BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan kepada hukum rechtstaat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia UUD 1945 yaitu Negara Indonesia berdasarkan atas hukum rechtstaat, tidak berdasarkan kekuasaan belaka macht staat.
1
Dengan tujuan sebagaimana disebutkan di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila.
Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki ciri khas Indonesia, karena mempunyai pandangan hidup bernegara yaitu Pancasila dan
Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka Negara Hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila.
2
Sebagai Negara Hukum yang bersumber dari Pancasila maka sudah barang tentu produk hukum yang
1
Lihat, penjelasan umum tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia pasca Amandemen
2
Oemar Senoadji, Peradilan Bebas Negara Hukum dalam Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam,
Implementasinya pada periode Negara Madinah dan masa kini, ed. 2, Cet. I, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal. 93
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
dilahirkan merupakan suatu cita-cita atau nilai yang diserap dari norma-norma kehidupan masyarakat serta budayanya.
Timbul pertanyaan, apakah penggunaan kata-kata rechtsstaat tersebut, Indonesia merupakan negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental
ataukah sistem pemerintahan Anglosaxon. Walaupun Negara Indonesia menggunakan kata rechtsstaat di dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,
namun sistem hukum yang digunakan bukan kedua-duanya. Karena konsep negera hukum Pancasila sendiri mempunyai ciri-ciri antara lain
3
: 1.
Ada hubungan yang erat antara Agama dengan negara 2.
Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa 3.
Kebebasan beragama dalam arti positif 4.
Ateisme tidak dibenarkan dan Komunisme dilarang 5.
Azas kekeluargaan dan kerukunan.
Selain ciri-ciri tersebut di atas, Oemar Seno Adji menyebutkan bahwa adanya perlindungan tentang hak asasi manusia yang dijunjung tinggi, suatu kekuasaan
kehakiman yang bebas, adanya asas legalitas, substansial dan formal, juga diterima sebagai Negara hukum Pancasila baik secara sistem Common Law maupun Civil Law
dan Social Legality.
4
Dengan melihat pada ciri-ciri negara hukum Indonesia, maka hukum yang digunakan tidak saja hukum tertulis akan tetapi hukum tak tertulis juga dapat
3
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum:Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan masa kini,
Muhammad Tahir Azhary, ed. 2, Cet. I, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal. 97
4
Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, Cet. I, Jakarta: Erlangga, 1985, hal. 21
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
dijadikan sebagai hukum. Hukum yang menjadi rambu pengendali dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan sebagainya. Di samping itu sudah menjadi asas umum dalam sistem hukum di Indonesia bahwa Undang-Undang lebih
tinggi kedudukannya dari peraturan lainnya. Hukum pidana yang kini berlaku di Indonesia yang dikenal dengan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, selanjutnya disingkat dengan KUHP, merupakan Kitab Undang-Undang peninggalan penjajahan Belanda yang dilandasi oleh falsafah
yang berbeda dengan falsafah yang dianut oleh bangsa Indonesia. Walaupun demikian KUHP tersebut sudah dilakukan perubahan sejak tahun 1981 dan selesai
pada awal tahun 1993
5
yang seterusnya sampai dengan tahun 2000 telah dihasilkan sebuah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia.
Hukum pidana merupakan hukum tentang penjatuhan sanksi, ikhwal penegakan norma-norma aturan-aturan oleh alat kekuasaan negara yang ditujukan
untuk melawan dan memberantas perilaku yang mengancam keberlakuan norma tersebut lebih tampak di sini dibandingkan dalam bidang-bidang hukum lainnya,
hukum pidana karena itu pertama-tama adalah hukum tentang sanksi.
5
Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Indonesia, diterjemah oleh: Tristam Pascal Moeliono, Marjanne Termorshuizen-Arts dan Widati Wulandari, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003 hal. XXXVII
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Hukum pidana merupakan lingkaran terluar dari hukum demikian pernah dikatakan oleh G.E. Mulder, Guru Besar Emeritus Hukum Pidana dari Universitas
Nijmegen.
6
Bila dibandingkan dengan hukum Sipil yang menyoalkan tentang pentaatan kepada hukum dan persoalan ganti rugi. Hukum pidana tidak menawarkan
tentang perlindungan menyeluruh atas kepentingan dan kebendaan hukum akan tetapi hukum pidana mengupayakan melawan sebagian kecil dari bentuk-bentuk
pelanggaran hukum. Hukum pidana juga menjaga dan mempertahankan norma-norma materil secara fragmentaris.
