Fulltext Tesis Mahatma Zat Akhdiyat S441302009

(1)

commit to user

i

KAJIAN SEMIOTIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER

SERAT DEWA RUCI

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa Jawa

Oleh:

Mahatma Zat Akhdiyat S441302009

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA


(2)

commit to user

ii

PENGESAHAN PEMBIMBING

KAJIAN SEMIOTIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER

SERAT DEWA RUCI

TESIS

Oleh:

Mahatma Zat Akhdiyat S441302009

Komisi Pembimbing Nama Tanda Tangan Tanggal

pembimbing I Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd .……….. ...……

NIP. 196204071987031003

Pembimbing II Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum ……… ...………….

NIP. 197602062002121004

Telah dinyatakan memenuhi syarat Pada Tanggal……….2015

Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa & Sastra Jawa

FKIP UNS

Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP. 196204071987031003


(3)

commit to user

iii

KAJIAN SEMIOTIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER

SERAT DEWA RUCI

TESIS

Oleh:

Mahatma Zat Akhdiyat

S441302009

Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan

Tanggal

Ketua Prof. Dr. Andayani, M.Pd ... ... 2015

NIP 196010301986012001

Sekretaris Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd ... ………2015

NIP 195601211982032003 Anggota Penguji

Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. ... ……… 2015

NIP 196204071987031003

Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum ... …..….. 2015

NIP 197602062002121004

Telah dipertahankan di depan penguji Dinyatakan telah memenuhi syarat

Pada tanggal...2015

Mengetahui Ketua Program Studi

Dekan FKIP UNS Magister Pendidikan Bahasa

Indonesia


(4)

commit to user

iv

Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP 196007271987021001 NIP 196204071987031003

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis yang berjudul “Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan Karakter Serat Dewa Ruci” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan (Permendiknas No 17 Tahun 2010).

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi teks Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seizin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya dalam satu semester (enam bulan sejak pengesahan tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan tesis ini, maka Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa PPs UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa PPs UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, Februari 2015

Mahasiswa

Mahatma Zat Akhdiyat


(5)

commit to user

v MOTTO

- Alon-alon wewaton kelakon.

- Kerja utama dari pendidikan adalah penciptaan habitat belajar yang sehat. - Kebenaran bukan lagi hujan dari langit tapi biji yang tumbuh dari

pemahaman terhadap kenyataan.

- Ibadah bukanlah pengorbanan tapi kerja yang didasari kesadaran pada rumusan-rumusan hidup dengan tujuan penciptaannya.


(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Teriring doa dan puji syukur Alhamdulillahirabbil alamin penulis persembahkan karya ini kepada:

1. Kedua orang tua yang aku hormati dan banggakan: Ibu Waginah (alm) dan Bapak Sudadyo yang mula-mula mengajari kebaikan dan kebenaran. 2. Istriku terkasih Dhevilia Ardhiana dan anakku Mahestu Julang Redhung

pemantik nyala semangat dalam perjalanan waktu. 3. Para pemuja keberagaman dalam Keesaan.


(7)

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillahirabbil alamin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha pemberi rahmat dan hidayah sehingga tesis yang berjudul “Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan Karakter Serat Dewa Ruci”, dapat disusun dengan baik dan lancar. Penyusunan tesis ini adalah salah satu prasyarat untuk mencapai derajat magister pendidikan di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian tesis ini.

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pascasarjana di Universitas Sebelas Maret Surakarta;

2. Prof. Dr. Ahmad Yunus, M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin penyusunan tesis;

3. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan persetujuan dan pengesahan tesis ini;


(8)

commit to user

viii

4. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana UNS dan pembimbing tesis yang telah memberikan persetujuan pengesahan serta memberikan bimbingan sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan lancar;

5. Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum, selaku pembimbing tesis yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat terselesaikan tepat waktu;

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Jawa Minat Utama Pendidikan Bahasa Jawa yang dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmunya kepada penulis sehingga dapat menjadi bekal untuk penyusunan tesis;

7. Supardjo, M.Hum dan rekan-rekan dari Yayasan Sastra Lestari Surakarta atas bantuannya menyediakan bahan penelitian;

8. Bapak Aris Supriyadi, M.Pd., Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Toroh tempat penulis mengabdikan diri, yang telah memberi ijin dan dukungan sepenuhnya dalam pengambilan pendidikan pasca sarjana yang penulis tempuh;

9. Teman-teman guru di SMA Negeri 1 Toroh yang dengan tulus mendorong dan mendukung dalam proses pendidikan yang ditempuh maupun penulisan tesis;


(9)

commit to user

ix

10.Teman-teman seperjuangan di jurusan PBJ Program Pascasarjana UNS angkatan tahun 2013 yang telah banyak membantu dan memberikan semangat dalam belajar;

11.Keluarga besar penulis yang senantiasa memberikan semangat dalam menyelesaikan tesis;

12.Seluruh staf administrasi pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan fasilitas untuk kelancaran studi penulis;

Akhirnya, penulis berdoa semoga Allah SWT melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada kita sekalian, dan mudah-mudahan tesis ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi yang berarti dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan bahasa dan budaya Jawa. Amin.

Surakarta, Februari 2015 Penulis


(10)

commit to user

x

ABSTRAK

Mahatma Zat Akhdiyat. S441302009. 2015. “Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan Karakter Serat Dewa Ruci‟‟ TESIS. Pembimbing I: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi,

M.Pd. Pembimbing II: Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum. Program Studi

Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Cerita wayang dan serat tradisional Jawa mengandung rekaman nilai budaya yang patut digali lebih dalam dan dihubungkan dengan pendidikan namun sayangnya jarang dilakukan. Kajian semiotik dan nilai pendidikan ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan dan menjelaskan arti dan sistem tanda pada tataran heuristik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci, (2) Mendeskripsikan dan menjelaskan makna secara hermeneutik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci, (3) Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam serat Dewa Ruci, (4) Mendeskripsikan dan menjelaskan relevansi serat Dewa Ruci dengan pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Jawa di sekolah.

