1
keseharian, selalu melaksanakan ibadah shalat lima waktu, shalat sunah, melaksanakan puji-pujian, zikir, dan memanjatkan doa kepada Allah Swt. Itu semua merupakan bagian
dari tugas kewaliannya sebagai kewajiban kepada Tuhan.
B. Keadilan
Adil pada hakikatnya berarti memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Suatu perlakuan yang tidak sama adalah tidak adil, kecuali dapat diperlihatkan
mengapa ketidaksamaan dapat dibenarkan. Suatu perlakuan tidak selalu perlu dibenarkan secara khusus, sedangkan perlakuan yang sama dengan sendirinya betul
kecuali terdapat alasan-alasan khusus Suseno, 1987: 131-132. Poedyawijatna 1983: 63 menjelaskan keadilan adalah pengakuan dan perlakuan terhadap hak yang sah.
Keadilan adalah kebajikan yang menyadarkan dan melaksanakan, yang menggerakkan dan meringankan tingkah laku manusia yang terdiri atas cipta, rasa, dan
karsa manusia untuk selalu memberikan kepada pihak lain segala sesuatu yang menjadi hak dan juga kewajiban pihak lain. Atau dengan kata lain keadilan adalah
kesadaran dan pelaksanaan untuk memberikan kepada fihak lain sesuatu yang sudah semestinya harus diterima oleh fihak lain itu, sehingga masing-masing fihak mendapat
kesempatan yang sama untuk melaksanakan hak dan kewajibannya tanpa mengalami rintangan atau paksaan.
Keadilan dalam realita kehidupan manusia, menampakkan diri dalam empat perwujudan, yaitu 1 keadilan tukar-menukar: kebajikan untuk selalu memberikan
kepada sesamanya sesuatu yang menjadi hak pihak lain atau sesuatu yang semestinya harus diterima oleh pihak lain, 2 keadilan distributif: kebajikan untuk selalu
membagikan segala kenikmatan dan beban bersama dengan cara rata dan merata menurut keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmaniah dan rokhaniah para
warganya, sehingga terlaksanalah azas sama-rasa sama-rata, 3 keadilan sosial:
1
kebajikan untuk senantiasa memberikan dan melaksanakan segala sesuatu, yang memajukan kemakmuran dan kesejahteraan bersama sebagai tujuan akhir dari
masyarakat atau negara, dan 4 keadilan hukum atau umum, yaitu mengatur hubungan antara anggota dan kesatuannya untuk bersama-sama selaras dengan kedudukan dan
fungsinya untuk mencapai kesejahteraan umum Fudyartanta, 1974: 86-88. Serat Centhini yang ditulis pada tahun 1814-1823 M ini memberikan gambaran
mengenai budaya dan cara pandang masyarakat Jawa. Salah satu cara pandang masyarakat Jawa yang dapat dilihat dalam Serat Centhini adalah cara pandang
mengenai keadilan gender. Gender merupakan konstruksi sosial yang membedakan peran, kedudukan, perilaku, dan pembedaan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan
yang menyebabkan perbedaan dalam penilaian sosial Faturochman dan Sadli, 2002: 1. Gender secara ringkas didefinisikan sebagai
“the socially constructed ways in which we live out our identity as males or females
” yang artinya konstruksi sosial yang dibangun berdasarkan apakah kita hidup sebagai lelaki atau perempuan Claire, 2004: 13. Hidup
sebagai lelaki atau perempuan seharusnya tidak boleh dibeda-bedakan. Senada dengan pendapat para feminis yang mempercayai bahwa
“nobody should be disadvantaged because of their sex” yang artinya tidak seorang pun boleh dirugikan karena jenis
kelamin mereka Gheaus, 2012: 2. Terkait dengan bias gender, Seh Amongraga dalam Serat Centhini berhasil
