Namun setelah revolusi Perancis pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dasar falsafah kebebasan berkehendak yang disebut dengan teori tradisionalisme
mazhab taqlidi, kebebasan berkehendak dimaksudkan bahwa seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas dasar pengetahuan dan pilihan, menurut
teori ini seseorang yang pada usia tertentu dapat memisahkan dan membedakan mana yang dikatakan perbuatan baik dan mana yang tidak baik.
112
B. Objek pertanggungjawaban pidana
Pertanggungungjawaban pidana hanya dapat dilakukan jika sebelumnya telah terjadi suatu tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan dijatuhi pidana kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana.
113
Dengan demikian pertanggungjawaban pidana itu akan terjadi manakala perbuatan atau tindak pidana telah dilakukan oleh seseorang yang menurut Undang-
undang bahwa perbuatan tersebut di larang, kepadanya layak dimintakan pertanggungjawaban.
Pada hakekatnya pertanggungjawaban pidana mengandung makna pencelaan pembuatorang subjek hukum atas tindak pidana yang dilakukannya objek hukum,
secara objektif si pembuatorang telah melakukan kejahatan atau pelanggaran sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh Undang-undang, dengan demikian asas legalitas
112
Ali Yafie, Ahmad Sukarja, Muhammad Amin Suma, dkk, ibid., hal. 64
113
Moeljatno, Asas-asas hukum pidana dalam Chairul Huda, Dari tiada pidana tanpa kesalahan menuju kepada tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Op Cit. hal. 19
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
menjadi tolok ukur dan secara subjektif si pembuatorang mempunyai kepatutan untuk dapat dimintai pertanggungjawaban berarti tolok ukurnya adalah kesalahan.
1. Manusia
Menurut teori tradisional, orang merupakan subjek hukum yang mempunyai kewajiban hukum atau suatu hak. Jika suatu hak itu dipahami bukan semata sebagai
hak reflek melainkan kewenangan hukum untuk mendesak dipenuhinya kewajiban hukum untuk berpartisipasi dalam penciptaan keputusan pengadilan yang membentuk
sebuah norma individual yang memberikan sanksi sebagai rekasi dari tidak terpenuhinya suatu kewajiban. Jika seseorang individu merupakan subjek kewajiban
hukum atau memiliki kewajiban hukum maka hanya berarti bahwa perilaku tertentu dari individu itu yang merupakan isi dari kewajiban yang ditetapkan secara hukum.
Persyaratan terhadap pertanggungjawaban pidana yang ditentukan dalam hukum Islam adalah orang mukallaf,
114
yang memiliki pengetahuan dan pilihan. Hal ini sangat alamiyah karena memang pada manusia memiliki kedua hal tersebut
sedangkan pada makhluk lain seperti binatang atau hewan atau yang sejenis dengan itu tidak memiliki kedua hal tersebut. Dengan pengetahuan menunjukkan bahwa
114
Mukallaf adalah muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama pribadi muslim yang sudah dapat dikenai hukum. Seseorang berstatus mukallaf bila ia telah
dewasa dan tidak mengalami gangguan jiwa maupun akal. www:Google.co.idwikipedia.orgwiki agamaRabu, 9 Juli 2008, 20.15 WIB
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
manusia bisa melakukan sesuatu perbuatan dengan mengetahui akan maksud dan tujuan dari perbuatan itu.
Untuk dapat menjalankan kewajiban agama seseorang harus mempunyai pengetahuan, karena dengan pengetahuan dia akan mengarahkan manusia pada hal-
hal yang baik meskipun tidak jarang bahwa dengan pengetahuan seseorang itu melakukan yang tidak baik. Pengetahuan akan menentukan pada perbuatan yang
dilakukan. Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilakukan pada anak-anak yang belum dewasa, orang gila, ataupun pada hewan dan orang yang telah mati.
Dalam pandangan hukum positif dengan munculnya aliranmazhab wadi yang menggunakan falsafah jabar menetapkan bahwa seseorang melakukan tindak pidana
tidak dengan kehendak sendiri akan tetapi adanya dorongan dari faktor-faktor yang bukan berada dalam kekuasaannya, seperti genetik, lingkungan dan budaya, maka
pelaku tindak pidana tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dalam arti pelaku tidak dapat dikenai hukuman.
2. Badan Hukum
Esensi dari apa yang dinamakan badan hukum yang dipersamakan oleh ilmu hukum tradisional dengan orang secara fisik, digambarkan secara
jelas dalam analisis terhadap kasus-kasus tertentu dari badan hukum. Ia biasanya didefinisikan sebagai komunitas individu yang terhadap mereka
tatanan hukum menetapkan kewajiban dan memberikan hak untuk tidak dianggap sebagai kewajiban dan hak individu-individu yang membentuk
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
badan usaha sebagai anggotanya. Karena kewajiban dan hak dalam beberapa hal berkaitan dengan kepentingan individu dan tetap bukan merupakan
kewajiban dan hak mereka, maka keduanya diinterpretasikan sebagai kewajiban dan hak badan usaha, dengan demikian badan usaha itu dianggap
sebagai person.
115
Pada abad pertengahan sebelum revolusi Perancis, hukum telah menentukan bahwa manusia, hewan, orang yang telah mati bahkan benda
matipun dapat dimintai pertanggungjawaban jika menimbulkan sesuatu yang membahayakan orang lain atau bagi masyarakat. Timbul pertanyaan, apakah
suatu badan hukum publik dapat dimintai pertanggungjawaban dan dikenai sanksi. Suatu pertanyaan yang harus kita temukan jawaban dengan bijak,
yang mana hukum Islam awal-awal kelahirannya telah mengenal badan- badan hukum yang memiliki hak-hak milik dan dapat mengadakan tindakan
tertentu, namun badan hukum tersebut dalam Islam tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena badan hukum tidak memiliki pengetahuan dan
pilihan. Kalaupun kemudian ada orang-orang yang melakukan tindakan terlarang dengan mengatas-namakan badan hukum atau koorporasi maka
badan hukum atau koorporasi tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, hanya kepada orang tersebut atau pengurus dari badan
hukum itu yang dapat dibebani pertanggungjawaban
115
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-dasar ilmu hukum normatif Pure Theory of Law, penerjemah, Raisul Muttaqien, Cet. II, Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2007, hal. 196
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Akan tetapi pada tahun 1950 ditemukan bahwa sejumlah gemeenten dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang
Pembangunan kembali wederopbouwwet yaitu membangun tanpa memiliki izin membangun dan dapat dikenai sanksi pidana denda.
116
Disinggung di dalam sejarah perundang-undangan Memorie van ToelichtingMvT bahwa
di dalam kasus tersebut jika dilakukan penuntutan maka dianggap tidak menguntungkan dan dapat dilakukan pembatalan dengan melakukan koreksi
administratif sehingga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
117
Dapat dilakukan pengecualian bahwa jika muncul situasi yang berbeda dimana
suatu oraganisasi atau badan hukum secara administratif melibatkan diri dalam hal tersebut. Namun demikian harus menjadi perhitungan kita
terhadap koorporasi yang berkemungkinan dapat melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang oleh Undang-undang, dengan demikian dapat
diandaikan bahwa perilaku koorporasi akan selalu merupakan tindakan fungsional.
C. Faktor-faktor pertanggungjawaban pidana dan tingkatannya