Penelitian dilakukan dari awal bulan Maret 2014 hingga Februari 2015. Pendekatan penelitian ini adalah semiotik khususnya semiotik Riffaterre. Objek penelitian adalah serat Dewa Ruci karya Yasadipura I terbitan Tan Kun Swi Kediri. Data berupa tanda dan sistem tanda, kandungan makna dalam serat, kandungan nilai pendidikan karakter. Uji validitas menggunakan triangulasi data. Teknik analisis data dengan teknik interactive model analisys.

Hasil penelitian menunjukkan penerapan kajian semiotik terhadap serat Dewa Ruci mampu memunculkan kandungan sistem tanda dan makna ditandai dengan didapatnya sistem tanda yang ditemukan dan kandungan makna yang dalam serta nilai pendidikan karakter yang ada. Penelitian ini juga menunjukkan adanya metode belajar laku yang dikandung budaya Jawa yang bisa dikenalkan kepada masyarakat ilmiah sebagai metode khas Jawa. Selain itu juga terdapat pembongkaran nilai hierarkis yang dikandung objek penelitian terhadap sistem religi dimana setiap insan bisa berhubungan dengan Tuhannya tanpa perantara. Proses belajar yang paling mula menurut hasil dan pembahasan penelitian menunjukkan bahwa mengenal diri sendiri adalah salah satu bagian penting dari proses belajar.


(11)

commit to user

xi ABSTRACT

Mahatma Zat Akhdiyat. S441302009. 2015. “A Study on Semiotics and

Character Education Value in Serat Dewa Ruci” Thesis. First Counselor:

Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Second Counselor: Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum. Javanese Language and Letters Education Main Concentration of Indonesian Language Education Study Program, Postgraduate Program, Surakarta Sebelas Maret University.

Puppet story and Javanese traditional letter (serat) contains cultural value records worthy of deeper exploration and related to education; but unfortunately it has been conducted rarely. This semiotic and education value study aimed (1) to describe and to explain the meaning and system of sign in heuristic level existing in Serat Dewa Ruci, (2) to describe and to explain the hermeneutic meaning existing in Serat Dewa Ruci, (3) to describe and to explain the character education value existing in Serat Dewa Ruci, (4) to describe and to explain the relevance of Serat Dewa Ruci to character education in Javanese language learning at school.

This study was conducted from early March 2014 to February 2015. The approach used in this research was semiotic one, particularly Rifatterre‟s semiotic approach. The object of research was serat Dewa Ruci by Yasadipura I published by Tan Kun Swi, Kediri. The data constituted sign and sign system, content of meaning in the serat, and content of character education value. The data validation was conducted using data triangulation. Technique of analyzing data used was an interactive model of analysis.

The result of research showed that the application of semiotic study to Serat Dewa Ruci could generate the content of sign system and meaning characterized by the sign system found and the content of meaning and the character education value existing. This study also showed the laku (in demand) learning method contained in Javanese culture that could be introduced to the scientific community as typical Javanese model. In addition, there was a deconstruction of hierarchical value contained in the research object on the religious system in which everyone could connect to his God without intermediary. The initial learning process, according to the result and discussion of research, showed that self-identification was an important part of learning process.


(12)

commit to user

xii

SARIPATHI

Mahatma Zat Akhdiyat. S441302009. 2015. “Panaliten Semiotik lan Sari Pendidikan Watak Serat Dewa Ruci‟‟ TESIS. Pangesuh I: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Pangesuh II: Dr. Kundharu Saddhono, M.Hum. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Carios wayang ugi serat tradisional Jawi ngandut pepenget sari budaya ingkang pantes dipunudi langkung lebet ugi kajumbuhaken kaliyan piwulang namung emanipun awis-awis dipunlampahi. Panaliten semiotik ugi sarining piwulang menika ancasipun: (1) Anggambaraken ugi jlentrehaken teges ugi sistem tanda ing tataran heuristik ingkang wonten ing salebetipun serat Dewa Ruci, (2) Anggambaraken ugi njlentrehaken makna hermeneutik ingkang wonten ing salebetipun serat Dewa Ruci, (3) Anggambaraken ugi njlentrehaken sarining piwulang watak ingkang wonten salebetipun serat Dewa Ruci, (4) Anggambaraken ugi anjlentrehaken gayutipun serat Dewa Ruci kaliyan piwulang watak wonten ing pasinaon basa Jawi wonten ing sekolah.

Panaliten kalaksanan saking wiwitan wulan Maret tahun 2014 dugi Februari tahun 2015. Panaliten angginakaken teori semiotik khususipun semiotik Riffaterre. Objek panaliten inggih menika serat Dewa Ruci anggitanipun Yasadipura I wedalan Tan Kun Swi Kediri. Data arupi tanda ugi sistem tanda, teges ingkang kamomot salebitipun serat, sarining piwulang watak. Validitas data angginakaken triangulasi data. Teknik analisis data angginakaken teknik interactive model analisys.

