Perbedaan Kadar Glutation Peroksidase Pada Abortus Imminens Dan Hamil Normal Trimester I DI RSUP.H.Adam Malik, RS Jejaring FK USU Dan RS.Swasta Medan
PERBEDAAN KADAR GLUTATION PEROKSIDASE PADA ABORTUS
IMMINENS DAN HAMIL NORMAL TRIMESTER I DI RSUP.H.ADAM
MALIK, RS JEJARING FK USU DAN RS.SWASTA MEDAN
TESIS
OLEH:
JULITA ADRIANI LUBIS
DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK
M E D A N 2 0 1 4
(2)
Penelitian ini di bawah bimbingan Tim 5
Pembimbing : Dr.dr.Binarwan Halim, M.Ked (OG), Sp.OG.K
dr. M. Rusda Harahap, M.Ked (OG), Sp.OG.K
Penyanggah : Dr.dr.Sarma N.Lumbanraja , M.Ked(OG),SpOG K
dr.Rhiza Z Tala , M.Ked(OG), SpOG K
dr. Iman Helmi Effendi , M.Ked(OG), SpOG K
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas
dan memenuhi salah satu syarat untuk mencapai keahlian
(3)
KATA PENGANTAR
“Bissmillahirrohmanirrohim”
Segala Puji dan Syukur saya panjatkan kepada ALLAH Subhaanahu wata’ala, Tuhan Yang Maha Esa. Hanya atas izin dan kemurahan-Nya lah penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Sholawat dan salam saya haturkan kepada baginda Muhammad S.A.W, beserta seluruh anbiyaa’ dan para rasul, serta keluarga dan umat mereka seluruhnya.
Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh keahlian dalam bidang Obstetri dan Ginekologi. Sebagai manusia biasa, saya menyadari bahwa tesis saya ini masih banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan saya kiranya tulisan sederhana ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan pustaka, dengan judul :
“ PERBEDAAN KADAR GLUTATION PEROKSIDASE PADA ABORTUS
IMMINENS DAN HAMIL NORMAL TRIMESTER I
DI RSUP.H.ADAM
MALIK, RS JEJARING FK USU DAN RS.SWASTA MEDAN
“Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
(4)
1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof.dr.Gontar Alamsyah Siregar, SpPD (K-GEH) yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran USU Medan.
2. Prof.dr.Delfi Lutan, MSc, SpOG(K)dan Dr.dr. M. Fidel Ganis Siregar, M.Ked (OG), SpOG(K), selaku ketua dan sekretaris Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU, Medan.
3. dr.Henry Salim Siregar, SpOG(K) dan dr. M. Rhiza Z. Tala, M.Ked(OG), SpOG(K) selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK-USU, Medan. 4. Kepada Prof.dr.Delfi Lutan, MSc, Sp.OG(K), Prof.dr.Hamonangan
Hutapea, Sp.OG (K), Prof.Dr.dr.H.M.Thamrin Tanjung, Sp.OG(K), Prof.dr.R. Haryono Roeshadi, Sp.OG(K), Prof.dr.T.M.Hanafiah, Sp.OG(K), Prof.dr.Budi R.Hadibroto, Sp.OG(K), Prof.dr.Daulat H.Sibuea,Sp.OG(K), Prof.dr.M.Fauzie Sahil, Sp.OG (K), dan dr.Deri Edianto, M.Ked(OG),Sp.OG(K), yang secara bersama-sama telah berkenan menerima saya untuk mengikuti pendidikan dokter spesialis di Departemen Obstetri dan Ginekologi. Semoga Allah SWT membalas kebaikan budi guru-guru saya tersebut.
5. Kepada dr. Yostoto B.Kaban,Sp.OG (K) selaku orang tua angkat saya selama menjalani masa pendidikan, yang telah banyak mengayomi,
(5)
membimbing dan memberikan nasehat yang bermanfaat kepada saya selama dalam pendidikan.
6. Dr.dr.Binarwan Halim M.Ked(OG), SpOG(K) dan dr.,M.Rusda Harahap M.Ked(OG), SpOG (K), selaku pembimbing tesis ini, serta Dr.dr.Sarma N Lumbanraja M.Ked(OG), SpOG K, dr. M.Rhiza Z Tala, M.Ked(OG), SpOG(K), dan dr.Iman Helmi Effendi, M.Ked(OG), SpOG(K) selaku penyanggah. Terimakasih kepada para guru saya di tim 5, atas segala koreksi, kritik yang membangun, serta atas segala atas bantuan, bimbingan, juga waktu dan pikiran yang telah diluangkan dengan penuh kesabaran, dalam rangka melengkapi penulisan dan penyusunan tesis ini hingga dapat terselesaikan dengan baik.
7. Kepada dr.Yusuf R Surbakti ,Sp.OG(K) selaku pembimbing minirefarat Fetomaternal saya yang berjudul : “Peranan Sitrullin Malat dalam mengurangi kadar Asam Laktat pada proses persalinan” kepada dr. Edy Ardiansyah, M.Ked(OG), Sp.OG K.selaku pembimbing Minirefarat Magister Kedokteran Klinis Obstetri dan Ginekologi saya yang berjudul:
“laparoskopi Repair Fistula Vesikovagina ”, kepada dr. Ichwanul Adenin, M.Ked(OG),Sp.OG(K) selaku pembimbing minirefarat Fertilitas Endokrinologi dan Reproduksi saya yang berjudul “Infertilitas Karena Faktor Kelainan Tuba ”, dan kepada dr. J.S.Khoman, Sp.OG(K) selaku pembimbing minirefarat Onkologi-Ginekologi saya yang berjudul
(6)
8. Para guru yang saya hormati, seluruh staf pengajar Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, baik di RSUP H.Adam Malik, RSUD dr.Pirngadi, RS Tembakau Deli, RSU Sundari dan RS KESDAM II Putri Hijau, Medan, yang telah banyak membimbing dan mendidik saya sejak awal hingga akhir pendidikan.
9. Direktur RSUP H.Adam Malik, Medan dan Ketua Departemen Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, beserta seluruh staf medis, paramedis maupun non medis-paramedis yang telah memberikan kesempatan, sarana serta bantuan kepada saya untuk bekerja selama mengikuti pendidikan dan selama saya bertugas di instansi tersebut. 10. Direktur RSUD dr.Pirngadi, Medan dan Ketua SMF Kebidanan dan
Penyakit Kandungan dr. Syamsul Arifin Nasution, SpOG(K)beserta seluruh staf medis, paramedis maupun non medis-paramedis yang telah memberikan kesempatan, sarana serta bantuan kepada saya untuk bekerja selama mengikuti pendidikan dan selama saya bertugas di instansi tersebut.
11. Direktur RS Haji Mina Medan dan kepala SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan, dr.H.Muslich Perangin angin, SpOG. Direktur RS Tembakau Deli dan kepala SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan, dr.H.Sofian Abdul Ilah, SpOG. Direktur RSU Sundari dan kepala SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan, dr.H.M.Haidir,MHA, SpOG.
(7)
12. Ka. RUMKIT KesDam II / Bukit Barisan ”Puteri Hijau” dan kepala SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan, dr.Yazim Yacub, SpOG, Mayor CKM dr.Gunawan Rusuldi, SpOg, dr.Agnes SpOG.K, dr.Santa Martha SpOG, serta seluruh staf medis, paramedis maupun non medis-paramedis yang telah memberikan kesempatan, sarana serta bantuan kepada saya untuk bekerja selama mengikuti pendidikan dan selama saya bertugas di instansi-instansi tersebut.
13. Kepada dr.Tetty Aman Nasution, M.Med.Sc selaku kepala Laboratorium Terpadu USU beserta staf yang telah membantu saya dalam menyelesaikan penelitian ini.
14. Kepada senior-senior saya dr. Gorga W.Udjung, Sp.OG, dr. Siti S.Silvia, Sp.OG, dr. Anggia Melanie L, Sp.OG, dr. Maya Hasmita, Sp.OG, dr. Riza H. Nasution, Sp.OG, dr. Lili Kuswani, Sp.OG, dr. M.Ikhwan, Sp.OG, dr. Edward Muldjadi, Sp.OG, dr. Ari Abdurrahman Lubis, Sp.OG, dr. Zilliyadein R, Sp.OG, dr. Beni J, Sp.OG, dr. M. Rizki Yaznil, M.Ked(OG), Sp.OG, dr. Yuri Ardriansyah, Sp.OG, dr.T. Jeffrey A, Sp.OG, dr. Made S. Kumara, Sp.OG, dr. Sri Jauharah L, Sp.OG, dr. M. Yusuf Rahmatsyah, M.Ked(OG), Sp.OG, dr. Boy P.Siregar, Sp.OG, dr. Firman Alamsyah, Sp.OG, dr. Aidil A, Sp.OG, dr. Rizka H, Sp.OG, dr. Hatsari, Sp.OG, dr. Andr P. Aswar, Sp.OG, dr. Alfian, Sp.OG, dr. Errol, Sp.OG, dr. T.Johan, M.Ked(OG, Sp.OG, dr. Tigor, M.Ked(OG), Sp.OG, dr. Elvira, M.Ked(OG), Sp.OG, dr. Hendry Adi, M.Ked(OG), Sp.OG, dr. Heika, M.Ked(OG), Sp.OG, dr. Riske, M.Ked (OG), dr. Ali Akbar, M.Ked(OG), Sp.OG, dr.
(8)
Arjuna, M.Ked(OG), Sp.OG, dr.Janwar, M.Ked(OG), Sp.OG, dr. Irwansyah, M.Ked(OG), Sp.OG, dr. Ulfah,M.Ked(OG), Sp.OG, dr. Ismail, M.Ked(OG),Sp.OG, dr. Aries, dr. Hendri Ginting, M.Ked(OG), Sp.OG, dr. Robby, dr. Meity, M.Ked(OG), Sp.OG, dr. Yusuf, M.Ked(OG), Sp.OG, dr. Fatin, M.Ked(OG), Sp.OG,dr. Pantas, dr. Morel, M.Ked(OG), dr. Sri Damayana, M.Ked(OG), dr. Eka H, M.Ked(OG), dr. Liza Marosa, dr. M. Rizky P lbs, M.Ked(OG), dr. M.Arief, M.ked(OG),Sp.OG, dr. Ferdiansyah, M.Ked(OG), Sp.OG, dr. Yudha, M.Ked(OG),Sp.OG, dr. Henry Gunawan saya berterima kasih atas segala bimbingan dan dukungan selama ini. 15. Kepada teman-teman seangkatan saya : dr. Ika Sulaika, dr.Edi Rizaldi,
dr.Hotbin Purba, dr.Edward S Manurung M.Ked OG , dr.Kiko Marpaung M.ked OG SpOG, Dr.Erwin Edi Syahputra, dr.Abdurrohim Lubis M.ked OG SpOG, dr.Ricca Puspitarrahim M.Ked OG, dr.Novrial, dr.Wahyu Wibowo M.Ked OG SpOG, dr.Hj.Ivo Firtian Chanitry M.Ked OG, SpOG,dr.Ray Christy Barus M.Ked OG SpOG,dr.Nureliani Amni, dr.Fifianti P Adela, dr.Hiro Hidayah D Nst M Ked OG, dr.Anindita M.Ked OG, SpOG serta kebersamaan yang indah yang tidak akan terlupakan. 16. Kepada dr.Bandini. dr.Juhriani Malahayati, dr.Yasmin Hasby, dr.Sugeng,
dr.Adrian, dr.Aurora M Farrah, dr.Eva Maya Puspita ,dr.Indra Setiawan, dr Rizal Aritonang, dr.Nafon, dr Citra, dr.Lidya,dr. Ahmad Safiq, dr.Abdul Gafur, dr.Lutfi,dr.Toni Simarmata, dr.Marrisa , dr.Dyah Nurvita dan rekan-rekan junior yang pernah menjadi satu tim jaga yang tidak bisa saya sebutkan semuanya dan telah banyak memberi dukungan, bantuan atas
(9)
kebersamaan kita selama ini. Terima kasih sebanyak-banyaknya saya ucapkan.