mematahkan pandangan budaya Jawa dalam memposisikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Adanya pandangan bahwa budaya Jawa tidak sensitif gender,
terbangun dari adanya ungkapan-ungkapan tradisional yang hidup dalam masyarakat Jawa misalnya istri hanyalah kanca wingking artinya sebagai teman di belakang, yang
tugasnya mengelola urusan rumah tangga seperti mengurus anak, memasak, mencuci, dan lain-lain. Selain itu terdapat pula istilah swarga nunut neraka katut yang artinya
1
kalau suami masuk surga, berarti istri juga akan masuk surga. Namun jika suami masuk neraka, istri juga ikut masuk neraka karena mengikuti suaminya. Ungkapan lain yang
mengunggulkan budaya patriarki adalah adanya tugas domestik istri bahwa seorang istri mempunyai tugas 3M yaitu manak, macak, masak. Istilah ini memberikan pengertian
bahwa tugas istri hanyalah memberikan keturunan, berdandan, dan memasak. Ungkapan lain yang populer dalam budaya Jawa adalah bahwa tugas istri hanyalah dapur, pupur,
kasur, dan sumur. Ungkapan ini memberikan penegasan bahwa seorang istri hanya berhak mengurusi urusan dapur, berkewajiban berdandan, melayani suami di tempat
tidur, dan melakukan pekerjaan di sumur seperti mencuci baju, memandikan anak, dan lain-lain Hermawati, 2007: 20.
Keadilan gender dalam dapat dilihat pada data V.341: 6-7, ketika sedang bertukar ilmu dengan Ki Buyut Wasibagena, setelah berjamaah sholat Isa salah satunya
menyiratkan bahwa sensitif gender sebenarnya sudah ditekankan dalam masyarakat Jawa. Hal ini terbukti dari percakapan antara Amongraga dengan istri Ki Buyut
Wasibagena sebagai berikut. atuhune lanang ananging Hyang Agung, dene tan ana murbani, ni nyai malih
amuwus, kang pawestri kadipundi, lah jawaben anakingong. Amongraga saurira manis arum, pan ora beda puniki, nenggih wong wadon
punika, kelawan wong lanang sami, sami wajib olah batos. Artinya:
Sebenarnya laki-laki adalah Hyang Agung, karena tidak ada yang menguasai. Ni Nyai berkata lagi, bagaimana dengan yang perempuan, jawablah anakku.
Amongraga menjawab dengan lemah lembut, tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan, keduanya wajib mengolah batin.
Kutipan di atas menegaskan bahwa Amongraga bersikap adil terhadap lelaki dan perempuan. Budaya Jawa pada masa lalu memperoleh stigma tidak sensitif gender.
1
Padahal pada tahun 1814-1823, para pujangga melalui tokoh Seh Amongraga sudah membela keadilan gender. Menempatkan lelaki dan perempuan dalam kedudukan yang
sama. Jika merujuk pada teori perwujudan keadilan Fudyartanta 1974 yang sudah dikemukakan di atas, maka sikap Seh Amongraga ini merupakan perwujudan dari
keadilan sosial. Hal ini seiring dengan pernyataan Magnis-Suseno 2008:31 adil berarti bahwa seluruh bangsa, segenap insan Indonesia dapat hidup utuh sebagai manusia dan
utuh sebagai warga negara. Dalam pernyataan Magnis-Suseno ini, segenap insan dapat hidup utuh sebagai manusia dan utuh sebagai warga negara, berarti segenap insan tanpa
membedakan jenis kelamin pria dan wanita. Kutipan di atas menunjukkan adanya keadilan gender bahwa antara lelaki dan
perempuan wajib mengolah batin. Kegiatan mengolah batin dalam hal ini diartikan
sebagai melatih rasa batin untuk menguatkan dan menyehatkan batin serta
meningkatkan kemampuan daya tangkap batin. Pelaksanaan kegiatan mengolah batin dilakukan dengan cara berpuasa maupun bertapa sehingga mempunyai kekuatan batin.
