1
dengan kenikmatan, sedangkan kesengsaraan sama artinya dengan kepedihan. Kebajikan hanya berguna untuk menimbulkan kenikmatan, dan khususnya untuk
menangkal kepedihan. Kesadaran seseorang yang memiliki kebajikan akan membuat orang tersebut bahagia, sementara kesadaran seseorang yang bersifat jahat akan
membuat orang ini sengsara. Pengorbanan hanya dapat dikatakan baik, jika menimbulkan kebahagiaan, sekalipun bukan bagi orang yang memberikan pengorbanan
tersebut, namun bagi orang lain. Mill juga menjadikan manfaat, kebahagiaan atau kenikmatan sebagai tokok ukur bagi baik dan buruk, yang berarti bahwa yang
merupakan objek pertimbangan kesusilaan bukanlah motif-motif, melainkan hanya perbuatan-perbuatan Vos diterjemahkan oleh Sumargono, 1987: 183-1840.
4. Vitalisme
Vitalisme berasal dari kata “vita” yang berarti kehidupan. Vitalisme mangacu kepada suatu etika yang memandang kehidupan sebagai kebaikan tertinggi, yang
mengajarkan bahwa perilaku yang baik ialah perilaku yang menambah daya hidup, sedangkan perilaku yang buruk ialah perilaku yang mengurangi bahkan merusak daya
hidup. Usaha manusia seharusnya ditujukan agar dapat hidup dan berkehendak untuk hidup serta melenyapkan hal-hal yang merintangi kemajuan serta perkembangan
kehidupan. Manusia mempunyai kewajiban menghormati serta meningkatkan daya hidup di mana pun terdapat makhluk hidup, dan sekuat mungkin melawan maut. Etika
semacam ini mengandaikan manusia dapat menempatkan diri di luar arus kehidupan serta dapat mempengaruhinya, baik secara positif maupun secara negatif Vos
diterjemahkan oleh Sumargono, 1987:197. Poedjawijatna 1982:46 menjelaskan bahwa ukuran baik menurut vitalisme
adalah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia. Kekuatan dan kekuasaan
1
yang menaklukkan orang lain yang lemah merupakan ukuran yang baik, manusia yang kuasa adalah manusia yang baik. Dalam sejarah, banyak orang kuat yang
mempraktikkannya serta memper-tanggungjawabkan penindasan dan perkosaan, serta pengisapan terhadap manusia lain berdasarkan dalil tersebut. Seringkali, apa saja yang
dilakukan oleh orang kuat dijadikan pedoman untuk rakyat dan orang banyak, tidak hanya bagi yang baik, melainkan juga untuk yang indah.
Vos diterjemahkan oleh Sumargono, 1987:198 juga menjelaskan, vitalisme tidak hanya terdapat di bidang etika, melainkan sering berkembang menjadi sistem
kefilsafatan yang lengkap yang sering disebut ilsafat kehidupan. Rousscau yan hidup pada abat ke delapan belas yang bersemboyan kembali ke alam kodrat, dan Albert
Schweitzer yang hidup pada abad ke dua puluh yang mengatakan hahwa sikap menghormati kehidupan merupakan azas pokok perbuatan susila, demikian juga Dirk
Coster yang pada tahun 1913 dalam bukunya “Marginalia” menulis garis batas tebal yang membagi manusia bukanlah memisahkan baik dari buruk, yang baik dari yang
buruk, melainkan memilahkan yang hidup dari yang tidak hidup.
5. Religiosisme