17. Seluruh rekan sejawat PPDS yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, baik para senior maupun junior. Terima kasih atas kerjasama, bantuan, kebersamaan, dorongan semangat dan doa yang telah diberikan.
18. Kepada Almh. Ibu Hj. Asnawati Hsb, Ibu Hj. Sosmalawaty, Ibu Zubaedah, Ibu As, Mimi, Vina, Asih, Anggi, Dewi, Yus, Tuti, Ibu Mawan, Nani, dan seluruh pegawai di lingkungan Departemen Obstetri dan Ginekologi RSHAM dan RSPM, terima kasih atas bantuannya selama ini.
19. Seluruh pasien, rekan dokter muda, staf medis, paramedis maupun non medis-paramedis pada seluruh instansi ditempat saya pernah mengikuti pendidikan maupun bertugas. Terimakasih banyak atas segala kerjasama, bantuan, bimbingan, serta kebaikan yang diberikan selama masa pendidikan yang saya jalani.
Terima kasih dari lubuk hati sanubari yang terdalam saya haturkan kepada kedua orang tua yang saya hormati, cintai dan sayangi, ayahanda Alm.Drs.H Fachruddin Lubis dan ibunda Hj.Rumondang Nasution. Tiada kata yang dapat melukiskan terimakasih, melainkan rasa syukur yang tidak terhingga kepada ALLAH SWT karena telah menitipkan saya kepada orangtua yang telah membesarkan, membimbing, mendoakan, mendidik dan mendukung saya dengan penuh keikhlasan dan kasih sayang, semenjak lahir hingga saat ini. Hanya
(10)
ALLAH SWT yang dapat membalas kebaikan yang telah mereka berikan selama ini, dan semoga saya dapat menjadi hiasan dunia maupun akhirat bagi mereka berdua.
Kepada Anakku tercinta dan terkasih Farisya Rabiatul Adawiyah yang telah sabar selama ini menanti mama sekolah dan kepada saudaraku abangda Rudi Faisal Lubis SSTP Msi, Adi Surya Lubis S.E dan adikku Imelda Mega Sari Lubis B.A saya ucapkan terima kasih atas dukungannya kepada saya dalam menempuh pendidikan spesialis
Kepada seluruh pihak yang saya sebutkan maupun tidak tersebut sebelumnya, saya memohon maaf atas segala kekhilafan yang saya lakukan selama ini, baik yang disadari maupun tidak. Semoga kita semua selalu menjadi orang-orang yang rendah hati, ikhlas, bersyukur, serta selalu dalam ampunan, kemudahan, dan kasih sayang dari ALLAH SWT, aamiin insyaa ALLAH.
Medan, Maret 2014
(11)
DAFTAR SINGKATAN
ACA = Anti Cardiolipin Antibodi AKI = Angka Kematian Ibu AMP = Adenosine monophospat aPA = Antiphospolipid Antibodi APS = Antiphospolipid Sindrom
BKKBN = Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana DNA = Deoxyribo Nucleic Acid
Fe = Ferrum
GPx = Gluthatione Peroxidase
hCG = Human Chorionic Gonadotropin HIV = Human Immunideficiency Virus HSV = Herpes Simplek Virus
H2O2 = Hidrogen Peroksida
IUGR = Intra Uterine Growth Restriction LA = Lupus Anticoagulant
MDGs = Millenium Development Goals OFRs = Oksigen Free Radicals
O2 = Oksigen
RCOG = Royal College Obstetri and Gynecology ROS = Reactive Oxygen Species
SDKI = Survei Demografi Kesehatan Indonesia SLE = Sistemik Lupus Eritematosus
SOD = Superoksida Dismutase USG = Ultra Sonografi
(12)
PERBEDAAN KADAR GLUTATION PEROKSIDASE PADA ABORTUS IMMINENS DAN HAMIL NORMAL TRIMESTER I DI RSUP.H ADAM MALIK, RS.JEJARING FK USU DAN RS SWASTA
MEDAN Julita Adriani
Sarma N. Lumbanraja, M. Rhiza Tala, Iman Helmi Effendi , Binarwan Halim, M.Rusda Harahap,
Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan, Indonesia, Maret, 2014
ABSTRAK
LATAR BELAKANG : abortus merupakan kejadian paling sering dijumpai pada kehamilan, dengan prevalensi 10-15 %.Penyebab klasik kematian ibu salah satunya adalah abortus. Angka Kematian Ibu di Indonesia (AKI) di Indonesia masih memegang “peringkat satu” di Asia Tenggara, dimana setiap tahunnya 15.000-17.000 ibu meninggal karena melahirkan. Tingginya AKI di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal penyebab tidak langsung yaitu rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga terhadap resiko-resiko kehamilan dan persalinan. Pada hamil normal, stadium awal perkembangan terjadi pada lingkungan yang rendah oksigen (O2). Hipoksia fisiologis dari kantung gestasi akan melindungi fetus terhadap efek
penghancur dan teratogenik dari radikal bebas O2 (OFRs
TUJUAN : Mengetahui perbedaan kadar Glutation peroksidase pada abortus imminens dan hamil normal trimester I di RSUP.H.Adam Malik, RS.Jejaring FK USU dan RS.Swasta Medan. Mengukur kadar glutation peroksidase pada kelom abortus imminens dan kelompok hamil normal trimester I
). Radikal bebas dengan jumlah yang berlebih dibandingkan dengan antioksidan disebut stres oksidatif dan akan menyebabkan kerusakan sel. Selenium merupakan salah satu komponen penting enzim Glutation Peroksidase (GPx) yang berperan untuk mencegah terbentuknya radikal bebas spesies (ROS). Pada kasus abortus stres oksidatif pada plasenta dapat menyebabkan timbulnya preeklamsia dan abortus dimana fluktuasi oksigen meningkat tajam dan lapisan sinsitiotrofoblas pada plasenta sangat sensitif terhadap peningkatan oksigen sehingga menyebabkan degenerasi selektif dan menyebabkan pemasukan premature yang berlebihan dari darah maternal dan didapatkan invasi trofoblas lebih sedikit dengan agregasi endovascular sel sitotrofoblas yang lebih lengkap.
METODE:Jenis penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional pada 2 kelompok penelitian yaitu ibu dengan abortus imminens dan hamil normal trimester I. Penelitian ini dimulai pada 1 januari 2014 sampai jumlah sampel terpenuhi dengan total sampel dari kedua kelompok penelitian sebanyak 42 sampel.
HASIL: Dari 42 sampel penelitian yang terdiri 21 kelompok abortus dan 21 kelompok hamil normal bahwa terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok abortus dan hamil normal dimana nilai p=0.000 ( p<0.05)
(13)
DIFFERENT LEVELS OF GLUTATHIONE PEROXIDASE THREATENED ABORTION AND NORMAL PREGNANT IN 1ST TRIMESTER AT RSUP.H.ADAM MALIK, SATELLITE HOSPITAL AND
PRIVATE HOSPITAL IN MEDAN Julita adriani
Sarma N. Lumbanraja, M.Rhiza Tala, Iman Helmi Effendi , Binarwan Halim, M.Rusda Harahap
Departement of obstetric and gynecology, faculty of medicine, university of North Sumatera
Medan, Indonesia March 2014 ABTRACT
BACKGORUND: Abortion is the most common occurance in pregnancy, with a prevalence of 10-15%. Causes of maternal mortality the classic one in abortion. Maternal Mortality in Indonesia (MMI) in Indonesia is still holding the “number one” in Southeast Asia, Where every 15.000-17.000 mother died giving birth. Indonesia’s high maternal mortality rate is caused by several things, namely indirect causes lack of knowledge of mother and family of the risk of pregnancy and childbirth. In normal pergenancy, the early stages of development occur in an environment of low oxygen (O2). Physioogical hypoxia of gestational sac protects the fetus againts the destroyer and teratogenics effect of O2 free radicals (OFRs). Free radical are excessive compared to the amount of antioxidant known to cause oxidative stress and cell damage. Selenium is a component of gluthatione peroxidase, an important enzyme (GPx), which acts to prevent the formation of free radical species (ROS). In the case of abortion oxidative stress in the placenta can cause preeclampsia and abortion where fluctuations in oxygen increased sharply and syncytiotrophoblast layer of the placenta is very sensitive to oxygen, causing an increase in the selective degeneration and premature excessive lead intake from maternal blood and obtained trophoblast invasion less with endovascular aggregation cytotrophoblast cells are more complete.
OBJECTIVE: To determined differences in the evels of gluthatione peroxidase in normal pregnancy anf threatened abortion and normal pregnancy first trimester group
METHODS : the study uses cross sectionel study in which two groups of women with threatened abortion and first trimester of normal pregnancy. The sutdy began on 1st
RESULTS : from 42 study sample comprised 21 groups of abortion and 21 normal pregnancy group that there is a significant difference in both gorups abortion and normal pregnancy in which the value of p=0.000 ( p<0.05)
january 2014 to be fulfilled by the total number of samples from gorups of the sutdy sample as many as 42 samples.
(14)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 . Latar belakang
Abortus merupakan kejadian yang paling sering dijumpai pada kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar 10-15 % dari semua tanda klinis kehamilan yang dikenali, tapi secara empiris estimasi dan prevalensi masih bervariasi dari yang terendah 2-3% sampai yang tinggi sekitar 30%.
Tiga penyebab klasik kematian ibu di dunia ini disebabkan oleh 3 faktor yaitu keracunan kehamilan, perdarahan, infeksi sedangkan penyebab ke empat yaitu abortus. World Health Organization (WHO) melaporkan setiap tahun 42 juta wanita mengalami kehamilan yang tidak diinginkan yang menyebabkan abortus, terdiri dari 20 juta merupakan unsafe abortion, yang paling sering terjadi pada negara-negara dimana abortus itu illegal.
1
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melaporkan masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dimana Indonesia masih memegang peringkat “juara satu” di Asia Tenggara. Setiap tahun diperkirakan ada 5 juta ibu hamil di Indonesia, dari jumlah tersebut, dua meninggal dalam satu jamnya karena komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas. Jadi setiap tahun ada 15.000-17.000 ibu meninggal karena melahirkan. Kondisi seperti ini
(15)
dikhawatirkan tidak akan dapat mencapai target dalam Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 dalam mengentaskan kematian ibu. Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menyebutkan bahwa AKI masih 228/100.000 kelahiran hidup sedangkan target MDGs adalah 102/100.000 kelahiran hidup. Menurut SDKI 2012 menemukan survey yang mengejutkan bahwa terjadi lonjakan AKI sebesar 359/100.000 kelahiran hidup.
Tingginya AKI di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal penyebab tidak langsung yaitu rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga terhadap resiko-resiko kehamilan dan persalinan. Banyak masyarakat yang menganggap kehamilan dan persalinan hanya suatu hal yang biasa saja, tidak memerlukan persiapan khusus, kurangnya pemahaman ibu terhadap kebutuan gizi pada saat hamil, terlambat dalam pertolongan persalinan sebagai akibat dari lambatnya pengambilan keputusan oleh keluarga dan lingkungan sosialnya. Hal lainnya adalah mahalnya biaya melahirkan di rumah sakit bersalin, kurang tersedianya rumah sakit bersalin atau puskesma yang memadai di daerah-daerah.
3
Pada kehamilan normal, stadium awal perkembangan terjadi pada lingkungan yang rendah oksigen (O
3
2). Hipoksia fisiologis dari
kantung gestasi akan melindungi fetus terhadap efek penghancur dan teratogenik dari radikal bebas O2 ( OFRs) 4
(16)
Radikal bebas adalah molekul dimana lapisan paling luar tidak memiliki pasangan. Dengan kondisi yang tidak berpasangan membuat molekul itu semakin reaktif yang artinya mampu bereaksi bebas dengan molekul yang berada di sekitarnya. Molekul tersebut termasuk protein, lemak, karbohidrat dan Deoxyribo Nuclei Acid (DNA).
Reaktif berarti mereka juga tidak bertahan lama dalam bentuk aslinya karena untuk mempertahankan bentuk aslinya, molekul ini akan mengambil satu molekul yang stabil dari yang lain yang berada di dekatnya dan molekul yang diambil tersebut akan menjadi radikal bebas dan seterusnya sampai terjadi kerusakan sel. Molekul yang sangat reaktif ini sebagian besar berasal dari oksigen, maka secara umum disebut reactive Oxygen Species (ROS).
