1
Ketiga, teori etika keutamaan. Etika keutamaan lebih mengembangkan karakter moral pada diri setiap orang. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Aristoteles, nilai
moral ditemukan dan muncul dari pengalaman hidup dalam masyarakat, dari teladan dan contoh hidup diperlihatkan oleh tokoh-tokoh besar dalam suatu masyarakat dalam
menghadapi dan menyikapi persoalan-persoalan hidup. Seseorang akan menemukan nilai moral tertentu dalam masyarakat dan belajar mengembangkan dan menghayati
nilai tersebut. Jadi, nilai moral bukan muncul dalam bentuk adanya aturan berupa larangan dan perintah, melainkan dalam bentuk teladan moral yang nyata dipraktikkan
oleh tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat. Kehidupan tokoh-tokoh itu dapat memberi teladan mengenal dan belajar nilai dan keutamaan moral seperti kesetiaan,
saling percaya, kejujuran, ketulusan, kesediaan berkorban bagi orang lain, kasih sayang, kemurahan hati, dan sebagainya. Jawaban atas pertanyaan bagaimana kita harus
bertindak secara moral dalam situasi konkrit yang dilematis, etika keutamaan menjawab teladanilah sikap dan perilaku moral tokoh-tokoh yang dikenal, baik dalam
masyarakat, sejarah atau dalam cerita yang diketahui, ketika mereka menghadapi situasi serupa. Lakukan seperti yang dilakukan para tokoh moral itu. Itulah tindakan yang
benar secara moral.
B. Persoalan-persoalan Dasar dalam Etika
Pembicaraan tentang filsafat moral tidak dapat dilepaskan dari permasalahan- permasalahan yang ada di dalamnya. Haricahyono 1995: 89-96 menyebutkan ada dua
permasalahan utama dalam filsafat moral. Pemasalahan pertama berhubungan dengan peranan penalaran dalam etika. Apakah penalaran dan nalar mempunyai peranan dalam
proses pengambilan keputusan moral, jika ada sejauh mana peranannya? Kajian filosofis mengenal penalaran moral mencakup tiga macam keputusan moral, yaitu: 1
1
pengujian konsep penalaran untuk membuktikan bahwa istilah penalaran itu sendiri tidak menunjuk kepada fenomena metafisika yang kabur, akan tetapi lebih cendrung
menunjuk kepada prosedur memperoleh jawaban sekitar penjelasan-penjelasan mengenai fenomena, bukti pendukung, sekaligus justifikasinya. Penalaran moral lebih
menunjuk kepada prosedur pertimbangan dan pengambilan keputusan berdasarkan bukti-bukti pendukungnya; 2 sampai saat ini masih ada keberatan untuk mengakui
pengambilan keputusan moral beserta bukti-bukti pendukungnya yang pada dasarnya sama dengan penalaran keilmuan. Oleh karena itu, diskusi filosofis mengenai penalaran
dalam etika menyertakan analisis terhadap hakikat ilmu untuk memperoleh kejelasan persamaan dan perbedaan dengan dunia moral; dan 3 diskusi filosofis mengenai
penalaran moral menyangkut analisis terhadap hakikat penalaran itu sendiri, yang seringkali dianggap suatu fenomena yang unik. Permasalahan yang kedua dari filsafat
moral yang berkembang adalah permasalahan teori nilai-nilai moral. Inti permsalahan ini adalah beberapa pandangan tentang moral biasanya dilekatkan secara apriori dengan
beberapa konsep nilai, seperti baik, buruk, benar, dan salah. Tradisi filsafat moral banyak dimensi teori nilai, mulai dari pandangan Platonis mengenai kebaikan sampai
pada prinsip-prinsip kaum utiliter. Analisis dan diskusi tentang pelbagai alternatif teori nilai moral tak pelak lagi merupakan salah satu kunci pokok dalam pengembangan teori
dan praksis dalam pendidikan moral. Hadiwardaya 1990:98-102 menyebutkan ada lima permasalahan moral, yaitu
dasar-dasar moral, moral hidup, moral seksual, moral perkawinan dan moral sosial. Dasar-dasar moral berkenaan dengan hubungan antara hati nurani dan norma,
hubungan antara norma moral subjektif dan norma moral objektif. Masalah ini selama berabad-abad selalu menjadi bahan diskusi. Orang selalu merasa ragu-ragu tentang
mana yang lebih penting. Kalau mementingkan hati nurani ada kekhawatiran orang
1
menjadi individualistik dan terlalu subjektif, sebaliknya mementingkan norma, ada bahaya bahwa keyakinan pribadi diremehkan, sehingga orang hanya menjadi robot yang
tunduk pada perintah. Permasalahan moral hidup merupakan masalah yang cukup baru karena baru muncul pada abad ini, terutama perkembangan bioteknologi modern. Etika
dan hukum masih sibuk mencari jawaban atas masalah-masalah moral hidup. Permasalahan moral seksual merupakan permasalahan umum dewasa ini, yang semakin
terbuka orang berbicara hubungan pria dan wanita. Banyak orang tua yang semakin khawatir akan perilaku seksual anak-anak dewasa ini. Permasalahan moral perkawinan
dalam kenyataan sekarang memiliki banyak dimensi. Perkawinan merupakan sesuatu yang diakui oleh banyak instansi, masyarakat, negara, dan agama. Selain itu, suami-istri
dalam perkawinan telah membentuk suatu persekutuan hidup yang berlandaskan dan terarah kepada cinta. Moralitas perkawinan antara lain ditentukan oleh norma hukum,
norma adat, norma agama, dan norma yang muncul dari hakikat cinta sejati. Permasalahan yang terakhir adalah moral sosial. Masalah moral sosial merupakan
masalah yang lebih kompleks daripada masalah moral yang menyangkut individu, karena tanggung jawab moral tidak dapat diletakkan pada individu, melainkan pada
sekitar masyarakat individu. Masalah moral sosial menyangkut struktur-struktur ideologis, politis, ekonomis, kemasyarakatan, kultural, bahkan religius.