Kekuatan batin dapat dimanfaatkan sesuai dengan kehendak diri sendiri. Jika kekuatan itu digunakan untuk kejahatan sering dinamakan dengan ilmu hitam, dan sebaliknya jika
digunakan untuk kebaikan, disebut dengan ilmu putih. Pencapaian akhir yang berupa ilmu tersebut, menandakan bahwa Amongraga
mengajarkan nilai moral keadilan dalam gender, utamanya dalam hal mencari ilmu. Lelaki dan perempuan mempunyai hak yang sejajar dalam mencari ilmu. Fakta yang
termuat dalam Serat Centhini tentunya menumbangkan stigma bahwa budaya Jawa kurang sensitif gender. Buktinya karya sastra Jawa yang ditulis jauh sebelum
Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB menyetujui konferensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan pada tahun 1979. Juga hampir dua abad
1
sebelum adanya ratifikasi keputusan PBB ini oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1984 menjadi UU No. 71984.
Keadilan gender digambarkan bahwa dalam kehidupan keluarga Amongraga, yang pada saat itu masih tinggal bersama mertua dan saudara-saudaranya, lelaki dan
perempuan diperlakukan sama. Lelaki dan perempuan digambarkan sebagai mitra berbincang yang sejajar. Kaum lelaki dan perempuan bersama-sama duduk di
pendhapa, membicarakan berbagai hal. Selain itu, jika dihidangkan makanan dan berkat yaitu nasi beserta lauk-pauk yang diberikan kepada orang-orang untuk dibawa pulang,
tidak memandang baik itu perempuan maupun lelaki akan mendapat bagian yang sama. Konsep yang diajarkan Amongraga mengenai kesetaraan gender juga sesuai dengan
ajaran Islam bahwa semua orang adalah hamba Allah. Tidak memandang itu perempuan maupun laki-laki. Keduanya hanya dibedakan dari kadar ketaqwaannya Kusdarini,
2012: 3-6. Fudyartanta 1974: 86 menyebutkan, salah satu wujud keadilan yaitu keadilan
tukar-menukar yang berupa kebajikan untuk selalu memberikan kepada sesamanya sesuatu yang menjadi hak fihak lain atau sesuatu yang semestinya harus diterima oleh
pihak lain. Seh Amongraga juga mengajarkan perwujudan keadilan ini ketika memberikan wejangan kepada para santri di Wanamarta. Seh Amongraga memberikan
keterangan mengenai hukum riba. Secara garis besar, Seh Amongraga mengajarkan bahwa riba adalah perbuatan yang diharamkan. Data dalam kutipan berikut
menggambarkan larangan berbuat riba, “Inggih anak mas Seh Amongragi, kados
punapa lampahing riba, kang putra alon ature, wondene bakunipun, rapal riba punika nunggil, babaganipun karam, sami cegahipu
n” Iya anakku Seh Amongraga, seperti apa wujud riba, putranya menjawab dengan pelan, yang baku riba itu hanya satu
sebutannya, haram, maka mari bersama-sama dicegah.