5,6
Radikal bebas dapat dinetralisir dengan antioksidan, tetapi jika melebihi suatu pertahanan antioksidan maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut dengan stres oksidatif. Pada tahap ini kelebihan radikal bebas dapat bereaksi dengan sel lipid, protein dan asam nukleat, sehingga menyebabkan kerusakan sel. Lemak adalah molekul yang paling rentan untuk diserang radikal bebas.
5,6
Selenium merupakan mikroeleman yang penting pada tubuh manusia, pada hewan ternak abortus idiopatik telah terbukti disebabkan oleh defisiensi selenium. Selenium merupakan suatu mikroprotein yang merupakan bagian dari enzim yang tergantung protein yang disebut selenoprotein.
7,8
(17)
Salah satu enzim selenoprotein yang penting adalah enzim glutatione peroksidase (GPx) yang berperan untuk mencegah terbentuknya radikal bebas dan reactive oxygen spesies (ROS) 9
Enzim glutation peroksidase membantu mencegah kerusakan sel yang disebabkan radikal bebas, salah satunya adalah hidrogen peroksida (H
.
2O2). Defisiensi selenium menyebabkan defisiensi
glutation peroksidase sehingga H2O2 tidak dapat diuraikan menjadi air
dan oksigen, maka hidrogen peroksida akan bereaksi dengan besi atau superoksid dismutase (SOD) menghasilkan radikal hidroksil yang kemudian akan bereaksi dengan lemak pada dinding sel menghasilkan lipid peroksida yang dapat menyebabkan kerusakan sel.
Stres oksidatif plasenta dapat menyebabkan timbulnya preeklamsia dan abortus dimana tekanan oksigen akan meningkat secara bertahap. Peningkatan ini bersamaan dengan perubahan morfologi arteri uterus sehingga memungkinkan sirkulasi yang bebas dari maternal ke dalam plasenta, dan hal ini berhubungan dengan peningkatan aktivitas enzim antioksidan katalase, GPx dan SOD pada jaringan plasenta. Apabila fluktuasi konsentrasi oksigen terlalu cepat atau meningkat terlalu tajam sehingga sistem perlawanan antioksidan menjadi berlebihan yang akhirnya timbul stres oksidatif. Dalam hal ini kerusakan pemecahan protein, lipid dan kerusakan DNA yang berat berpengaruh pada fungsi sel normal sehingga dapat menyebabkan kematian sel.
10,11,12
(18)
Lapisan sinsitiotrofoblas pada plasenta sangat sensitif terhadap peningkatan oksigen sehingga menyebabkan degenerasi selektif. Stres oksidatif akan mengambil tempat pada permukaan sel sinsitiotrofoblas karena tempat ini merupakan tempat pertama yang akan mengalami peningkatan tekanan oksigen, kemudian sinsitiotrofoblas mengandung konsentrasi enzim antioksidan yang lebih rendah dibandingkan vili jaringan lainnya pada usia kehamilan awal. Adanya ketidak-seimbangan yang terjadi sementara antara peningkatan produksi radikal bebas akibat meningkatnya tekanan oksigen secara cepat dan penyesuaian dengan perlawanan antioksidan untuk menguranginya sehingga akan timbul stres oksidatif. Stres oksidatif yang berlebihan ini dapat memainkan peranan penting pada plasenta sehingga proses ini mampu merubah sel sinsitiotrofoblas dari proliferatif menjadi invasif sehingga akan menstimulasi perpindahan trofoblas ektravili ke endometrium.
Pada kasus dimana terjadi abortus terdapat pemasukan yang prematur dan berlebihan dari darah maternal ke dalam ruang intervili dan pada pemeriksaan histopatologi desidua dari kasus ini akan didapatkan invasi trofoblas lebih sedikit daripada keadaan normal dengan agregasi endovaskuler sel sitotropoblas yang tidak lengkap.
14,15
(19)
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dikatakan bahwa tingginya Angka Kematian Ibu karena komplikasi kehamilan salah satunya abortus, komplikasi persalinan dan nifas serta dijumpainya peran radikal bebas dan antioksidan sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya abortus maka yang menjadi pertanyaan penelitian adalah apakah ada perbedaan kadar glutation peroksidase dengan terjadinya abortus imminens dibandingkan dengan hamil normal ?
1.3. Tujuan penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan kadar glutation peroksidase pada abortus imminens dan hamil normal trimester I di RSUP.H.Adam Malik, rumah sakit jejaring FK USU dan rumah sakit-rumah sakit swasta Medan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengukur kadar glutation peroksidase pada kelompok abortus imminens
2. Mengukur kadar glutation peroksidase pada kelompok hamil normal trimester I
3. Mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar glutation peroxidase pada abortus imminens dan hamil normal trimester I
(20)
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai sumber data-data dasar untuk dilanjutkan pada penelitian berikutnya
2. Menambah pemahaman mengenai patofisiologi stres oksidatif sebagai faktor penyerta abortus imminens
(21)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Abortus
Abortus adalah ancaman akan keluarnya hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup di luar kandungan, atau menurut kriteria WHO yang menyatakan berat janin atau embrio itu paling tidak telah mencapai 500 gram atau kurang yang sesuai dengan usia kehamilan 20 minggu
Klasifikasi abortus adalah:
16,17,18
16
1. Abortus spontan yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja
Abortus ini dibagai atas 5 kategori yaitu :
a. Abortus imminens yaitu perdarahan yang terjadi pada paruh pertama kehamilan yang bisa mengacam ibu untuk terjadinya keguguran
b. Abortus insipien yaitu abortus yang tidak dapat terhindarkan ditandai dengan pecahnya ketuban yang nyata disertai pembukaan serviks
c. Abortus inkomplit yaitu abortus yang terjadi sebelum usia gestasi 20 minggu. Pada abortus ini kanalis servikalis membuka, jadi tidak diperlukan untuk dilakukan dilatasi serviks
(22)
d. Missed abortion yaitu retensi produk konsepsi sebelum usia kehamilan 20 minggu yang telah meninggal in utero selama ± 6 minggu. Pada kasus yang tipikal, kehamilan berlangsung normal, dengan amenore, mual dan muntah, perubahan payudara dan pertumbuhan uterus.
e. Abortus habitualis yaitu abortus spontan yang terjadi selama dua kali berturut-turut.
2. Abortus provokatus yaitu abortus yang disengaja yang terbagi atas dua kategori yaitu :
a. Abortus provokatus medisinalis yaitu abortus yang dilakukan atas indikasi medis
b. Abortus provokatus kriminalis yaitu abortus yang dilakukan bukan atas indikasi medis
Gambar 1. Klasifikasi abortus
(23)
2.2 Klasifikasi abortus lain
Teknologi yang semakin canggih memungkinkan kita untuk mendeteksi kehamilan dengan pemeriksaan hormon human chorionic gonadotropin (hCG) dan ultrasonografi (USG) menyebabkan penentuan jenis abortus menjadi akurat berdasarkan usia kehamilan.
Tabel 2.1 Klasifikasi kejadian abortus berdasarkan usia kehamilan.
Hasil temuan ultrasonografi dan evaluasi kadar hCG
16 Jenis 16 abortus Usia kehamilan
Aktivitas DJJ USG Kadar β hCG
Kegagalan
preembrionik
< 6 Tidak pernah Kehamilan teridentifikasi Rendah kemudian menurun Kegagalan kehamilan dini/embrionik
6-8 Tidak pernah Kantung
kehamilan yang kosong atau dengan struktur yang minimal tanpa aktifitas DJJ Awalnya meningkat lalu menurun
(24)
Tabel 2.2 Kejadian abortus berulang berdasarkan usia kehamilan
dikaitkan dengan kemungkinan penyebab dan investigasi
Jenis abortus
16
Kondisi yang mungkin berhubungan
Investigasi
Abortus
preembrionik dan embrionik
Kelainan kromosom
Kelainan hormon
Kelainan endometrium
Kelainan imunologi
Pemeriksaan kromosom
Pemeriksaan hormon
Pengambilan sampel
Endometrium
Anti cardiolipin antibodi
(ACA) dan lupus
anticoagulant (LA) abortus janin Antifosfolipid Syndrome
( APS)
Tromobofilia
ACA dan LA
Pemeriksaan hemostatis dan skrining trombofilia
Abortus trimester kedua
Kelainan anatomi Kelemahan servik
Histeroskopi , USG USG
(25)
2.3 Etiologi
Penyebab abortus bervariasi dan sering diperdebatkan. Umumnya lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak diantaranya adalah sebagai berikut yaitu :
2.3.1. Faktor Kromosom
Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling sedikit 50 % kejadian abortus pada trimester pertama yang merupakan kelainan sitogenetik. Kelainan tertinggi kelainan sitogenetik konsepsi terjadi awal kehamilan, kelainan sitogenetik embrio biasanya berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian sporadis misalnya non disjunction meiosis atau poliploidi dari fertilitas abnormal.20
2.3.2 Kelainan Kongenital
Defek anatomi diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat abortus ditemukan anomali uterus pada 27 % pasien. Studi terhadap 170 pasien hamil dengan malformasi uterus,
(26)
mendapatkan hasil hanya 18,8 % yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup bulan, sedangkan 36,5 % mengalami persalinan abnormal (prematur, sungsang). Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomi uterus adalah uterus biseptum ( 40-80%), kemudian uterus bikornu atau uterus didelphi atau unikornu (10-30%). Mioma uteri bisa menyebabkan infertilitas maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya antara 10-30% pada perempuan usia reproduksi.
2.3.3. Inkompeten Servik
16
Inkompeten servik adalah ketidakmampuan servik untuk mempertahankan kehamilan sampai dengan aterm. Insiden ini terjadi bervariasi pada semua wanita hamil, berkisar 8% s/d 15 %. Insiden ini diperkuat dari riwayat sudah pernah mengalami abortus sebelumnya.16
2.3.4. Autoimun
Penyebab imunologis abortus berulang kurang dipahami, jika secara luas banyak antibodi ditemukan positif. Hubungan antara berbagai antibodi ini masih menjadi persoalan. Lebih banyak kejadian berulang abortus semakin tinggi kadar antibodi yang terdeteksi. Sekiranya ini adalah penyebab atau akibat susah ditentukan, tetapi terdapat hubungan antara regimen
(27)
pengobatan yang menyebabkan pemeriksaan antibodi ini penting20
Satu tipe yang harus diperiksa adalah antifosfolipd
syndrome (APS) yang terkait pada 15 % abortus berulang. Fosfolipid berperan dalam membran sel dan berbagai fungsi seluler seperti sintesis prostasiklin dan aktivitas protein C. Antibodi antifosfolip terkait dengan banyak penyakit termasuk kelainan vaskuler endotel dan abortus dini. Secara klasik antibodi ini terkait dengan kematian intrauterin, solusio, Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) dan Preeklamsia.
.
Diagnosis awal terkait pada abnormalitas pada koagulasi, yang dikenali sebagai antikoagulan ‘lupus’. Diagnosis ditegakkan dengan menggunakan pemeriksaan koagulasi fosfolipid dependen, misalnya caolin clotting time ,plasma clotting time, APTT. Masalah utama pada pemeriksaan ini adalah kecilnya standarisasi antara pusat dan presentase rasio positif yang berbeda-beda. Satu faktor lain adalah kadar antibodi yang berubah dengan kehamilan. Beberapa wanita yang antibodinya negatif sebelum hamil bisa mempunyai level antibodi yang abnormal pada kehamilan, dan harus diperiksa ulang pada trimester pertama. Abnormalitas dari respon imun merupakan salah satu penyebab abortus. Sejauh ini, belum ada teori yang terbukti diterima.
(28)
Abnormalitas imun berperan dalam abortus berulang yang menyebabkan dilakukannya suatu pemeriksaan yang bersifat mahal dan berbahaya tanpa hasil yang bermanfaat secara umum.
Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun, misalnya pada sistemik lupus eritematosus (SLE) dan antiphospolipid antibodi (aPA). aPA merupakan antibodi spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE. Sebagian kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA
21
2.3.5 Infeksi
22
Infeksi mikroba diduga sebagai penyebab terjadinya abortus pada perempuan yang ternyata terpapar bruselosis. Jenis-jenis bakteri :
23
• Listeria monositogenes
• Klamidia trakomatis
• Ureaplasma urealitikum
• Mikoplasma hominis
(29)
Jenis virus :
• Sitomegalovirus
• Rubella
• Herpes simpleks virus (HSV)
• Human immunodeficiency virus (HIV)
• Parpovirus
Jenis-jenis parasit
• Toksoplasmosis gondii
• Plasmodium palsiparum
2.3.6. Kelainan Endokrin
Disfungsi endokrin dalam beberapa jalur hormon terkait dengan abortus berulang. Tidak ada peningkatan resiko abortus pada wanita dengan DM yang terkontrol, tetapi nilai HbA1C terkait kepada kadar glikogen pada awal kehamilan yang berhubungan dengan abortus spontan dan kematian janin dalam kehamilan. Penyakit tiroid tidak terkontrol juga berhubungan dengan kegagalan reproduksi, walaupun infertilitas merupakan masalah utama, beberapa penyelidikan telah melaporkan hubungan antara antibodi tiroid dan abortus berulang. Jika dilakukan pemeriksaan antibodi tiroid sebelum terjadinya abortus ditemukan positif, namun jika sudah terjadi
(30)
abortus, dan diperiksa antibodi tiroid ditemukan hasil yang negatif.24, 25
2.3.7 Defek Fase Luteal
Sekresi progesteron menyebabkan perubahan endometrium yang penting untuk implantasi dan melanjutkan kehamilan. Pada fase luteal siklus menstruasi, progesteron dihasilkan dari korpus luteum. Jika terjadi kehamilan, korpus luteum menghasilkan progesteron sehingga trofoblas bisa menghasilkan progesteron sendiri (setelah 5 minggu kehamilan). Penyelidikan awal membuat hipotesa bahwa defek fase luteal dapat menyebabkan isufisiensi sintesis progesteron dan abortus berulang. Defek fase luteal terjadi karena kurangnya perkembangan dari folikel dan sekresi estrogen abnormal, yang membuat sekresi abnormal dari luteinizing hormone (LH) dan hiperandrogen.
Diagnosis defek fase luteal ditegakkan dengan penemuan dari biopsi endometrium yang dilakukan setelah dihitung 2 hari dari tanggal ovulasi dari siklus menstruasi. Kadar progesteron bisa digunakan sebagai kriteria diagnosis untuk defek fase luteal. Walaupun bukti klinis yang mendukung defek fase luteal sebagai kondisi patologis belum ditemukan, agen
(31)
progestasional sering di berikan kepada wanita dengan riwayat abortus untuk mengurangi keguguran pada trimester pertama.27
2.3.8. Faktor Lingkungan
Abortus yang disebabkan oleh banyak faktor lingkungan yang biasanya dikarenakan konsumsi zat yang membahayakan kehamilan antara lain :
2.3.8.1 Kafein
Kafein adalah satu substansial yang terkandung didalam makanan sehari-hari, terutama dalam kopi, dengan konsentrasi rata-rata sebanyak 107 mg/cangkir, tapi terdapat dalam konsentrasi yang rendah dalam teh, minuman bersoda, coklat dan obat-obatan.
Kafein mudah diabsorbsi dari traktus gastrointestinal dan didistribusi ke semua jaringan organisme dan juga dapat melewati sawar darah plasenta. Waktu paruh plasma pada orang dewasa yang sehat adalah sekitar 2.5-4.5 jam. Namun pada ibu hamil waktu paruh meningkat sampai 10.5 jam. Pada bayi baru lahir sekitar 32-140 jam. Konsumsi tembakau dapat menurunkan waktu paruh plasma kafein, namun dapat meningkatkan waktu paruh plasma dari kafein sebanyak 20 %
(32)
jika konsumsi merokok dihentikan. Konsumsi kopi selama kehamilan pada beberapa studi berkaitan dengan terjadinya abortus. Resiko abortus lebih tinggi pada ibu yang mengkonsumsi kafein dari kopi dibandingkan dari teh atau coklat. Namun demikian, Mills dkk tidak menjumpai adanya kaitan yang menyebabkan terjadinya abortus.
Ada beberapa hipotesis yang menjelaskan hubungan antara kafein dengan abortus. Kita tahu bahwa kafein meningkatkan siklus 3,5-adenosine monophospat (AMP cyclic), mengganggu perkembangan fetus dan hormon pada ibu dan janin. Kafein juga secara struktural mirip dengan adenin dan guanin. Jadi bisa secara langsung berinteraksi dengan asam nukleat, menyebabkan abrasi kromosom. Mekanisme penting lain bisa meningkatkan katekolamin yang bisa menyebabkan vasokontriksi dan menurunkan sirkulasi uteroplasenta, menyebabkan fetal hipoksia. Telah dilakukan penelitian pada 1064 wanita yang mengkonsumsi kafein dengan dosis 200 mg (25.5%) dapat menurunkan aliran darah ke uteroplasenta dan berpotensi untuk terjadinya abortus.
,29,30
29,30
2.3.8.2 Tembakau
Beberapa studi menunjukkan kaitan antara kejadian abortus dengan konsumsi tembakau dan sudah dibuktikan dari beberapa
(33)
studi. Beberapa komponen dari tembakau menunjukkan adanya racun yang bisa menyebabkan kejadian abortus, yang paling penting nikotin. Hal ini dapat menyebabkan vaskulitis sekunder menjadi vaskulitis spasme, menyebabkan kelainan plasenta, tapi tidak satupun mekanisme aksi yang terbukti. Kaitan yang mungkin antara tembakau dapat menghasilkan kelainan trisomi, dari hipotesa belum di demonstrasikan.
2.3.8.3 Alkohol
31
Kita ketahui bahwa alkohol bisa menyebabkan beberapa efek pada perkembangan fetus. Hal ini dapat menyebabkan sindrom alkohol fetus yang sudah dijelaskan sebelumnya oleh Jones dkk. Tidak ada dosis yang aman pada ibu hamil dalam mengkonsumsi alkohol. dengan kadar dalam darah lebih dari 200 mg/ml dapat secara langsung menyebabkan abortus.
Dari beberapa studi yang ditunjukkan Tine BH dkk bahwa resiko terjadi pada wanita yang mengkonsumsi alkohol. Alkohol dapat melewati sawar plasenta janin, mencapai level yang sama pada ibu. Mungkin, dapat menyebabkan keracunan secara langsung tapi satu dari produk metabolisme asetaldehid dapat menjadi teratogen yang terakumulasi pada janin.
32
(34)
2.3.8.4 Narkotika
Tingkat konsumsi yang tinggi dari narkotika pada masyarakat memicu beberapa studi untuk mencari penyebab efek samping terhadap ibu hamil. Kokain adalah substansi yang berasal dari tanaman yang dijumpai di daerah Amerika Selatan disebut Erytroxylon coca.
Beberapa studi menunjukkan kemungkinan resiko efek samping dengan mengkonsumsi kokain selama kehamilan. Kokain memblok reuptake dari katekolamin pada syaraf pusat, dapat meningkatkan konsentrasi efektor terminal di dalam aliran darah. Jadi hal ini dapat menyebabkan vasokontriksi plasenta, dan menurunkan aliran darah uterus, dan jika level norepinefrin meningkat dapat meningkatkan kontraksi uterus. Pada binatang terjadi penurunan oksigen pada janin, dan menyebabkan fetal takikardi setelah mengkosumsi kokain telah didemonstrasikan.
33
Mengenai obat-obatan lain, faktor resiko yang berkaitan dengan konsumsi marijuana belum pernah didemonstrasikan. Konsumsi heroin telah menunjukkan IUGR dan kematian janin dalam kandungan.
33
(35)
2.3.9 Paritas
Lebih dari 80% abortus terjadi pada 12 minggu usia kehamilan, dan sekurangnya separuh disebabkan oleh kelainan kromosom. Resiko terjadinya abortus spontan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah paritas, sama atau seiring dengan usia maternal dan paternal
Penelitian pada jumlah paritas yang > 2(1-3) pada 567 pasien dijumpai sekitar 48,4% mengalami abortus sedangkan pada kelompok paritas 4-6 pada 413 pasien dijumpai kejadian abortus sekitar 33,7%.
34
2.3.10 Trauma
35
Trauma pada ibu hamil merupakan kondisi emergensi yang menjadi tantangan bagi setiap dokter. Perubahan fisik selama kehamilan menjadi topeng terhadap gejala dan menimbulkan misinterpretasi. Keterlambatan dalam mendiagnosa dan menerapi menyebabkan komplikasi dan kematian bayi. Pada penelitian oleh Lee C, tentang hubungan riwayat trauma terhadap kejadian abortus mengatakan resiko trauma berkorelasi dengan abortus yaitu dijumpainya berkisar 49% lebih sering terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor.
(36)
Trauma maternal penyebab non obstetrik utama yang meningkatkan proporsi kematian antara ibu dan janin
Wanita hamil selamat dari abortus berkisar 10-20 %. Dari studi California 4,8 juta kehamilan hampir 1 dalam 350 wanita dirawat karena kecelakaan. Audit dari Parkland Hospital, Hawkins dan rekan mengungkapkan kecelakan kedaraan bermotor terjadi sekitar 85%.
36
36
Usia mempengaruhi angka kejadian abortus yaitu pada usia di bawah 20 tahun dan diatas 35 tahun, kurun waktu reproduksi sehat adalah 20-30 tahun dan abortus dapat terjadi pada usia muda, karena pada usia muda/ remaja, alat reproduksi belum matang dan belum siap untuk hamil.
2.3.11. Usia
Frekuensi abortus bertambah dari 12 % pada wanita 20 tahun, menjadi 26 % pada wanita diatas usia 40 tahun. Penyebab keguguran yang lain adalah kelainan sitogenetik. Kelainan sitogenetik embrio biasanya berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian sporadik, misalnya nondijunction meiosis atau poliploidi dari fertilisasi abnormal.
16
16
Separuh dari abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Triploidi ditemukan pada 16 % kejadian abortus, dimana terjadi fertilisasi ovum
(37)
normal haploid oleh 2 sperma sebagai mekanisme patologi primer. Trisomi timbul akibat dari nondisjunction meiosis selama gametogensis. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia.
2.3.12 Pekerjaan
16
Kaitan antara pekerjaan dengan angka kejadian abortus berkaitan satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan wanita dengan pekerjaan dengan pendapatan rendah berkaitan dengan tingkat abortus yang tinggi, dikarenakan pengawasan selama kehamilan yang rendah karena terkendala biaya perobatan. Tingkat sosioekonomi yang rendah berkaitan dengan tingkat stres yang tinggi .
Dua puluh tujuh persen kejadian abortus terjadi pada pasien di bawah garis kemiskinan. Ketidakmampuan wanita dari sudut ekonomi sebagai pemicu terjadi abortus kriminalis atau legal abortion. Hal ini juga dikaitkan dengan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang berujung pada terjadinya perceraian.
37
(38)
2.3.13 Kehamilan Yang Tidak Diinginkan
Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan merupakan masalah utama bagi tiap pasangan. Menurunkan angka kehamilan yang tidak diinginkan merupakan hal yang penting dibagian departemen kesehatan. Wanita yang tidak menginginkan kehamilan berkaitan dari perilaku ibu yaitu ante natal care yang inadekuat, merokok, peminum, kurang asupan gizi ibu dan kesehatan mental ibu yang berpengaruh terhadap janin.
Efek dari kehamilan yang tidak diinginkan pada usia anak sekolah berujung pada keluarnya anak tersebut dari sekolahnya. Keluarnya mereka dari sekolah berdampak pada gangguan psikis dan dampak sosial lingkungannya. Perempuan yang keluar sekolah cenderung merupakan golongan pengangguran dikarenakan tingkat sumber daya manusia yang rendah dan pendapatan yang rendah.
