Religiosisme Culrural Relativism Aliran-aliran dalam Etika

1 yang menaklukkan orang lain yang lemah merupakan ukuran yang baik, manusia yang kuasa adalah manusia yang baik. Dalam sejarah, banyak orang kuat yang mempraktikkannya serta memper-tanggungjawabkan penindasan dan perkosaan, serta pengisapan terhadap manusia lain berdasarkan dalil tersebut. Seringkali, apa saja yang dilakukan oleh orang kuat dijadikan pedoman untuk rakyat dan orang banyak, tidak hanya bagi yang baik, melainkan juga untuk yang indah. Vos diterjemahkan oleh Sumargono, 1987:198 juga menjelaskan, vitalisme tidak hanya terdapat di bidang etika, melainkan sering berkembang menjadi sistem kefilsafatan yang lengkap yang sering disebut ilsafat kehidupan. Rousscau yan hidup pada abat ke delapan belas yang bersemboyan kembali ke alam kodrat, dan Albert Schweitzer yang hidup pada abad ke dua puluh yang mengatakan hahwa sikap menghormati kehidupan merupakan azas pokok perbuatan susila, demikian juga Dirk Coster yang pada tahun 1913 dalam bukunya “Marginalia” menulis garis batas tebal yang membagi manusia bukanlah memisahkan baik dari buruk, yang baik dari yang buruk, melainkan memilahkan yang hidup dari yang tidak hidup.

5. Religiosisme

Poedjawijatna 1982: 47-48 menjelaskan aliran religiosisme merupakan aliran yang telah terkenal dan yang paling baik dalam praktik. Aliran ini menyatakan, ukuran baik adalah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan buruk adalah tidak sesuai dngan kehendak Tuhan. Tugas theologialah yang menentukan manakah yang menjadi kehendak Tuhan. Keberatan terhadap aliran ini ialah ketidakumuman dari ukuran itu. Kita tahu bahwa ada terdapat bermacam-macam agama. Agama itu mengutarakan pedoman hidup yang menurut agama masing-masingmerupakan kehendak Tuhan. Pedoman itu tidak 1 sama, malahan di sana sini Nampak bertentangan, misalnya tentang poligami, talak dan rujuk, aturan makan dan minum, hubungan suami-istri, dan sebagainya.

6. Culrural Relativism

Menurut Gensler 1998: 11, cultural relativism merupakan aliran yang memaknai baik dan buruk adalah relatif. Kata baik dimaknai sebagai sesuatu yang secara sosial telah disetujui oleh mayoritas dalam suatu budaya. Prinsip-prinsip moral didasarkan atas norma-norma masyarakat. Di sini tidak ada standar yang paling baik, setiap putusan yang benar atau salah adalah murni sebuah produk dari masyarakatnya. Menurut Rachels 2004: 45-46, kebudayaan yang berbeda mempunyai kode moral yang berbeda. Adat istiadat dari berbagai masyarakat yang berbeda itulah kenyataan yang ada. Adat istiadat semacam ini tidak bisa dikatakan benar atau salah, karena hal itu mengimplikasikan seolah-olah memiliki standar kebenaran dan kesalahan yang tak tergantung dan dengan standar ini adat istiadat yang lain dapat dinilai. Setiap standar selalu terikat pada kebudayaan tertentu. Rachels 2004: 46-47 membeberkan tuntutan- tuntutan yang diajukan oleh kaum relativis kultural, yaitu: a masyarakat berbeda mempunyai kode moral berbeda, b kode moral dari suatu masyarakat menentukan apa yang benar dalam masyarakat itu, c tidak ada standar objektif yang dapat digunakan untuk menilai semua kode masyarakat secara lebih baik dari yang lain, d kode moral dari suatu masyarakat tidak mempunyai status istimewa karena hanya merupakan salah satu di antara yang banyak, e tidak ada kebenaran universal dalam etika, artinya tidak ada kebenaran moral yang berlaku untuk semua orang dalam segala zaman, dan f adalah kesombongan apabila seseorang mencoba menilai perilaku orang lain, terhadap kebudayaan-kebudayaan lain harus ada toleransi. Suseno 1997:109 juga menyatakan norma-norma moral dalam relativisme hanya berlaku relatif terhadap lingkungan atau 1 wilyah tertentu. Norma-norma moral yang berlaku dalam pelbagai masyarakat dan kebudayaan tidak sama, melainkan berbeda satu sama lain.

7. Subjectivism