7
Di dalam KUHP diatur batas-batas berlakunya aturan pidana, dasar penghapus, pemberat dan peringan pidana, penyertaan melakukan tindak pidana, serta
gabungan tindak pidana dan sebagainya.
8
Masalah pidana atau pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami perubahan, hal mana merupakan suatu yang wajar
dalam perkembangan manusia, karena itu manusia selalu berupaya untuk memperbaharui tentang suatu hal demi meningkatkan kesejahteraannya dengan
mendasarkan diri pada pengalamannya di masa yang lalu. Pidana dan pemidanaan terkait erat dengan filosofi pemidanaan, sebagai filsafat sudah barang tentu akan
selalu mengalami ketidakpuasan. Karena itu Guru besar hukum pidana di Universitas Leiden, Van der Hoeven menyatakan dengan nada kecewa bahwa ahli-ahli hukum
6
Jan Remmelink, Hukum Pidana…, Ibid., hal. 7
7
Jan Remmelink, Hukum Pidana…, Ibid.., hal. 8
8
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam:Penegakan Syariat dalam wacana dan agenda, Cet.I, Jakarta: Gema Insani, 2003, hal. 82
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
pidana tidak dapat menjelaskan tentang dasar-dasar dari hak memidana dan juga sebab apa kita memidana.
9
Sistem pidana dan pemidanaan yang dikembangkan dalam aliran klasik pada abad ke XVIII dengan paham indeterminisme, yaitu dengan menekankan pada
perbuatannya, bukan pada pelakunya. Namun aliran ini ditentang oleh aliran modern yang lahir pada abad ke XIX yang mencari sebab kejahatan dengan memakai metode
ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati atau mempengaruhi penjahat secara posistif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Dalam perkembangannya aliran
neo-klasik mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan terhadap pelaku tindak pidana, aliran ini dipengaruhi oleh aliran modern dengan prinsip
individualisasi pidana adalah modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak dan doktrin pertanggungjawaban pidana. Akibat dari pengaruh aliran tersebut
diperkenankannya adanya kesaksian ahli expert testimony untuk menentukan derajat pertanggungjawaban pidana.
10
Dari itu muncullah ide individualisasi pidana dengan karakteristik antara lain:
11
1. Pertanggungjawaban pidana bersifat pribadiperorangan asas personal;
2. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah asas culpabilitas; tiada
pidana tanpa kesalahan 3.
Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku, ini berarti harus ada kelonggaranfleksibelitas bagi hakim dalam memilih sanksi
9
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 2
10
Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, M. Sholehuddin, Cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003, hal. 27
11
M. Sholehuddin, Ibid., hal. 27. lihat juga Barda Nawawi Arief dalam Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 43
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
pidana jenis maupun berat ringannya sanksi dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana perubahanpenyesuaian dalam pelaksanaannya
Di dalam konsep hukum pidana Indonesia didasarkan kepada perbuatan dan pembuatannya, dua hal ini harus menjadi sokoguru dari hukum pidana yang
kemudian menjadi azas pokok yaitu azas legalitas dan azas kesalahan yang ditetapkan dalam pasal tersendiri yaitu Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 28, maka tentang tindak pidana
dan pertanggungjawaban pidana diberi keterangan yang lebih jelas, masing-masing dalam Pasal 12 dan Pasal 27.
12
Pada Pasal 27 konsep KUHP 19821983 menyatakan pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang obyektif ada pada
tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku secara obyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena
perbuataanya.
13
Dasar adanya tindak pidana merupakan azas legalitas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan
dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, terutama dibatasi pada
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dolus, dapat dipidananya delik culpa hanya bersifat pengecualian eksepsional apabila secara tegas oleh Undang-undang
mengaturnya. Sedangkan pertanggungjawaban terhadap akibat-akibat tertentu dari suatu tindak pidana yang oleh Undang-undang diperberat ancaman pidananya, hanya
12
Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1987, hal. 67
13
Djoko Prakoso, Ibid., hal. 75
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
dikenakan kepada terdakwa apabila ia sepatutnya telah dapat menduga kemungkinan terjadinya akibat itu atau apabila sekurang-kurangnya ada kealpaan.