Persoalan-persoalan dasar moral yang lain dapat dilihat pada buku Filsafat Moral karya James Rachels 2004. Dalam buku ini, terdapat berbagai persoalan dasar tentang
moral, di antaranya persoalan definisi. Rachels 2004:17-40 mengemukakan tiga contoh persoalan praktik moral untuk sampai pada sebuah konsepsi minimal moralitas.
Contoh yang pertama dikemukan tentang bayi Theresa yang menderita rumpang otak, orang tuanya merelakan untuk transplantasi. Hal itu menimbulkan pro kontra, yang
akhirnya yang setuju lebih banyak dari yang tidak setuju. Memang dalam kasus ini
1
tidaklah etis membunuh dengan alasan untuk menyelamatkan orang lain. Contoh yang kedua adalah kasus bayi kembar siyam Jodie dan Mary. Kasus ini menimbulkan dilema
antara operasi memisahkan, yang berkonsekuensi mati salah satu atau membiarkan tidak melakukan operasi yang berarti membiarkan keduanya mati. Contoh ketiga adalah
Tracy Latimer, seorang bocah berumur 12 tahun korban lumpuh otak yang dibunuh oleh ayahnya. Pembunuhan Tracy dilatarbelakangi oleh keadaan yang cacat. Ini suatu
kesalahan besar, karena secara moral Tracy memiliki hak untuk hidup. Latimer beralasan kondisi Tracy begitu fatal sehingga dia tidak mempunyai prospek untuk
hidup, dia mengalami penderitaan yang tanpa arti, sehingga membunuhnya merupakan tindakan belas kasih.
Rachels 2004: 42-69 pada bagian dua buku Filsafat Moral, menyebutkan permasalahan yang timbul dalam relativisme kultural. Relativisme kultural menghadapi
permasalahan objektivitas. Kunci memahami relativisme kultural adalah bahwa kebudayaan yang berbeda mempunyai kode moral yang berbeda. Adat istiadat dari
berbagai masyarakat yang berbeda tidak bisa dikatakan benar atau salah karena hal itu mengimplikasikan standar kebenaran atau kesalahan yang berbeda yang terikat pada
kebudayaan tertentu. Kebudayaan yang berbeda mempunyai kode moral yang berbeda. Rachels memberi contoh beberapa kasus, di antaranya adalah orang Eskimo tidak
merasa bersalah dengan pembunuhan bayi, sedang orang Amerika menganggapnya immoral. Pembunuhan bayi tidak benar dan tidak salah secara objektif. Hal itu hanyalah
soal pandangan yang berbeda dari satu budaya ke budaya lainnya. Relativisme kultural menghadapi permasalahan objektivitas, di pihak lain ada
persoalan subjektivitas, yakni dalam subjektivisme etis. Subjektivisme etis melahirkan pendapat-pendapat moral yang didasarkan atas perasaan. Atas dasar pandangan ini tidak
ada yang disebut sebagai benar atau salah secara objektif. Rachels memberi contoh
1
permasalahan homoseksual dalam pandangan orang Amerika. Orang Amerika menyatakan bahwa homoseksual dianggap sebagai cara hidup alternatif yang bisa
diterima atau tidak, pada tahun 1982 sebanyak 34 menjawab ya, dan pada tahun 2000 yang menjawab ya bertambah menjadi
52. Menurut Rachels “orang mempunyai pandangan yang berbeda, tetapi di mana ada perkara moral, di situ fakta tidak ada dan
tak seorang pun benar. Orang-orang mempunyai perasaan berbeda begitu saja, dan itulah akhir dari perkaranya”. Rachels mengungkap suatu fakta bahwa beberapa orang
termasuk kelompok homoseksual, sementara yang lain heteroseksual, tetapi tidak ada fakta bahwa yang satu baik dan yang lain buruk. Seseorang mengatakan bahwa
homoseksual salah, seseorang itu tidak menyatakan suatu fakta mengenai homoseksual, melainkan hanya menyatakan sesuatu mengenai perasaannya saja terhadap
homoseksual Rachels, 2004: 70-73. Permasalahan sukjektivitas moral muncul karena pandangan terhadap sesuatu didasari oleh perasaan dan bukan fakta objektif.