38
Presentase kehamilan yang tidak diiginkan meningkat sedikit antara tahun 2001 (48 %) tahun 2006 (49%). Presentase kehamilan yang tidak diinginkan secara umum menurun dengan usia yaitu lebih 4 dari 5 kehamilan yang tidak diinginkan berada pada usia 19 tahun atau kurang .
39
(39)
Wanita dengan pendidikan dan pendapatan yang rendah memiliki tingkat kehamilan yang tidak diinginkan lebih tinggi. Kehamilan yang tidak diinginkan ini lebih tinggi pada ras kulit hitam. Tingkat kehamilan yang tidak diinginkan itu meningkat pada status pernikahan yang tidak jelas.
2.4 Penatalaksanaan Abortus
39
Panduan Royal College of Obstetri and Gynecology (RCOG) atas penatalaksanaan abortus meliputi tindakan bedah, pengobatan dan manajemen ekspektatif. Pasien harus diberikan pilihan dengan memberikan penjelasan lebih awal. Unit penanganan ibu hamil trimester pertama secara esensial yaitu manajemen ekspektatif dan pengobatan terhadap abortus.
1. Tindakan pembedahan
40
Evakuasi tindakan pembedahan uterus masih merupakan pilihan pertama jika terjadi perdarahan yang masif atau tanda-tanda vital yang tidak stabil atau adanya jaringan yang terinfeksi di dalam rongga uterus. Namun tindakan bedah sering menyebabkan komplikasi, perdarahan, perforasi uterus, robekan servik, trauma intra abdominal, adhesi intrauterin dan juga komplikasi dari anastesi. Panduan RCOG mengemukakan pada tindakan evakuasi bedah harus menggunakan suction kuret, dimana tindakan ini
(40)
lebih aman dan mudah dibandingkan dengan menggunakan alat kuret yang tajam. Pada semua kasus yang memerlukan tindakan pembedahan diperlukan tindakan ripening pada servik.
1. Manajemen pengobatan.
40
Keuntungan dari manajemen pengobatan adalah untuk menghindari risiko dari tindakan pembedahan dan anastesi. Namun, pasien bisa merasakan nyeri abdomen karena perdarahan yang hebat. Berbagai cara metode medis telah diterangkan dengan menggunakan prostaglandin analog dengan antiprogesteron lini pertama. Penting untuk pasien mempunyai akses 24 jam ke instalasi gawat darurat untuk mendapatkan rawat inap, karena 1/3 dari pasien akan mengalami perdarahan ataupun abortus pada fase primer, tetap mengalami abortus walaupun sudah di obati dengan anti-progesteron. Prostaglandin analog dapat menyebakan nyeri abdomen , mual, muntah dan diare. Penting untuk memberitahu pasien tentang efek samping dari obat ini.
3. Manejemen ekspektatif
40
Walapun manajemen ekspektatif dapat menghindari risiko berkaitan dengan tindakan bedah dan anastesi, ia dapat memakan waktu beberapa minggu sebelum terjadi abortus komplit. Pasien
(41)
harus diberi inform konsen yang paripurna jika tidak pasien akan meminta dilakukan tindakan pembedahan selama periode observasi.40
(42)
2.5. Plasentasi awal pada wanita hamil
Implantasi pada manusia lebih invasif dan hasil konsepsi menanamkan dirinya sendiri secara keseluruhan di dalam dinding endometrium maternal dan miometrium superfisial. Vili korionik, struktur dasar dari plasenta, terbentuk pada minggu ke 4 dan ke 5 setelah menstruasi dan mengelilingi keseluruhan kantong gestasi hingga usia kehamilan 8-9 minggu. Antara bulan ke 3 dan ke 4, vili pada tempat implantasi menjadi bercabang dan membentuk plasenta, dimana vili pada sisi yang berlawanan mengalami degenerasi untuk membentuk membran plasenta. Pada akhir kehamilan, vili memiliki luas permukaan 12-14 m2 , yang akan menyediakan permukaan yang ekstensif dan dalam untuk pertukaran feto-maternal
Trofoblas akan menghasilkan 3 tipe sel yang utama pada plasenta manusia : (1) sinsitiotrofoblast yang akan membentuk epitel yang menyelimuti vili-vili dan merupakan komponen endokrin utama dari plasenta. (2) sitotrofoblas vili yang mempresentasikan populasi germinatif yang berproliferasi sepanjang kehamilan dan menyatu untuk membentuk sinsitiotrofoblas (3) sel trofoblas ekstravili yang bersifat non proliferatif dan menginvasi endometrium maternal. Trofoblas ekstra vili ini dapat ditemukan di dalam dan disekitar arteri spiralis di area sentral plasenta.
43
43
Mereka secara bertahap akan memanjang ke lateral, mencapai pinggir plasenta pada pertengahan kehamilan. Perubahan pada
(43)
kedalaman biasanya mencapai 1/3 dalam miometrium pada bagian sentral plasenta, akan tetapi kedalaman invasi menjadi lebih dangkal pada daerah perifer. Plasentasi manusia juga memiliki karakter tersendiri yaitu adanya remodeling dari arteri spiralis dimana pembuluh darah kehilangan lamina elastik dan otot polosnya sehingga berkurangnya respon terhadap komponen-komponen vasoaktif di sirkulasi. Pada kehamilan yang normal, transformasi arteri spiral menjadi arteri utero-plasental terjadi pada pertengahan kehamilan. Tujuan utama dari perubahan vaskular ini adalah untuk optimalisasi distribusi darah maternal ke jaringan vaskular uterus yang memiliki tekanan rendah dan terutama pada ruang intervili plasenta. Tekanan oksigen juga berperan penting dalam pembentukan plasenta. Bukti penting mengenai efek oksigen terhadap plasenta datang dari beberapa penelitian bahwa pada stadium awal perkembangan plasenta dan embrio, terjadi pada keadaan uterus yang relatif hipoksia. Penelitian mengenai tekanan oksigen pada plasenta dan endometrium dijumpai bahwa pada usia kehamilan 8-10 minggu, tekanan oksigen (PO2) plasenta 17,9 + 6,9 mmHg, dibandingkan PO2
jaringan endometrium 39,6 + 12,3 mmHg. Pada usia gestasi 12-13 minggu terjadi kenaikan tekanan oksigen plasenta, dimana PO2 plasenta
60,7 + 8,5 mmHg dan PO2 jaringan endometrium 46,5 + 17,4 mmHg.
Hasil penelitian yang sama juga didapatkan oleh Jauniaux dan kawan-kawan pada tahun 2000, dimana tekanan oksigen fetus meningkat secara bertahap mulai kurang dari 20 mmHg pada usia gestasi 8 minggu menjadi
(44)
lebih dari 50 mmHg pada usia gestasi 12 minggu. Penemuan pada arteri spiralis dapat dijumpai pada endometrium, tapi tidak ada satupun yang ditemukan terbuka langsung ke ruang intervilosa. Perubahan yang bermakna terjadi awal pada arteri spiralis, terutama menghilangnya sel-sel otot pada dinding arteri. Mereka menemukan bahwa walaupun arteri spiralis tidak meluas ke ruang intervilosa, darah dan sekresi dapat dilacak melalui celah pada trophoblastic shell dalam ruang intervilosa. Mereka menemukan bahwa dalam arteri spiralis terdapat sumbatan (plug) oleh sel trofoblas. Sumbatan ini akan menjadi longgar susunannya bersamaan dengan bertambahnya usia gestasi. Pada tahap awal sumbatan ini mencegah darah masuk ke ruang intervilosa, tetapi dengan bertambahnya usia gestasi, kemampuannya mencegah masuknya darah berkurang, sehingga dapat disimpulkan bahwa selama stadium awal perkembangan embrio, darah masuk ke ruang intervilosa dengan perlahan.
Sebelum usia gestasi 8 minggu, hubungan arteri maternal dan ruang intervilosa dibatasi oleh jaringan ruang intervilosa yang berliku-liku. Setelah usia gestasi 8 minggu, hubungan langsung arteri dapat diamati. Pada awalnya, hubungan ini berdiameter sangat kecil dan pada usia gestasi 11-12 minggu, hubungan arteri ini menjadi bermakna. Penemuan ini menegaskan bahwa sirkulasi maternal pada ruang intervilosa sangat terbatas sebelum akhir minggu ke-8 usia gestasi. Hubungan antara arteri dan ruang intervilosa terbentuk secara bertahap beberapa minggu
(45)
kemudian hingga 12 minggu usia kehamilan. Konsentrasi dan aktivitas enzim antioksidan terutama di dalam jaringan plasenta juga meningkat pada periode ini. Mitokondria sinsitiotrofoblas sangat sensitif terhadap perubahan tekanan oksigen pada usia kehamilan dini dan sensitifitas ini makin berkurang dengan bertambahnya usia kehamilan. Dapat disimpulkan bahwa embrio dan plasenta pada trimester pertama tumbuh dalam lingkungan yang rendah oksigen dimana lingkungan yang rendah oksigen diperlukan untuk invasi dan diferensiasi trofoblas.
Penelitian anatomik dan in vivo telah menunjukkan bahwa plasentasi manusia tidak hanya bersifat haemokhorial pada awal kehamilan. Dari awal implantasi, trofoblas ekstravili tidak hanya menginvasi jaringan uterus tetapi juga membentuk selaput setingkat desidua. Sel dari selaput ini menanamkan plasenta ke jaringan maternal dan juga membentuk saluran di ujung arteri utero-plasenta. Selaput pembungkus dan saluran ini berperan seperti permukaan labirin untuk menyaring darah ibu, menyebabkan penyerapan plasma secara lambat, tanpa aliran darah langsung, ke ruang intervili. Hal ini di suplementasi oleh sekresi dari kelenjar uterus, yang dikeluarkan ke ruang intervili sampai usia 10 minggu. Selama periode tersebut, vili plasenta hanya menampilkan beberapa kapiler dan eritrosit janin yang memiliki inti, sehingga menunjukkan bahwa darah janin sangat kental, dan akan mengakibatkan aliran darah feto-plasenta terbatas. Lebih lanjut lagi, selama trimester pertama plasenta memiliki ketebalan dua kali lipat dari
(46)
trimester kedua, dan plasenta awal dan fetus dipisahkan oleh ruang exocoelomic, yang menempati hampir sebagian besar ruangan dalam kantung gestasi.
Pada akhir trimester pertama, sumbatan tropoblast akan mengalami dislokasi secara bertahap. Mempersilahkan aliran darah ibu mengalir lebih prograsif dan lebih bebas dan berkelanjutan ke ruang intervili. Selama fase transisional 10-14 minggu masa gestasi, 2/3 dari plasenta primitif menghilang, ruang exocoelomic di hancurkan oleh pertumbuhan dari kantung amnion dan darah ibu mengalir secara progresif ke seluruh plasenta.
22
22
(47)
2.6 Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan molekul yang tidak mempunyai pasangan yang bersifat reaktif. Dikatakan reaktif karena molekul ini mampu bereaksi dengan molekul yang ada disekitarnya. Molekul-molekul tersebut termasuk protein, lipid, karbohidrat, dan DNA. Molekul ini juga berarti tidak bertahan lama dalam bentuk asli karena untuk mempertahankan kestabilan molekul, mereka harus mengambil satu elektron dari molekul yang lain.4
Gambar 4. Radikal bebas
Ada dua tipe radikal bebas secara garis besar yaitu ROS dan nitrit oxide synthase (NOS)
27
2.6.1. ROS
Ada tiga tipe mayor dari ROS yaitu : Superoksida (O2-),
Hydrogen Peroxida (H2O2) dan Hydroxyl (OH). Superoksida terjadi
dimana berkurangnya elektron pada rantai transport elektron. Dismutase Superoksida menghasilkan formasi hydrogen peroksida. Ion hidroksil sangat reaktif dan dapat memodifikasi purin dan pirimidin
(48)
dan menyebabkan kerusakan rantai DNA. Beberapa enzim oksida dapat secara langsung menghasilkan radikal hydrogen peroksida
ROS dapat berperan pada lebih dari 100 penyakit. Hal ini juga berperan terhadap fisiologi dan patologi pada genitalia wanita, ovarium, tuba falopi dan embrio. ROS terlibat untuk memodulasi seluruh fungsi fisiologi reproduksi seperti maturasi oosit, steoridogenesis ovarium, fungsi korpus luteum dan luteolisis. ROS juga berperan terhadap infertilitas wanita.13
2.6.2. NOS
Nitrit Oksida berasal dari sintesis konversi enzim dari L-Arginine menjadi L-Citrulline oleh nitrit oxide synthase (NOS). Elektron yang tidak berikatan menyebabkan NO merupakan radikal bebas yang sangat reaktif dan dapat menyebabkan kerusakan protein, karbohidrat, nukleotida dan lipid bersama-sama dengan mediator inflamasi yang lain yang menyebabkan kerusakan sel. NO berpotensi merelaksasi arteri dan vena otot polos dan secara kuat menghambat agregasi dan adhesi. Asupan NO berperan sebagai agen vasodilator dan mungkin berguna untuk terapi. NO juga berperan pada regulasi jaringan pada proses fisiologi namun jika berlebihan dapat menyebabkan toksisitas.
