukan oleh masyarakat, di samping itu bahwa hukuman tersebut merupakan sesuatu yang diperlukan di tengah-tengah masyarakat sebagai alat untuk mengurangi
berbagai macam kejahatan atau tindak pidana.
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB II EKSISTENSI ASAS DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Asas Hukum Pidana Nasional
Dalam setiap Negara hukum dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya, yaitu segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas
perarturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau
perbuatan administrasi yang dilakukan. Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sampai saat ini, merupakan hukum
pidana yang telah dikodifikasikan, yaitu sebagian besar aturannya telah disusun dalam suatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP. Secara umum hukum
pidana mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpelihara ketertiban umum. Kebutuhan akan kepentingan masyarakat tersebut
satu sama lain tidak akan dapat terpenuhi secara merata dan satu sama lainnya tetap akan berbeda. Tentu saja dalam memenuhi kebutuhan tersebut masyarakat akan
bersikap dan berbuat menurut kebutuhan yang didapatkan. Untuk itu hukum akan memberikan rambu-rambu sebagai batasan tertentu sehingga sikap dan perbuatan
masyarakat tersebut tidak semena-mena dan tidak sebebas-bebasnya, hal ini merupakan salah satu fungsi dari hukum itu sendiri.
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Di samping itu secara khusus hukum pidana berfungsi, yaitu:
64
1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang dan
memperkosa kepentingan hukum tersebut 2.
Memberi dasar legitimasi bagi Negara 3.
Mengatur dan membatasi kekuasaaan Negara Kepentingan hukum rechtsbelang adalah segala kepentingan yang
diperlukan dalam berbagai segi kehidupan manusia, baik manusia sebagai pribadi, manusia sebagai kelompok masyarakat atau manusia sebagai anggota suatu Negara,
yang wajib dijaga, dipelihara dan dipertahankan agar tidak dilanggar atau disewenang-wenangkan oleh sikap atau perilaku maupun perbuatan manusia lainnya.
Memberikan dasar legitimasi bagi Negara dimaksudkan adalah berupa hak untuk menjalankan hukum dengan menjatuhkan pidana, hak untuk menyerang
kepentingan hukum manusia atau warganya adalah berupa kekuasaan Negara yang sangat besar, sehingga Negara dapat menjalankan fungsi dari hukum pidana itu
sendiri yaitu mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi dengan sebaik- baiknya. Akan tetapi sebaliknya perlindungan hukum itu tidak berakibat kepada
terganggunya perlindungan hukum masyarakat lainnya, setidaknya mengurangi atau mengeliminir dari kesewenang-wenangan kekuasaan Negara dalam menjalankan
fungsi hukum itu.
64
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Cet. I, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002, hal 15
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Hukum pidana dibentuk dan disusun dengan maksud dapat mempertahankan kepentingan hukum masyarakat dengan cara dilindungi dan dijaminnya kedamaian
dan ketertiban. Hukum itu sendiri berisikan nilai-nilai dan asas-asas yang dapat dipahami dari aspirasi hukum yang optimal dan dapat dipahami sebagai ukuran untuk
teori hukum dan praktek hukum. Asas hukum merupakan ungkapan-ungkapan hukum yang sangat umum, sebagian merupakan sebagai kesadaran hukum serta keyakinan
kesusilaan kelompok manusia,
65
sebagian yang lain merupakan dasar pemikiran dibalik Undang-undang dan Yurisprudensi. Apabila ada peraturan perundang-
undangan yang tidak didukung oleh suatu asas hukum, maka peraturan itu kehilangan diri dari sifat hukum.
66
Dalam hukum pidana positif dikenal beberapa asas yang penting untuk diketahui, karena dengan adanya suatu asas dapat membuat suatu hubungan dan
susunan agar hukum pidana yang berlaku dapat dipergunakan secara sistimatis, kritis dan harmonis.
Pada hakekatnya asas dari pada hukum pidana itu dapat digolongkan kepada 2 dua macam, yaitu; asas yang dirumuskan di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana atau perundang-undangan lainnya dan asas hukum yang tidak dirumuskan dan menjadi asas hukum yang tidak tertulis dan di anut di dalam yurisprudensi.
67
65
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, terbitan kelima, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, hal. 14
66
Bambang Poernomo, Ibid.
67
Bambang Poernomo, Ibid
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Berkaitan dengan kedua asas tersebut di atas, menjadi hal pokok dalam menjatuhi hukuman pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana.