Permasalahan lain yang disebutkan oleh Rachels adalah persoalan hubungan antara moralitas dan agama. Rachels mempertanyakan apakah moralitas bergantung
pada agama? Pemikiran popular menyatakan antara moralitas dan agama tidak dapat dipisahkan. Pada umumnya orang percaya bahwa moralitas dapat difahami hanya dalam
konteks agama. Maka, karena kaum religius merupakan juru bicara agama, dapat dikatakan bahwa mereka pasti juru bicara untuk moralitas juga Rachels, 2004:98-99.
Kesimpulan umum tentang pembahasan hubungan antara moralitas dan agama, Rachels menyatakan bahwa benar atau salah tidak dirumuskan dalam kerangka pemikiran yang
menyangkut kehendak Allah. Moralitas itu menyangkut soal akal dan kesadaran, bukan iman keagamaan dan dalam kasus tertentu, kesadaran keagamaan tidaklah menjamin
pemecahan definitif terhadap masalah-masalah moral yang dihadapi Rachels, 2004:121.
1
Permasalahan-permasalahan dasar moral juga diungkapkan oleh Driyarkara dalam buku Karya Lengkap Driyarkara-Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam
Perjuangan Bangsanya 2006. Driyarkara 2006:479 mengemukakan permasalahan pertama adalah rasa tanggung jawab, tidak ada rasa tanggung jawab, bukankah itu salah
satu dari sekian banyak kesalahan yang sering kita jumpai? Orang bisa banyak omong kosong tentang sosialisme, keadilan sosial, demokrasi, perikemanusiaan, malahan
tentang ketuhanan, Tetap, bagaimanakah tindak-tanduk sehari-hari? Driyarkara memberi contoh-contoh fakta tentang mengikisnya rasa tanggung jawab, misalnya
menyoroti tanggung jawab dosen terhadap mahasiswa bimbingan skripsi. Seorang dosen tersebut menolak skripsi mahasiswa tanpa menunjukkan kesalahan dan jalan
keluarnya. Kasus yang lain adalah tentang tanggung jawab pegawai. Orang berbicara tentang masyarakat adil dan makmur. Tetapi, jika para pegawai tidak menjalankan
kewajiban dalam kepegawaian, maka bagaimana negara akan pernah menjadi adil dan makmur. Demikian beberapa fakta tentang kurangnya tangung jawab di masyarakat.
Permasalahan yang kedua yang dinyatakan oleh Driyarkara adalah pendidikan moral kaitannya dengan pendidikan budi pekerti. Seperti diketahui bahwa Driyarkara
amat besar kepeduliannya pada pendidikan dan masalah utama pendidikan tidak lain adalah pendidikan moral. Akan tetapi, apakah moral sama dengan pendidikan budi
pekerti, atau adakah hubungan antara keduanya? Driyarkara, 2006:488. Budi pekerti sering dimaknai dalam arti baik, sehingga orang yang tidak baik disebut tidak
mempunyai budi pekerti. Budi pekerti sering diartikan moral. Orang yang disebut mempunyai budi pekerti berarti mempunyai kebiasaan mengalahkan dorongan-
dorongan yang tidak baik. Secara positif orang mempunyai kebiasaan menjalankan dorongan yang baik. Driyarkara menyimpulkan pendidikan budi pekerti sebagai berikut:
1
a pada diri manusia yang harus dididik adalah bakat-bakat tabiat baik, seperti
cinta pada sesama manusia, rendah hati, cinta tanah air, dan lain-lain, b
Bakat-bakat ini pada permulaannya mempunyai ketidaktentuan karena manusia belum sadar akan semuanya itu,
c Di samping bakat-bakat baik ini, terdapat juga bakat-bakat jelek, ini pun
begitu kuat, tetapi lebih mudah berkembang, d
Cacat sebagai cacat adalah negatif, jadi tidak berdiri sendiri melainkan ada sebagai kekurangan,
e Manusia tidak mesti ditentukan oleh bakat-tabiatnya. Dia lah yang harus
membangun budi pekertinya sendiri. Sebelumnya, hal ini terutama dilakukan oleh manusia itu sendiri. Sang pendidik hanya memberi petunjuk dan
pimpinan, dan ini hanya sementara saja sehingga manusia muda itu cukup terbentuk untuk berdiri dan berjalan sendiri,
f Dasar kemungkinan dan keadaan ini ialah bahwa manusia itu rohani-jasmani.
Sebagai rohani, dalam prinsipnya, dia sudah menguasai diri sendiri. Akan tetapi, sebagai jasmani dia juga dapat kehilangan kekuasaan itu.
g Untuk membangun tabiat baik itu, manusia harus mempergunakan budinya.
Budi harus disadarkan dengan diisi oleh nilai-nilai ini. h
Nilai-nilai ini tidak cukup hanya diisikan dengan cara yang abstrak. Dibutuhkan latihan yang praktis, lagi lama. Dengan jalan ini maka hidup
menjadi wertengestaltung, atau penjelmaan nilai-nilai. Dyiyarkara, 2006: 493-494.
C. Aliran-aliran dalam Etika