NO dihasilkan oleh enzim NO sintese dan terdiri 3 tipe yaitu, neuronal NO synthase (NO synthase 1) dan inducible NO synthase ( NO Synthase 2), endothelial NO synthase (NO Synthase 3). NO
(49)
Synthase 2 dihasilkan oleh fagositosis mononuklear ( monosit dan makrofag) dan menghasilkan sejumlah besar NO. Ekspresi ini muncul pada sitokin proinflamasi dan lipopolisakarida. NO synthase 2 diaktifasi oleh sitokin seperti interleukin-1 dan TNF-α dan lipopolisakarida. NO synthase 3 diekspresikan di sel granulosa, permukaan oosit selama perkembangan folikel. Pada kondisi patologis mungkin berperan sebagai penghasil utama NO. Pada sebagian organ, NO synthase 2 hanya diekspresikan oleh rangsangan imunologi.
Sumber radikal bebas berasal dari dua tempat yaitu :
13
1. Sumber endogen
a. Organella subseluler
Organella subseluler seperti mitokondria, kloroplas, mikrosome, peroksisome dan nuklei dapat menghasilkan superokside (O2-). Mitokondria merupakan penghasil utama
energi dalam sel sehingga disebut the powerhouse of the cell. Energi yang dihasilkan berbentuk adenosine trifosfat (ATP) melalui suatu rantai transport elektron dan oksigen merupakan rantai terakhir penerima elektron46
Proses metabolisme ini tidak 100% efisien, terdapat sejumlah besar energi yang hilang berupa panas. Lebih kurang 2-4% oksigen yang dikonsumsi oleh mitokondria tidak direduksi menjadi air tetapi direduksi menjadi superoksida atau hidrogen peroksida.
(50)
Adanya kerusakan pada sistem transport elektron pada mitokondria memungkinkan O2 untuk menerima satu elektron
sehingga terbentuk superoksida (O2-). Pembentukan
superoksida oleh mitokondria dapat terjadi pada 2 keadaan, (1) jika konsentrasi oksigen meningkat atau (2) jika terjadi iskemia.
b. Inflamasi
46
Selama inflamasi terjadi proses fagositosis oleh makrofag dan neutrofil. Makrofag dan neutrofil harus membentuk radikal bebas agar dapat memfagositosis bakteri. Pada tahap pertama bakteri akan masuk ke dalam fagosome dan berdifusi ke dalam lisosome. Pada membran lisosome terdapat enzim Nikotinamide Adenine Dinukleotide Phosphate (NADPH) oksidase yang berfungsi mengkatalisa pembentukan superoksida. Reaksi ini membutuhkan oksigen dalam jumlah besar sehingga disebut respiratory burst.
Selanjutnya enzim SOD akan mengubah superoksida menjadi hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida selanjutnya akan menghancurkan bakteri. Neutrofil menghancurkan bakteri menggunakan enzim myeloperoksidase. Enzim ini mengkatalisa reaksi antara hidrogen peroksida dengan ion klorida untuk menghasilkan antiseptik ion hipoklorida.
47
(51)
c. Reperfusi pada iskemia
Dalam keadaan normal, xantine oksidase mengkatalisis reaksi hipoxantine menjadi xantine dan selanjutnya xantine diubah menjadi asam urat. Reaksi ini membutuhkan penerima elektron sebagai kofaktor. Selama periode iskemia terdapat 2 keadaan, (1) meningkatnya produksi xantine dan xantine oksidase (2) tidak adanya antioksidan superoksid dismutase dan glutation peroksidase. Molekul oksigen yang disuplai selama proses reperfusi bertindak sebagai penerima elektron dan kofaktor bagi xantine oksidase. Hal ini menimbulkan pembentukan O2- dan H2O2. Latihan yang berat juga dapat
mencetuskan reaksi xantine oksidase dan membentuk radikal bebas pada otot rangka dan jantung.
2. Sumber eksogen
47
a. Obat-obatan
Sejumlah obat-obatan dapat membentuk radikal bebas. Mekanismenya diperkirakan bahwa obat-obatan tersebut memperkuat hiperoksida yang sudah terjadi. Obat-obatan tersebut adalah antibiotik golongan quinolon atau antibiotik yang berikatan dengan metal untuk aktifitasnya (nitrofurantoin), antineoplastik (bleomisin), adriamisin dan metotreksat. Obat-obatan seperti penisilamin, fenilbutazon, asam mefenamat dan aminosalisilat (komponen sulfasalazin) dapat menambah
(52)
pembentukan radikal bebas dengan cara menurunkan kerja asam askorbat
b. Radiasi
47
Radioterapi dapat menyebabkan kerusakan jaringan melalui pembentukan radikal bebas. Radiasi elektromagnetik (sinar X, sinar gamma) dan radiasi partikel (elektron, proton, neutron dan partikel alfa dan beta) menghasilkan radikal bebas melalui transfer energi ke komponen seluler.47
c. Tembakau (Rokok)
Oksidan yang dihasilkan oleh tembakau memegang peranan penting dalam terjadinya kerusakan saluran nafas. Oksidan yang dihasilkan tembakau menurunkan jumlah antioksidan intraseluler yang terdapat di dalam sel paru-paru. Satu kali isapan rokok menghasilkan oksidan dalam jumlah yang besar, yaitu aldehide, epoksida, peroksida, nitrit oksida, radikal peroksida dan karbon dapat terbentuk selama fase gas. Oksidan yang lebih stabil dihasilkan pada fase tar, yaitu semiquinone.47
d. Partikel inorganik
Partikel inorganik, yang terinhalasi, seperti asbes dan silika dapat merusak paru-paru melalui pembentukan radikal
(53)
bebas. Inhalasi asbes telah dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya fibrosis pulmonal (asbestosis), mesotelioma dan karsinoma bronkogenik. Partikel silika dan asbes difagositosis oleh makrofag paru-paru. Sel ini kemudian pecah, melepaskan enzim proteolitik dan kemotaktik mediator yang menyebabkan infiltrasi sel-sel lain, seperti neutrofil, maka dimulailah proses inflamasi. Serat asbes yang mengandung besi juga dapat menstimulasi pembentukan radikal hidroksil.
47
e. Gas
Ozon bukanlah radikal bebas tetapi merupakan agen pengoksidasi yang sangat kuat. Ozon (O3) memiliki dua
elektron yang tidak berpasangan dan bereaksi dengan substrat biologik membentuk radikal bebas. Secara in vitro ozon dapat menghasilkan lipid peroksidase, tetapi in vivo belum dapat dibuktikan.47
2.7 Antioksidan
Pada kondisi normal, molekul antioksidan dapat merubah ROS menjadi H2O2 untuk menghindari produksi ROS yang berlebihan. Ada
dua tipe antioksidan pada tubuh manusia yaitu (1) antioksidan enzimatik dan (2) Antioksidan non- enzimatik15
(54)
2.7.1 Antioksidan Enzimatik
Antioksidan enzimatik juga diketahui sebagai antioksidan alami, dapat menetralisir ROS yang berlebihan dan melindungi sel yang rusak. Antioksidan enzimatik terdiri dari SOD, katalase, GPx dan Glutation reduktase yang dapat juga menurunkan hidrogen peroksida menjadi air dan alkohol
2.7.2 Antioksidan non-Enzimatik
15
Enzim ini juga dikenal antioksidan sintesis atau suplemen. Sistim antioksidan tubuh yang kompleks juga dipengaruhi oleh asupan diet dari vitamin antioksidan dan mineral seperti vitamin C, vitamin E, Selenium, Zinc, Taurin, Hipotaurin, Glutation, beta carotene dan carotene. Vitamin C merupakan rantai antioksidan yang mencegah proses peroksidasi. Vitamin C juga dapat membantu mendaur ulang untuk mengoksidasi vitamin E dan glutation. Taurin, hipotaurin dijumpai pada tuba dan cairan folikel yang melindungi embrio dari OS. Glutation dijumpai pada oosit dan cairan tuba dan berperan penting dalam perkembangan zigot pada stadium morula dan blastokista.15
(55)
2.8 Pengaruh stres oksidatif pada sistem reproduksi wanita
Sistem reproduksi wanita adalah sistem multiorgan yang kompleks yang memerlukan lingkungan biologis optimal. Metabolisme aerobik yang memanfaatkan oksigen sangat penting untuk homeostasis pada reproduksi. Metabolisme aerobik dikaitkan dengan pembentukan molekul prooksidan yang disebut ROS termasuk radikal hidroksil, anion superoksida, hidrogen peroksida, dan nitrat oksida. Keseimbangan antara prooksidan dan antioksidan menjaga homeostasis seluler, setiap kali ada ketidakseimbangan dalam equilibrium ini menyebabkan peningkatan keadaan stres oksidatif dimulai. Radikal bebas adalah molekul penting yang dapat mempengaruhi fungsi reproduksi dengan pengaruh terhadap endometrium dan fungsi tuba, pematangan oosit, sperma, implantasi preembrio dan embrio pada awal pertumbuhan.
2.8.1. Reaksi Biologis oleh Reactive Oxygen Species
13
Bagaimana cara ROS menyebabkan kematian sel masih menjadi perdebatan. Mekanisme dimana radikal oksigen merusak membran lipid sel yang banyak diterima dan kerusakan oleh oksidasi sering dihubungkan dengan reaksi pada membran lipid. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa ROS juga merusak protein dan DNA, dimana reaksi ini juga sangat merusak.14
(56)
1. Kerusakan oksidatif pada lipid
Peroksidasi lipid melibatkan tiga langkah yang berbeda, yaitu inisiasi (initiation), propagasi (propagation) dan terminasi (termination). Reaksi inisiasi antara asam lemak tak jenuh (misalnya linoleat) dan radikal hidroksil (dihasilkan dari reaksi Fenton dan reaksi Haber Weiss) melibatkan pemindahan satu atom H dari kelompok methylvinyl dari asam lemak, dimana pada linoleat pada atom karbon ke-11 dengan reaksi berikut:
Fe2+ + H2O2 Fe3+ + OH- + OH.
Fe
(Reaksi Fenton)
3+
+ O2-. Fe 2+ + O
H
2
2O2 + O2-. O2 + OH- + OH.
OH
(Reaksi Haber Weiss)
.
+ RH R. + H2
Karbon yang kehilangan atom H-nya menjadi radikal bebas dan membentuk resonance structure yang membagi elektron yang tidak berpasangan antara atom karbon ke-9 dan ke-13.
O (persamaan 1)
Pada reaksi propagasi, resonance structure bereaksi dengan triplet oksigen yang biradikal (memiliki dua elektron yang tidak berpasangan). Reaksi ini membentuk radikal peroksi.
(57)
R. + O2 ROO.
Radikal peroksi kemudian mengambil satu atom H dari asam lemak kedua, membentuk hidroperoksida lipid dan menyebabkan timbulnya radikal bebas lainnya yang dapat mengambil atom H kedua dari persamaan 1. Maka dari itu, sekali radikal hidroksil memulai reaksi peroksidasi dengan mengambil satu atom H akan menghasilkan produk radikal karbon (R
(persamaan 2)
.) yang mampu bereaksi
dengan O2
ROO
dalam reaksi berantai. Peranan radikal hidroksil sama seperti percikan api yang memulai kebakaran.
