SERAT DEWA RUCI (Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I)

(1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

SERAT DEWA RUCI

(Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I)

S K R I P S I

Oleh : EDWIN

K44O6019

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

SERAT DEWA RUCI

(Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I)

Oleh :

EDWIN K 4406019

S K R I P S I

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(3)

(4)

(5)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Edwin. SERAT DEWA RUCI (Studi Pemikiran Tasawauf Yasadipura I). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Biografi Yasadipura I, (2) Serat Dewa Ruci dalam konteks religi masyarakat Jawa, (3) Pemikiran tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci.

Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yang digunakan adalah sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder berupa buku-buku, jurnal, surat kabar. dan internet. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan studi pustaka. Tehnik analisis data dengan menggunakan analis historis dan kritik sastra. Prosedur penelitian dengan melalui empat tahap kegiatan yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari raja Pajang Hadi Wijaya. Ia adalah anak Tumenggung Padmanagara, seorang bupati/jaksa Pengging pada masa Paku Buwana II. Suasana kehidupan istana dan pesantren terlihat berpengaruh pada sosok kepribadian dan alam pikiran Yasadipura I. Semasa hidupnya mengabdi pada 3 raja (Paku Buwana II s/d Paku Buwana IV). Banyak karya sastra yang telah dihasilkan baik yang berupa gubahan, terjemahan, maupun karangannya sendiri. (2) Dalam konteks religi masyarakat Jawa, Serat Dewa Ruci merupakan representasi terbaik dari wacana mistisisme Jawa. Di dalamnya filsafat hidup Jawa yang didasarkan pada bentuk-bentuk spiritualitas atau mistisisme yang sinkretik tergambar dengan jelas. Bagi masyarakat Jawa, khususnya kalangan kesepuhan menganganggap isi Serat Dewa Ruci cukup berbobot untuk digunakan sebagai bahan renungan perihal hakikat

kehidupan, yaitu kawruh sangkan paraning dumadi atau dari mana dan kemana

tujuan hidup manusia itu.(3) Pemikiran Yasadipura I tidak terlepas dari pengaruh tradisi kejawen dan pesantren. Pemikiran sinkretik Yasadipura I salah satunya tercermin di dalam Serat Dewa Ruci. Sufisme yang dirumuskan Yasadipura I dalam

Serat Dewa Ruci terbagi dalam empat tingkatan yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan


(6)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Edwin. Serat Dewa Ruci (A Study Tasawuf Thought of Yasadipura I). Thesis. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education, Sebelas Maret University, Surakarta, Januari 2011.

The purpose of this research are to described: 1) The biography of Yasadipura I, 2) Relation of Serat Dewa Ruci and Javanesse religion, 3) Tasawuf thought of Yasadipura I in the Serat Dewa Ruci.

This research uses historical method. Source data uses primary written text source and secondary written text source such as journal, newspaper, and internet. Data collecting uses document study and book study. Data analysis technique uses historical analysis and literature criticism. Research procedure divided into 4 ways: heuristics, critics, interpretations, and historiography.

Based on the result of research, it can be concluded: 1) Yasadipura I is the 8th

descendent from king of Pajang Hadi wijaya. He is a son of Tumenggung Padmanegara who is a mayor/district attorney under Paku Buwana II conqueror. Situation internal lives in the castle and Islamic boarders is affecting Yasadipura I personality and philosophy. He worked under 3 kings in his life (Paku Buwana II – Paku Buwana IV). He made a lot of works such as oeuvres, translations, or his own literature works. 2) In the context of Javanese religion, book of Serat Dewa Ruci is the best representation for Javanese mystical idea. It contained the philosophy of Javanese lives based on the form of spiritual or mystical well synchronized. For Javanese, especially for internal lives in the castle consider contains of Serat Dewa Ruci can be considered as the material for reflecting about nature of life, that is

kawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination

of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen (the mysticism

associated with the Javanese view of the world) and Islamic boarders scope. One of the Yasadipura I synch philosophy can be found in the Serat Dewa Ruci. Sufism

maintained by Yasadipura I in Serat Dewa Ruci divided into 4 stage, that is: syariat


(7)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

M O T T O

Ngelmu iku kelakone kanthi laku

(Serat Wedhatama Pupuh Pocung bait I)

Man’arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu

Barang siapa mengenal dirinya maka dia telah mengenal Tuhannya (Ihya Ulumuddin-Al Ghazali)


(8)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk orang-orang yang sangat berarti dan memberi arti dalam kehidupan penulis.

Tanpa mengurangi rasa syukur kepada Allah SWT karya sederhana ini kupersembahkan untuk:

1. Bapak dan Ibu tercinta,

2. Mas Yohannes


(9)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan serta dorongan dari berbagai pihak. Atas jasa yang telah diberikan maka perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui

permohonan skripsi ini.

3. Ketua Program pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan ijin

atas penyusunan skripsi ini.

4. Dr. Hermanu Joebagio, M. Pd, selaku Pembimbing I yang telah mengukir

landasan pemikiran penulis serta tak henti-hentinya memberi dukungan, doa, bimbingan dan sumbangan pemikiran sehingga tergugah untuk segera menyelesaikan studi ini.

5. Drs. Tri Yunianto, M. Hum. selaku Pembimbing II sekaligus yang telah

memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

6. Drs. Herimanto M. Pd, M. Si, selaku Pembimbing Akademik, yang telah banyak

memberi bimbingan dan pengarahan selama penulis menuntut studi di Program Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7. Bapak-Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

8. Drs. Supardjo, M. Hum, selaku Kepala Yayasan Sastra yang telah memberikan


(10)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

9. Bapak dan Ibu yang tak pernah sepi dan berhenti dalam doa.

10.Saint of My Life, yang selalu menuntunku disaat ku tak tau arah, yang memberi semangat dan motivasi disetiap inci langkahku, yang selalu memberi inspirasi disaat pemikiranku kering.

11.Mas Yohannes (Mahasiswa Pendidikan Sejarah Angkatan 2002) terima kasih atas

wacana, diskusi, serta rangsangan berpikirnya selama proses penulisan skripsi ini.

12.Captain Jack, Seruan pesan yang termuat dalam lagu “PAHLAWAN”

menyadarkanku bahwa dalam hidup “Tak ada penolong, Tak ada penyelamat, Kita adalah Pahlawan bagi diri kita”.

13.“Deary Depresiku” dan “Tembok Ratapanku”, yang sekian lama menjadi media

keluh kesahku saat aku menemukan monolog yang tak terjawab dalam proses penulisan skripsi ini.

14.Bala Kurawa Pendidikan Sejarah Angkatan 2006, letupan semangat kalian adalah

limpahan energi positif yang merangsang dan menggugahku untuk segera menyelesaikan studi ini.

15.Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebut satu persatu. Semoga amal

kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis dengan segala kerendahan hati , mengharapkan sumbang saran dan kritik untuk kesempurnaan skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya.

Surakarta, Januari 2011


(11)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGAJUAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

ABSTRAK ... v

HALAMAN MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II. LANDASAN TEORI ... 7

A. Kajian Teori ... 10

1. Akulturasi Islam-Jawa ... 10

2. Tasawuf ... 16

3. Manunggaling Kawula Gusti ... 24

B. Kerangka Berpikir ... 29

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 31

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

B. Metode Penelitian ... 32

C. Sumber Data ... 34

D. Teknik Pengumpulan Data ... 37

E. Teknik Analisis Data ... 38


(12)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 46

A. Riwayat Hidup dan Karya R.Ng. Yasadipura I ... 46

1. ... Riwayat Hidup Yasadipura I ... 46

2. ... Karya Yasadipura I ... 52

B. Serat Dewa Ruci dalam konteks Religi Masyarakat Jawa .. 54

1. Esensei Serat Dewa Ruci ... 54

2. Konversi Serat Dewa Ruci ... 56

3. Historitas dan Latar Belakang Terciptanya Serat Dewa Ruci... 63

4. Perbandingan Kitab Nawaruci dengan Serat Dewa Ruci 68 5. Serat Dewa Ruci dalam Konteks Penghayatan Keagamaan Masyarakat Jawa ... 71

C. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I ... 77

1. ... Orang-Orang yang berpengaruh dalam pemikiran Yasadipura I ... 77

2. ... Pengaru h Tasawuf Islam dan Tradisi Kejawen ... 80

3. ... Sufisme Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci ... 82

BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 113

A. Kesimpulan ... 113

B. Implikasi... 115

C. Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 117


(13)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN 1 Naskah Serat Dewa Ruci karya Yasadipura I ... 121

LAMPIRAN 3 Silsilah Yasadipura I ... 164

LAMPIRAN 4 Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ... 165

LAMPIRAN 5 Surat Permohonan Ijin Research/ Try Out ... 166

LAMPIRAN 6 Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Tentang Ijin Menyusun Skripsi ... 167


(14)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses masuknya Islam merupakan suatu proses yang sangat penting di dalam sejarah bangsa Indonesia. Khususnya dalam proses Islamisasi di Pulau Jawa memiliki sejarah yang cukup lama. Mengenai kapan, mengapa, dan bagaimana Islam masuk ke Jawa belum dapat diketahui secara pasti. Minimnya peninggalan tertulis dan sumber yang tidak informatiflah yang menyebababkan timbulnya perbedaan pendapat di kalangan pakar (sejarawan). Menurut B.J.O Schrieke, proses Islamisasi di Pulau Jawa diperkirakan mulai pada tahun 1416 M. Pendapatnya ini didasarkan pada berita

Ma-Huan (seorang muslim Cina) yang ditulis dalam buku berjudul Ying-yai Sheng-Lan

(peninjauan tentang pantai-pantai Samudra) ditulis pada tahun 1451M. Dalam laporannya disebutkan tentang orang-orang Islam dari Barat (Arab, Persia, Gujarat) atau Cina (sudah memeluk Islam). Hal ini dibuktikan dengan adanya daerah-daerah pesisir, terutama di dekat pelabuhan, telah terjadi Islamisasi dan terbentuknya masyatarakat muslim dari berbagai ras. Sedangkan menurut J.P.Moquette, kedatangan Islam di Jawa lebih awal, ini dibuktikan dengan penemuan prasasti batu nisan seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun di Leran Gresik, yang berangka tahun 475 H, atau 1082 M. Dari keterangan itu diindikasikan bahwa proses Islamisasi telah meluas di daerah Jawa Timur pada khususnya dan Pulau Jawa pada umumnya. Pendapat J.P. Moquette didasarkan atas peninggalan paling kuno sejarah yang menyebutkan telah ada bukti (orang) Islam di Jawa. Demikian pula sejak akhir abad ke 11 hingga abad ke 13 banyak sekali dijumpai peninggalan kepurbakalaan yang berbau Islam, disini dibuktikan dengan penemuan makam di Troloyo, Trowulan, dan Gresik (Dhanu Priyo Prabowo, 2003: 10-11).

