Cara Membuat Gugatan. Tujuan Penulisan 1. Untuk menjelaskan pengertian dari hukum acara perdata

permohonan yang disampaikan kepada Pengadilan yang berwenang tentang suatu tuntutan terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut. Dalam hal gugatan kepada Pengadilan selalu ada pihak Penggugat atau para penggugat, tergugat atau para tergugat dan turut tergugat atau para turut tergugat. Cara menyelesaikan perselisihan lewat pengadilan tersebut diatur dalam Hukum Acara Perdata Burgerlijke Procesrecht, Civil Law of Procedure. 25 Dalam hukum acara perdata dikenal 2 istilah dalam mengajukan perkara, yaitu gugatan dan permohonan. Berikut penjelasan mengenai gugatan dan permohonan: a. Dalam perkara gugatan ada suatu sengketa, suatu konflik yang harus diselesikan dan harus diputus oleh pengadilan, sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa atau perselisihan, misalnya segenap ahli waris secara bersama-sama menghadap ke pengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian masing-masing dari warisan almarhum, atau permohonan untuk mengganti nama dari Liem Sio Liong menjadi Sudono Salim, atau permohonan pengangkatan seorang anak, wali dan lainnya. b. Dalam suatu gugatan ada dua atau lebih pihak yaitu pihak penggugat dan tergugat yang merasa haknya atau hak mereka dilanggar, sedangkan dalam permohonan hanya ada satu pihak yaitu pihak pemohon. 26 c. Suatu gugatan dikenal sebagai pengadilan contentiosa atau pengadilan sungguh-sungguh, sedangkan suatu permohonan dikenal sebagai pengadilan voluntair atau pengadilan pura- pura. d. Hasil suatu gugatan adalah putusan vonis sedangkan hasil suatu permohonan adalah penetapan beschikking.

1. Cara Membuat Gugatan.

Sebuah gugatan dapat diajuakan secara tertulis Pasal 118 HIRPasal 142 RBg dan boleh diajukan secara lisann Pasal 120 HIR Pasal 144 RBg. Namun, dalam praktek peradilan sekarang, orang sudah tidak lazim lagi mengajukan gugatan lisan. Apalagi dalam kasus-kasus perdata yang sulit dan nilai gugatannya besar, gugatan selalu diajukan secara tertulis, sehingga gugatan tersebut benar-benar dapat disusun secara sistematis, logis, dan lengkap. 27 25Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan... hlm 1 26 Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata... hlm. 16 27 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara... hlm. 25 11 Hukum acara perdata yang termuat dalam HIR dan RBg tidak menyebut syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam surat gugatan. Akan tetapi, Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya memberikan fatwa bagaimana surat gugatan itu disusun: a. Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan, asal cukup memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi dasar tuntutan MA tanggal 15-3-1970 KSip1972 b. Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas MA tanggal 21-11-1970 Nomor 492 KSip1970 c. Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap MA tanggal 13-5-1975 Nomor 151 KSip1975 dan lain-lain. d. Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak tanah, batas-batas, dan ukuran tanah MA tanggal 9-7-1973 Nomor 81 KSip1971. 28 Sedangkan persyaratan tentang isi atau surat gugatan yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata adalah dalam pasal 8 ayat 3, harus memuat: 1. Identitas para pihak, meliputi nama, tempat tinggal dan pekerjaan. Dalam prakteknya juga sering juga dicantumkan agama, umur, dan status kawin atau belum kawin. 