Kasilipun panaliten kanthi ngetrapaken semiotik tumrapipun serat Dewa Ruci nedahaken kandutan sistem tanda ugi makna katitik saking kapranggulinipun sistem tanda ugi kandutan makna ingkang wigati ugi sarining piwulang watak ingkang wonten. Panaliten menika ugi manggihi wontenipun metode pasinaon laku ingkang dipunkandhut budaya Jawi ingkang saget dipuntepangaken wonten ing pasrawungan ilmiah minangka metode khas Jawi. Sasanesipun menika ugi kaprangguli ewah-ewahan bab tata hierarkis iangkang kakandhut objek panaliten tumrapipun sistem religi inggih menika saben insan saged nyenyuwun kiyambak dumatheng Gusti Allah. Piwulang ingkang wiwitan miturut asilipun panaliten ugi pangrembak panaliten nedahaken bilih manggihi diri pribadi menika salahsatunggalipun bab ingkang wigatos saking lampah piwulang.


(13)

commit to user

xiii

DAFTAR ISI

Hal

JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... x

ABSTACT ... xi

SARIPATHI ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat Teoretis ... 12

2. Manfaat Praktis ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA ... 13

A. Tinjauan Pustaka ... 13

B. Landasan Teori ... 20

1. Kajian Puisi ... 20

2. Kajian Puisi Tradisional Tembang Macapat ... 26


(14)

commit to user

xiv

a. Tataran Heuristik ... 36

b. Tataran Hermeneutik ... 38

4. Hakikat Pembelajaran Bahasa Jawa ... 40

5. Hakikat Pendidikan Karakter ... 45

a. Pendidikan ... 45

b. Pendidikan Karakter ... 48

c. Pendidikan Karakter dalam Budaya Jawa ... 51

C. Kerangka Berpikir ... 55

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 57

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 57

B. Bentuk dan Jenis Penelitian ... 58

9C. Data dan Sumber Data ... 59

D. Teknik Pengumpulan Data ... 60

E. Validasi Data ... 60

F. Teknik Analisis Data... 62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 65

A. Hasil Penelitian ... 65

1. Sistem Tanda dalam Serat Dewa Ruci ... 65

a. Sistem Penamaan Tokoh ... 66

1) Arya Sena ... 67

2) Drona ... 70

3) Kresna... 73

4) Dewa Ruci atau Anak Bajang ... 75

5) Duryudana ... 77

6) Raksasa Rukmuka dan Rukmakala ... 79

7) Bathara Bayu dan Bathara Surya ... 81

8) Naga ... 83

b. Latar Tempat Sebagai Latar Masalah ... 85

1) Hutan Tibraksara ... 85

2) Gunung Candramuka... 86


(15)

commit to user

xv

c. Sistem Tanda Penunjuk Kualitas ... 90

1) Pancanaka ... 90

2) Toya Suci ... 92

d. Metafor Terhadap Kelemahan Manusia ... 96

1) Gua ... 96

2) Masuk Telinga ... 97

e. Sistem Tanda Penunjuk Proses ... 101

1) “Ing nguni-uni durung ana kang wruh goning toyadi ... 101

2) Metafora Perjalanan Lurus ... 103

3) Pancamaya dan Empat Warna ... 108

f. Penciptaan Arti Melalui Susunan Pupuh Sebagai Susunan Alur ... 110

1) Pupuh Dandhanggula Berisi 16 bait ... 111

2) Pupuh Pangkur berisi 44 bait ... 112

3) Pupuh Sinom berisi 18 bait ... 113

4) Pupuh Durma berisi 32 bait ... 113

5) Pupuh dandhanggula berisi 55 bait ... 114

2. Makna Secara Hermeneutik ... 117

a. Tema dalam Serat Dewa Ruci ... 117

b. Hipogram ... 120

c. Matriks ... 129

3. Nilai Pendidikan dalam Serat Dewa Ruci ... 137

a. Karakter Religius ... 137

b. Karakter Jujur dan Tulus ... 141

c. Konsep Diri yang Kuat ... 142

d. Teliti dan Sabar ... 146

e. Kemampuan Bersikap ... 147

f. Tepa Sarira / Empati ... 148

g. Tenang ... 149

h. Mau Berkorban... 150

i. Sikap Berbakti ... 151


(16)

commit to user

xvi

B. Pembahasan ... 154

1. Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu ... 154

2. Kelemahan Serat Dewa Ruci ... 158

3. Pendekatan Semiotik terhadap Serat Dewa Ruci ... 159

4. Serat DewaRuci Sebagai Peningkat Karakter Siswa ... 159

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ... 162

A. Simpulan ... 162

B. Implikasi ... 163

C. Saran ... 168

DAFTAR PUSTAKA ... 170


(17)

commit to user

xvii

Daftar Lampiran

Hal 1. Transliterasi serat Dewa Ruci terbitan Tan Kun Swi 173

2. Serat Dewa Ruci terbitan Tan Kun Swi Kediri 187


(18)

commit to user

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra adalah tulisan atau karangan yang unsur estetikanya dominan, yang dinyatakan dengan kata-kata: hasil dari bahasa yang indah. Karya sastra yang bermutu ialah karya sastra yang banyak menunjukkan adanya penciptaan-penciptaan baru (kreativitas) dan keaslian cipta di samping itu yang bersifat seni (Pradopo, 1997: 36). Karya sastra berisi pengalaman-pengalaman subjektif penciptanya, pengalaman subjektif seseorang (fakta individual atau libidinal), dan pengalaman sekelompok masyarakat (fakta sosial) (Sangidu, 2004: 41). Sebagai karya seni, karya sastra bukanlah suatu artefak (benda mati) yang statis yang terus-menerus berlangsung dalam ruang dan waktu tanpa perubahan, melainkan merupakan suatu sistem konvensi yang penuh dinamika (Abdullah dalam Sangidu, 2004: 42). Karya sastra selalu berada dalam tegangan antara konvensi dan kreasi.

