1
18. Marxisme
Marxisme menurut Vos 1987:189 mendasarkan etikanya atas fakta, yaitu rasa lapar, artinya, mendasarkan etikanya atas kehendak untuk melestarikan diri atau
kehendak untuk hidup. Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam aliran ini, pertama, marxisme merupakan gejala yang banyak seginya, tidak hanya dalam arti hendak
memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan, dan tidak hanya pertanyaan di bidang etik, melainkan juga dan terutama sejauh terdapat berbagai maksud lebih lanjut yang
dikandungnya, yang tidak selalu bersesuaian. Kedua, hendaknya dicatat bahwa Marx sendiri tidak menyusun sendiri suatu etika yang sudah lanjut perkembangannya.
Tulisan-tulisan tentang marxisme hanya memuat catatan-catatan lepas dan sejumlah keterangan sebagai petunjuk. Marx tidak hendak tampil sebagai filsuf, melainkan
sebagai pembaharu masyarakat, tidak memandang kenyataannya, melainkan hendak mengubahnya. Kenyataan yang diperhatikan adalah masyarakat, dan akan
mengubahnya demi kepentingan orang-orang yang menjadi anggotanya. Marx melihat bahwa sekelompok besar rakyat hidup dalam keadaan sengsara, dan karenanya
menjalani hidup yang tidak berharkat manusiawi, Marx hendak memberikan kepada sekelompok besar rakyat suatu kehidupan yang berharkat manusiawi, dan untuk
keperluan itu hendaknya memperbaiki keadaannya. Pembicaraan di depan telah disebutkan bahwa fakta yang menentukan dalam
peristiwa-peristiwa yang menyangkut manusia ialah rasa lapar, karenanya manusia harus berproduksi, untuk berproduksi manusia harus bekerja, yang memang pada
hakikatnya manusia adalah pekerja. Di samping bekerja manusia harus bekerja sama, karena produksi selalau terjadi dalam hubungan kemasyarakatan. Maka, harus
diusahakan sikap-sikap tertentu dalam menghadapi orang-orang lain yang
1
memungkinkan adanya kerjasama tersebut. Dengan demikian berkembanglah kebajikan-kebajikan tertentu, dan selanjutnya juga kesusilaan. Sejumlah kaum marxis
berusaha memberikan dasar yang lebih dalam kepada moral. Hal-hal tersebut menimbulkan sejumlah akibat bagi etika. Pertama, pendirian
bahwa moral dapat berubah. Oleh karena cara produksi dapat berubah, yang juga akan mengakibatkan perubahan-perubahan, maka moral pun dapat berubah. Setiap
masyarakat mempunyai moral sendiri-sendiri dan segenap teori kesusilaan yang merupakan hasil taraf ekonomi masyarakat pada suatu masa tertentu. Kedua, bahwa
yang ada hanyalah moral kelas. Artinya, pendapat-pendapat manusia tentang kesusilaan ditentukan oleh kelas tertentu, yang di dalamnya terdapat orang-orang sebagai anggota
sekelas. Ketiga, bahwa moral kelas-kelas yang berbeda saling bertentangan. Hal ini tidak dapat dihindari sehubungan dengan kepentingan berbagai kelas yang saling
bertentangan dan akan berakibat pada sistem kesusilaan yang berbenturan Vos, 1987:194.
19. Idealisme