Menurut Ricklefs (1995 : 3) ada dua proses kemungkinan Islam masuk ke Jawa. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab, India, Cina) yang telah memeluk agama Islam secara tetap di suatu wilayah Indonesia, kawin dengan


(15)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi orang Jawa.

Koentjaraningrat (1983:48) lebih condong pada pendapat atau kemungkinan yang ke dua bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui kerajaan yang baru muncul di pantai barat jazirah Melayu yaitu kerajaan Malaka. Dalam abad ke-14, ketika kekuasaan Majapahit menurun, maka rute perdagangan yang melalui kepulauan Nusantara dikuasai Malaka. Pelabuhannya sering dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Gujarat serta dari Persia. Sambil berdagang, para pedagang-pedagang ini memasukkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat.

Ada juga hipotesa lain yang tentang masuknya Islam ke Jawa. Menurut A.H. John, dikatakan bahwa Islam masuk ke Jawa berkat usaha agen-agen sufi yang datang ke Indonesia. Mereka adalah adalah para wali yang terhimpun dalam satu lembaga dakwah yang terkenal dengan Wali Sanga. Mereka bukan saja pembuka babak baru Islam di Jawa, tetapi mereka juga menguasai zaman berikutnya yang kemudian

dikenal dengan zaman kewalen (zaman wali). (Abdurahman Mas’ud (2004 : 48).

Berbeda dengan penyebaran Islam di luar Jawa yang relatif cepat, di Jawa Islam menghadapi suasana kompleks dan halus yang dipertahankan oleh para penguasa/raja. Oleh karena itu perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua jenis lingkungan kebudayaan. Pertama, budaya petani lapisan bawah yang merupakan

bagian terbesar yang masih dipengaruhi oleh animisme –dinamisme. Kedua, tradisi

Istana yang merupakan tradisi agung yang merupakan unsur filsafat Hindhu-Budha yang diperhalus budaya lapisan atas (Zaini Muchtarom, 1997 : 20-21).

Pada tahap awal kedatangan Islam di Jawa, penyebaran Islam tidak mampu

menembus benteng kerajaan Hindhu yang kejawen. Penyebaran Islam harus

merangkak dari kalangan bawah, yaitu daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisir yang ada pada akhirnya melahirkan komunitas baru yang berpusat di pesantren. Watak penetrasi dakwah Islam yang damai dan. mengajarkan nilai persamaan (equality) menjadi pemicu Islam mudah diterima oleh masyarakat kecil, dengan jalan tersebut Islam mulai perlahan-lahan merembes wilayah-wilayah pesisir lainnya dan pedalaman. Pada tahap ini para wali memegang peranan penting di dalam penyebarannya tersebut.


(16)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Peran Wali Sanga semakin terlihat dominan sekali dalam proses pembentukan negara Islam pasca Majapahit. Dengan bedirinya Kerajaan Demak para wali mencoba membentuk struktur kekuasaan kerajaan agar lebih kuat dengan jalan membangun sebuah masjid Agung. Dan tahap selanjutnya para wali membangun Masjid Agung Demak, oleh para wali peran masjid disini sebagai pusat kekuasaan bagi Negara baru (Demak) dan dalam proses Islamisasi dapat digunakan sebagai sosialisasi media dakwah.

Media dakwah Wali Sanga pada waktu itu sangat intens dengan menggunakan ajaran tasawuf. Hal ini dikarenakan mengingat latar belakang sosiologis masyarakat Jawa yang masih lengket dengan agama dan kepercayaan sebelumnya. Lebih lanjut lagi sikap toleran tanpa mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, menunjukkan pendekatan yang dilakukan oleh Wali Sanga tergolong brilian. Oleh sebab itu ajaran Islam masuk ke Jawa mudah diterima karena pendekatan-pedekatan yang dilakukan

Wali Sanga tidak njlimet dan menyatu dalam kehidupan masyarakat.

Upaya Islamisasi yang ditempuh oleh Wali Sanga sesungguhnya merupakan ekpresi Islam kultural yang merupakan proses yang tak berujung yang membutuhkan

waktu yang demikian panjang, proses gradual, dan berhasil dalam wujud satu tatanan

kehidupan masyarakat yang saling damai berdampingan atau peaceful coexisten.

Istilah terakhir ini merupakan ciri utama dalam filsafat Jawa yang menekakan kesatuan, stabilitas, keamanan, dan harmoni (Abdurrahman Mas’ud, 2004: 58). Itu terlihat dalam model dakwahnya, pengislaman itu terjadi secara damai karena metode yang digunakan oleh para Wali dalam berdakwah sangat akomodatif dan lentur, yakni menggunakan unsur-unsur budaya lama, tapi secara langsung memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam unsur-unsur lama..

Berkembangnya ajaran tasawuf di Jawa secara intens dimungkinkan karena ajaran-ajaran tasawuf memiliki kesamaan dengan konsep mistik di kalangan

masyarakat Jawa sendiri yang berupaya mempertahankan kepercayaan Raja Titising

Dewa yang serba magis dan sarat dengan mistik. Mistik bagi kalangan masyarakat

Jawa merupakan inti terdalam yang menjiwai dan mewarnai seluruh apek kehidupan kebudayaan Jawa sehingga dalam pandangan dunia Jawa budaya lahir dan batin mendapat posisi yang strategis, terutama berkaitan dengan penghayatan dalam bentuk


(17)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pengalahan unsur-unsur lahir untuk dapat memurnikan aspek batiniah dan bersatu kembali pada tingkat yang tertinggi. Untuk mencapai hakikat itu berarti

mengusahakan keteraturan jagad gedhe (makrokosmos) dengan jagad cilik

(mikrokosmos), dalam arti yang lebih mendalam kesatuan antara manusia dengan

Tuhan (manunggaling kawula gusti)

Perkembangan Islam di Jawa dalam proses seiring diikuti mengalirnya kesusastraan Islam dari Aceh terutama pada abad 16 dan 17. Adanya hubungan yang sangat signifikan, Islamisasi pada saat itu mendorong berkembangannya sastra Islam Melayu. Sastra Melayu Islam yang berkembang merupakan mercusuar pemikiran intelektual. Proses Islamisasi Jawa sendiri semakin intens ketika mendapat pengaruh sastra Melayu Islam, dan kemudian melahirkan kepustakaan Islam Jawa. Mengalirnya kepustakaan Islam, ternyata dengan cepat mempengaruhi perkembangan tradisi dan kepustakaan Jawa.

Kepustakaan Islam Jawa ini berkembang dengan pesat ketika runtuhnya kerajaan Majapahit atau munculnya kerajaan Islam Demak yang pada waktu itu dari pihak Wali Sanga dengan basis pesantrennya. Pengaruh kepustakaan Islam menimbulkan jenis kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa dengan hal-hal keislaman. Jenis kepustakaan yang isinya mempertemukan ajaran

Islam dengan tradisi Jawa misalnya: serat, suluk dan wirid. Kepustakaan Jawa yang

memuat ajaran-ajaran Islam, Simuh namakan Kepustakaan Islam Kejawen (Simuh, 1988:9)

Dalam sastra Islam Kejawen, unsur-unsur Islam terutama kearifan sufistik (tasawuf), ajaran budi luhurnya diambil oleh para sasrawan Jawa, untuk mengembangkan, memperkaya, dan mengislamkan warisan sastra Jawa zaman Hindhu. Sebaliknya dalam sastra Jawa pesantren, bahasa dan sastra dijadikan wadah

atau sarana untuk memperkenalkan ajaran Islam, unsur agama dan syariat menjadi

inti ajaran yang sangat dihargai (Simuh, 2004 : 37).

Dalam perkembangannya sastra Jawa pesantren tidak sesubur pertumbuhan sastra Islam Kejawen. Hal ini dikarenakan yang berkembang di Jawa adalah paham sufisme Al-Ghazali yang ortodoks, sehingga pengkajiannya hanya sebatas pada


(18)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

penerus ilmu-ilmu yang telah ada. Sastra Jawa Islam yamg tertua yaitu buku Bonang, yang didalamnya unsur gaya pesantren sangat kental sekali.

Kepustakaan Islam Kejawen berkembang cukup intens ketika pusat-pusat pemerintahan berpindah ke daerah pedalaman. Berdirinya kerajaan Mataram Islam ternyata lebih menyuburkan perkembangan kepustakaann Islam Kejawen. Kalangan istana sendiri berkepentingan mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam. Kepentingan itu adalah untuk mengesahkan (legitimasi) kekuasaan raja. Terutama dalam bidang sastra yang bukan semata-mata sebagai penghibur, melainkan menunjukan kebesaran para raja.

Sultan Agung merupakan pelopor kebangkitan sastra Islam Kejawen. Menurut Ricklefs (1998 : 470), Sultan Agung adalah penguasa muslim yang saleh. Pada

masanya kraton ditempatkan menjadi leading agents of Islamisation, sekaligus

menjadikan Islam sebagai wadah rekonsiliasi budaya Jawa. Ini berarti Istana dijadikan pusat studi Islam dan Islam sebagai alat legitimasi politik. Sebagai seorang raja besar, Sultan Agung ternyata mempunyai wawasan luas terhadap perkembangan budaya, sehingga bisa merangkum berbagai kearifan yang ada. Beliau benar-benar

bertindak sebagai narendra binanthara, mbau dhendha nyakrawati, ambeg adil

paramarta, memayu hayuning bawana. Dalam rangka membangun koalisi permanen,

dengan arif bijaksana Sultan Agung memperpadukan tradisi Pesantren dengan Tradisi Kejawen dalam hal penghitungan tahun. Yakni dengan mengubah perhitungan tahun Jawa disesuaikan dengan kalender Hijriah sebagai pengganti tahun Saka atau yang

lebih dikenal dengan nama Anno Javanico. Adanya unsur perpaduan tersebut dengan

sendirinya makin menyuburkan kepustakaan mistik Islam Kejawen. Selain itu, merupakan dorongan langsung dalam rangka Islamisasi kebudayaan dan kepustakaan Jawa. Sultan Agung kecuali sebagai raja, juga mendapatkan julukan sebagai pujangga besar. Karya-karya Sultan Agung misalnya Sastra Gendhing, Kitab Nitipraja, dan Serat Pangracutan.