Salah satu bentuk karya sastra dan karya seni yang paling kuno adalah puisi. Tidak hanya bisa digunakan sebagai sarana mengekspresikan namun puisi juga bisa digunakan sebagai sarana terapi. Seorang dokter Romawi Soranus membuat resep untuk pasien depresi yang disebut terapis puisi. Di samping itu, Dr. Benjamin Rush yang disebut “Bapak Psikiatri Amerika” menggunakan musik dan sastra sebagai pengobatan komplementer kemudian pasiennya menerbitkan tulisannya di koran (Blank, 2010: 1). Orkestrasi atau musikalitas menjadi hal yang penting dalam menciptakan lingkungan yang nyaman dan menyenangkan.


(19)

commit to user

Howard (1997: 81) melakukan penelitian memeriksa efek dari terapi dan puisi pada perempuan dan remaja yang hasil penelitiannya menunjukkan efektivitas pengaruh baik seni ekspresif terhadap perilaku remaja. Puisi seperti karya sastra lainnya dapat juga membangun sebuah ruang moral dan etika dalam diri masyarakat.

Khasanah budaya Jawa juga mengenal berbagai jenis puisi, lama atau terikat maupun puisi baru atau bebas. Puisi lama antara lain sanepan, wangsalan, dan macapat yang banyak termuat dalam naskah Jawa tradisional beraksara Jawa. Berdasar katalog yang disusun Florida (1996) naskah Jawa bisa dipilah menjadi beberapa jenis ditinjau dari isinya, yaitu: sejarah, adat istiadat, arsitektur, hukum, roman sejarah, ramalan, kesusastraan, piwulang, wayang, cerita wayang, dongeng, puisi, roman Islam, ajaran Islam, sejarah Islam, mistik dan tari, linguistik, mistik kejawen, dan obat-obatan. Serat-serat Jawa umumnya ditulis dalam tembang macapat yang termasuk ke dalam genre puisi terikat karena setiap nama tembang macapat mempunyai aturan-aturan tertentu. Aturan bunyi vokal pada tiap akhir baris yang disebut “dhong-dhing” atau guru lagu. Aturan jumlah baris tiap bait yang disebut guru gatra. Aturan jumlah suku kata tiap baris disebut guru wilangan. setiap genre tembang macapat juga memiliki watak yang berbeda.

Karya sastra Jawa mengandung berbagai bentuk ajaran, petunjuk, dan pendidikan adiluhung yang banyak terdapat dalam kebudayaan Jawa (Endraswara, 2006: 6). Menarik perhatian, kenyataan bahwa sebagai rekaman kekayaan localwisdom, cerita wayang telah menjadi sarana pendidikan pada masa lampau. Di masa sarana komunikasi masih sangat sederhana, cerita wayang disajikan


(20)

commit to user

dalam pertunjukan di pusat pemerintahan maupun di pelosok-pelosok desa. Cerita wayang pada masa Walisanga juga menjadi sarana pendidikan dan penyebaran nilai-nilai agama Islam.

Sejarah yang panjang tersebut dan keberhasilan cerita wayang beserta pertunjukannya mempengaruhi dan menyehatkan jiwa manusia Jawa, dan berhasil menjadi sebuah budaya populer pada jamannya menjadi sumber referensi nilai bagi hidup sehari-hari, patut untuk diapresiasi. Filsafat Jawa telah diejawantahkan di dalam bentuk wayang, pertunjukan dan sastra wayang. Walaupun isi sastra wayang berasal dari India namun terdapat perbedaan hakiki dalam perwujudannya. Di India isi cerita dianggap benar-benar terjadi dalam mitos, legenda dan sejarah, sedangkan di Indonesia cerita-cerita itu mengiaskan perilaku watak manusia dalam mencapai tujuan hidup, baik lahir maupun batin. Pemahaman kias ini tidak semata-mata dilakukan dengan akal-pikiran, melainkan dengan seluruh cipta-rasa-karsa tergantung kepada kedewasaan orang masing-masing (Ciptoprawiro, 1986: 31).

Seni pertunjukan wayang dan cerita wayang telah tumbuh dan berkembang berdampingan lebih dari sepuluh abad lamanya. Wibisono menyebut cerita wayang purwa yang ada dalam karya sastra sebagai sastra wayang. Istilah sastra wayang yang digunakan tidak terlepas dari kaitan yang erat antara kedua jenis seni itu (Wibisono, 2001: 330). Istilah sastra wayang dan cerita wayang dengan demikian mengacu kepada konsep yang sama yang dalam penelitian ini sangat mungkin saling bertukar penggunaannya, tergantung dari konteks.


(21)

commit to user

Kisah Dewa Ruci adalah salah satu sastra wayang yang populer di lingkungan pendukung budaya Jawa. Bahkan dalam khasanah sastra Indonesia terlahir beberapa puisi yang terinspirasi dari cerita Dewa Ruci misalnya: Bima karya Subagio Sastrowardoyo, Saudara Kembar karya Subagio Sastrowardoyo, Telinga karya Sapardi Djoko Damono, dan Dewa Ruci karya Saini K.M. Selain dikenal dengan judul Dewa Ruci kisah yang sama kadang juga dikenal dengan judul Bima Sonya, atau Bima Suci. Tokoh Bima sering muncul dalam khasanah budaya Jawa, misalnya kisah Bhimaswarga, Bima Bungkus. Ketiganya muncul dalam teks sastra maupun dalam pertunjukan. Ruci berarti ringas atau gampang bernafsu (Widada, 2001: 677). Kisah Dewa Ruci umumnya dikenal memiliki tema tentang pengendalian nafsu yang juga sering muncul dalam teks sastra wayang lainnya maupun dalam ajaran-ajaran Jawa. Selain kisah Dewa Ruci misalnya, di candi Sukuh terdapat ukiran kisah Nawaruci atau Sembilan Nafsu (Munandar, 2004:54). Bertemunya simbol antara Bima dan Nafsu dalam kisah Dewa Ruci menjadi hal yang penting untuk dianalisa dan dipahami maknanya.