29 2. Posita atau fundamentum petendi yaitu dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum antara penggugat dan tergugat serta alasan-alasan daripada tuntutan. Secara garis besar, dalam posita harus memuat antara lain: 30 a objek perkara yaitu mengenai hal apa gugatan itu diajukan, apakah menyangkut sengketa kewarisan, sengketa perkawinan, perbuatan melawan hukum, sengketa cedera janji dan sebagainya. Objek sengketa merupakan hal yang sangat penting dalam surat gugatan, oleh karena itu harus diuraikan secara jelas dan rinci. b Fakta-fakta hukum, yaitu hal-hal yang menyebabkan timbulnya sengketa sehingga penggugat menderita rugi dan perlu diselesaikan melalui pengadilan, misalnya apakah ada perjanjian antara pihak penggugat dan tergugat sehingga tergugat wanpresatasi, atau tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan timbulnya kerugian bagi pihak penggugat dan lain-lain, 28 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata... hlm. 25-26 29 Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004 hlm. 30 30 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan,... hlm. 20 12 c Kualifikasi perbuatan tergugat, yaitu suatu perumusan mengenai perbuatan materiil maupun moril dari tergugat yang dapat berupa perbuatan melawan hukum, wanprestasi, perselisihan dalam perkawinan dan lain-lain. Kualifikasi perbuatan tergugat ini disusun secara alternatif, sehingga apabila satu perbuatan tidak terbukti dapat diajukan alternative lain sehingga segala perbuatan tergugat tidak lepas dari tuntutan penggugat. d Uraian kerugian yang diderita oleh penggugat, kerugian itu dapat berupa materiil dan dapat berupa moriil. Berapa kerugian yang diderita oleh penggugat harus disebutkan secara pasti, jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Uraian kerugian ini harus didukung oleh bukti-bukti tertulis seperti kwitansi, faktur, nota-bon pengeluaran dan lain-lain. e Hubungan posita dengan petitum harus ada kaitan yang jelas, maksudnya antara petitum dan posita sangat erat hubungannya karena posita adalah dasar membuat petitum, petitum tidak boleh melebihi posita, hal-hal yang tidak diuraikan dalam posita tidak boleh dimohonkan dalam petitum. 31 3. Petitum, adalah apa yang diminta atau dituntut. Butir pertama dari setiap petita selalu tentang formal perkara, belum boleh langsung loncat ke materi perkara. Butir pertama itu berbunyi: “Mohon agar Pengadilan Agama menerima gugatan penggugat”, maksudnya ialah karena syarat-syarat formal gugatan sudah cukup, penggugat mohon agar secara formal gugatannya dinyatakan diterima. Butir terakhir dari bagian petita selalu tentang permintaan agar pihak lawan dibebankan biaya perkara, misalnya berbunyi “agar Pengadilan menghukum tergugat untuk membayar segala biaya perkara”. Atau bisa juga disingkat dengan kalimat “Biaya perkara menurut hukum”, maksudnya adalah sesuai dengan hukum, yaitu siapa yang kalah akan dihukum untuk membayar biaya perkara. Perlu diingatkan bahwa menurut Pasal 89 ayat 1 UU No 7 tahun 1989, khusus dalam semua perkara di bidang perkawinan maka biaya perdata selalu di bebankan kepada penggugat atau pemohon. 31 Ibid,. hlm 21 13 Butir ditengah-tengah dari bagian petita adalah tuntutan mengenai materi perkara pokok perkara. Tuntutan di sini boleh tunggal dan boleh juga terdiri dari beberapa tuntutan yang digabung sesuai dan asal didukung oleh posita. Gabungan tuntutan ini disebut “kumulasi objektif”. Menurut Acara Perdata kumulasi objektif diperkenankan asal berkaitan langsung yang erat merupakan satu rangkaian kesatuan biasanya kausalitet. Mereka yang mengerti ber-Acara selalu akan mempergunakan di mana mungkin kumulasi objektif itu, hal mana menghemat waktu, biaya dan sekaligus tuntas semua. Perlu diingatkan sehubungan dengan petita ini, yaitu pengadilan dilarang mengabulkan tuntutan melampaui apa yang dituntut oleh penggugat, sebaliknya pengadilan dilarang tidak mengadili semua terhadap apa yang dituntutnya, walaupun mungkin ada yang dikabulkan dan ada yang ditolak, atau ada yang dikabulkan sebagian dan ditolak sebagian lainnya. 