Pada zaman Karatasura (1680-1744) bermunculan pertumbuhan Islam Kejawen, yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur agama Islam. Dari Hikayat Amir Hamzah yang terdapat dalam kepustakaan Melayu digubah menjadi Serat Menak, dalam bahasa Jawa bersekar macapat. Selain itu juga ada penulisan


(19)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Serat Kandha yang isinya mempertemukan mitologi dari dewa-dewa Hindhu dengan riwayat nabi-nabi Islam (Simuh, 1998 : 24).

Sejak beralihnya keraton Kartasura ke Surakarta, pertumbuhan kepustakaan Islam Kejawen mengalami keemasan. Hal itu tak terlepas dari krisis multi dimensi yang terjadi pada masa Mataram yang menyebabkan kerajaan ini terpecah menjadi empat, yaitu: Kraton Surakarta, Kraton Yogyakarta, Pura Mangkunagaran, dan Pura Pakualam. Para raja Jawa dan elite pribumi sudah tidak mempunyai kekuatan yang berarti, kedudukan raja hanya sebagai simbol belaka, tanpa adanya kekuasaan politik dan hal ini mereka atasi dengan mengalihkan perhatian politik ke arah sastra, seni, budaya yang bermutan etika dan mistisme (Purwadi, 2002 : 159). Perkembangan dalam lapangan kesusaatraan pada zaman Surakarta yang sedemikian indah, menurut

G.W.J. Drewes menilai sebagai masa renaissance of modern javanase letters, yaitu

masa kebangkitan kepustakaan Jawa baru) (Simuh, 1998 : 25).

Perkembangan ini didapat dengan jalan menggubah kitab-kitab Jawa Kuno ke dalam bahasa Jawa Baru. Kemudian diikuti dengan penyusunan karya-karya baru, memanfaatkan perbendaharaan yang terdapat dalam kepustakaan Islam, mengolah unsur-unsur ajaran Islam yang terdapat dalam kepustakaan Melayu, atau mengambil dari kepustakaan pesisir, di mana bahasa daerah tersebut masih kasar dan kemudian diperhalus dalam gubahan pujangga-pujangga istana. Kepustakaan pesisir yang timbul di sekitar daerah pesantren, dengan demikian ikut terpengaruh oleh unsur-unsur ke-Islaman.

Suatu hal yang amat menarik ialah, pihak istana mempunyai perhatian yang besar terhadap perkembangan bahasa, kesusastraan dan berbagai cabang kesenian. Disini peran priyayi di kraton yang memilki wawasan yang sangat luas, terbuka, dinamis dan cepat menerima dan mengolah unsur-unsur budaya dari manapun datangnya, peran ini semakin nyata dalam birokrasi kraton terdapat pujangga yang sangat intens memajukan kebudayaan Jawa.

Dalam dunia kepujanggaan Surakarta, tidak lepas dari jasa tiga orang pujangga besar, yang ketiganya berasal dari satu keluarga yaitu: Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita. Keberadaan Yasadipura I memberikan kesan tersendiri bagi perkembangan sastra Jawa. Dalam kapasitasnya sebagai seorang


(20)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pujangga istana, Yasadipura I adalah founding father (pioner) munculnya

kesusastraan Jawa baru, sehingga Yasadipura I menjadi tokoh fenomenal dalam dunia kepujanggaan Surakarta (Dhanu Priyo Prabowo, 2003:24).

Menurut Arief Furchan dan Agus Maimun (2005: 12), seseorang bisa dianggap tokoh, paling tidak mempunyai empat indikator, yaitu berhasil dalam bidangnya, mempunyai karya-karya monumental, mempunyai pengaruh dalam

masyarakat, dan ketokohannya diakui secara mutawatir. Dalam posisi ini Yasadipura

I sudah memiliki keempat aspek tersebut. Yasadipura I berhasil dalam bidang kebudayaan Jawa. Beliau berhasil mengembangkan kebudayaan Jawa melalui wahyu kepujanggannya, mengenai karya monumentalnya disini banyak diwariskan kepada generasi penerus selanjutnya berupa karya tulisnya. Ketokohan Yasadipura I juga mempunyai pegaruh yang dominan terutama bagi masyarakat Jawa, segala pemikirannya maupun aktifitasnya dijadikan rujukan dan panutan dalam masyarakat

sesuai dengan bidannya. Selain itu ketokohannya diakui secara mutawatir, artinya

dengan adanya kekurangan dan kelebihannya, sebagian masyarakat memberi apresiasi yang positif terutama hasil karyanya.

Yasadipura tidak saja sosok yang punya ide-ide yang cerdas tetapi pemikirannya atau gagasannya telah menjadi rujukan banyak orang. Dalam pola pemikirannya, Yasadipura I tidak lepas dari budaya Jawa dan unsur Islam (pesantren). Seperti halnya pujangga kraton Surakarta lainnya yang umumnya

berlatar belakang santri, Yasadipura I biasanya memasukkan kesusastraan suluk dari

pesantren yang kemudian dipadukan dengan unsur Javanisme yang berbau mistis, dan

hal itu terlihat dari berbagai hasil karyanya. Salah satu karya monumentalnya yang bernafaskan ajaran tasawuf yang mempertemukan tradisi Jawa- Hindhu dengan unsur Islam yaitu Serat Dewa Ruci.

Serat Dewa Ruci yang digubah Yasadipura I pada masa awal kraton Surakarta, secara historis berkaitan dengan kitab Nawaruci karya Empu Siwamurti pada jaman akhir kerajaan Majapahit. Kitab Nawaruci merupakan karya sastra mistik Jawa yang terpengaruh ajaran agama Hindhu, kemudian oleh Yasadipura I digubah sedemikian rupa dengan memasukkan unsur-unsur Islam didalamnya (Purwadi, 2002: 160).


(21)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sampai sekarang Serat Dewa Ruci masih sangat populer di kalangan masyarakat Jawa. Popularitas Serat Dewa Ruci dalam masyarakat Jawa dapat diketahui melalui variasi naskah tertulis yang banyak disalin. Banyaknya variasi naskah tersebut menunjukkan bahwa masyarakat cukup responsif dan apresiatif. Kecuali dalam bentuk naskah, lakon Dewa Ruci merupakan lakon favorit. Lakon Dewa Ruci termasuk lakon utama yang terlintas dalam pikiran, ketika masalah kebatinan dalam wayang disebut. Selain itu keistimewaan Serat Dewa Ruci terletak pada ajarannya. Dalam Serat Dewa Ruci tersebut terdapat ajaran tertinggi dalam

hidup yaitu manunggaling kawula gusti yang merupakan konsepsi hubungan tertinggi

manusia dengan Tuhan yang menjadi pijakan menuju insan kamil (manusia

sempurna). Sufisme yang dirumuskasn Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci

memperlihatkan intregitas ajaran syariat, hakikat, tarekat, dan makrifat.

Berdasar latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti secara mendalam tentang masalah tersebut dalam penulisan skripsi dengan judul “Serat Dewa Ruci ( Studi pemikiran Tasawuf Yasadipura I)”.

B. Rumusan Masalah

Kupasan atau analisis tuntas terhadap suatu objek, diperlukan rumusan permasalahan yang akan dibahas, agar pendekatan beserta pembahasannya lebih fokus dan jelas arah pembicaraannya. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam ini skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana biografi R.Ng Yasadipura I?

2. Bagaimana isi Serat Dewa Ruci dalam konteks religi masyarakat Jawa?

3. Bagaimana pemikiran tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, adalah untuk menjawab rumusan masalah di atas:

1. Mendiskripsikan biografi R.Ng Yasadipura I.

2. Mengetahui isi Serat Dewa Ruci dalam konteks kehidupan religi masyarakat

Jawa.


(22)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

a. Menambah khasanah pengetahuan ilmiah yakni memberikan sumbangan tentang

pengaruh Serat Dewa Ruci (Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I).

b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis khusunya

dan pembaca umumnya tentang sufisme.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis atau aplikasi, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Pendidikan Program

Sejarah Fakultas Keguruan dan Pendidikan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

b. Dengan penelitian ini diharapkan, memberi isyarat persuasif kepada pembaca

agar selalu eling waspada dan bersahaja, mengendalikan diri mengurangi

kenikmatan badaniah duniawi, bersedia Lara Lapa Tapa Brata dan bersyukur

meskipun berkesempitan untuk mencapai tujuan kehidupan yang Khusnul


(23)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II

LANDASAN TEORI B. Kajian Teori 1. Akulturasi Islam-Jawa

a. Akulturasi

Kebudayaan akan mengalami suatu perubahan. Perubahan kebudayaan tersebut merupakan gerak dari manusia yang hidup dalam masyarakat, sebagai wadah kebudayaan yang bersangkutan. Gerak manusia terjadi oleh adanya hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat. Gerak dan perubahan berasal dari pengalaman baru, pengetahuan baru, tehnologi baru dan akibatnya dalam penyesuaian cara hidup dan kebiasaan dari situasi baru. Sikap mental dari nilai budaya turut dikembangkan guna keseimbangan dan integrasi baru. “Perubahan kebudayaan yang intensif terjadi karena akulturasi dan asimilasi’’ (Sidi Gazalba, 1969: 321).