Tercantumnya asas Tiada suatu perbuatan feit yang dapat di pidana selain berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya dalam
Pasal 1 ayat 1 KUHP adalah asas yang disebut dengan asas legalitas, sering juga dipakai istilah bahasa Latin, yaitu Nullum delictum nulla poena sine praevia lege.
68
Ucapan ini berasal dari Paul Johann Anselm Von Feuerbach 1775 – 1833, seorang sarjana hukum pidana Jerman, dialah yang merumuskannya dalam pepatah Latin,
dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Recht pada tahun 1801.
69
Sering juga
dipakai istilah Latin: ”Nullum crimen sine lege stricta yang dapat disalin istilah
tersebut dengan tiada delik tanpa ketentuan yang tegas.
70
Hazewinkel–Suringa memakai kata-kata dalam bahasa Belanda Geen delict, geen straf zonder een
voorafgaande strafbepaling sebagai rumusan pertama dan Geen delict zoonder een precieze wettelijke bepaling sebagai rumusan yang kedua.
71
68
Andi Hamzah, Azas-azas Hokum Pidana, edisi revisi, cet. kedua, Jakarta: Renika Cipta, 1994, hal. 39
69
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, cet. Keempat, Jakarta: Bina Aksara, 1983, hal. 23
70
Andi Hamzah, Op Cit., hal 40
71
Andi Hamzah, Ibid.
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Ada dua hal yang dapat dirumuskan dari asas tersebut:
72
1. Jika suatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang
diharuskan dan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau pengabaian tersebut harus tercantum di dalam undang-undang pidana.
2. Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian
yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP. Menurut beberapa pengarang dalam ilmu hukum pidana, menyebutkan bahwa
rumusan Nullun delictum berasal dari ajaran Montesquieu yang umumnya terkenal dengan ajaran Trias politika. Kita tahu bahwa maksud ajaran trias politika itu
melindungi kemerdekaan pribadi individu terhadap tindakan sewenang-wenangan dari pihak pemerintah Negara. Di samping itu ajaran Montesquieulah yang
malakukan pertentangan yang hebat terhadap peradilan Arbitrer,
73
tidak saja Montesquieu, John Locke juga memperjuangkannya sebagai suatu keinginan untuk
mewujudkan kepastian hukum bagi perorangan. Dari perjuangannya itu John Locke mendapatkan penghargaan Neersslag dalam Constitusi Amerika dan revolusi
Perancis Bagi Indonesia kiranya semua peraturan dapat dirumuskan secara sederhana
dan terang, sehingga dapat dirasakan dan dimengerti oleh rakyat dan berurat berakar di bumi Indonesia. Hal ini tidak lain dimaksudkan baahwa asas legalitas kiranya
72
Andi Hamzah, Ibid.
73
E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cet. Kesebelas, Jakarta: Sinar Harapan, 1989, hal. 388. lihat juga Oemar Seno Adji, Hukum Acara
Pidana dalam Prospeksi, Cet. Keempat, Jakarta: Erlangga, 1984, hal. 166
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
dapat diperlonggar. Dengan tidak mengenyampingkan asas dalam hukum pidana Indonesia bahwa dalam Pasal 16 Ugolowny Kodex Uni Soviet 1922, menetapkan
antara lain bahwa suatu perbuatan yang kendatipun tidak Tatbestandmassig tidak tercantum dengan tegas dalam Undang-undang, juga diancam pidana pembuatnya,
bila dipandang membahayakan keutuhan masyarakat socially dangerous.
74
Di tinjau dari sisi lain bahwa rumusan Nullum delictum nulla poena sine praevia lege tersebut di atas agak lebih sempit karena menggunakan istilah perbuatan,
sedangkan hukum pidana tidak saja menyangkut perbuatan aktif yang dalam istilah bahasa Indonesia dinamakan perbuatan tetapi juga perbuatan pasif pengabaian,
bahkan dalam hukum pidana ekonomi mengenal adanya peristiwa pidana yang ditimbulkan oleh pembuat yang sudah mati.
75
Perwujudan asas lagalitas hukum dalam lapangan hukum pidana oleh para ahli sering diwujudkan menjadi beberapa masalah yaitu dalam hubungannya antara
The rule of law dengan perlindungan Hak Asasi Manusia, The rule of law dengan proses kriminal, The rule of law dengan pengadilan yang bebas dari pengaruh
kekuatan luar masih banyak lagi permasalahan yang serupa, dan juga bahwa the rule of law kaitannya dengan asas lagalitas yaitu Nullum delictum nulla poena sine
praevia lege poenali tetap tegak dalam bentuknya di tengah-tengah perubahan dan pergolakan masyarakat, dengan pengaruh dan effeknya terhadap kehidupan hukum
sebagai suatu palladium dari kepastian hukum dan persamaan dalam hukum. Roelan
74
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidna I, Cet. II, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 36
75
Zainal Abidin Farid, ibid., hal. 131
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Saleh menyatakan bahwa asas itu merupakan dasar pokok tentang perbuatan pidana, karena tanpa adanya ketentuan hukum pidana lebih dahulu mengenai apa yang
dilarang dan apa yang diperintahkan untuk dilakukan maka tidaklah diketahui adanya perbuatan pidana.