Kisah Dewa Ruci merupakan “lakon pamijen” karena tokoh Dewa Ruci hanya muncul dalam cerita ini. Pigeaud berpandangan bahwa kisah Dewa Ruci dipandang sebagai karya yang penting dalam kehidupan rohani, etika, yang di dalamnya mengandung ajaran keselarasan hubungan antara Tuhan, manusia dan alam (Wiryamartana, 1990: 2). Lakon Dewa Ruci memberikan tuntunan kepada manusia mengenai kewajiban manusia kepada Tuhan, hubungan antar sesama manusia dengan misteri hidup yang paling rahasia (Sastroamidjojo, 1967:102). Menurut Susetya cerita Dewa Ruci merupakan cerita perihal pencarian jati diri


(22)

commit to user

yang mengandung pelajaran sebagai berikut: 1). Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti, artinya bahwa sifat pengasih mengalahkan semua bentuk kejahatan atau musuh yang terdapat di dalam dirinya, 2). Sapa temen bakal tinemu, artinya bahwa segala sesuatu akan berhasil jika dilakukan dengan sungguh-sungguh. Di samping itu, lakon Dewa Ruci merupakan lakon atau cerita yang banyak berbicara mengenai masalah kebatinan dalam pewayangan (Susetya, 2007: 200). Pemahaman terhadap isi sastra wayang bergantung dari keluasan pandang masing-masing orang karena semua karya sastra utamanya sastra wayang selalu dikemas dengan metafora atau perlambang yang ditampilkan lewat tokoh dan permasalahannya.

Tokoh utama dalam cerita Dewa Ruci adalah Sena atau Bima karena ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 1995: 177). Tokoh Dewa Ruci yang namanya digunakan sebagai judul kitab justru hanya dihadirkan oleh pengarang di bagian akhir dari keseluruhan cerita. Altenbernd dan Lewis menyatakan bahwa tokoh yang dikagumi, dalam hal ini adalah tokoh Sena, merupakan tokoh dengan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita (Nurgiyantoro, 1995: 178).

Kisah Dewa Ruci salah satunya termuat dalam Serat Dewa Ruci terbitan Tan Gun Swi Kediri. Isi dari cerita Dewa Ruci ialah tentang ajaran tokoh Dewa Ruci kepada Arya Wrekudara/ Arya Sena/ Bima ketika masuk ke dasar samudera guna memenuhi tugas gurunya mencari air penghidupan (Tirtamerta). Kebanyakan kisah Dewa Ruci dan variannya hampir sama dengan menggunakan


(23)

commit to user

unsur dasar yang sama. Satunya-satunya cerita yang berbeda adalah pada Cerita Dewa Ruci yang ditulis pada abad ke-15. Cerita Dewa Ruci itu berbentuk tembang gedhe dengan bahasa Jawa Tengahan. Isi cerita Dewa Ruci yang tertua ini tidak begitu panjang, diawali dengan kepergian Bima ke samudra kemudian bertemu dengan Dewa Ruci. Akhir cerita yaitu Bima mendapat wejangan dari Dewa ruci tentang usaha untuk mencapai kesempurnaan hidup (Purwadi, 2002: 15), tanpa menghadirkan tokoh Drona. Poerbatjaraka menyatakan Serat Dewa Ruci tembang Gedhe yang berbahasa Jawa Tengahan ini belum diketahui penciptanya serta belum jelas keterangan waktu dikarang (1952: 69). Penelitian ini menggunakan serat Dewa Ruci Kidung yang disadur dari bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta/Solo, Yosodipuro terbitan Tan Gun Swi Kediri, yang telah ditranskripsikan ke dalam aksara latin oleh Yayasan Sastra Lestari di Surakarta. Serat Dewa Ruci Kidung yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sansekerta dan Jawa Kuna.

Menengok lagi khasanah budaya yang dimiliki merupakan hal yang harus dilakukan, seperti diungkapkan oleh Dewantara dengan nada menyesal (dalam Dewantara, 1977: 51): “Kita telah kehilangan dunia kita, tetapi masuklah dunia lain. siapakah yang salah? Jawab kita ialah: kita sendiri. Kita harus memilih dan kita telah memilih. Pilihan atas jalan orientasi pendidikan itu salah, sebab dalam kita memperoleh yang baru itu kita senantiasa melepaskan sesuatu dari persediaan kebudayaan kita, yang bagi hidup kita sering mempunyai nilai tinggi yang hakiki. Kita tadinya memang tidak tahu dan baru sekaranglah kita tahu, setelah kita dalam


(24)

commit to user

usaha kita yang sadar untuk pembangunan kembali senantiasa mengetahui dengan sedih, bahwa banyak hal-hal yang baik dan indah sudah hilang, justru hal-hal yang perlu untuk kelarasan dalam daripada gedong kita, atau setidak-tidaknya mempunyai nilai tinggi sekali. Materiil yang baru yang masuk sering lebih sesuai sebagai “rias” saja daripada bahan bangunan”.