Menurut Soerjono Soekanto (1982: 186) akulturasi merupakan proses dimana suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu, dihadapkan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan dihilangkannya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Menurut Sidi Gazalba (1969) akulturasi adalah proses yang terjadi manakala sekelompok manusia pendukung kebudayaan, kontak dengan unsur-unsur kebudayaan asing, kemudian dalam waktu lama diadaptasi oleh sekelompok itu ke dalam kebudayaan”. Dengan demikian dalam akulturasi itu terdapat unsur pemberi dan penerima. Menurut Koentjaraningrat (1996: 155) akulturasi adalah perpaduan kebudayaan yang terjadi apabila suatu kelompok manusia dengan satu kebudayaan tertentu dihadapkan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan sendiri. Sedangkan menurut Sachari akulturasi budaya pada dasarnya merupakan pertemuan wahana atau area dua kebudayaan, dan masing-masing menerima nilai-nilai bawaanya.

Didalam akulturasi selalu terjadi penggabungan (fusi budaya) yang memunculkan kebudayaan baru tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya lama atau


(24)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

budaya asalnya. Akulturasi adalah proses jalan tengah antara konfrontasi dan fusi, isolasi dan aborsi masa lampau dan masa depan. Ada empat syarat yang harus dipenuhi supaya proses akulturasi dapat berjalan baik:

1. Penerimaan kebudayaan tanpa rasa terkejut (syarat penyewaan/ affinity)

2. Adanya nilai baru yang tecera akibat keserupaan tingkat dan corak buayanya

(syarat keseragaman/ homogenity)

3. Adanya nilai baru yang diserap hanya sebagai kegunaan yang tidak penting atau

hanya tampilan (syarat fungsi).

4. Adanya pertimbangan yang matang dalam memilih kebuayaan asing yang datang

(syarat seleksi) (Sachari: 86-87).

Dalam proses akulturasi pada umumnya kebudayaan yang lebih tinggi tingkatannya akan memimpin kebudayaan yang lebih rendah. Apabila proses tersebut berjalan dengan baik akan menghasilkan integrasi dari unsur-unsur kebudayaan sendiri dari masyarakat penerima. Unsur-unsur kebudayaan yang diterima terlebih dahulu mengalami proses pengolahan sehingga bentuknya tidak asli lagi seperti semula. Unsur-unsur kebudayaan asing yang diterimakan, pengambilannya secara adopsi dan adaptasi (Sidi Gazalba, 1969: 330). Adopsi yaitu pengambilan mentah-mentah tanpa diubah, seperti adanya keadaan yang memberi. Hal ini merupakan akulturasi yang tidak berhasil. Sedangkan adaptasi merupakan penyesuaian unsur asing ke dalam jiwa atau kebudayaan penerima. Pengambilan secara adaptasi merupakan proses akulturasi yang berjalan baik, di mana masyarakat penerima aktif dalam proses itu. Unsur-unsur asing itu diintegrasikannya dalam kebudayaannya sendiri, sehingga kepribadiannya tetap bertambah. Adaptasi ini akan memperkaya kebudayaan penerima.

Dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akulturasi sama dengan kontak budaya yaitu bertemunya dua kebudayaan yang berbeda melebur menjadi satu menghasilkan kebudayaan baru tetapi tidak menghilangkan kepribadian/sifat kebudayaan aslinya.

b. Akulturasi Sastra Islam dan Sastra Jawa

Keragaman budaya menjadi salah satu ciri utama yang dimiliki masyarakat Indonesia. Dari zaman ketika kerajaan-kerajaan masih hadir menghidupi ruang


(25)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sejarah negeri ini hingga era modern seperti kini, keragaman itu tetap ada, bahkan nampak semakin bertambah. Di setiap penjuru nusantara ini, telah diisi dengan berbagai rupa-rupa yang berbeda. Perjalanan panjang sebagai sebuah bangsa yang majemuk, membekaskan sebuah citraan pada diri tubuh multikultur ini. Indonesia merupakan salah satu tempat bersinggungan berbagai macam budaya dan agama. Proses asimilasi atau akulturasi sering nampak dalam gerak-gerik praktis nuansa kehidupan yang ada di dalam masyarakat Jawa.

Menurut Frans Magnis Suseno (1983: 1), kebudayaan Jawa memiliki ciri khas tersendiri. Ciri khas tersebut terletak dalam kemampuannya untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Sifat khas seperti ini memungkinkan unsur-unsur luar (agama dan kebudayaan) tidak begitu kesulitan untuk masuk kedalamnya melalui sikretisme atau akulturasi. Awal tarikh masehi tradisi Jawa mulai mengadakan asimilasi dan akulturasi dengan kebudayaan Hindhu-Budha, demikian juga pada saat Islam masuk ke Jawa juga terjadi interaksi dengan budaya Jawa. Dalam hal ini ada dua corak yang tampak dipermukaan, yakni Islam mempengaruhi nilai-nilai budaya Jawa dan Islam dipengaruhi oleh budaya Jawa. Dengan demikian, perpaduan antara keduanya menampakkan atau melahirkan ciri yang khas sebagai budaya yang sinkkretik, yakni Islam Kejawen (agama Islam yang bercorak Jawa) .

Kedatangan Islam memberi warna tersendiri bagi masyarakat Jawa. Islam dihadirkan dengan wajah yang sinkretik, bersikap toleran, kompromis (akomodatif) tehadap budaya lokal, dalam artian Islam tidak mengeliminasi semua bentuk budaya

lama, budaya lama tetap dijaga dan dipelihara (keeping) tetapi hanya dibingkai

dengan nilai-nilai Islam. Dengan pola perkembangan seperti itu, menjadikan Islam di Jawa memiliki ciri yang sangat khas. Dengan cara ini Islam merupakan wadah rekonsiliasi budaya Jawa, sehingga Islam memiliki bentuk dan menjadi agama mayoritas orang Jawa (Ricklefs, 1998 : 470).

Perkembangan Islam di Jawa dalam prosesnya diikuti mengalirnya kesusastraan Islam baik yang tersurat dalam huruf dan bahasa Arab, ataupun yang telah digubah ke dalam bahasa Melayu. Mengalirnya kepustakaan Islam dengan cepat mempengaruhi perkembangan kepustakaan Jawa, lebih-lebih sesudah berdirinya


(26)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kerajaan Demak yang pada abad ke-16 M mendapatkan support (dukungan) dari

guru-guru pesanten yang terkenal dengan Wali Sanga. Keaadaan demikian menjadikan Demak sebagai tempat pertemuan para cendikiawan Jawa dan para guru pesantren dan lama-kelamaan menjadi pusat kekuasaan dan akhirnya menjadi pusat kebudayaan Jawa Islam. Dari pertemuan tersebut maka muncullah kitab-kitab bahasa Jawa yang berisi hal-hal keislaman (Simuh, 1988: 22).

Pengaruh kepustakaan Islam menimbulkan jenis kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa dengan hal-hal keislaman. Jenis kepustakaan

yang isinya mempertemukan ajaran Islam dengan tradisi Jawa misalnya: serat suluk

dan wirid. Menurut Simuh, kepustakaan Jawa yang memuat ajaran-ajaran Islam namakan Kepustakaan Islam Kejawen (Simuh, 1988: 3).

Dalam sastra Islam Kejawen, unsur-unsur Islam terutama kearifan sufistik (tasawuf), ajaran budi luhurnya diambil oleh para sasrawan Jawa, untuk mengembangkan, memperkaya, dan mengislamkan warisan sastra Jawa zaman Hindhu. Sebaliknya dalam sastra Jawa pesantren, bahasa dan sastra dijadikan wadah atau sarana untuk memperkenalkan ajaran Islam, unsur agama dan syariat menjadi inti ajaran yang sangat dihargai. (Simuh, 2004 : 37).

Berdirinya kerajaan Mataram Islam lebih menyuburkan perkembangan

kepustakaann Islam Kejawen. Kalangan istana sendiri berkepentingan

mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam. Kepentingan itu adalah untuk mengesahkan (legitimasi) kekuasaan raja. Terutama dalam bidang sastra yang bukan semata-mata sebagai penghibur, melainkan menunjukan kebesaran para raja (Simuh, 1988: 23).

Sultan Agung merupakan pelopor kebangkitan sastra Islam Kejawen. Menurut Ricklefs (1998 : 470), Sultan Agung adalah penguasa muslim yang saleh. Pada

masanya kraton ditempatkan menjadi leading agents of Islamisation (agen utama

Islamisasi) sekaligus menjadikan Islam sebagai wadah rekonsiliasi budaya Jawa. Ini berarti istana dijadikan pusat studi Islam dan Islam sebagai alat legitimasi politik. Sultan Agung ternyata mempunyai wawasan luas terhadap perkembangan budaya, sehingga bisa merangkum berbagai kearifan yang ada. Dalam rangka menciptakan stabilitas politik dan mengurangi ketegangan antara budaya Pesantren dan Kejawen,


(27)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan arif bijaksana Sultan Agung memperpadukan tradisi Pesantren dengan tradisi Kejawen dalam hal penghitungan tahun. Yakni dengan mengubah perhitungan tahun Jawa disesuaikan dengan kalender Hijriah sebagai pengganti tahun Saka , atau yang

lebih dikenal dengan nama Anno Javanico. Adanya unsur perpaduan tersebut dengan

sendirinya makin menyuburkan kepustakaan Islam Kejawen Selain itu, merupakan dorongan langsung dalam rangka Islamisasi kebudayaan dan kepustakaan Jawa..

Pada zaman Karatasura (1680-1744) bermunculan pertumbuhan Islam Kejawen, yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur agama Islam . Dari Hikayat Amir Hamzah yang terdapat dalam kepustakaan Melayu digubah menjadi Serat Menak, dalam bahasa Jawa bersekar macapat. Selain itu juga ada penulisan Serat Kandha yang isinya mempertemukan mitologi dari dewa-dewa Hindhu dengan riwayat nabi-nabi Islam (Simuh, 1998 : 24).

Sejak beralihnya keraton Kartasura ke Surakarta, pertumbuhan kepustakaan Islam Kejawen mengalami keemasan. Hal itu tak terlepas dari krisis multi dimensi yang terjadi pada masa Mataram yang menyebabkan kerajaan ini terpecah menjadi empat, yaitu: Kraton Surakarta, Kraton Yogyakarta, Pura Mangkunagaran, dan Pura Pakualam. Para raja Jawa dan elite pribumi sudah tidak mempunyai kekuatan yang berarti, kedudukan raja hanya sebagai simbol belaka, tanpa adanya kekuasaan politik dan hal ini mereka atasi dengan mengalihkan perhatian politik ke arah sastra , seni, budaya yang bermutan etika dan mistisme. (Purwadi, 2002 : 159). Perkembangan dalam lapangan kesusaatraan pada zaman Surakarta yang sedemikian indah, menurut

G.W.J. Drewes menilai sebagai masa renaissance of modern javanase letters, yaitu

masa kebangkitan kepustakaan Jawa baru (Simuh, 1998 : 25).