. + RH R.
Hidroperoksida lipid (ROOH) tidak stabil, dengan adanya ion Fe atau katalisator logam lainnya ROOH akan bereaksi dengan reaksi Fenton menghasilkan pembentukan radikal alkoksi yang reaktif.
+ ROOH (persamaan 3)
ROOH + Fe
14,37
2+ OH- + RO. + Fe3+
Dengan adanya Fe, reaksi berantai tidak hanya disebarluaskan, tapi malah ditingkatkan. Diantara produk penghancuran dari ROOH adalah aldehida, seperti malondialdehyde dan hidrokarbon seperti ethana dan ethylene. Aldehida sangat reaktif dan dapat merusak protein.
(persamaan 4)
(58)
Reaksi peroksidasi pada membran lipid diakhiri bila radikal karbon atau radikal peroksi bertautan membentuk produk konjugasi yang tidak radikal seperti reaksi berikut:
R. + R.
R
R-R
. + ROO.
ROO
ROOR
. + ROO. ROOR + O 2
Akhirnya terdapat timbunan asam lemak bertautan dengan berat molekul tinggi dan fosfolipid pada membran lipid yang teroksidasi. Efek primer dari peroksidasi lipid adalah penurunan kestabilan membran yang mempengaruhi sifat membran dan dapat memecahkan ikatan membran-protein.
38
2. Kerusakan oksidatif pada protein
Serangan radikal bebas pada protein mengakibatkan modifikasi rantai asam amino, fragmentasi rantai peptida, penggumpalan reaksi taut silang (cross-linked), perubahan arus elektrik dan makin peka terhadap proteolisis.14,39 Kepekaan asam amino terhadap serangan oksidasi berbeda-beda. Asam amino yang mengandung sulfur, dan khususnya kelompok thiol yang sangat peka. Oksigen yang teraktivasi dapat mengambil satu atom H dari sistein membentuk radikal thiyl yang akan bertaut-silang dengan radikal thiyl kedua membentuk
(59)
jembatan disulfida. Oksigen juga menambah residu metionin membentuk derivat sulfoksida metionin. Reduksi keduanya dapat diselesaikan pada sistem mikroba oleh tioredoksin dan tioredoksin reduktase. Enzim ini dapat mereduksi metionine sulfoksida kembali menjadi residu metionil dengan adanya tioredoksin.
Serangan radikal bebas dalam bentuk lain yang ireversibel misalnya oksidasi inti iron-sulphur oleh superoksida menghancurkan fungsi enzim. Banyak asam amino yang mengalami modifikasi yang ireversibel bila protein mengalami oksidasi. Contohnya, triptopan ditaut-silang menjadi bitirosin. Degradasi oksidasi protein ditingkatkan dengan kofaktor logam seperti Fe. Pada kasus ini, logam mengikat kation divalen protein. Logam kemudian bereaksi dengan hidrogen peroksida dalam reaksi Fenton menghasilkan radikal hidroksil yang dengan cepat mengoksidasi residu asam amino di dekat tempat pengikatan kation protein .
14
37
Protein Fe (III) / Cu (II)
(Protein)+ Fe (II) / Cu (I)
Protein aggregation
O2 + Fe (II) / Cu (I)
O2 + Fe (III) / Cu (II)
O2 2H + e H2O2
H2O + Fe (II) / Cu (I)
Hydroxyl radical formatin
OH and H2O2 attack biomacromolecule
(60)
Algoritme kerusakan pada protein oleh radikal bebas yang diperantarai oleh Fe. Hasil akhir dari peroksidasi lipid, aldehida, juga dapat merusak protein. Tidak seperti radikal bebas, aldehida mempunyai masa hidup yang lebih panjang sehingga dapat berdifusi dari tempat asalnya dan menyerang sasaran yang jauh dari tempat asal reaksi peroksidasi lipid. Aldehida bertindak sebagai second toxic messengers yang memulai reaksi rantai yang kompleks. Diantara aldehida yang paling banyak diteliti adalah malonaldehid (MDA), hidroksialkenal, dan 4-hidroksinonenal (HNE). Beberapa kerusakan yang ditimbulkan pada protein antara lain oksidasi kelompok sulfhidril, reduksi disulfid, oksidasi-adduksi residu asam amino pada logam melalui oksidasi yang dikatalisator oleh logam, pemutusan rantai taut-silang protein-protein dan peptida. Semua perubahan ini merugikan sel karena menyebabkan hilangnya fungsi membran dan protein serta menghambat replikasi DNA atau menyebabkan mutasi.
37
39
3. Kerusakan oksidatif pada DNA
Radikal bebas oksigen menyebabkan berbagai kerusakan pada DNA, sehingga dapat menyebabkan delesi, mutasi dan efek genetik lainnya yang mematikan. Karakteristik dari kerusakan pada DNA diindikasikan bahwa baik gula dan basa (base) miosis peka terhadap
(61)
oksidasi, yang menyebabkan degradasi, pecahnya rantai tunggal (single strand), dan gangguan siklus sel pada fase G2.
Penyebab utama pemecahan rantai tunggal adalah radikal hidroksil. Secara in vitro, hidrogen peroksida atau superoksida secara tunggal tidak dapat menyebabkan pemecahan rantai dalam keadaan fisiologis, sehingga toksisitasnya in vivo disebabkan oleh reaksi Fenton dengan katalis logam. Jika ikatan logam direduksi oleh molekul kecil seperti NAD(P)H atau superoksida, maka logam tersebut akan bereaksi dengan hidrogen peroksida membentuk radikal hidroksil. Radikal hidroksil kemudian mengoksidasi gula atau basa (base) sehingga menyebabkan pemecahan rantai DNA.
14,40-42
Taut silang DNA pada protein merupakan sasaran serangan radikal hidroksil baik pada DNA atau pada pasangan proteinnya. Radikal hidroksil menyebabkan kehilangan ikatan kovalen seperti thymine-cysteine addict, antara DNA dan protein. Walaupun taut silang protein dan DNA tidak sebesar pemecahan rantai tunggal, mereka tidak dapat diperbaiki, dan mungkin mematikan jika replikasi atau transkripsi mendahului perbaikan. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya mutasi. Kejadian mutasi pada sel mamalia lebih kurang 2,4% sampai 4,8% yang disebabkan radikal bebas.
14,41
(62)
(63)
2.9 Fungsi ovarium
Metabolisme aerobik memanfaatkan oksigen untuk perkembangan gamet, dan radikal bebas juga memainkan peran penting dalam proses fisiologis dalam ovarium. Ekspresi berbagai biomarker stres oksidatif telah diteliti pada ovarium manusia, membuktikan peran regulasi dari ROS dan antioksidan dalam pematangan oosit, folikulogenesis, steroidogenesis ovarium dan luteolisis. Studi menunjukkan pentingnya peranan lipid peroksida dalam folikel degraaf. Pentingnya spesies oksigen reaktif dan enzim antioksidan seperti seng tembaga superoksida dismutase (Cu, Zn-SOD), mangan superoksida dismutase (Mn-Zn-SOD), dan GPx. Enzim antioksidan menetralisir spesies oksigen reaktif dan melindungi oosit. Dalam corpus luteum yang dikumpulkan dari pasien hamil dan tidak hamil, diamati bahwa keadaan seimbang Cu-Zn dan kenaikan ekspresi SOD dari fase luteal dini hingga fase midluteal dan penurunan selama regresi korpus luteum. Korelasi antara adrenal-4 binding protein (Ad4BP ) dan ekspresi SOD juga menunjukkan hubungan antara stres oksidatif dan steroidogeneis ovarium.
Antibodi terhadap Ad4BP ini digunakan untuk melokalisasi Ad4BP dalam inti teka dan sel granulosa. Ad4BP merupakan faktor transkripsi steroidogenik yang menginduksi transkripsi enzim P450 . Kedua sel granulosa dan sel luteal manusia menanggapi hidrogen peroksida dengan menghambat aksi gonadotropin dan penghambatan
(64)
sekresi progesteron. Produksi kedua progesteron dan hormon estradiol berkurang saat hidrogen peroksida ditambahkan pada kultur human chorionic gonadotropin - dirangsang sel-sel luteal.13
2.10 Perubahan Endometrium
Perubahan siklus endometrium yang disertai dengan perubahan dalam ekspresi antioksidan. Enzim, seperti thioredoxin, memiliki ekspresi yang lebih tinggi di fase sekretori awal. Ada juga variasi siklus dalam ekspresi SOD dalam endometrium. Aktivitas SOD menurun pada akhir fase sekretori sementara ROS meningkat dan memicu pelepasan prostaglandin F2 α. Estrogen atau progesteron menyebabkan penarikan peningkatan ekspresi siklooksigenase-2 (COX - 2). Stimulasi siklooksigenase yang dibawa oleh ROS melalui aktivasi faktor transkripsi NF -ƙβ, menunjukkan mekanisme menstruasi
Nitrogen monoksida (NO) juga memiliki peran penting dalam desidualisasi dan penyusunan endometrium untuk implantasi oleh pengaturan dari endometrium, miometrium dan fungsi mikrovaskular. Ekspresi endotel dan induksi NO synthase (NOS) telah ditemukan pada endometrium manusia, dan pembuluh darah endometrium.
13
Kadar tertinggi dari transkrip endotelial NOS mRNA telah dilaporkan pada fase sekretori akhir dari endometrium. Perubahan ini
(65)
telah dihipotesakan sebagai hal penting pada pembentukan menstruasi dan pelepasan endometrium.13
2.11 Fungsi Tuba Fallopi
Beberapa penelitian menunjukkan adanya sitokin, prostaglandin, metabolit lipid peroksidase dan ROS dalam sampel cairan dari tuba falopii. Komponen ini berfungsi sebagai lingkungan yang optimal untuk pemupukan dan pengangkutan preembrIo. Sebuah sistem sistem nitrogen monoksida endogen ada di saluran tuba. Senyawa oksida memiliki efek relaksasi pada otot polos dan memiliki efek yang sama pada kontraktilitas tuba. Defisiensi NO dapat menyebabkan disfungsi motilitas tuba, sehingga terjadi retensi ovum, tertundanya transportasi sperma dan infertilitas. Peningkatan kadar NO dalam tuba falopii adalah sitotoksik terhadap mikroba yang menyerang dan juga dapat menjadi racun bagi spermatozoa, yang mengarah ke infetilitas.13
2.12. ROS pada Kehamilan
Pada kehamilan normal, stadium awal perkembangan terjadi pada lingkungan yang rendah oksigen (O2). Hipoksia fisiologis dari
kantung gestasi akan melindungi fetus terhadap efek penghancur dan teratogenik dari radikal bebas OFRs. Pada kasus abortus, pembentukan permukaan plasenta-desidua sangat terganggu
(66)
sehingga mengakibatkan aliran darah maternal yang terlalu dini dan luas serta terjadi degenerasi oksidatif mayor. Mekanisme ini umum dijumpai pada semua kasus abortus, terutama pada waktu tertentu yaitu pada trimester pertama tergantung pada etiologinya.4
2.13 Lingkungan Oksigen dan evolusi mamalia
Evolusi mamalia yang hidup di dataran kering telah dikaitkan dengan adaptasi terhadap perubahan konsentrasi O2
O
di lingkungan. Kehidupan di bumi telah berevolusi dalam keadaan anaerobik, dengan jalur metabolisme yang berpusat pada nitrogen, sulfur, dan karbon.
2 awalnya merupakan hasil dari fotosintesis yang berawal dari
munculnya alga biru-hijau, dan saat konsentrasi atmosfer meningkat, O2 memungkinkan untuk mendukung kehidupan multiseluler yang
lebih kompleks, termasuk mamalia berplasenta. O2 memungkinkan
transformasi energi yang lebih efisien dari zat yang didapat dari makanan seperti protein, karbohidrat, dan lemak menjadi Adenosine Triphospat (ATP). Molekul ATP menyediakan energi kimiawi yang diperlukan untuk terjadinya reaksi biokimia yang penting untuk kehidupan sel seperti biosintesis protein, transport aktif molekul melalui membran sel, dan kontraksi otot. Sebagian besar O2 yang
digunakan selama oksidasi molekul organik makanan dirubah menjadi air melalui kombinasi enzim dari rantai respirasi. Sekitar 1-2% dari O2
(67)
bebas yang sangat reaktif (OFRs) dan jenis Oksigen reaktif lainnya (ROS) pada tingkatan yang bergantung pada tekanan oksigen yang tersisa. Ketika produksi OFRs melebihi kemampuan proteksi selular alamiah, dapat terjadi kerusakan terhadap protein, lipid dan DNA.