Menengok dan memunculkan kasanah budaya kita sendiri juga selaras dengan orientasi pendidikan pemerintah saat ini. Pemerintah menetapkan Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa tahun 2010-2025. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menyusun Desain Induk Pendidikan Karakter di tahun 2010. Isu dan wacana pendidikan karakter terus bergulir sebagai suatu kepentingan yang mendesak dan strategis bagi kelangsungan masa depan bangsa hingga kemudian lahirlah kurikulum 2013 yang dirancang dengan empat kompetensi lulusan.

Kl-1: Menerima, menghargai, dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya, Kl-2: Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, percaya diri, dan cinta tanah air dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, tetangga, dan guru. Kl-3: Memahami pengetahuan faktual dan konseptual dengan cara mengamati dan mencoba (mendengar, melihat, membaca) serta menanya berdasarkan rasa ingin tahu secara kritis tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, sekolah, dan tempat bermain. Kl-4: Menyajikan pengetahuan faktual dan konseptual dalam bahasa yang jelas, logis, dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan


(25)

commit to user

yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia.

Pada pembacaan awal Serat Dewa Ruci dengan tokoh utama Sena, bisa dikatakan bahwa Serat Dewa Ruci di dalamnya mengandung model pendidikan seperti yang digambarkan dalam kurikulum 2013. Perjalanan yang dilalui oleh Sena, atau yang disebut sebagai laku, menunjukkan kualitas kompetensi dari empat kompetensi lulusan dalam kurikulum 2013. Hal ini tentu menarik karena ternyata apa yang dirumuskan saat ini, jauh sebelumnya telah dirumuskan oleh para pendahulu kita, meskipun tidak dalam rumusan teori yang rumit, namun merupakan praksis pendidikan yang pada dasarnya disemangati oleh kesadaran yang sama, ialah pentingnya pendidikan karakter.

Laku yang konsepnya dekat dengan kata „mengalami‟ dalam bahasa Indonesia, merupakan konsep yang umum dikenal dalam masyarakat Jawa sebagai metode utama mendapatkan kawruh „pengetahuan‟. Menurut Dewantara (1977: 28), laku (zelfbeheresching, zelfdiscipline) merupakan salah satu metode mendidik selain memberi contoh, pembiasaan, pengajaran, perintah, paksaan dan hukuman, pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving). Laku merupakan jalan kesadaran yang pertama-tama adalah untuk mengenali diri sendiri melalui pengalaman-pengalaman pribadi, baik dengan bimbingan guru atau tidak. Dengan demikian laku sesuai dengan pendapat Lickona bahwa sebuah program refleksi moral yang serius hendaknya dapat pula mendorong suatu pemahaman moral yang merupakan bagian paling sulit untuk dicapai, tetapi sangat penting dalam pengembangan karakter, yakni memahami diri sendiri


(26)

commit to user

(Lickona, 2013: 338). Data dan pengetahuan berkenaan dengan laku akan menjadi salah satu perhatian dalam penelitian ini karena sifatnya yang khas Jawa sekaligus karena merupakan inti pendidikan karakter yang terkandung dalam serat Dewa Ruci sebagai objek penelitian. Meskipun demikian nilai-nilai karakter yang lain juga akan mendapat perhatian.

Latar belakang yang dipaparkan di atas menjadi dasar penelitian ini untuk mengambil judul: Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan Karakter Serat Dewa Ruci. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotik sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda, sesuai dengan objek penelitian berupa puisi yang banyak menampilkan tanda dan sistem tanda. Teori dasar yang digunakan adalah teori semiotik dari Riffaterre. Maka sesuai teori dari Riffaterre pendekatan semiotik yang digunakan dalam penelitian ini pada tahap pertama ialah tahap penelitian heuristik, berfungsi sebagai alat memahami arti dari serat Dewa Ruci. Pada tahap ini kebenaran yang menjadi basisnya adalah teori kebenaran logis atau teori koherensi, kesatuan (coherence theory of truth). Arti dari bagian-bagian di dalam serat dihubungkan dalam kesatuan yang saling menerangkan dan tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Pada tahap kedua pendekatan semiotik ialah tahap penelitian hermeneutik digunakan sebagai alat untuk memahami makna dari cerita yang ada, dan menghubungkannya dengan bingkai besar kebudayaan Jawa. Kebenaran empiris dengan teori korespondensi (correspondence theory of truth) menjadi basis paradigmanya. Kriteria kebenaran yang digunakan menilai sebuah pernyataan adalah kesesuaian pernyataan ilmiah dengan kenyataan empiris yang ada dalam kebudayaan Jawa maupun dalam bidang ilmu yang lain yang


(27)

commit to user

memungkinkan sebagai pendukung kebenaran-kebenaran yang dinyatakan (Rohman, 2013: 19).

Pemanfaatan paradigma penelitian semiotik diharapkan penelitian dapat leluasa bergerak dan berpindah dari tataran arti dan makna. Bergerak dari koherensi arti teks dan merelasikannya dengan kebenaran-kebenaran dalam kenyataan kebudayaan Jawa. Kepaduan arti pada tataran heuristik terhadap serat Dewa Ruci tanpa meninggalkan konteks kebenaran di mana serat itu hidup dilakukan dengan tahapan penelitian hermeneutik, untuk selanjutnya diungkapkan nilai pendidikan karakter yang ada di dalam teks serat Dewa Ruci. Untuk menjadikan penelitian dapat diterapkan maka juga dilakukan pengungkapan relevansi Serat Dewa Ruci dengan pembelajaran bahasa dan sastra Jawa di sekolah.