Perkembangan ini didapat dengan jalan menggubah kitab-kitab Jawa Kuno

yang berbentuk kakawin ke dalam bahasa Jawa krama dengan menggunakan

metrum macapat (tembang macapat). Kemudian diikuti dengan penyusunan karya sastra dalam bentuk serat, wirid, dan suluk yang bernuansa mistik-moralitas dengan memanfaatkan perbendaharaan yang terdapat dalam kepustakaan Islam, mengolah unsur-unsur ajaran Islam yang terdapat dalam kepustakaan Melayu, atau mengambil dari kepustakaan pesisir, di mana bahasa daerah tersebut masih kasar dan kemudian diperhalus dalam gubahan pujangga-pujangga istana. Kepustakaan pesisir yang


(28)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

timbul di sekitar daerah pesantren, dengan demikian ikut terpengaruh oleh unsur-unsur ke-Islaman.

Suatu hal yang amat menarik ialah, pihak istana Surakarta pada tahun 1757-1873 mempunyai perhatian yang besar terhadap perkembangan bahasa, kesusastraan dan berbagai cabang kesenian. Di sini peran priyayi kraton (pujangga) yang memilki wawasan yang sangat luas, terbuka, dinamis dan cepat menerima dan mengolah unsur-unsur budaya dari manapun datangnya, peran ini semakin nyata dalam birokrasi kraton terdapat pujangga yang sangat intens memajukan kebudayaan Jawa.

Para pujangga kraton Mataram biasanya memasukkan kesusastraan suluk dari

pesantren yang isinya bercorak tasawuf , kemudian di padukan dengan unsur Jawa yang berbau mistik, sehingga menghasilkan berbagai jenis karya sastra (Ridin Sofwan, 2004: 50). Itu didasari bahwa kebanyakan para pujangga kraton Surakarta kebanyakan berlatar belakang santri, yang menuntut pendidikan jalur pesantren. Para pujangga kraton antara lain Yasadipura yang belajar di Pondok Pesantren Bagelan Kedu, serta Ranggawarsita yang belajar di Pondok Pesantren Gebang Tinatar Ponorogo di bawah asuhan Kyai Iman Besari (Ridin Sofwan 2004: 122).

Bertolak dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam Kepustakaan Islam Kejawen , terasa sangat menonjol pengaruh ajaran tasawuf dan tututan budi luhurnya. Demikian pula istilah-istilah Arab yang berkaitan dengan agama Islam dan ajaran-ajaran tasawuf, merupakan bagian dari kepustakaan Jawa. Dalam masa kebangkitan kepustakaan Jawa pada zaman Surakarta, kitab-kitab lama mengalami penggubahan kembali. Bentuk baru dari hasil penggubahan ini, sudah dimasukkan istilah dan kata-kata Arab, karena bahasa Arab tidak bisa dipisahkan dari penyebaran agama Islam. Islam telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa. Oleh karena kepustakaan Jawa baru, hasil karya-karya masa Kartasura dan Surakarta tidak dapat dipahami secara baik, tanpa pengenalan terhadap ajaran Islam dan pengetahuan bahasa Arab.

2. Tasawuf

Proses perkembangan awal Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ajaran tasawuf. Tasawuf boleh dikatakan memegang peranan penting bagi


(29)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

perkembangan Islam di Indonesia, terutama di Jawa. Dalam perkembangannya ajaran tasawuf berkembang secara intens dan bahkan beraktualisasi dengan kebudayaan lokal.

Istilah tasawuf berasal dari kata sufi. Istilah tersebut tentu sangat dikenal di kalangan intelektual muslim, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini selalu identik dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas orang awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah keyakinan orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah

mencapai derajat wali (kekasih) Allah ta’ala.

Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata tasawuf. Mengenai asal-usul kata tasawuf, masih terjadi perdebatan para ahli. Terlepas dari perbedaan pendapat para ahli mengenai asal-usul kata tasawuf, menurut Barmawi Umari (1987: 130), tidak ada yang pantas dipertentangkan mengenai konotasinya yang tepat. Adapun asal-usul kata tasawuf menurut pendapat para ahli antara lain sebagai berikut:

1. Tasawuf berasal dari kata saff yang artinya barisan dalam salat berjamaah.

Alasannya, seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih dan selalu

memilih saf yang terdepan dalam salat berjamaah. Di samping alasan itu mereka

juga memandang bahwa seorang sufi akan berada di baris pertama di depan Allah SWT.

2. Tasawuf berasal dari kata saufanah yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu yang

banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini karena melihat orang-orang sufi memakai pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan fisik, tapi subur batinnya.

3. Tasawuf berasal dari kata suffah yang artinya pelana yang dipergunakan oleh para

sahabat Nabi Muhammad SAW yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku

batu di samping masjid Nabawi di Madinah. Versi lain dikatakan bahwa suffah


(30)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sahabat Nabi Muhammad SAW dari golongan Muhajirin yang miskin. Penghuni

suffah ini disebut ahlus suffah, mereka mempunyai sifat-sifat teguh dalam pendirian, takwa, warak (taat kepada Allah SWT), zuhud, dan tekun beribadah.

Adapun pegambilan kata suffah karena kemiripan tabiat para sufi dengan

sifat-sifat ahlus suffah.

4. Tasawuf (sufi) merujuk pada kata safwah yang berarti sesuatu yang terpilih atau

terbaik. Dikatakan demikian karena seorang sufi biasa memandang diri mereka sebagai orang pilihan atau orang terbaik.

5. Tasawuf merujuk pada kata safa atau safw yang artinya bersih atau suci.

Maksudnya kehidupan seorang sufi lebih banyak diarahkan pada penyucian batin untuk mendekatkan diri pada Allah SWT Tuhan Yang Maha Suci sebab Tuhan tidak bisa didekati kecuali oleh orang yang suci.

6. Tasawuf berasal dari bahasa Yunani yaitu theosophi (Theo-Tuhan,

Sophos-Hikmat) yang berarti hikmat Ketuhanan. Mereka merujuk pada bahasa Yunani karena ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah Ketuhanan.

7. Tasawuf berasal dari kata suf yang artinya wol atau kain bulu kasar. Disebut

demikian karena orang-orang sufi banyak yang suka memakai pakaian dari bulu binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan pakaian sutra yang biasa dipakai oleh orang-orang kaya. Abu Nasr As Sarraj At Tusi, tokoh fundamentalis tasawuf, mengatakan bahwa kebiasaan memakai kain wol kasar adalah kebiasaan para nabi dan orang-orang saleh, sekaligus sebagai lambang kesederhanaan dan kemiskinan.

Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia: “Tasawuf adalah aspek esoteris atau

kedalaman ajaran keagamaan. Tasawuf disebut juga sufism atau mistik Islam (Islamic

Mysticism). Secara garis besar lingkup tasawuf mencakup usaha manusia utuk

membersihkan diri dari perilaku atau akhlak tercela (takhalli) dan menghiasi diri

dengan perilaku terpuji (tahalli) agar tersingkap tirai yang menghalagi hubungan

manusia dengan Tuhan (tajalli). Jadi laku tasawuf merupakan proses keberagamaan

seseorang.”

Tasawuf dalam bahasa Inggris disebut Islamic mysticism (mistik yang tumbuh

dalam Islam). Adapun tujuan utama dari seseorang yang mengamalkan ajaran tasawuf


(31)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bahwa: “Sasaran atau tujuan tasawuf ialah sampai kepada Dzat Al Haqq atau Mutlak (Tuhan) dan bersatu dengan Dia”.

Dari konsep di atas jelas bahwa tujuan utama dari tasawuf adalah untuk

sampai kepada Allah, agar dapat makrifat secara langsung kepada Dzat Allah atau

bahkan ada yang ingin bersatu dengan Tuhan. Makrifat di sini bukan melulu hanya

pengetahuan semata, namun berupa pengalaman (experience), yakni ingin bertemu

langsung dengan Tuhan melalui tanggapan kejiwaannya bukan melalui panca indra serta akal. Tanggapan kejiwaan ini dapat dianalogikan seperti halnya mimpi atau

mabuk (ecstasy) jiwanya sampai ke alam lain. Sebagai jalan untuk sampai kepada

Allah disebut tarekat (Thariqah).

Menurut Hamka (2000: 169) tasawuf adalah kehendak memperbaiki budi dan men-“shifa”-kan (membersihkan) batin. Hamka juga memperjelas rumusan tersebut dengan meminjam kata Al-Junaid, seorang sufi besar abad ke-3: “tasawuf adalah kelur dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.”

Menurut Mulkhan (2000 : 10) tasawuf adalah sistem berpikir dari ajaran yang mengajarkan dan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai tujuan akhir dengan mengembangkan kehalusan rasa dan hati dalam suatu lingkup tindak baik. Menurut Zakaria Al-Ansary (1976: 48), tasawuf adalah ilmu yang menerangkan hal-hal tentang cara membersihkan jiwa, tentang cara memperbaiki akhlak dan tentang cara pembinaan kesejahteraan lahir batin untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi . Junaidi dalam Hamka (1990: 3), berpendapat bahwa tasawuf itu keluar dari budi yang tercela dan masuk dalam budi yang terpuji. Ibnu Khaldun dalam Hamka

(1990: 2) mengatakan bahwa tasawuf adalah semacam ilmu syariat yang timbul

kemudian di dalam agama Islam. Kaum sufi pada mulanya bertekun ibadah dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadapkan diri kepada Allah semata. Selanjutnya mereka menolak hiasan-hiasan dunia serta membenci perkara-perkara yang selalu memeperdayakan manusia, kenikmatan harta, benda dan

kemegahan dan menyendiri menuju Tuhan dalam khalwat dan ibadah.