76
Perumusan asas legalitas dimaksudkan supaya dalam menentukan perbuatan- perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan
yang harus dituliskan dengan jelas, akan tetapi juga macamnya pidana akan diancamkan. Dengan demikian, maka orang yang akan melakukan perbuatan yang
dilarang akan dapat diketahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan.
Nah dari itu dapat diketahui bahwa asas legalitas mengandung makna, diantaranya ;
77
1. Ketentuan dapat dipidananya suatu perbuatan harus terjadi melalui Undang-
undang yang dibuat oleh Negara atau berdasarkan kekuatan Undang-undang dalam arti formal.
2. Bahwa pembentukan Undang-undang yang lebih rendah dapat membuat peraturan
pidana selama mendapatkan legitimasi dari undang-undang dalam arti formal
76
Zainal Abidin Farid, ibid., hal. 42
77
Teguh Prasetyo dan Adul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Op Cit., hal. 26
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
tetapi tidak boleh menciptakan sanksi pidana selain yang ditentukan oleh undang- undang dalam arti formal.
78
Asas ini mengandung makna asas perlindungan, yang secara histories merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan penguasa di zaman Ancien Regime
serta jawaban atas kebutuhan fungsional terhadap kepastian hukum yang menjadi keharusan di dalam suatu Negara liberal pada waktu itu. Sekarang pun keterikatan
negara-negara hukum modern terhadap asas ini mencerminkan keadaan bahwa tidak ada suatu kekuasaan Negara yang tanpa batas terhadap rakyatnya dan kekuasaan
Negara pun tunduk pada aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan.
B. Asas Hukum Pidana Islam
Sejak 14 abad yang lalu, hukum pidana Islam telah menjadi pionir dalam menerapkan hukum yang berlandaskan kepada sumber yang valid dan akurat, yaitu
Al–Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, yang merupakan sumber asli dari ajaran Islam. Namun 14 abad kemudian rasanya hukum pidana Islam sudah
mengalami perubahan yang cukup parah, sampai-sampai sumber hukum Islam yang aslipun dalam gambaran umum para ahli hukum sudah buram. Hal ini tidak lain
karena anggapan bahwa sistem hukum yang berlaku sekitar abad 7 ini yang lahir di padang yang tandus sudah dianggap ketinggalan zaman dibandingkan dengan sistem
78
Undang-undang dalam arti formal dimaksudkan bahwa Undang-undang yang dibuat berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
hukum modern saat ini. Seiring dengan anggapan ini bahwa masyarakat berubah maka hukumpun mengalami perubahan dalam memenuhi kehidupan, idepun berlanjut
bahwa hukum lama telah ketinggalan zaman. Anggapan ini adalah salah besar karena telah membandingkan syariat Islam
dengan hukum modern, lalu mengklaim bahwa syariat Islam tidak selaras lagi dengan kehidupan modern saat ini.
Hukum Islam hadir di muka bumi ini sebagai hukum yang menyempurnakan hukum-hukum lain dan juga menjadi pedoman bagi hukum modern saat ini.
Di lihat dari segi keberlakuan hukum Islam di Indonesia, mempunyai 2 alasan,
yaitu; Pertama, berlakunya hukum Islam secara normatif, artinya bagian hukum
Islam yang mempunyai sanksi kemasyarakatan apabila hukum Islam itu di langgar. Bagian hukum ini terutama hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan. Dipatuhi atau tidak dipatuhui hukum Islam itu dalam masyarakat sangatlah
tergantung pada keyakinan dan kesadaran keimanan ummat Islam itu sendiri. Kedua,
berlakunya hukum Islam secara yuridis formal yaitu bagian hukum yang mengatur hubungan antara manusia dan mengatur hubungan manusia dengan makhluk yang
lainnya. Di Indonesia bagian hukum Islam yang dijadikan sebagai hukum positif,
karena perundang-undangan menghendaki untuk itu. Lihat saja pada Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hukum Kewarisan berdasarkan Pasal 49
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria jo PP No. 5 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.