32 Dalam Hukum Acara Perdata dikenal dua teori tentang cara menyusun gugatan kepada pengadilan yaitu: 1 substantiering theory, teori ini menyatakan bahwa gugatan selain harus menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebut kejadian- kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut. Bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya, di dalam gugatan itu ia tidak cukup hanya menyebut bahwa ia hanya pemilik benda itu, tetapi juga harus menyebutkan sejarah pemilikannya, misalnya karena membeli, mawaris, hadiah, dan sebagainya. 2 individualiserings theorie, teori ini menyatakan bahwa dalam gugatan cukup disebut peristiwa- peristiwa atau kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan, tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-kejadian tersebut. Sejarah terjadinya atau sejarah adanya pemilikan hak milik atas benda itu dimasukkan dalam gugatan, karena hal itu dapat dikemukakan dalam persidangan dengan disertai bukti-bukti seperlunya. 33 Teori mana yang paling banyak dipakai dalam praktek Peradilan selama ini, sebenarnya sangat tergantung pada sejarah berlakunya hukum acara perdata pada zaman penjajah dahulu. Menurut system yang dianut oleh B.Rv beracara harus dilaksanakan secara tertulis dan harus didampingi oleh pengacara yang ahli hukum. Oleh karena itu surat gugat harus dibuat secara 32 Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama... hlm. 65-66 33 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan... hlm. 17 14 tertulis, maka penyusunan surat gugat itu haruslah dibuat secara lengkap, sistematis dan yuridis sebagaimana yang tersebut dalam teori substanstiering theorie. Menurut system HIR dan R.Bg beracara di dalam sidang pengadilan tidak mesti harus tertulis, lisan pun diperkenankan dan juga tidak ada keharusan untuk mewakilkan kepada advokat atau pengacara. Oleh karena itu dalam surat gugatan tidak ada format dan redaksi khusus yang mesti harus dituruti, tergantung pada kondisi dan keadaan perkara yang akan dimajukan kepada pengadilan, dalam hal ini boleh mengikuti individualiserings theorie. Dari uraian di atas, teori mana yang harus dipergunakan sebenarnya tidaklah menjadi persoalan. Tetapi dalam perkembangan praktek dan kemajuan dalam pendidikan hukum cukup memberikan indikasi bahwa adanya kecenderungan untuk mengikuti teori pertama tanpa harus mengabaikan teori kedua. Namun, sebelum para pihak yang bermaksud mengajukan gugatan ke pengadilan, mereka haruslah mengetahui beberapa prinsip gugatan perdata, yaitu: 34 a. Harus ada dasar hukumnya Gugatan yang tidak ada dasar hukumnya sudah pasti akan ditolak oleh hakim dalam sidang Pengadilan karena dasar hukum inilah yang menjadi dasar putusan yang diambilnya. Dasar hukum dalam mengajukan gugatan diperlukan untuk meyakinkan para pihak yang terkait dengan gugatan itu bahwa peristiwa kejadian dan peristiwa hukum benar-benar terjadi, tidak diada- adakan atau rekayasa. Juga untuk membantu hakim dalam upaya menemukan hukum dalam memutuskan pekara yang diajukan kepadanya. Serta untuk mencegah agar tidak semua orang dengan mudahnya mengajukan gugatannya ke Pengadilan. Hanya kepentingan yang cukup dan layak serta mempuyai dasar hukum sajalah yang dapat diterima sebagai gugatan di Pengadilan. b. Adanya kepentingan hukum Suatu tuntutan hak yang akan diajukan kepada Pengadilan yang dituangkan dalam sebuah gugatan, pihak Penggugat haruslah mempunyai kepentingan hukum yang cukup. Orang