Mengenai dasar-dasar tasawuf sudah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini dapat diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, itu terlihat ketika beliau


(32)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan ingin menyucikan hati dari perbuatan dosa serta ingin dekat dengan Tuhannya, cara kehidupan beliau kemudian diteladani dan diteruskan oleh para sahabat.

Abu Su’ud (2003: 183) mendefinisikan ajaran tasawuf memiliki ciri umum,

yaitu moral, pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak, pengetahuan, timbulnya

rasa kebahagiaan sebagai karunia dari Allah, dan penggunaan simbol-simbol pengungkapan yang mengandung pengertian harfiah dan tersirat

Selanjutnya menurut Barmawi Umari (1993: 28-29), ada cara-cara seorang sufi untuk memasuki lapangan tasawuf yaitu:

1) Tajarud, adalah melepaskan diri dari godaan dan ikatan dunia yang fana.

2) Uzlah, yaitu menyisihkan diri dari pergaulan masyarakat ramai, menjauhkan diri simpang siur pergaulan.

3) Faqr, artinya tidak mempunyai apa-apa dalam kategori hitungan dunia.

4) Dawaamus-sukuut secara negatif dan Dawaamudz secara positif, yaitu senantiasa diam atau tidak berkata-kata yang tidak bermanfaat, yang tidak mempunyai hasil, apalagi kata-kata yang merugikan, baik bagi diri sendiri ataupun orang lain. 5) Qillatul-akli secara negative dan Dawaamush–shaum , maksudnya sedikit makan

inklusif minum, sebab banyak makan menyebabkan penidur dan pemalas sehingga menghabiskan waktu, secara positifnya senantiasa berpuasa.

6) Dawaamus-sahr secara positif. Qiyaamul-laili secara positif, maksudnya senantiasa berjaga-jaga diwaktu malam dengan mengisi dengan do’a dan sembayang di waktu malam.

Adapunt tujuan tasawuf menurut kaum sufi, agar manusia berada dekat dengan Allah. Menurut Rivai Siregar (1999 : 57) ajaran tasawuf mempunyai beberapa tujuan:

1) Tasawuf membina aspek moral, aspek disini mewujudkan kestabilan jiwa yang

berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu.

2) Tasawuf bertujuan untuk mencapai ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung

atau metode al-kasyf al-hijab.

3) Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan


(33)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.

Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya

sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah

(bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang

dalam bahasa Arab disebut maqamat tempat seorang calon sufi menunggu sambil

berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke

maqam berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.

Buku-buku tasawuf tidak memberikan angka yang sama tentang maqam

tersebut, pembagian dan susunan maqam-maqam menurut Abu Nasr Al-Sarraj al-Tusi

dalam bukunya kitab al- luma ki’t tasawuf, terdapat tujuh maqam secara urut.

Ketujuh maqam itu ialah:

1. Maqamtaubat

Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus

dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, maqam pertama

dalam tasawuf adalah taubat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari

dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan

syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang.

Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke maqam kedua, yaitu zuhud.

2. Maqam Zuhud

Di maqam ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca


(34)

al-perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Qur'an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat.

Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa

lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir.Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan

berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'.

3. Maqam wara’

Di maqam ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat, yaitu menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas halal dan haramnya

Menurut Ibrahim dalam Simuh (1996:55-56) mengatakan wara’ adalah

“meninggalkan setiap yang berbau syubhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu,

yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan’’. Jadi laku wara’ para sufi telah

mulai menghindari berbagai kenikmatan yang halal yang menurut pertimbangan mereka tidak amat penting.

4. Maqamfaqr

Di maqam ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan. Setelah menjalani hidup kefakiran ia

sampai ke maqam sabar.

5. Maqam sabar

Di dalam maqam sabar ia sabar bukan hanya dalam menjalankan

perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.


(35)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6. Maqam tawakkal.

Di dalam maqam ini ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak

Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok, baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.

7. Maqamridla.

Dari maqam ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima

dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan. (Barmawi Umari, 1987: 91-98).

Karena maqam-maqam tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri

bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi

baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke maqam

berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.

Di atas maqam taubat, wara’, zuhud, fakr, sabar, tawakal dan ridha terdapat

stasiun/maqam: cinta, ma’rifat, fana, dan baqa’ persatuan (ijtihad). Persatuan dapat

mengambil bentuk hulul atau wahadatul wujud (Amin Syukur, 1999: 49).

Dalam maqam ridha , rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hati. Maka

seseorang yang telah mencapai maqamridha meningkat ke maqammahabbah (cinta

ilahi). Dalam maqam cinta yang terasa hanya cinta kepada Tuhan, dan cinta yang

mendalam kepada Tuhan mampu memalingkan seseorang yang telah mencapai

maqam mahabbah dari segala sesuatu selain Tuhan.

Maqam ma’rifat seseorang yang telah sampai ke maqam ma’rifat telah dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Menurut Dzunnun Al-Mishri dalam Amin

Syukur (1999 :55). Ma’rifat adalah anugrah Allah kepada kepada sufi yang telah

ikhlas dan bersungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta yang ikhlas dan suci, akhirnya Tuhan menyikapkan tabir dari pandangan sufi. Dengan terbukanya tabir dari


(36)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pandangan sufi, akhirnya seorang sufi dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan, sehingga dapat melihat keindahan abadi.

Seorang sufi dapat menagkap cahaya ma’rifat dengan mata hatinya, maka

khabulnya akan dipenuhi rasa cinta yang mendalam kepada Allah. Seorang sufi tidak

akan puas hanya sampai kepada maqam ma’rifat. Seorang sufi ingin berada lebih

dekat lagi kepada Tuhan. Ingin mengadakan persatuan dengan Tuhan, dalam istilah

sufi dikenal dengan sebutan ittihad (Amin Syukur : 1999: 55).

Itiihad dapat mengambil bentuk al–hulul atau kesatuan wujud makhluk

dengan Tuhan yang dalam terminologi tasawuf disebut al-wahdatul wujud. Adalah

sebuah paham yang menekankan bahwa tidak ada wujud sejati, kecuali hanya Allah yang maha mutlak. Kemutlakan wujud Allah akan menenggelamkan seluruh wujud selain diri-Nya. (Amin Syukur, 1999: 58).

Maqam taubat, maqam wara’, maqam zuhud, makam fakir, makam sabar, maqam tawakkal, maqam ridho, maqam cinta, maqam ma’rifat, maqam fana’ dan

baqa’ , maqam persatuan (ittihad). Merupakan tujuan sufi untuk berada sedekat

mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai melalui ittihad serta hulul yang

mengandung arti pengalaman adanya persatuan roh manusia dengan ruh Tuhan dan

akhirnya sampai mengalami wahdatul wujud, yang mengandung arti penampakan diri

(tajalli) Tuhan yang sempurna dalam insan kamil (manusia sempurna).

Dari beberapa pengertian tentang tasawuf maka dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti terpuji, mencapai pengontrolan atas dirinya sendiri, kesetiaan realisasi dan kehadiran Tuhan yang tetap di dalam semua perbuatan-perbuatan dan pikiran-pikiran seseorang dan mencari kecintaan Tuhan serta berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai tujuan akhir dan mengembangkan kehalusan rasa, hati dalam suatu lingkup tindak yang baik.

3. Manunggaling Kawula Gusti

Istilah manunggaling kawula gusti berasal dari bahasa Arab yaitu wihdatul

wujud yang berarti baginya yang ada hanya satu, sedangkan dalam konteks budaya


(37)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

khasanah Islam maupun tradisi lokal sejak zaman dahulu kala selalu rnenimbulkan

kontroversi, konsep manunggaling kawula gusti merupakan konsep yang amat rumit

dan sulit untuk dipahami, khusunya bagi kaum awam. Padahal konsep ini sangat penting untuk bisa dipahami oleh siapapun, khususnya mereka yang ingin lebih mendekatkan diri dan berserah diri kepada Allah.

Menurut Dhanu Priyo Prabowo (2003: 109) wihdatul wujud adalah upaya

manusia untuk dekat bahkan menyatu dengan Tuhan. Menurut Purwadi (2004: 9)

wihdatul wujud adalah penyatuan wujud tunggal tiada terpisah abdi dalem dengan

pencipta. Wihdatul wujud merupakan suatu keadaan di mana seseorang merasa

bersatu dengan Tuhan bagaikan bertindak, merasa, berpikir seperti apa yang dikehendaki Allah ( Mulkhan, 2000: 27).

Wihdatul wujud adalah kepercayaan bahwa seluruh yang maujud atau ada itu

pada prinsipnya hanyalah satu dalam segala arti yang tidak dapat diduakan. Hal ini satu maujud itulah Tuhan dimana segala bentuk keragaman yang tampak dan kasat mata dianggap tidak ada. Mereka percaya bahwa seluruh hal lain di dunia tida ada kecuali gambaran atau bayangan dari Yang Satu yaitu Tuhan itu sendiri (Mulkhan, 2000 : 34).

Menurut Simuh (2004: 47) konsep manunggaling kawula gusti diterangkan: “

Mingggah pamoring kawula lan Gusti iku, kaya dene paesan karo sing ngilo. Wayangan kang ana sajroning pangilon, iya iku jenengekawula”. Yang berarti: kesatuan manusia dengan Tuhan, ibarat cermin dengan orang bercermin. Bayang-bayang yang bercermin itulah manusia. Oleh karena itu, uraian dalam kepustakaan Islam Kejawen, yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, umumnya mengandung rumusan yang saling tumpang tindih. Tuhan dilukiskan memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia dan manusia digambarkan sama dengan Tuhan.

Paham semacam ini dalam falsafat dinamakan amtropamorfisme.

Manunggal dalam bahasa Jawa berasal dari kata tunggal, satu. Manungggal

berarti menyatu. Jadi manunggaling kawula gusti berarti manunggal atau menyatunya

seorang hamba dengan Penciptanya, dalam arti menyatunya kehendak dari seorang hamba dengan kehendak Penciptanya.


