Akan tetapi pada tahun 1950 ditemukan bahwa sejumlah gemeenten dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang
Pembangunan kembali wederopbouwwet yaitu membangun tanpa memiliki izin membangun dan dapat dikenai sanksi pidana denda.
116
Disinggung di dalam sejarah perundang-undangan Memorie van ToelichtingMvT bahwa
di dalam kasus tersebut jika dilakukan penuntutan maka dianggap tidak menguntungkan dan dapat dilakukan pembatalan dengan melakukan koreksi
administratif sehingga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
117
Dapat dilakukan pengecualian bahwa jika muncul situasi yang berbeda dimana
suatu oraganisasi atau badan hukum secara administratif melibatkan diri dalam hal tersebut. Namun demikian harus menjadi perhitungan kita
terhadap koorporasi yang berkemungkinan dapat melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang oleh Undang-undang, dengan demikian dapat
diandaikan bahwa perilaku koorporasi akan selalu merupakan tindakan fungsional.
C. Faktor-faktor pertanggungjawaban pidana dan tingkatannya
116
Jan Remmelink, Hukum Pidana; komentar atas pasal-pasal …….., Op Cit, hal. 105
117
Jan Remmelink, Hukum Pidana; komentar atas pasal-pasal ……., Ibid., hal. 105
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
Hukum Islam mengharuskan adanya perbuatan maksiat atau perbuatan melawan hukum menjadikannya sebagai suatu sebab adanya
pertanggungjawaban pidana. Karena sebab faktor dijadikan oleh syari sebagai pertanda menentukan atau menghasilkan musabab. Ketiadaan sebab
tidak mengharuskan adanya musabab. Dengan demikian keberadaan perbuatan maksiat atau perbuatan melawan hukum dalam syari
mengharuskan adanya pertanggungjawaban. Keberadaan melakukan maksiatmelawan hukum adalah meninggalkan perintah agama atau
mengerjakan sesuatu yang menjadi larangan dalam agama. Perbuatan yang dilarang mencakup semua unsur-unsur fisik dari kejahatan, tanpa unsur-
unsur ini tidak terjadi kejahatan dan pertanggungjawaban pidana tidak ada karena pertanggungjawaban pidana mensyaratkan dilakukannya suatu
perbuatan yang terlarang secara Undang-undang.
118
Apabila dalam suatu perbuatan terdapat adanya faktor pertanggungjawaban yaitu melakukan kemaksiatan atau melawan hukum,
dimana keberadaanya itu memiliki pengetahuan dan pilihan sebagai syarat maka kepada si pelaku dapat dijatuhi sanksi dan perbuatannya dianggap sah
sebagai perbuatan pelanggaran secara hukum Islam. Jadi adanya pertanggungjawaban pidana tergantung pada adanya pelanggaran, juga
118
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Op. Cit., hal. 166
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
sebaliknya tidak adanya perbuatan melawan hukum maka tidak adanya pertanggungjawaban.
Dalam istilah hukum Islam term kemaksiatan perbuatan melawan hukum dapat disamakan dengan term tersalah dan pelanggaran yang ada
dalam istilah hukum konvensional, istilah perbuatan melawan hukum dalam hukum konvensional memiliki makna yang sementik dalam penunjukan
makna yaitu menyalahi perintah syari.
119
Jika perbuatan melawan hukum atau kemaksiatan itu merupakan prinsip bagi pertanggungjawaban pidana, sementara perbuatan yang
melawan hukum itu mempunyai tingkatan sebagai perlawanannya terhadap hukum, maka pertanggungjawaban pidana juga mempunyai tingkatan, secara
syari hal demikian didasari oleh niat si pelaku. Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang menurut hukum Islam tidak saja di lihat hasil dari
perbuatannya akan tetapi juga di lihat dari sisi niat si pelaku. Keterkaitan perbuatan melawan hukum dengan niat menunjukkan pada adanya
pengetahuan dan pilihan, karenanya pertanggungjawaban pidana itu tidak terlepas dari tingkatan-tingkatnnya.
119
Ali Yafie, Umar Shihab, Ahmad Sukarja dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Op Cit. hal.m 75
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
1. Adakalanya disengaja al-Amdu
Arti umum disangaja adalah si pelaku berniat melakukan suatu perbuatan yang dilarang tersebut.
