BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM ISLAM
D. Kemampuan Bertanggungjawab
Seperti yang telah disebutkan dalam Bab pertama bahwa pertanggungjawaban pidana dalam Islam syariat adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan
atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya. Dalam syariat
hukum Islam, pertanggungjawaban itu didasarkan pada tiga hal : 1.
Adanya perbuatan yang dilarang 2.
Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri 3.
Pelaku mengetahui akibat dari perbuatan itu. Apabila adanya ketiga hal tersebut di atas, maka pertanggungjawaban itu ada
pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana kejahatan, namun sebaliknya maka tidak ada perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu tidak dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana pada orang gila, anak-anak yang belum mencapai umur baliqh atau orang yang dipaksakan untuk melakukan perbuatan
kejahatan, yang mengakibatkan terancam jiwanya. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, hukum Islam hanya membebankan
hukuman pada orang yang masih hidup dan mukallaf, hukum Islam juga mengampuni anak-anak dari hukuman yang semestinya dijatuhkan bagi orang dewasa kecuali jika
ia telah baliqh. Hal ini didasarkan pada dalil al-Qur`an surat an-Nur, ayat 59, yaitu;
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
... リ娃ョ リΑグ娃ャや ラクほわ娃シやゅヨミ やヲルクほわジ娃Βヤプ ユ娃ヤエャや ユムレ娃ョ メゅ娃ヘデΙや ヒヤよ やクまヱ
ユヰヤらホ ...
Artinya; “…dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklan mereka juga meminta izin, seperti orang-orang yang lebih dewasa meminta izin…”
Hukum Islam tidak juga menjatuhkan hukuman terhadap pelaku yang dipaksa dan orang yang hilang kesadarannya. Atas dasar ini seseorang hanya
mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap apa yang telah dilakukanya dan tidak dapat dijatuhi hukuman atas tindak pidana orang lain. Prinsip dasar yang
ditetapkan dalam hukum Islam adalah segala sesuatu yang tidak diharamkan berarti dibolehkan, akan tetapi jika suatu perbuatan diharamkan, hukumannya dijatuhi sejak
pengharamannya diketahui. Adapun perbuatan yang terjadi sebelum pengharaman maka ia termasuk dalam kategori pemaafan.
Dapatkah suatu badan hukum mempertanggungjawabkan diri secara pidana dalam Islam? Ahmad Hanafi menjawabnya secara negatif dengan alasan tiadanya
unsur pengetahuan perbuatan dan pilihan dari badan-badan hukum itu. Namun orang- orang yang bertindak atas nama badan hukum tersebut dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana apabila terjadi perbuatan yang terlarang.
124
Faktor yang menyebabkan terjadinya pertanggungjawaban pidana adalah dikarenakan perbuatan
124
Topo Santoso, Menggagas hukum Pidana Islam…, Op Cit., hal. 166
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
maksiat pelanggaran-pelanggaran yaitu meninggalkan yang disuruhdiwajibkan oleh syara’ dan mengerjakan yang dilarang oleh syara’.
Pembebasan pertanggungjawaban itu merupakan ketetapan agama yang telah digariskan dalam al-Qur`an dan Hadits Nabi. Satu riwayat menyebutkan bahwa ketika
Ali bin Abi Thalib berkata kepada Umar bin Khathab; tahukah sengkau terhadap siapa kebaikan dan kejahatan itu tidak dicatat dan mereka tidak bertanggungjawab
terhadap apa yang dilakukannya, yaitu orang yang gila sampai dia waras, anak-anak sampai dia baliqh puber dan orang tidur sampai dia bangun.
125
Kemampuan bertanggungjawab di sini menunjukkan pada mampu atau tidak secara psikis bukan
secara fisik. Syariat Islam menolak sintetik atau pengujian untuk menentukan masalah
abnormalitas dan kriminalitas. Menurut teori ini tak ada tindakan yang dapat disebut kriminal bila pada saat tindakan itu dilaksanakan pelaku mengalami kekacauan
mental atau adanya dorongan yang benar-benar tidak terkendali sehingga menyebabkan hilangnya keseluruhan mental ataupun emosi.