(38)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Manunggaling kawula gusti berarti suasana batin seorang hamba yang merasa sangat cinta dan dekat dengan Tuhan sehingga dia merasa lebur dan menyatu dengan Tuhan. Ibarat leburnya gula dan air, menyatunya api dan besi, yang diantara keduanya bisa dibedakan, tetapi tidak bisa lagi dipisahkan. Ketika besi telah menjadi merah karena dibakar api, besi dan api telah menyatu. Siapa menyentuh api, akan terkena besi dan siapa yang memegang besi akan tersentuh api (Komaruddin Hidayat, 2010: 1,7)

Menurut Hadiwijono dalam Dhanu Priyo Prabowo (2003: 131).

Manunggaling Kawula Gusti adalah keadaan yang tidak ada lagi perbedaan antara yang menyembah dan yang di sembah. Menurut Jaladudin Rumi dalam Sri Muryanto

(2004 : 36), Manunggaling Kawula Gusti adalah lenyapnya kedirian, karena adanya

kesatuan (manunggal yang sempurna dengan sang kekasih, Tuhan adalah tumpuan dan harapan hidup, tiada yang lainnya.

Pada saat tercapainya puncak kemabukan cinta, maka akan terjadi perkawinan

jiwa antara sang Khaliq dengan makhluknya, dimana terjadi sintesa antara pecinta

dan yang dicinta yang terwujud dalam kondisi bersatu atau fana’ (lebur dalam diri Tuhan), menurut Rumi antara manusia dan Tuhan tidak terpisahkan lagi, karena

sudah manunggal, tapi tidak berarti manusia telah menjadi atau sama dengan Tuhan,

karena Tuhan adalah sang pencipta (Sri Muryanto, 2004 : 36-37).

Manunggaling Kawula Gusti dalam kalangan sufi disebut hulul menurut pendapat Abu Bakar Al-Thusi dalam Sri Muryanto (2004 : 48) ialah paham dimana Tuhan memiliki tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Dhanu Priyo Prabowo (2003:136): “Semua ungkapan kemanunggalan tersebut

tidak dimaksudkan untuk mengajarkan bahwa di dalam pertemuan manusia dengan Tuhan tersebut manusia menjadi Tuhan. Berbagai istilah itu harus dipandang sebagai pengungkapan pengalaman mistis, karena manusia diserbu oleh keagungan dan keindahan Tuhan serta sedemikian dalam kesatuan, seolah-olah hapuslah dirinya

(fana)”

Pengertian dan konsep manunggaling kawula gusti dapat dengan mudah

dipahami dan sekaligus sukar dimengerti. Karena manusia dikatakan Tuhan tetapi bukan Tuhan, dikatakan bukan Tuhan tetapi kelihatnnya sama dengan Tuhan.


(39)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Ungkapan manunggaling kawula gusti, tidaklah dimaksudkan sebagai hamba sama

dengan Tuhan (Dhanu Priyo prabowo, 2003 : 137). Kesatuan manusia dengan Tuhan

dalam konsep manunggaling kawula gusti sulit dirumuskan dengan kata-kata yang

tepat, yang memiliki pengertian tunggal dan jelas.

Konsep manunggaling kawula gusti hanya dapat diterangkan dengan rumusan

kata-kata yang tegas mengarah kesuatu pengertian.

Dari beberapa pengertian tentang konsep wihdatul wujud dapat disimpulkan

bahwa wihdatul wujud adalah suatu keadaan di mana seseorang merasa bersatu

dengan Tuhan. Dalam pertemuan manusia dengan Tuhan dalam konsep

manunggaling kawula gusti tidak dimaksudkan hamba sama dengan Tuhan. Berbagai

istilah itu harus dipandang sebagai pengungkapan mistik, karena manusia terlena oleh keagungan dan kebesaran Tuhan sehingga dilarutkan dalam kesatuan, seolah-olah hapuslah dirinya (fana).

Menurut Simuh (1988 : 362), ada beberapa istilah yang menunjukkan

kesaman dengan ajaran di atas antara lain: ilmu ma’rifat, ilmu kasampurnaan, ilmu

kasunyatan, ilmu sangkan paraning dumadi. Di dalam ilmu ma’rifat terdapat pengetahuan yaitu ilmu mengetahui seyakin-yakinnya, disini diartikan mengenala

kepada Allah baik sifat-Nya, dan asma-Nya pula. Dikenal pula ilmu kasempurnaan,

di dalam ilmu ini membuat manusia menjadi lebih sempurna, ini terpengaruh oleh

paham tasawuf bahwa penghayatan ma’rifat kepada Tuhan disebut insan kamil,

selanjutnya ilmu sangkan paran, yaitu apabila mengenal Tuhan maka mengenal asal

kejadian manusia yang merupakan tempat kembalinya dikemudian hari. Dengan kata lain manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali juga kepada-Nya. Dengan ini

Tuhan merupakan sangkan paran dumadi atau asal dan tempat kembali semua

kejadian

Ajaran manunggaling kawula gusti berkembang pesat di pulau Jawa yang

pertama kali mengajarkan ini ialah Syekh Siti Jenar. Beliau adalah salah satu anggota

Wali Sanga. Beliau memperoleh ilmu manunggaling kawula gusti dari wejangan

ma’rifat dari Sunan Bonang. Dalam perkembangannya ajaran manunggaling kawula


(40)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

politik pasca rutuhnya kerajaan Majapahit, serta munculnya kerajaan baru Islam Demak Bintoro, pada waktu itu kedudukan Wali Sanga sangat dominan dalam struktur pemerintahan kerajaan Demak yaitu sebagai penasehat raja. Dengan

suburnya ajaran manunggaling kawula gusti ternyata menimbulkan stabilitas

keamanan kerajan menjadi goyah, ini disebabkan banyak pengikut atau murid Syekh Siti Jenar melakukan kekacauan. Atas dasar ini maka Wali Sanga mengadakan musyawarah di Mesjid Agung Demak, untuk membahas ajaran Syekh Siti Jenar yang

terbukkti sangat menyimpang dari syariat agama, terutama yang paling utama shalat.

Oleh karena itu pihak Wali Sanga atas perintah Raja Demak Raden Patah, akhirnya menghukum mati Syekh Siti Jenar pada dasarnya untuk menentang kekuasaan formal kerajaan Demak, sehingga mengakibatkan pihak kerajaan mencap Syekh Siti Jenar sebagai pemberontak. Gerakan Syekh Siti Jenar polanya mengembangkan geraka mistis kultural untuk mengimbangi hegemoni atau dominasi struktural kerajaan Demak yang didukung oleh majelis ulama Wali Sanga. Pada waktu itu konflik yang berkembang menjurus ke arah konflik politik (intrik sosial-spiritual) dan pertentangan kelas antara abangan dan santri. Karena dianggap membahayakan stabilitas dan keamanan kerajaan, maka atas persetujuan Wali Sanga ajaran dari Syeh Siti Jenar dianggap sesat (Purwadi, 2004 : 95).

Gerakan Syekh Siti Jenar dengan sosiol-spiritual kemudian dilanjutkan ketika Sunan Panggung, Ki Bebeluk, dan Syekh Amonggrogo juga dihukum mati karena

juga mengajarkan ajaran manunggaling kawula gusti. Pola gerakan hampir sama

yaitu sebagai pihak oposisi untuk mengimbangi pemerintahan kekusaan kerajaan yang berkuasa pada waktu itu. Adanya pertentangan, dengan mengatasnamakan budaya tandingan terhadap hegemoni kekuasaan formal yamg mengusung isu

manunggaling kawula gusti, kebanyakan dilukiskan dengan bentuk karya sastra yang

indah. Kebanyakan ajaran manunggaling kawula gusti merupakan inti dalam karya

sastra Islam Kejawen yang ada waktu itu sangat berkembang pesat di kerajaan Mataram Surakarta. Karya sastra biasanya ditulis dengan bahasa yang indah. Paham

manunggaling kawula gusti juga digunakan legitimasi oleh raja yang memerintah,

dengan simbol raja titising dewa dan agama ageming aji. Dari kata-kata ini dapat


(41)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang saat ini berbeda dalam konstalasi politik kerajaan sebelumnya (Demak dan Pajang), yang dalam struktur kekuasasannya para Wali Sanga dan ulama

mendominasi setiap kebijaksanaan kerajaan. Ajaran manungaling kawula gusti juga

diadopsi oleh para pujangga istana, yang kebanyakan dijadikan inti karya sastranya

yang dijiwai dengan ajaran manunggaling kawula gusti. Disini Serat Dewa Ruci

sebagai salah satu karya kepustakaan Islam Kejawen, ajaran manungaling kawula

gusti dijadikan inti ma’rifat dari ajaran delapan awali tanah Jawa.

B. Kerangka berpikir

Keterangan:

Sebelum agama Islam masuk ke Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki agama, yaitu : agama Jawa, agama Hindhu dan Budha. Ketiganya mengajarkan kehidupan rohani yang berbau mistik. Pengaruh tersebut telah berlaku berabad-abad

Islamisasi Jawa

Wali songo

Tasawuf Agama Islam

Tradisi Jawa

Yasadipura I Budaya Jawa

Unsur Islam (pesantren)

Ajaran serat yang berhubungan dengan

syariat

Ajaran serat yang berhubungan dengan

tarikat

Ajaran serat yang berhubungan dengan

hakikat

Ajaran serat yang berhubungan dengan

makrifat Serat Dewa Ruci


(42)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

lamanya dan sulit lepas dari kehidupan masyarakat Jawa. Selanjutnya masuk agama Islam ke tanah Jawa. Dengan melalui berbagai cara, agama ini merambah kehidupan masyarakat (Islamisasi). Salah satunya cara itu adalah dengan menyebarkan ajaran tasawuf. Ajaran ini sengaja diperkenalkan kepada masyarakat Jawa oleh para wali karena dianggap dapat mengimbangi praktek kehidupan mistis sebelumnya.

Dalam perkembangannya ajaran tasawuf berkembang secara intens dan bahkan mampu beralkuturasi dengan kebudayaan lokal di Jawa, hal ini dimungkinkan karena ajaran-ajaran tasawuf memiliki kesamaan dengan konsep mistisme di kalangan masyarakat Jawa.. Menurut masyarakat Jawa bila kedua konsep dipadukan akan memberi kekuatan tersendiri dan memperkaya kehidupan rohani mereka. Salah satu penganut ajaran tasawuf ialah Yasadipura I. Dalam pola pikirnya tidak lepas dari budaya Jawa dan usur Islam (pesantren). Pemikiran dan gagasannya terlihat dari hasil karya sastaranya.

