1
a pada diri manusia yang harus dididik adalah bakat-bakat tabiat baik, seperti
cinta pada sesama manusia, rendah hati, cinta tanah air, dan lain-lain, b
Bakat-bakat ini pada permulaannya mempunyai ketidaktentuan karena manusia belum sadar akan semuanya itu,
c Di samping bakat-bakat baik ini, terdapat juga bakat-bakat jelek, ini pun
begitu kuat, tetapi lebih mudah berkembang, d
Cacat sebagai cacat adalah negatif, jadi tidak berdiri sendiri melainkan ada sebagai kekurangan,
e Manusia tidak mesti ditentukan oleh bakat-tabiatnya. Dia lah yang harus
membangun budi pekertinya sendiri. Sebelumnya, hal ini terutama dilakukan oleh manusia itu sendiri. Sang pendidik hanya memberi petunjuk dan
pimpinan, dan ini hanya sementara saja sehingga manusia muda itu cukup terbentuk untuk berdiri dan berjalan sendiri,
f Dasar kemungkinan dan keadaan ini ialah bahwa manusia itu rohani-jasmani.
Sebagai rohani, dalam prinsipnya, dia sudah menguasai diri sendiri. Akan tetapi, sebagai jasmani dia juga dapat kehilangan kekuasaan itu.
g Untuk membangun tabiat baik itu, manusia harus mempergunakan budinya.
Budi harus disadarkan dengan diisi oleh nilai-nilai ini. h
Nilai-nilai ini tidak cukup hanya diisikan dengan cara yang abstrak. Dibutuhkan latihan yang praktis, lagi lama. Dengan jalan ini maka hidup
menjadi wertengestaltung, atau penjelmaan nilai-nilai. Dyiyarkara, 2006: 493-494.
C. Aliran-aliran dalam Etika
Permasalahan-permasalahan moral sebagaimana dikemukakan di atas dapat dijawab dari berbagai pandangan menurut aliran-aliran yang berkembang dalam filsafat
moral. Beberapa aliran yang penting dalam filsafat moral dideskripsikan berikut ini.
1. Hedonisme
Bertens 1993:249-277 menyatakan bahwa hendonisme memandang hal yang terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Hal yang baik adalah apa yang memuaskan
keinginan manusia, apa yang kuantitas kesenangan, atau kenikmatan dalam diri manusia. Poedjawijatna 1982:44-45 menyatakan bahwa aliran hedonism merupakan
aliraan yang amat tua dan terkenal di Yunani. Ukuran tindakan baik ialah hedone yang berarti kenikmatan dan kepuasan rasa.
1
Hedonisme menurut De Vos diterjemahkan oleh Sumargono, 1987:161 bertolak dari pendirian bahwa menurut kodratnya, manusia mengusahakan kenikmatan, yang
dalam bahasa Yunani hedone dan timbul istilah hedonisme. Hedonisme mengejar apa saja yang dapat menimbulkan rasa nikmat. Kenikmatan merupakan kebaikan yang
paling berharga atau yang tertingi bagi manusia. Seseorang dikatakan baik bila perilakuknya dibiarkan ditentukan oleh pertanyaan bagaimana caranya agar dirinya
memperoleh kenikmatan yang sebesar-besarnya, sehingga seseorang bukan hanya hidup sesuai dengan kodratnya, melainkan juga memenuhi tujuan hidupnya. Tokoh
hendonisme adalah Aristippos sekitar 433-355 S.M. yang merupakan murid Sokrates dan dilanjutkan Epikuros 341-270 S.M..
2. Eudemonisme
Bertens 1993:249-277 menyatakan bahwa eudemonisme dalam setiap kegiatannya, manusia mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap
perbuatan, manusia ingin mencapai sesuatu yang baik bagi dirinya. Seringkali juga, manusia mencari sesuatu tujuan untuk mencapai tujuan lain lagi. Aristoteles
menyatakan seseorang mencapai tujuan terakhir dengan menjalankan fungsinya dengan baik. Manusia menjalankan fungsinya sebagai manusia dengan baik, manusia akan
mencapai tujuan terakhirnya adalah kebahagiaan. Eudemonisme berasal dari bahasa Yunani eudaimonia yang secara harafiah berarti
mempunyai roh pengawal yang baik, artinya mujur dan beruntung. Eudemonisme mula- mula mengacu kepada keadaan lahiriyah, kemudian menitikberatkan pada suasana
batiniah, dan mempunyai arti bahagia dalam arti hidup berbahagia atau kebahagiaan. Orang yang telah mencapai tingkatan eudemonia akan mempunyai kesadaran kepuasan
1
yang sempurna tidak hanya secara jasmani, melainkan juga secara rohani Vos diterjemahkan oleh Sumargono, 1987:168.
Paham eudemonisme menyatakan kebahagiaan sebagai kebaikan tertinggi. Aristotles sebagaimana disebutkan di atas tegas-tegas menetapkan kebahagiaan sebagai
tujuan perbuatan manusia.
3. Utilitarianisme