yang tidak mempunyai kepentingan hukum tidak dibenarkan untuk menjadi para pihak dalam mengajukan gugatan. Hanya orang yang berkepentingan langsung yang dapat mengajukan 34 Ibid, hlm. 11 15 gugatan, sedangkan orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung haruslah mendapat kuasa terlebih dahulu dari orang atau badan hukum untuk dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. c. Merupakan suatu sengketa Pengertian perkara sebenarnya lebih luas dari sengketa, dengan kata lain sengketa itu adalah bahagian dari perkara, sedangkan sengketa itu belum tentu perkara. Dalam pengertian perkara tersimpul dua keadaan yaitu ada perselisihan dan tidak ada perselisihan. Dalam perselisihan ada suatu yang diperselisihkan dan dipertengkarkan serta disengketakan, ia tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah tersebut, melainkan penyelesaiannya perlu lewat Pengadilan sebagai instansi yang berwenang. Sedangkan tidak ada perselisihan artinya tidak ada yang disengketakan, yang bersangkutan tidak minta putusan Pengadilan melainkan hanya penetepan saja dari hakim sehingga mendapat kepastian hukum yang harus dihormati oleh semua pihak. Tindakan hakim yang demikian disebut Jurisdictio Voluntaria, seperti permohonan ditetapkan sebagai ahli waris yang sah, penetapan wali adhal, isbat nikah. Pengadilan dibenarkan memeriksa perkara yang bersifat tidak ada perselisihan yuridictio voluntaria itu hanya kalau peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan untuk menyelesaikan perkara tersebut, jika tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya maka Pengadilan dilarang untuk menyelesaikan perkara tersebut. 35 Sehubungan dengan hal itu, gugatan yang diajukan kepada Pengadilan haruslah bersifat sengketa, dan persengketaan itu telah menyebabkan kerugian dari pihak penggugat, sehingga perlu diselesaikan melalui pengadilan sebagai instansi yang berwenang dan tidak memihak. Oleh karena itu haruslah berhati-hati dalam menyusun gugatan terhadap pihak lawan atau tergugat, karena kalau dalam mendudukkan pihak tergugat tidak cermat maka akan mengakibatkan gagalnya gugatan di Pengadilan. d. Di buat dengan cermat dan terang Gugatan secara tertulis harus disusun dalam surat gugatan yang dibuat secara cermat dan terang, jika tidak dilakukan secaa demikian maka akan mengalami kegagalan dalam sidang 35 Ibid,. hlm. 12 16 Pengadilan. Surat gugat tesebut harus disusun secara singkat, padat, dan mencakup segala persoalan yang disengketakan. Surat gugat tidak boleh abscluur libel, artinya tidak boleh kabur baik mengenai pihak-pihaknya, objek sengketanya dan landasan hukum yang dipergunakannya sebagai dasar gugat. e. Memahami hukum formil dan materiil Sebuah gugatan dikatakan baik dan benar apabila orang yang membuat surat gugat itu mengetahui tentang hukum formil dan hukum materiil, sebab kedua hukum tersebut berkaitan erat dengan seluruh isi gugatan yang akan dipertahankan dalam sidang Pengadilan. Dalam praktek Peradilan Agama sangat sulit ditemukan pada Penggugat mengetahui hukum formil dan materiil secara utuh, meskipun kadang-kadang perkara yang diajukan itu mempergunakan jasa pemberi bantuan hukum. Jalan keluar yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan terhadap orang belum memahami hukum formil dan materiil ini adalah sebagaimana disebut dalam pasal 119 HIR dan pasal 143 R.Bg dimana dikemukakan bahwa Ketua Pengadilan berwenang memberikan nasehat dan bantuan kepada Penggugat atau kuasanya dengan tujuan agar tidak mengalami kesulitan dalam membuat gugatan bagi orang-orang yang kurang pengetahuannya tentang hukum formil dan materiil itu.

2. Kemana Mengajukan Gugatan