126
Hukum Islam memberikan alternatif bagi seorang mukallaf dalam melaksanakan hukuman, berbeda dengan hukum positif terutama di masa-masa
sebelum revolusi Perancis, karena pertanggungjawaban pidana mempunyai
125
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah Syariah, Op Cit., hal. 286
126
Shetna, Jehangir M.J., Mental Abnormality and Crime is Contstribution to Synthetic Jurisprudence, dalam A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah Syariah, Ibid,
hal. 286
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
pengertian tersendiri. Setiap orang bagaimanapun keadaannya bisa dibebani pertanggungjawaban pidana. Apakah orang itu mempunyai kemauan sendiri atau
tidak, dewasa atau belum dewasa bahkan hewan ataupun benda yang bisa menimbulkan kerugian kepada pihak lain dapat dibebani pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban pidana dapat dilakukan manakala perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan terlarang criminal conduct yang mencakup unsur-unsur
secara fisik dari kajahatan tersebut. Tanpa unsur tersebut pertanggungjawaban tidak dapat dilakukan karena pertanggungjawaban mensyaratkan dilakukannya suatu
perbuatan yang dilarang Undang-undang. Perbuatan tersebut bisa dihasilkan dari perbuatan aktif delik komisi maupun perbuatan pasif delik omisi.
Di dalam KUHP, pertanggungjawaban pidana telah memunculkan masalah mengenai asas kesalahan culpabilitas yang secara tegas tidak tercantum. Namun
hanya disebutkan dalam Memorie van Teolichting MvT sebagai penjelasan WvS.
127
Asas culpabilitas merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat 1, yang berarti seorang dipidana karena secara obyektif memang
telah melakukan tindak pidana artinya memenuhi rumusan asas legalitas dan secara subyektif terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku memenuhi asas culpabilitas.
Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat
diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak
127
Sudarto, Hukum Pidana I dalam Ahmad Bahiej, Sejarah dan Problematika hukum Pidana Materiel di Indonesia, Sosio-Religia, Vol. 4, No. 4, Agustus 2005
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya berarti “rightfully sentenced” tetapi juga “rightfully accused”
128
Menurut salah seorang guru besar pada Universitas Amsterdam, yaitu Van Hamel, mengemukakan pendapatnya bahwa kemampuan untuk bertanggungjawab
secara hukum adalah suatu kondisi kematangan dan kenormalan psikis yang mencakup tiga kemampuan lainnya yaitu; 1 memahami arah dan tujuan factual dari
tindakan itu sendiri, 2 kesadaran bahwa tindakan tersebut secara sosial dilarang dan 3 adanya kehendak bebas berkenan dengan tindakan tersebut.
Satu hal yang menarik dalam kaitannya dengan kemampuan bertanggungjawab, bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP di seluruh
dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab, justru diatur sebaliknya yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab, seperti yang terdapat
dalam KUHP Indonesia Pasal 44, yang masih memakai rumusan Pasal 37 WvS kira- kira diterjemahkan demikian bunyinya; “tidak boleh dipidana ialah barangsiapa yang
mewujudkan suatu delik, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya disebabkan oleh kekurang-sempurnaan pertumbuhan akalnya atau sakit gangguan akal”
129
sistem yang dianut oleh Pasal 44 tersebut adalah sistem campuran yang bersifat biologis-
psychiatris dan yang psikologis. Sistem pertama menyebutkan beberapa keadaan
128
Alf Ross, on Guil, Responsibility and Punishment dalam Chairul Huda, Dari Tiada Pidana tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Op
Cit., hal. 64
129
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Op. Cit., hal. 260
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
patologis yang menyebabkan ketidakmampuan bertanggungjawab, sedangkan sistem psikologis juga menyebutkan patologis akan tetapi ukurannya hanya terletak pada
hubungan antar kejahatan dan keadaan sadar terdakwa pada saat melakukan perbuatan yang berbentuk kejahatan. Dalam Pasal 44 ayat 1 KUHP pembentuk
undang-undang membuat peraturan khusus untuk pembuat yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya “karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit,” yang dimaksudkan adalah gangguan sejak lahir dan timbul semasa remaja dan gangguan yang datang kemudian
paa seseorang yang normal.
130
Masalah ada tidaknya pertanggungajwaban pidana diputuskan oleh Hakim, menurut Pompe ini pengertian yuridis bukan medis. Menurutnya dapat
dipertanggungjawabkan toerekenbaarheid itu berkaitan dengan kesalahan schuld, orang dapat menyatakan dapat dipertanggungajawabkan itu sendiri merupakan
kesalahan schuld.
131
E. Unsur-unsur Pertanggungjawaban pidana