Salah satu karyanya yang bernafaskan tasawuf adalah Serat Dewa Ruci, dalam serat tersebut terlihat sekali perpaduan budaya Jawa , Hindu dan Islam. Sufisme yang dirumuskan Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci memperlihatkan intregitas ajaran


(1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa (Hadiwijono, 1983:45).

Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir, tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Oleh kaum filsafat, itulah yang disebut surga (Hamka, 1984:139). Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.

Segala yang menjadi niat hatinya terkabul, apa yang dimaksud tercapai, dan apa yang dicipta akan datang, jika hamba telah bisa manunggal dengan Tuhannya. Segala yang dimaksud oleh Bima telah tercapai. Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tataran makrifat.Segala yang diniatkan oleh hamba yang tercapai ini kadang-kadang bertentangan dengan hukum alam sehingga menjadi suatu keajaiban. Keajaiban itu dapat terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi (Nicholson, 1975:132). Ada dua macam keajaiban, yang pertama yang dilakukan oleh para wali disebut keramat dan yang kedua keajaiban yang dilakukan oleh para nabi disebut mukjizat (Nicholson, 1975:129).

Dalam Serat Dewa Ruci pupuh Dhandhangguala V, pada 32-33 disebutkan bahwa bagi Bima hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia hendaklah manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam dalam kematian manusia akan kembnali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak sempurna dan yang menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia kemudian bebas merdeka sesuai kehendaknya kembali manunggal kepada Yang Kekal (Marsono, 1997:799). Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya secara


(2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Bima setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna dengan Tuhannya karena mendapatkan wejangan dari Dewaruci, ia hatinya terang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar. Bima kembali kepada alam dunia semula. Keselarasan sosial dalam serat dewa ruci tampak pada personifikasi tokoh Sena yang mau kembali ke tempat asalnya, setelah dia mengalami ekstase kenikmatan spiritual. Tokoh Bima tidak hanya mementingkan olah kebatinan saja, namun juga masih peduli dengan soal-soal lahiriah duniawi berupa problem sosial dan kenegaraan yang perlu diselesaikan berhubung posisi dirinya sebagai prajurit,abdi negara, dan satria agung. Keadaan hati yang terang benderang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.


(3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berpijak dari uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Biografi Yasadipura dapat ditelusuri dari silsilahnya. Menurut Tus Pajang, Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari raja Pajang itu. Ia adalah anak Tumenggung Padmanagara, seorang Bupati/Jaksa pada masa Mataram Kartasura. Sebagai seorang anak bupati, Yasadipura I mendapatkan pendidikan selayaknya kaum priyayi yang sangat kental dengan aroma kejawen. Untuk memperdalam ilmunya maka pada usia delapan tahun, dia dikirim sebuah Pondok Pesantren di Bagelan Kedu di bawah asuhan Kyai Hanggamaya untuk mendapatkan pendidikan formal Islam. Pada usia empat belas tahun ia menyelesaikan belajarnya di pesantren Kedu, dan kemudian mengabdi di kraton Kartasura pada masa Pakubuwana II (1726-1743). Karena prestasinya yang baik dalam mengabdi di kerajaan ia kemudia dipromosikan menjadi prajurit Nameng Jaya. Karena bakatnya dalam bidang sastra diketahui Paku Buwana II, oleh karena itu Pakubuwahna II menitipkan Kudapangawe kepada Pangeran Wijil, seorang pujangga yang bekerja di kadipaten. Setelah mendapat bimbingan Pangeran Wijil, bakatnya di bidang sastra semakin menonjol sehingga ia disebut sebagai pujangga taruna (Pujangga Muda). Setelah periode Surakarta, pada masa Pakubuwana II (1749-1788), ia telah disebut dengan Raden Ngabehi Yasadipura I dan meningal hari senin Kliwon, 20 Dulkangidah, Wawu 1728.

2. Serat Dewa Ruci digubah Yasadipura I pada masa awal kraton Surakarta. Secara

historis berkaitan dengan kitab Nawaruci, karya Empu Siwamurti pada zaman akhir kerajaan Majapahit. Kitab Nawaruci merupakan karya mistik Jawa yang terpengaruh ajaran agama Hindhu. Serat Dewa Ruci merupakan perpaduan antara sastra mistik yang mengandung paham asli Jawa-Hindhu, dan Islam.


(4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Ruci merupakan representasi terbaik dari wacana mistisisme Jawa. Di dalamnya filsafat hidup Jawa yang didasarkan pada bentuk-bentuk spiritualitas atau mistisisme yang sinkretik tergambar dengan jelasnya. Bagi masyarakat Jawa, khususnya kalangan kesepuhan menganganggap isi Serat Dewa Ruci cukup berbobot untuk digunakan sebagai bahan renungan perihal hakikat kehidupan, yaitu kawruh sangkan paraning dumadi atau dari mana dan kemana tujuan hidup manusia itu.

3. Pemikiran Yasadipura I tidak terlepas dari pengaruh tradisi kejawen dan pesantren (Islam). Di satu sisi Yasadipura I sebagai anak seorang bupati di Pengging, dididik sebagai anak kaum priyayi yang pada umumnya dekat paham kejawen. Pada sisi lain, oleh keluarganya dia dikirim ke sebuah pesantren di Kedu, untuk mendapatkan pendidikan formal agama Islam. Mengalami dua lingkungan pendidikan ini membuat Yasadipura I fasih berbicara tentang bagaimana pandangan Jawa lama seperti yang terekam dalam karya-karya sastra Jawa kuno. Kapasitas intelektual yang ia miliki ini diekspresikan dalam bentuk penggubahan ulang karya-karya sastra Jawa kuno dan karya-karya sastra Melayu-Islam ke dalam karya sastra baru, dengan bahasa Jawa baru. Pemikiran sinkretik Yasadipura I salah satunya tercermin di dalam Serat Dewa Ruci. Secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi “asal dan

tujuan hidup manusia“ atau manunggaling kawula Gusti. Sufisme yang

dirumuskasn Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci memperlihatkan intregitas ajaran syariat, hakikat, tarekat, dan makrifat. Keempatnya merupakan mata rantai yang sambung menyambung, saling berkait satu dengan yang lain dan perlu dilakukan setahap demi setahap.

B. Implikasi


(5)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pemikiran yang dikembangkan oleh Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci ini tidak lepas dari unsur pesantren (Islam) dengan budaya Jawa (kejawen). Budaya sinkretis dalam serat tersebut mempengaruhi isi Serat Dewa Ruci, yang sisinya merupakan perpaduan antara unsur Islam dengan unsur Jawa. Pola pikir dalam serat ini mengetengahkan ajaran tasawuf yang cukup supel. Isinya berkaitan dengan paham atau budaya sinkretis. Pemikiran yang dikembangkan dalam serat ini, adalah ajaran tasawuf yang berhubungan dengan konsep etika manusia dengan manusia) dan manusia dengan Tuhan, sehingga tercipta ajaran manunggaling kawula gusti. Ajaran manunggaling kawula gusti yang terdapat dalam serat Dewa Ruci menunjukkan kearah paham Union Mistik yang mempertemukan antara Tuhan dengan manusia. Paham Union Mistik inilah yang merupakan ciri khas kepustakaan Islam Kejawen

2. Implikasi Praktis

Dengan memahami skripsi mengenai Serat Dewa Ruci, akan dapat diketahui pola pikir Yasadipura I. Penelitian ini memunculkan suatu pengertian ajaran tasawuf dalam serat tersebut menjadikan pedoman bagi orang Jawa dalam mengembangkan pola kehidupan sehari-hari terutama soal penghayatan keagamaan, yang di dalam ajaran tersebut sarat akan mistik. Oleh karena itu implikasi praktis dari penelitian ini adalah bahwa untuk mengenal Tuhan seperti yang tertuang dalam ajaran tasawuf diperlukan ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya, yang berwujud keimanan dalam menjalankan perintah maupun menjauhi laranagn-Nya.

C. Saran

Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka dapat diajukan saran sebagai berikut:

1. Bagi Pengelola Kementrian Pendidikan Nasional dan Pemerintahan Kota

Surakarta mengingat kandungan isi Serat Dewa Ruci sangat bermanfaat bagi perkembangan kebudayaan dan pengetahuan, maka hendaknya dapat lebih memberikan perhatian pada sumber-sumber sejarah terutama sumber berupa naskah-naskah kuno yang tersimpan di perpustakaan kraton Surakarta dan museum. Perhatian ini terutama dalam hal keamanan, perawatan dan


(6)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id bekerjasama dengan para ahli penerjemah bahasa Jawa maupun Belanda untuk menerjemahkan naskah kuno tersebut ke dalam bahasa Indonesia agar lebih menarik perhatian dan mudah dipahami isinya oleh khayalak umum.

2. Bagi Tim Kurikulum Program Pendidikan Sejarah, mengingat betapa pentingnya

kegunaan bahasa sumber, terutama bahasa Jawa, maka mata kuliah Bahasa Sumber hendaknya dijadikan sebagai salah satu mata kuliah yang mendapatkan perhatian lebih. Mata kuliah Bahasa Sumber ini dapat digunakan sebagai bekal bagi mahasiswa Program Studi Sejarah dalam penelitian yang berhubungan dengan naskah-naskah kuno tersebut belum diteliti. Diharapkan dari penelitian ini akan semakin menambah kecintaan masyarakat terhadap hasil karya sastra anak bangsa terutama naskah-nakah kuno yang berbahasa Jawa.

3. Bagi masyarakat umum, mengingat Serat Dewa Ruci merupakan karya

widyatama atau etis filosofis yang mengandung wulangan, wejangan , dan wedharan, maka hendaknya Serat Dewa Ruci bisa dijadikan sebagai salah satu sumber referensi bagi masyarakat untuk memahami hakikat kehidupan Dengan memahami isi dari Serat Dewa Ruci diharapkan, memberi isyarat persuasif kepada masyarakat agar selalu eling waspada dan bersahaja, mengendalikan diri mengurangi kenikmatan badaniah duniawi, bersedia Lara Lapa Tapa Brata dan bersyukur meskipun berkesempitan untuk mencapai tujuan kehidupan yang Khusnul Khatimah