Plasenta pada mamalia merupakan suatu hubungan yang esensial antara sirkulasi maternal yang kaya akan darah ber-O
48
2 dan
nutrisi dengan sirkulasi fetal. Pada masa lalu, fungsi utama plasenta dianggap untuk mensuplai fetus dengan sebanyak mungkin O2 yang
memerlukan asupan yang sangat besar pada separuh akhir kehamilan dimana penambahan berat badan janin paling banyak. Investigasi in vivo dan in vitro terbaru kami telah menghasilkan pemahaman yang baru mengenai hubungan fetomaternal pada trimester pertama kehamilan sehingga menghasilkan hipotesis bahwa plasenta lebih membatasi daripada memfasilitasi suplai O2 ke janin
selama periode organogenesis. Tahapan paling awal perkembangan dimulai dari lingkungan rendah O2 yang merefleksikan jalur evolusi.
Pada sebagian besar spesies, organogenesis telah sempurna dan perkembangan sangat cepat terjadi sebelum proses plasentasi terjadi. Akan tetapi pada plasenta manusia, perkembangan terjadi sebelum waktunya dan hasil konsepsi menempel dengan erat pada dinding uterus sebelum lapisan primitif terbentuk. Dengan adanya kejadian tersebut, strategi lain diperlukan untuk membatasi paparan janin terhadap O2, sehingga akibatnya, plasenta manusia terpapar pada
(68)
perubahan besar O2 dari konsepsi hingga proses melahirkan. Pada
kehamilan normal, fenomena yang mengharuskan tersedianya keseimbangan antara kebutuhan metabolik janin dengan plasenta serta potensial bahaya dari OFRs terkontrol dengan baik. Sel embrionik dan plasenta sensitif terhadap stress oksidatif dikarenakan pembelahan sel yang ekstensif dan paparan yang berkelanjutan dari DNA-nya. Sinsiotropoblas dari plasenta lebih sensitif, hal ini dikarenakan sinsitiotrofoblas merupakan jaringan terluar dari konsepsi sehingga terpapar dengan konsentrasi oksigen yang lebih besar dari sang ibu, dan juga diakibatkan sinsitiotrofoblas mengandung konsentrasi enzim antioksidan yang sangat penting dalam jumlah yang rendah, terutama pada awal kehamilan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa gangguan metabolik maternal seperti diabetes yang berhubungan dengan meningkatnya pembentukan OFRs, berhubungan dengan insidensi yang lebih tinggi untuk terjadinya abortus, vaskulopati, dan defek struktural janin, yang mengindikasikan bahwa konsepsi mamalia dapat mengalami kerusakan ireversibel akibat stress oksidatif.4,48
2.14. Plasentasi manusia dan stress oksidatif
Perbandingan fitur morfologis dengan data fisiologis menunjukkan bahwa arsitektur kantung gestasi pada trimester pertama kehamilan di desain untuk membatasi paparan janin terhadap oksigen
(69)
kecuali yang dibutuhkan untuk perkembangannya. Data in vivo menunjukkan bahwa nilai tekanan parsial intraplasenta (PO2
Hipoksia fisiologis pada kantung gestational pada trimester pertama dapat melindungi janin yang sedang tumbuh terhadap efek penghancur dan tertogenik OFRs. Bukti terbaru juga menyatakan bahwa hipoksia diperlukan untuk mempertahankan sel, dimana pada tingkat fisiologis radikal bebas akan meregulasi berbagai fungsi sel, ) 2 hingga 3 x lebih rendah pada 8-10 minggu daripada 12 minggu. Seiring dengan berlanjutnya kehamilan antara 7– 16 minggu, terdapat peningkatan independen yang progresif pada PO2 desidua, dimana kemungkinan besar merefleksikan peningkatan aliran darah ibu pada awal kehamilan pada usia 13-16 minggu, PO2 pada darah janin hanya 24 mmHg, dimana pada pertengahan akhir kehamilan, nilai pada vena umbilikus antara 35-55 mmHg. Tekanan ini lebih rendah bila dibandingkan dengan sirkulasi maternal, sehingga tampak adanya gradasi O2 maternal ke janin sepanjang kehamilan. Peningkatan bertahap PO2 intraplasenta dijumpai pada minggu ke 8-14 kehamilan yang disertai dengan peningkatan konsentrasi mRNA dan aktivitas enzim antioksidan mayor di jaringan vili. Pada trimester pertama gradient O2 uterus menghasilkan efek regulasi pada pembentukan jaringan plasenta dan fungsinya. Secara khusus, hal ini akan mempengaruhi proliferasi sitotrofoblas dan diferensiasinya pada jalur yang invasif dan vaskulogeneis vili
(1)
10. Massanyi P et al , Selenium concentration in first trimester abortion in Nigerian woman, 2001; 1131-1139
11. Halliwell B, Reactive oxygen Species in living system-A Through explanation of free radicals. American Journal of Medicine 1991; 91:
14-19
12. Ramanujam TR, Free radical and antioxidant-curent status , 2001; 125-130
13. Agarwal A, Grupta S. Role of reactive oxygen species in female reproduction. Part I oxidative stress: a general. Overview. Agrofood 2005: 21-25
14. Poston L, Raijmakers MTM. Trophoblast oxidative stress. Antioxydants in the pathophysiology of human reproduction. Feril streil; 79:829-841
15. Agarwal A, Saleh RA, Bedaiwy MA. Role of reactive oxygen species in the pathophysiology of human reproduction. Fertil steril; 79:829-841
16. Cunningham FG, Macdonald PC, Gant NF. Abortus . Dalam: Obstetri William (William’s Obstetri). Edisi XVIII. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005; 950-72
17. Flint Porter,T. Evidence based Care of Recurrent Miscarriege in Elsevier ,Department OBGYN, University of Utah Health Science Center,Salt Lake City 2005;112-118
18. Tulppala M, Current Concep in the Pathogenesis of RecurrentMiscarriege,University Center of Helsinki ,Finlandia 1999,74-79
(2)
19. Petrenko N, Classification miscarriage in Antepartal Haemorhage Disorders, British Journal of Medicine, 2005; 737-740
20. Nicolaides K, first Trimester screening for Chromosomal Abnormalities, Elsevier, Birthright research center for fetal medicine, 2006;911-920
21. David K et al in Guidelines of the investigation and management of antiphospolipid syndrome, British Journal Haematology,2012 47-48
22. John G in Antiphospolipid Syndrome : a review Canadian Medical Association Journal, 2003;F20-F28
23. Ali M in Infection in recurrent miscarriage , Department of Obsteric and gynecology, Avicenna Institute, Tehran, Iran;611-619
24. Toth B, recurrent miscarriage:conceps in diagnosis and treatment,Elsevier ,University of Ludwig Maximillian ,Munich ,German 2010;335-341
25. Lesli DG in Management of thyroid Disfunction during pregnancy and postpartum, Endocrine Society Clincal practice Guideline, 2007;912-920 26. Duru S in Lutheal Issuficency in First trimester, Indian Journal of
Endocrinology and Metabolism, 2013;44-49
27. Lawrenece E in lutheal phase deficiency : what we know now, OBGYN management, 2003; 478-485
28. The investigation and treatment of couples with recurrent first-trimester and second trimester miscarriage, Royal College of Obstetrician and Gynecologist, Green Guideline, 2011;457-468
(3)
29. Xiaoping W, Roxana O, De Kun Li in maternal caffeine consumption during pregnancy and the risk of miscarriage: a prospective cohort sudy, ACOG, vol 198 issue 3;279.e1-279.e8, March 2008
30. Mills JL in Moderate caffeine use and the risk of spontaneous abortion and IUGR, JAMA, 1993; 593-97.
31. Anastasia T et al in induced abortions, miscarriage and tobacco, smoking as risk for secondary infertility, Journal of Epidemiology and community Health, 1993; 36-39
32. Tine BH et al in Alcohol concumption at the conception and spontaneous abortion, American Journal of Epidemiology, Oxford Journal, 2004;
661-667
33. Aselton P et al in first trimester drug use and congenital disorders: Obstetric and gynecology 451-455
34. Cheryl L in the impact of miscarriage and the parity on pattern of maternal distress in pregnancy, National Institute of health, 2010; 316-328.
35. Senbeto E in Prevalence and Assciated risk faktors of induced Abortion in Northwest Ethiopia , Departement of Gynecology and Obstetrics , Addis Ababa University , 2005; 37-44
36. Lee C, Slade P in miscarriage as a traumatic event : A review of the literature and new implication for intervention, Journal of psycosolatic research, Elsevier, 1996 ; 235-244
(4)
38. Silverman JG , intimate violenceand unwanted pregnancy miscarriage, induced abortion, and stillbirth among a national sample of Bangladesh women, BJOG, 2007: 1246-52
39. Pauline B et al in unwanted pregnancy and induced abortion in Rwanda : causes and concequences, 2004; 477-486
40. The investigation and treatment of couples with recurrent first- trimester and second trimester miscarriage, Royal College of Obstetrician and Gynecologist, Green Guideline no.17 April 2011 ; 457-468
41. Catrina M et al in Gynecology illustrated, 6th
42. Evacuation of the conception in Managing complication pregnancy and childbirth, A guideline of midwives and doctors, WHO, 2000; 212-220
editon, Elsevier 1145-1156
43. Watson AL, Skepper JN, Jauniaux E, Burton GJ. Susceptibility of human placental syncytiotrophoblastic mitochondria to oxygen-mediated damage in relation to gestational age. J Clin Endocrinol Metab 1998;83:1697-1705 44. Fouad T. Free Radical, Types, Source and Damaging Reactions. Didapat
dari: www. thedoctorslounge.net/medlounge/articles/antioxidant, 2006; 117-126
45. Guérin P, El Mouatassim S, Ménéro Y. Oxidative stress and protection against reactive oxygen species in the pre-implantation embryo and its surrounding. Human Reproduction Update 2001;7:175-189
46. William MD, Remmen HV, Conrad CC, Huang TT, Epstein CJ, Richardson A. Increased oxidative damage is correlated to altered mitochondria
(5)
function in heterozygous manganese superoxide dismutase knockout mice. The journal of Biological Chemistry 1998;273:28510-28515
47. Cheng WH, Fu YX, Porres JM, Ross DA, Selenium-dependent cellular glutathione peroksidase protects mice against a pro-oxidant-induced oxidation of NADPH, NADH, lipids and protein. The FASEB Journal 1999;13:1467-75.
48. Jauniaux E, Watson AL, Hempstock J, Bao YP, Skepper J, Burton GJ. Onset of maternal arterial blood flow and placental oxidative stress. A possible factor in human early pregnancy failure. Am J Pathol 2000;157:2111-2122
49. Arai M, Imai H, Koumura T, Yoshida M, dkk. Mitochondrial Phospholipid Hydroperoxide Glutathione Peroksidase Plays a Major Role in Preventing Oxidative Injury to Cells. J Biol Chem 1999;274:4924-33
50. Pemkaj D et al in Blood selenium and Gluthatione peroxidase in
miscarriage, British Journal of Obstetric and Gynecology,vol 108,pp 244-247, March 2001.
51. Gallo G in red blood cell gluthtione peroxidase activity in female nulligravid and pregnant rats, Calabrid University, Italy, 2009;1186-1477
52. Tham D et al in Expression of extraceluller gluthatuione proxidase in human and mouse gastrointestinal tract, Stratford University, Palo Alto, Californaia, 1998; 1176-1183
(6)
54. Levente Lázár (2012). The Role of Oxidative Stress in Female Reproduction and Pregnancy, Oxidative Stress and Diseases, Dr. Volodymyr Lushchak (Ed.), ISBN: 978-953-51-0552-7, InTech, Available fro