Penelitian ini penting untuk dilakukan mengingat serat tradisional Jawa umumnya dan cerita wayang khususnya mengandung rekaman nilai budaya yang patut digali lebih dalam dan dihubungkan dengan pendidikan. Penelitian ini menjadi semakin penting untuk dilakukan karena penelitian sejenis jarang dilakukan. Dikenal dan dipahaminya kembali cerita wayang yang dimunculkan arti dan maknanya menggunakan kajian semiotik akan menjadi sumbangsih bagi dunia pendidikan utamanya bagi pendidikan karakter.


(28)

commit to user B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka perumusan masalah dalam penelitian serat Dewa Ruci adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah arti dan sistem tanda secara heuristik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci?

2. Bagaimanakah makna hermeneutik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci? 3. Bagaimanakah nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam serat Dewa

Ruci?

4. Bagaimanakah relevansi Serat Dewa Ruci dengan pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Jawa di sekolah?

C. Tujuan Penelitian

Empat tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian tentang serat Dewa Ruci ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan arti dan sistem tanda pada tataran heuristik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci.

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan makna secara hermeneutik yang terdapat dalam serat Dewa Ruci.

3. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam serat Dewa Ruci.

4. Mendeskripsikan dan menjelaskan relevansi serat Dewa Ruci dengan pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Jawa di sekolah?


(29)

commit to user

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini terbagi menjadi manfaat praktis dan teoretis, sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoretis bagi perkembangan khasanah ilmu pengetahuan dan pengajaran, khususnya ilmu pengetahuan dan teori pengajaran dalam bahasa Jawa serta dapat menggali nilai-nilai edukatif tentang pendidikan karakter dari budaya tradisional yang diimplementasikan dalam pembelajaran peserta didik sesuai dengan kebutuhan jaman.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktis, antara lain seperti berikut.

a. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan siswa memahami sastra wayang dan kualitas karakternya serta dapat menumbuhkan kecintaan kepada budayanya sendiri.

b. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat memberikan acuan pembelajaran sastra wayang sehingga mampu mendorong guru untuk menggali makna sastra wayang yang kaya akan nilai-nilai pendidikan karakter.

c. Bagi pengambil kebijakan, hasil penelitian ini dapat menjadi pendorong untuk memberikan perhatian lebih kepada pembelajaran sastra wayang dalam rangka pendidikan karakter sekaligus pengembangan budaya nasional.

d. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dan membantu untuk mengkaji lebih lanjut mengenai sastra wayang.


(30)

commit to user

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Tinjauan Pustaka

Serat Dewa Ruci yang mengisahkan Bima berguru kepada Drona untuk menguasai ngelmu kasampurnan merupakan kisah yang menarik dan unik. Dikatakan menarik karena relevansinya dengan kehidupan masyarakat Jawa masih dijumpai sampai sekarang, serta berbagai tanggapan terhadapnya baik dari lingkungan dalang, peneliti, maupun di lingkungan orang Jawa pada umumnya. Tanggapan atas kisah Dewa Ruci di lingkungan sastra Jawa cukup banyak sehingga dijumpai beberapa naskah Dewa Ruci. Penelitian tentang Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan Karakter Serat Dewa Ruci belum pernah dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Terdapat beberapa penelitian kaitannya dengan sastra terutama puisi misalnya dalam penelitian berjudul Making Mockery: The Peotics of Ancient Satire (Littlewood, 2008: 33-36). Pada penelitian Littlewood mengkaji tentang puisi satire kaitannya dengan budaya klasik dan masyarakat. Hal yang menunjang atau sesuai dengan penelitian tentang serat Dewa Ruci yaitu penciptaan puisi yang disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan masyarakat, sedangkan perbedaan keduanya adalah dalam jurnal Littlewood objek yang dikaji adalah puisi satire sedangkan penelitian yang dilakukan terhadap serat Dewa Ruci objek yang dikaji adalah puisi terikat jenis tembang macapat.


(31)

commit to user

Penelitian oleh Zanker (2000: 81-89) yang berjudul “Aristotle‟s and the Painters yang difokuskan pada puisi Aristoteles dan lukisan, ditulis menggunakan contoh lukisan sebagai analogi untuk menggambarkan fakta-fakta tertentu tentang puisi, secara khusus epik, tragedi dan komedi. Kesamaan dengan penelitian penulis adalah adanya pembacaan makna puisi secara visual sedangkan perbedaannya terletak pada objeknya.

Penelitian oleh Simuh (1988) yang berjudul “Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita; Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, membahas tentang mistik kejawen yang dihubungkan dengan serat Dewa Ruci. Setelah uraiannya mengenai konsep monisme, penyatuan manusia dengan Tuhan, Simuh mengambil contoh serat Dewa Ruci, yaitu masuknya Bima ke tubuh Dewa Ruci melalui telinga kiri. Kesamaan penelitian yang dilakukan adalah pada objek penelitian yaitu cerita Dewa Ruci, perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan Simuh menekankan pada nilai-nilai sufisme yang terkandung dalam serat Dewa Ruci sedangkan penelitian yang dilakukan terhadap tanda dan nilai pendidikan karakter.

Serat Bimasuci dengan berbagai aspeknya oleh Soetarno (2004) meneliti serat Bimasuci karya Yasadipura I yang ditulis kembali oleh Raden Tanaya dengan huruf latin terbitan Balai Pustaka (1979) yang menyimpulkan Serat Bimasuci memiliki beberapa aspek yaitu tentang sangkan paraning dumadi, pencapaian kesempurnaan, pencapaian pengetahuan tentang cipta-rasa-karsa, aspek lahir dan batin manusia. Kesemua aspek dipandang sebagai mistisisme Jawa dalam rangka manunggaling Kawula-Gusti. Persamaan penelitian pada objeknya yaitu cerita Dewa


(32)

commit to user

Ruci sedangkan perbedaannya, Soetarno lebih menekankan pemaknaannya kepada relasi makna antara Dewa Ruci dengan Bima sedangkan penelitian yang dilakukan secara semiotik dilakukan secara keseluruhan.