14
Di samping hukum pidana dari civil law
15
dan dari common law
16
, semestinya para ahli hukum pidana juga menerima keberadaan hukum pidana Islam, sayangnya
di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak digagas untuk penerapan hukum pidana Islam. Barangkali hukum pidana Islam dianggap sebuah
hukum yang kejam.
17
Pada hal penerapan sanksi hukumannya tidak bisa dilakukan jika tidak terdapat bukti-bukti dan saksi-saksi yang kuat dan akurat.
Hukum modern seperti KUHP di Indonesia, dalam penerapannya dikenal dengan beberapa asas, sementara dalam hukum pidana Islam juga telah dikenal asas
yang sama sebagaimana dikenal dalam hukum modern. Seperti asas legalitas yaitu Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali tiada delik tiada hukuman
sebelum ada ketentuan terlebih dahulu, hukum pidana Islam juga mengenal hal seperti itu sebagaimana disebutkan dalam Al~Qur`an
18
dan sebagainya.
14
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Edisi Kedua Edisi Revisi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 86
15
Dianut di Negara-negara Eropa Kontinental dan bekas jajahannya seperti India, Perancis, Jerman, Belanda, Mesir, Indonesia dan sebagainnya
16
Dianut di Negara-negara Anglosaxon Inggris dan bekas jajahannya seperti Ingris, Malaysia, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Kanada dan sebagainnya
17
Hukum Islam dianggap kejam hanya dilihat dari segi penerapan sanksi hukumannya saja seperti potong tangan bagi para pencuri, cambuk 80 kali bagi perampok dan pemabuk, cambuk
100 kali atau rajam sampai mati bagi penzina laki-laki ataupun perempuan, dan sebagainya. Namun tidak di lihat kenapa sanksi hukuman yang seperti itu diterapkan tidak lain adalah untuk melindungi
hak-hak yang ada pada ummatnya.
18
Q.S. Al Israa`: 15, artinya, …dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat tentang baik atau tidak baik, cocok atau tidak cocok penerapan hukum pidana Islam di Indonesia, manakala
muncul persoalan tentang sanksi hukumannya yang dianggap sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Pada hal apabila diteliti dari sudut pandang Islam itu sendiri,
maka akan terlihat jauh lebih baik dan bahkan hukum pidana Islam juga telah memenuhi prinsip-prinsip hukum pidana modern bahkan telah mendahuluinya.
19
Pertanggungjawaban pidana di dalam hukum Islam merupakan pembebanan kepada seseorang sebagai akibat perbuatannya atau tidak berbuat dalam delik
omisi
20
yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud- maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu.
21
Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas tiga hal,
22
yaitu : 1.
Adanya perbuatan yang dilarang 2.
Dikerjakan dengan kemauan sendiri 3.
Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut. Kalau ketiga aspek tersebut dimiliki oleh seseorang dalam suatu perbuatan, maka
akan terdapat pertanggungjawaban pidana namun apabila aspek tersebut tidak
19
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam…, Op Cit, hal. 10
20
Kata omisi atau ommision berarti tidak melakukan perbuatan yang menjadi lawan dari kata komisi atau komission yang berarti melakukan perbuatan yang berakibat kepada adanya hukuman
atau ancaman hukuman. Lihat juga E.Utrecht dalma Hukum Pidana I, yang menyebutkan bahwa delik omissionis adalah pelanggaran sesuatu yang diperintah dengan kata lain delicta ommisionis adalah
tidak membuat sesuatu yang oleh undang-undang pidana diperintahkan sedangkan delik commissionis adalah pelanggaran sesuatu yang dilarang, dengan kata lain delicta commissionis adalah membuat
seseuatu yang oleh undang-undang pidana dilarang.