120
Islam menetapkan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia, maka itu berdasarkan apa yang
diniatkannya, dalam arti yang umum adalah sengaja terjadi, manakala pelaku berniat melakukan perbuatan yang dilarang maka hukum Islam
menetapkan pertanggungjawaban pidana yang berat, sedangkan pertanggungjawaban pidana yang ringan diberlakukan terhadap perbuatan
yang tersalah. Alasannya diperberat terhadap pelaku karena dengan sengaja melakukan tindak pidana atau perbuatan terlarang baik dengan perbuatan
maupun dengan niatnya, sehingga tindak pidananya bersifat utuh mutakamilah, sedangkan alasan diperingan karena tindak pidana yang
dilakukannya tidak terlintas dalam niatnya meskipun perbuatan tersebut telah dilakukannya. Al-Qur`an membedakan antara pelaku yang berniat
sengaja dengan pelaku yang khilaf atau tidak sengaja, dan hukumannya bagi pelaku yang benar-benar tidak sengaja atau khilaf, hukum Islam
mengampuninya. Dalam tindakan pembunuhan, sengaja berarti pelaku sengaja
melakukan perbuatan berupa membunuh dan pelaku menghendaki akibatnya berupa kematian korban. Tentu satu pertanggungjawaban pidana pada
120
Ali Yafie, Ahmad Sukarja, Muhammad Amin Suma, dkk., Ibid, hal. 77
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
tingkat ini lebih berat dibandingkan dengan tingkat yang di bawahnya.
121
Menurut jumhur fuqaha ada pembunuhan sengaja yang memiliki arti khusus yaitu si pelaku berniat melakukan pembunuhan dan mencapai hasilnya.
2. Adakalanya menyerupai sengaja syibhul ‘amdi
Pengertian menyerupai sengaja adalah dilakukannya perbuatan itu dengan maksud melawan hukum akan tetapi akibat perbuatan tersebut tidak
dikehendaki. Suatu perbuatan dinamakan menyerupai sengaja karena perbuatan itu menyerupai sengaja dari segi maksud perbuatan dan tidak
menyerupai disengaja dari segi ketiadaan maksud perbuatan tersebut.
122
Hukum Islam tidak mengenal mirip sengaja karena menyerupai sengaja hanya terdapat pada jarimah pembunuhan dan penganiayaan. Dalam
tindak pidana pembunuhan, ukuran menyerupai sengaja itu dikaitkan dengan alat yang digunakan dalam tindakan tersebut. Jika yang digunakan tersebut
merupakan alat biasa untuk membunuh maka perbuatan tersebut termasuk pada menyerupai sengaja.
123
Pengertian tindak pidana yang mirip sengaja dalam kasus pembunuhan dimaksudkan bahwa melakukan suatu perbuatan yang dapat
menghilangkan nyawa orang lain dan pelakunya hanya bermaksud
121
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Janaiy al-Islamiy, Muqaranan bil-Qanunil Wadh’iy, Op Cit., hal. 405
122
Ali Yafie, Ahmad Sukarja, Muhammad Amin Suma, dkk., Op Cit, hal. 78
123
Ahamd Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Op Cit., hal. 77
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
menyerang saja tanpa ada niat untuk membunuh, namun perbuatan yang dilakukan tersebut ternyata mengakibatkan kepada kematian orang lain.
Suatu perbuatan dikatakan mirip disengaja, menunjukkan bahwa perbuatan tersebut dilakukannya hanya sekedar menimbulkan serangan dengan tidak
bermaksud menghilangkan nyawa. Sengaja dari segi maksud dan tidak menyerupai sengaja dari ketiadaan maksud perbuatan tersebut. Jika di lihat
dari volume kejadian yang mirip disengaja sangat sedikit ketimbang yang memang sengaja dilakukan perbuatan tersebut.
3. Adakalanya Keliru al Khata’
Dimaksudkan dengan keliru adalah terjadinya suatu perbuatan di luar kehendak pelaku tanpa ada maksud melawan hukum. Dalam hal ini
perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang terjadi atas kelelaiannya atau kurang hati-hati oleh si pelaku. Kekeliruan dalam hal ini ada dua macam;
pertama, kekeliruan dalam perbuatan. Perbuatan yang dilakukan tersebut merupakan tindak pidana yang memang menunjukkan kepada sengaja
melakukan akan tetapi perbuatan tersebut tidak tepat kepada sasaran yang dituju dari niat pebuatan. kedua, kekeliruan dalam dugaan,
4. Adakalanya menyerupai kekeliruan
Keadaan perbuatan menyerupai kekeliruan dalam hal tindak pidana ada dua bentuk, yaitu :
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
1. Pelaku sama sekali tidak bermaksud melakukan perbuatan yang di larang, tetapi hal tersebut terjadi di luar pengengetahuannya dan sebagai
bukti kelelaiannya. 2. Pelaku menyebabkan terjadinya suatu perbuatan yang di larang
karena kelelaianya tetapi tanpa dikehendakinya.
Dalam segi pertanggungjawabannya, keadaannya lebih ringan dari pada keliru, karena pelaku tidak sama sekali mempunyai maksud untuk perbuatan yang
terlarang itu melainkan terjadi perbuatan tersebut semata-mata akibat kelelaiannya dan keteledorannya.
Usammah : Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM ISLAM