1
Riba jelas bertentangan dengan prinsip moral keadilan karena riba merugikan orang lain dan menimbulkan kemelaratan. Riba secara fikih didefinisikan sebagai: 1
tambahan yang diberikan ataupun diambil ketika terjadi pertukaran uang dalam bentuk uang yang sama dan 2 tambahan nilai uang pada satu sisi yang sedang melakukan
kontrak ketika komoditas yang diperdagangkan secara barter tersebut sejenis. Bentuk transaksi seperti itu tidak dihalalkan Babili dalam Malarangan, 2007: 375. Para ulama
telah membagi riba dalam dua kategori, yaitu riba nasiah dan riba fadl. Riba nasi‟ah
disebut juga dengan riba jahiliyah yang secara eksplisit dilarang dalam Alquran, sedang riba fadl dilarang oleh Nabi dalam rangka membendung semua perilaku yang mengarah
kepada riba Malarangan, 2007: 375. Seh Amongraga juga memberikan contoh nyata adanya riba. Seh Amongraga
mengatakan kepada Kiai Basarodin bahwa Nyai Basarodin melakukan riba dengan cara menukarkan uang besar dengan uang kecil dengan mengurangi nilainya secara diam-
diam. Riba yang dilarang oleh Seh Amongraga ini termasuk riba fadl yaitu kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syara‟ timbangan
atau takaran. Seh Amongraga juga menyatakan bahwa membeli barang pada musim murah karena harga disesuaikan dengan musimnya, kemudian ditimbun dan dijual
kembali ketika tidak musim dengan harga yang mahal, termasuk riba dan diharamkan. Orang yang melakukan riba tidak akan bisa menjadi ahli sorga. Orang yang demikian
tidak akan mampu menjadi ulama, akan disiksa oleh Tuhan, karena keuntungan yang mereka peroleh bukanlah karunia dari Tuhan atau dalam teori moral keadilan disebut
sesuatu itu bukan menjadi haknya. Nilai moral keadilan selanjutnya adalah menegakkan prinsip keadilan. Prinsip
keadilan menurut Rows dalam Dien, 2011: 14-15 terdiri atas: 1 prinsip kebebasan equal liberty of principle, 2 prinsip perbedaan differences principle, dan 3 prinsip
1
persamaan kesempatan equal opportunity principle. Prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang
berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan. Prinsip keadilan juga ditegakkan oleh Seh Amongraga, seperti
digambarkaan dalam data XI.649: 3-4 sebagai berikut. Mesem matur Selabranti, ulun pan sumanggeng kasa, ing paduka pitedahe, nulya
noleh maring wuntat, Centhini anggrana, manembah ris dennya matur, pukulun badan kawula.
Muhung sumarah ing kapti, sakarsa paduka amba, among sadarmi ndhedherek, suka myarsa Seh Mongraga, aris dennya ngandika, mring ari Mangunarseku,
kinen nuli ndhaupena. Artinya:
Selabranti kemudian tersenyum dan berkata. Saya menurut saja dengan petunjuk Paduka. Kemudian ia menoleh ke belakang. Centhini kemudian menyembah dan
berbicara pelan. Saya menurut pada kehendak paduka, saya hanyalah abdi yang mengabdi, Seh
Amongraga senang mendengar perkataan Centhini. Ia kemudian berkata dengan bijaksana. Pada hari yang diinginkan oleh Mangun, segera dinikahkan.
Kutipan di atas merupakan dialog antara Selabranti, Centhini, dan Seh Amongraga. Seh Amongraga mempunyai keinginan untuk menikahkan Centhini dengan
santrinya yang bernama Monthel. Sebelum dibahas lebih lanjut, perlu dijelaskan bahwa pada masa Centhini ditulis masih berlaku konsep feodal Jawa yang mengatur secara
ketat hubungan antara abdi dan majikan. Pada masa tersebut seorang abdi mempunyai prinsip totalitas kesetiaan, pengabdian, dan ketulusan hati kepada majikannya tanpa
mengharapkan materi. Bahkan seluruh hidupnya mampu diabdikan untuk majikannya. Centhini juga menerapkan konsep tersebut. Seh Amongraga tidak serta-merta
mengambil keputusan sepihak terhadap jalan hidup Centhini. Seh Amongraga tetap menghargai hak-hak Centhini, sesuai dengan prinsip keadilan. Seh Amongraga meminta
1
persetujuan terlebih dahulu kepada Centhini dan Monthel apakah bersedia untuk dinikahkan. Perlakuan Seh Amongraga terhadap abdinya tersebut sampai sekarang ini
masih relevan dan dilindungi sesuai dengan Deklarasi PBB pasal 16 yang menyebutkan bahwa: “perkawinan hendaknya atas persetujuan dari pasangan-pasangan yang akan
menikah ” Nasution dalam Ba‟asyien, 2007: 68.
C. Tanggung Jawab