Abnormalitas imun berperan dalam abortus berulang yang menyebabkan dilakukannya suatu pemeriksaan yang bersifat
mahal dan berbahaya tanpa hasil yang bermanfaat secara umum.
Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun, misalnya pada sistemik lupus
eritematosus SLE dan antiphospolipid antibodi aPA. aPA merupakan antibodi spesifik yang didapati pada perempuan
dengan SLE. Sebagian kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA
21
2.3.5 Infeksi
22
Infeksi mikroba diduga sebagai penyebab terjadinya abortus pada perempuan yang ternyata terpapar bruselosis.
Jenis-jenis bakteri :
23
• Listeria monositogenes • Klamidia trakomatis
• Ureaplasma urealitikum • Mikoplasma hominis
• Bacterial vaginosis
Universitas Sumatera Utara
Jenis virus : • Sitomegalovirus
• Rubella • Herpes simpleks virus HSV
• Human immunodeficiency virus HIV • Parpovirus
Jenis-jenis parasit • Toksoplasmosis gondii
• Plasmodium palsiparum
2.3.6. Kelainan Endokrin
Disfungsi endokrin dalam beberapa jalur hormon terkait dengan abortus berulang. Tidak ada peningkatan resiko
abortus pada wanita dengan DM yang terkontrol, tetapi nilai HbA1C terkait kepada kadar glikogen pada awal kehamilan
yang berhubungan dengan abortus spontan dan kematian janin dalam kehamilan. Penyakit tiroid tidak terkontrol juga
berhubungan dengan kegagalan reproduksi, walaupun infertilitas merupakan masalah utama, beberapa penyelidikan
telah melaporkan hubungan antara antibodi tiroid dan abortus berulang. Jika dilakukan pemeriksaan antibodi tiroid sebelum
terjadinya abortus ditemukan positif, namun jika sudah terjadi
Universitas Sumatera Utara
abortus, dan diperiksa antibodi tiroid ditemukan hasil yang negatif.
24, 25
2.3.7 Defek Fase Luteal
Sekresi progesteron menyebabkan perubahan endometrium yang penting untuk implantasi dan melanjutkan
kehamilan. Pada fase luteal siklus menstruasi, progesteron dihasilkan dari korpus luteum. Jika terjadi kehamilan, korpus
luteum menghasilkan progesteron sehingga trofoblas bisa menghasilkan progesteron sendiri setelah 5 minggu
kehamilan. Penyelidikan awal membuat hipotesa bahwa defek fase luteal dapat menyebabkan isufisiensi sintesis progesteron
dan abortus berulang. Defek fase luteal terjadi karena kurangnya perkembangan dari folikel dan sekresi estrogen
abnormal, yang membuat sekresi abnormal dari luteinizing hormone LH dan hiperandrogen.
Diagnosis defek fase luteal ditegakkan dengan penemuan dari biopsi endometrium yang dilakukan setelah
dihitung 2 hari dari tanggal ovulasi dari siklus menstruasi. Kadar progesteron bisa digunakan sebagai kriteria diagnosis untuk
defek fase luteal. Walaupun bukti klinis yang mendukung defek fase luteal sebagai kondisi patologis belum ditemukan, agen
26
Universitas Sumatera Utara