79
Hukum Islam sebagai salah satu bidang ilmu hukum, telah banyak dipelajari secara ilmiah, tidak saja oleh orang Islam itu sendiri akan tetapi oleh banyak orang
yang bukan beragama Islam, sejak masa pemerintahan penjajahan Hindia Belanda sampai saat ini.
Pada perkembangan selanjutnya muncul kecenderungan mempelajari ajaran Islam sebagai bahan kajian perbandingan dengan hukum lain. Hal ini muncul karena
adanya kenyataan terhadap pengakuan dan ketinggian nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam, yang meliputi semua aspek kehidupan manusia. Islam tidak hanya
mengatur hubungan dan kepentingan penganut agamanya saja akan tetapi mengatur hubungan dan kepentingan manusia yang bukan beragama Islam sekalipun, inilah
yang disebut dengan Islam rahmatan lil alamin. Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di Paris pada tahun 1952, para
peserta yang menghadiri the week of Islamic Law pekan hukum Islam yang terdiri
dari para ahli perbandingan hukum menyatakan bahwa: Asas-asas hukum Islam mempunyai nilai yang tinggi yang tidak dapat diperkaitkan lagi di dalam
keputusan lain dinyatakan bahwa: dalam berbagai Mazhab yang ada di lingkungan besar hukum Islam, terdapat kekayaan pemikiran hukum serta teknik yang
mengagumkan yang memberi kemungkinan kepada hukum Islam dan untuk
79
Suparman Usman, Hukum Islam:Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Cet. Kedua, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, hal. 5
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
berkembang memenuhi semua kebutuhan dan penyesuaian yang dituntut oleh kehidupan modern.
80
Sebagaimana tersebut pada sub Bab di atas, bahwa baik hukum pidana Belanda maupun hukum Pidana Indonesia, terdapat asas legalitas sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, meskipun sudah berumur ratusan tahun yaitu sejak tahun 1886 sampai saat sekarang, maka dalam hukum pidana Islam juga
mengenal asas Legalitas yang berkenaan dengan unsur formal hukum Pidana Islam.
Di dalam lapangan hukum pidana Islam juga terdapat beberapa asas yang sudah umum dipakai dalam hukum Islam.
1. Asas Legalitas
Dalam hukum Islam juga mengenal asas legalitas, yang berkenaan dengan unsur formal hukum pidana Islam yang merupakan salah satu aturan pokok yang
sangat penting. Asas legalitas dalam hukum pidana Islam Fiqh Jinayah berbunyi: Tidak ada tindakan pidana dan tidak ada sanksi hukuman atas sesuatu tindakan tanpa
ada aturannya
81
atau tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada Undang-undang yang mengaturnya.
82
80
Maulana Muhammad Ali, Din Al Islam Islamilogi dalam Suparman Usman, Hukum Islam:Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Ibid., hal . 9
81
Teguh Prasetyo dan Adul Halim Barkatullah, Op Cit., hal. 27
82
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, HAL. 131
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Asas ini didasarkan kepada al-Qur`an surat al-Isra, ayat 15, artinya: …….dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutuskan seorang Rasul. Pada surat
al–Qashsash ayat 59, artinya: Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat
Kami kepada mereka,…….
83
Kedua ayat tersebut di atas memberi gambaran bahwa Allah SWT tidak akan mengazab siapapun juga kecuali jika Allah SWT telah menurunkan atau mengutus
seorang Rasul sebagai pembawa kebenaran dan kejelasan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh ummat. Dari itu maka timbullah kaidah :
ゾ⇒レャや キヱケヱ モら⇒ホ ¬Κ⇒ボ⇒バャや メゅ⇒バ⇒プΕ ユム⇒ェΙ
“ ∃Sebelum ada nash ketentuan, tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang
yang berakal sehat”
84
Pengertian dari kaedah ini adalah bahwa perbuatan orang- orang yang cakap mukallaf tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dilarang,
manakala belum adanya nash ketentuan yang melarangnya dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya. Pengertian kaedah
tersebut identik dengan kaedah lain yang menurut mazhab Syafii adalah:
85
ヴ娃娃娃ヤハ モ⇒娃娃娃Βャギャや メギ娃娃娃Α ヴ娃娃娃わェ る娃娃娃ェゅよΗや ¬ゅΒ⇒娃娃娃セΕや ヴ娃娃娃プ モ⇒娃娃娃タΕや ユΑゲエわャや
83
Departemen Agama RI., Al-Qur`an dan Terjemahnya, Jakarta: Atlas, 2000, hal. 426 dan hal. 619
84
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Op Cit., hal. 58
85
Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh al-Qowaidul Fiqhiyyah, Cet. II, Jakarta: Kalam Mulia, 2001, hal. 25
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Hukum yang pokok dari segala sesuatu itu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkan.
