Utilitarianisme Aliran-aliran dalam Etika

1 yang sempurna tidak hanya secara jasmani, melainkan juga secara rohani Vos diterjemahkan oleh Sumargono, 1987:168. Paham eudemonisme menyatakan kebahagiaan sebagai kebaikan tertinggi. Aristotles sebagaimana disebutkan di atas tegas-tegas menetapkan kebahagiaan sebagai tujuan perbuatan manusia.

3. Utilitarianisme

Bertens 1993:249-277 menyatakan utilitarianisme berasal dari tradisi pemikiran moral di United Kingdom yang dimaksudkan sebagai dasar etika untuk memperbarui hukum Inggris. Tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah Illahi atau melindungi hak-hak kodrati. John Stuart Mill dalam Rachels, 2004:187 mengatakan bahwa utilitarianisme mengajarkan kebahagiaan itu diinginkan, dan satu-satunya hal yang diinginkan sebagai tujuan hanyalah kebahagiaan; semua hal lainnya diinginkan sebagai sarana menuju tujuan itu. Bentham dan Mill juga mengatakan teori utilitarianisme dapat diringkas menjadi tiga pernyataan, pertama, tindakan harus dinilai benar atau salah hanya demi akibat-akibatnya, kedua, dalam mengukur akibat-akibatnya, satu-satunya yang penting hanyalah jumlah kebahagiaan atau ketidakkebahagiaan yang dihasilkan, dan ketiga, kesejahteraan setiap orang dianggap sama pentingnya dalam Rachels, 2004:187. Mill dalam Rachels 2004:187-188 juga mengatakan kebahagiaan yang merupaan ukuran dasar dari para pengikut utilitarianis menyangkut apa yang benar dalam perilaku bukanlah kebahagiaan si pelaku sendiri, melainkan semua orang yang terlibat. Menyangkut kebahagiaan dirinya atau orang lain, utilitarianisme menuntut orang untuk 1 bersikap keras, tidak pilih kasih, berlaku seperti penonton yang baik hati dan tidak pamrih. Pandangan Vos 1987: 181 tentang Utilitarianisme sebagai berikut: Utilisme yang dalam bahasa Inggris disebut utilitarianisme mengatakan bahwa ciri pengenal kesusilaan adalah manfaat suatu perbuatan, suatu perbuatan dikatakan baik membawa manfaat, dikatakan buruk, jika menimbulkan mudarat. Utilitarianisme tampil sebagai sistem etika yang telah berkembang , bakan juga sebagai pendirian yang agak bersahaja mengenai hidup. Paham ini mengatakan bahwa orang baik ialah orang yang membawa manfaat, dan yang dimaksudkannya ialah agar setiap orang menjadikan dirinya membawa manfaat yang sebesar-besarnya. Pertama-tama yang mengembangkan utilitarianisme adalah Jeremy Bentham 1742-1832, kemudian dilanjutkan oleh John Stuart Mill 1806-1873. Utilitarianisme berkembang melalui Bentham ketika akan menyusun suatu etika dengan memakai metode yang murni empirik serta didasarkan pada ilmu jiwa. Bentham menjabarkan etika dalam arti kewajiban-kewajiban kesusilaan berdasarkan atas fakta kejiwaan. Perbuatan manusia digerakkan oleh kemanfaatan atau kerugian, yang menurut dugaannya, disebabkan oleh perbuatan diri sendiri. Berarti pengalamanlah yang menentukan apakah yang bermanfaat dan apakah yang merugikan itu. Secara umum dapat dikatakan bahwa sesuatu hal dikatakan bermanfaat, jika memberikan kebaikan atau yang menghindarkan dari keburukan. Kebaikan adalah sesuatu yang mebuat bahagia, sedangkan keburukan adalah sesuatu yang menyengsarakan Vos diterjemahkan oleh Sumargono, 1987:182. Mill melanjutkan ajaran Bentham, yang mendasarkan teorinya pada pengalaman. Mill lebih lanjut mengatakan bahwa manusia semata-mata berusaha untuk memperoleh kebahagiaan, manusia pada dasarnya hanya menginginkan kebahagiaan, apabila manusia menginginkan hal-hal yang lain, maka yang demikian ini hanya demi kebahagiaan yang dapat diperoleh dari hal-hal tersebut, yang bagi Mill sama artinya 1 dengan kenikmatan, sedangkan kesengsaraan sama artinya dengan kepedihan. Kebajikan hanya berguna untuk menimbulkan kenikmatan, dan khususnya untuk menangkal kepedihan. Kesadaran seseorang yang memiliki kebajikan akan membuat orang tersebut bahagia, sementara kesadaran seseorang yang bersifat jahat akan membuat orang ini sengsara. Pengorbanan hanya dapat dikatakan baik, jika menimbulkan kebahagiaan, sekalipun bukan bagi orang yang memberikan pengorbanan tersebut, namun bagi orang lain. Mill juga menjadikan manfaat, kebahagiaan atau kenikmatan sebagai tokok ukur bagi baik dan buruk, yang berarti bahwa yang merupakan objek pertimbangan kesusilaan bukanlah motif-motif, melainkan hanya perbuatan-perbuatan Vos diterjemahkan oleh Sumargono, 1987: 183-1840.

4. Vitalisme