21
Hanafi dalam Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam:Penegakan Syariat dalam wacana dan agenda, Cet. II, Jakarta: Asy Syaamil Press dan Grafika, 2001, hal. 166
22
Topo Santoso, Ibid., hal. 166, lihat juga Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1967, hal. 154
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
terpenuhi maka kepada seseorang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Dengan adanya syarat tersebut terlihat bahwa yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana hanyalah orang dewasa, mempunyai akal pikiran yang
sehat serta mempunyai kemauan sendiri. Apabila tidak, maka tidak ada pertanggungjawaban pidana padanya, sehingga dia punya akal pikiran yang bisa
memahami dan mengetahui serta mempunyai pilihan terhadap apa yang akan dilakukannya. Karenanya pertanggungjawaban pidana tidak bisa dimintakan kepada
orang gila, anak-anak, orang dungu, dan orang yang sudah hilang kemauan serta orang yang dipaksa dan terpaksa. Dengan kata lain bahwa pelaku tindak pidana yang
dapat dimintakan pertanggungjawaban adalah ia mukallaf, yaitu yang dapat dipertanggungjawabkan perbuatan pidana.
Berdasarkan hal ini, syariat Islam tidak mengenal tempat tanggungjawab pidana kecuali manusia hidup, mukallaf yang menikmati kebebasan memilih pada
saat berbuat. Nash-nash syariat menegaskan makna ini dengan jelas malalui sabda Rasulullah SAW, yang menyatakan :
23
Pena diangkat dari tiga hal: dari anak-anak sampai dia mimpi, dari orang tidur sampai terjaga dan dari orang gila sampai ia waras
Tidak dituntut dari ummatku kesalahan, kelupaan dan apa yang dipaksakan kepada mereka
23
Said Hawwa, Al Islam, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al Kattani, Arif Chasanul Muna dan Sulaiman Mapiase, Cet. Pertama, Jakarta: Gema Insani, 2004, hal. 694
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
dan Allah berfirman:
24
....tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa memakannya sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pila melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya….. Karena itu konsep pertanggungjawaban pidana dalam al Qur`an adalah bahwa
seseorang mukallaf telah melakukan perbuatan yang haram atau yang dilarang oleh agama.
Syariat Islam berpendapat bahwa pertanggungjawaban atas suatu tindakan kejahatan dipikul oleh si penjahat itu sendiri. Dengan demikian dibatalkan sistem
pertanggungjawaban yang berlaku di zaman jahiliyah dalam masalah kejahatan pembunuhan, dimana suatu suku harus memikul tanggungjawab atas perbuatan yang
dilakukan oleh salah seorang anggota suku tersebut.
25
Dalam kaitan itu al-qur`an menyatakannya dalam surat al-Baqarah; 178, yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba dan wanita dengan wanita, maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula, yang demikian itu suatu keringanan dari Tuhan kamu
dan suatu rahmat, barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih
24
Al Qur`an Surat al Baqarah: 173
25
Mahmud Syaltut, Islam Aqidah dan Syariah Al-Islamu Aqidatun wa Syariatun, diterjemahkan oleh Abdurrahman Zain, Cet. Pertama, Jakarta: Pustaka Amani, 1986, hal. 620
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Di dalam Fiqh Jinayat, pertanggungjawaban pidana didasarkan kepada tiga prinsip,
26
Pertama; Melakukan perbuatan yang dilarang dan atau meninggalkan perbuatan yang diwajibkan, Kedua; Perbuatan tersebut dikerjakan atas kemauan
sendiri, artinya si pelaku memiliki pilihan yang bebas untuk melaksanakan atau tidak melakukan perbuatan tersebut, Ketiga; si pelaku mengetahui akan akibat perbuatan
yang dilakukan. Hukuman yang merupakan cara pembebanan pertanggungjawaban pidana
dimaksudkan untuk memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat, dengan kata lain sebagai alat menegakkan kepentingan masyarakat, karenanya besarnya hukuman
harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kesadaran masyarakat. Pada dasarnya pengertian pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif
dengan pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam syariat Islam tidak jauh beda, hanya saja beberapa bentuk hukum positif yang menegakkan
pertanggungjawaban pidana atas filsafat jabar determinisme, fatalisme
27
Berkaitan dengan uraian di atas, maka menarik untuk diteliti tentang asas-asas dalam pertanggungjawaban pidana dan faktor-faktor serta pertanggungjawaban
pidana di lihat dari perspektif hukum Islam, dengan harapan ditemukannya konsep yang tepat dalam perspektif hukum Islam.
26
A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Edisi Revisi, Cet. Ketiga, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 242
27
Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1967, hal. 156
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
B. Perumusan Masalah