Dengan demikian semua perbuatan dan semua tindakan tidak berbuat dibolehkan dengan kebolehan yang asli, artinya bukan kebolehan yang dinyatakan
oleh syara. Jadi selama belum ada nash yang melarang maka tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan dan sikap tidak berbuat dan ia mempunyai kebebasan
untuk melakukan dan meninggalkannya perbuatan tersebut. Jelas bahwa Tuhan tidak menjatuhkan hukuman kepada manusia sebelum memberitahukan kepada mereka
melalui Rasul-Nya, maka dalam Islam tidak ada kejahatan tanpa pemberitahuan jelas dan tidak ada pidana tanpa peringatan.
Dari kedua kaedah tersebut di atas, maka untuk menyatakan bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan kejahatan atau jarimah yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban kepada mereka yang melakukannya diperlukan syarat bagi mukallah tersebut, yaitu:
86
1. Pelaku sanggup memahami nash-nash syara yang berisi hukum taklifi
2. Pelaku orang yang pantas dimintai pertanggungjawaban dan dijatuhi
hukuman.
86
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah, Cet. Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, 31
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Sedangkan syarat untuk perbuatan yang diperintahkan ada 3 macam, yaitu:
87
1. Perbuatan itu mungkin dikerjakan.
2. Perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan
kemampuan mukallaf, baik untuk mengerjakan maupun meninggalkannya. 3.
Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf dengan sempurna, hal ini berarti: a.
Pelaku mengetahui hukum-hukum taklifi b.
Pada ketentuan hukum itu sendiri ada faktor yang mendorong seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat.
Asas legalitas tersebut sudah terdapat dalam syariat Islam sejak 14 abad yang lalu, separti yang dibawakan oleh al-Qur`an. Dengan demikian syariat Islam telah
mendahului hukum-hukum positif. Asas legalitas diberlakukan dalam lapangan hukum pidana Islam, berdasarkan
pada suatu perbuatan dan beratnya sanksi bagi perbuatan itu dengan beberapa kategori. Para sarjana hukum pidana Islam, mengklasifikasikan dalam 3 tiga
kategori, yaitu : 1.
Kejahatan-kejahatan hudud, sanksi bagi kejahatan ini diberikan dan ditetapkan oleh al-Qur`an sebagai hak mutlak dari Allah SWT dan Sunnah
Rasulullah SAW 2.
Kajahatan-kajahatan qishash, yaitu kejahatan terhadap jiwa dan badan
87
Ibid., hal. 31, lihat juga Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Cet. III, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, hal. 59
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
3. Kejahatan-kejahatan tazir, yang hukumannya ditetapkan oleh hakim
penguasapemerintah Prinsip asas legalitas diterapkan pada kejahatan-kejahatan hudud dan qishash
merupakan prinsip yang telah ditetapkan dengan sangat tegas dan jelas yang hukumannya atau sanksinya dari perbuatan tersebut telah ditetapkan oleh syara dan
prinsip ini juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat yang kemudian meletakkan dasar prosedur-prosedur khusus dan sanksi-sanksi yang sesuai. Maka dari
itu ada beberapa perbuatan yang telah ditentukan, sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur`an;
a. Perbuatan zina; surat al-Isra ayat 32, surat an-Nuur ayat 2 dan 4
b. Perbuatan mencuri dan perampokan; surat al-Maidah ayat 38 dan 33
c. Perbuatan riddah keluar dari Islam; surat al-Baqarah ayat 217 dan surat
al-Imran ayat 85 d.
Perbuatan pemberontakan; surat al-Hujarat ayat 9 e.
Perbuatan pembunuhan; surat al-Baqarah ayat 178, 179 dan 194, al-Isra ayat 33, surat al-Maidah ayat 45 dan surat an-Nahl ayat 126.
Perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan hukumannya juga disebutkan dalam as-Sunnah, antara lain disebutkan bahwa bila seorang gadisperjaka muhsan
melakukan perzinaan maka hukumannya adalah jilid 100 kali serta diasingkan, sementara untuk pelaku yang jandaduda ghairu muhsan maka baginya 100 kali jilid
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
dan dirajam,
88
dan banyak hadits-hadits lainnya yang menyangkut tentang hukuman terhadap perbuatan-perbuatan sebagaimana tersebut di atas.
Untuk menerapkan asas legalitas ini dalam hukum pidana Islam terdapat keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas tetapi juga melindungi
kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga dan masyarakat malalui katagori kejahatan dan sanksinya.
2. Asas tidak berlaku surut