Lakon Dewa Ruci cara menjadi Jawa; Sebuah analisis Strukturalisme Levi-Strauss dalam Kajian Wayang oleh Wahyudi (2012), menjadikan pola hubungan Bima-Drona sebagai dasar pemaknaan, dimana disimpulkannya bahwa relasi oposisi berpasangan Bima-Drona merupakan transformasi relasi oposisi berpasangan Vayu-vata dalam kapasitasnya sebagai relasi nafas halus-nafas kasar yang menghasilkan inti nafas atau prana. Kesamaannya adalah objek penelitian yang sama yaitu serat Dewa Ruci, perbedaannya adalah pada kajian yang digunakan yaitu antara strukturalisme Levy-Strauss yang hanya memaknai berdasar kebenaran kohesif dengan semiotik Riffaterre yang selain berdasar kepada kebenaran kohesif juga berdasar kebenaran koherensif.

“Tinjauan Struktur dan Makna Cerita Bima Bungkus karya Can Cu An” oleh Hidayat (1990) menunjukkan bahwa tokoh Bima dalam serat Bimapaksa selalu berorientasi kepada kebahagiaan (eudaenomisme) dan berdasarkan nilai-nilai religius. “Cerita Sena Sinaraya dalam pendekatan Struktur dan Makna” oleh Purwadi (1995) menjelaskan konsep moral yang berkaitan dengan sikap gagah berani, rela berkorban, dan kebersamaan dalam memperjuangkan cita-cita hidup. Disebutkan juga bahwa Bima senantiasa mengusahakan tindakan moral yang tujuannya meraih kebahagiaan bersama yang sangat dianjurkan oleh nilai-nilai keagamaan. “Cerita Begawan Senaroda karya R.M. Suwandi dalam Pendekatan Struktur dan Makna” penelitian


(33)

commit to user

Sasmito (1992) Bima tampil sebagai Begawan Senaroda yang membeberkan ilmu kesempurnaan hidup, ilmu sejati, kawruh begja, dan sangkan paraning dumadi. Dari objek penelitian yang berisi penjelasan konsep moral yang berkaitan dengan budi pekerti, mistik, dan soal kebatinan, peneliti menyimpulkan bahwa Bima selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan supaya dapat mencapai kebahagiaan sejati dan memperhatikan moralitas keagamaan.

Yousof (2010) dalam penelitiannya berjudul Islamic Elements In Traditional Indonesian And Malay Theatre menyimpulkan bahwa cerita Ramayana dan Mahabharata banyak yang ditafsirkan kembali untuk memberi ruang bagi masuknya ide-ide Islam dan Sufi. Ada beberapa wahyu cerita dalam reportoar dramatis wayang Jawa Klasik. Sejauh yang dianggap paling dikenal dan paling penting adalah Dewa Ruci, juga dikenal sebagai Bhima Suci. Woodward (1989: 193) menyatakan bahwa nampaknya serat Dewa Ruci telah mulai ditulis selama periode transisi dari Hindu ke Islam, dengan menggunakan mitologi Hindu-Jawa untuk menyajikan teori sufi dari jalan mistis. Kesimpulan yang menyatakan bahwa cerita Dewa Ruci terasuki nilai-nilai Islam juga ditemui dalam beberapa penelitian yang lain, sayangnya kesimpulan tersebut hanya berdasarkan perbandingan antara cerita Dewa Ruci dengan ide-ide Islam dan Sufi, tidak membandingkan dengan ide-ide sebelum Islam itu datang misalnya dengan ide Hindu. Berbeda dengan rancangan penelitian yang akan dilakukan. Kajian Yousof didasarkan kesimpulan ahli lain, tidak berasal dari analisa teks yang dilakukannya sendiri, atau data primernya bukanlah teks itu sendiri namun konstruksi dari hasil kesimpulan ahli lain.


(34)

commit to user

Penelitian yang dilakukan oleh Dill dari University of Vvirginia, USA, di dalam jurnal penelitiannya yang berjudul “Durkheim and Dewey and the Challenge of Contemporary Moral Education (2007: 221-237), memaparkan adanya tantangan dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan moral. Didasarkan pada Durkheim dan Dewey dikemukakan bagaimana intelektual atau kepandaian saja tidak cukup untuk dimiliki seorang siswa, akan tetapi lebih dari itu yaitu pembentukan akhlak atau moral sebagai pengontrol sikap dan sifat seorang siswa sehingga selain cerdas berpikir juga cerdas dalam berperilaku ataupun bersikap dalam kehidupan sehari-hari. Kesimpulannya sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dilakukan dimana pendidikan karakter sangat penting, sedangkan perbedaannya adalah objek penelitiannya antara proses pembelajaran dengan karya sastra.

Munir and Aftab (2012:2) dalam penelitian berjudul “Contribution of Value Education towards Human Development in India: Theoretical Concepts”, menyatakan sekolah yang memberikan pendidikan sama pentingnya juga harus memberikan nilai-nilai (value), etika dan pengembangan kepribadian sebagai sarana melestarikan standar pendidikan. Nilai membantu kita tidak hanya dalam evaluasi diri tetapi juga dalam mengendalikan diri. Pendidikan nilai sangat penting dalam membantu masing-masing dari guru langsung menemukan nilai-nilai yang menjadi pegangan, memahami siswa sepenuhnya, sehingga dapat menyarankan hubungan manusia dengan lingkungan yang terletak di luarnya. Makalah Munir dan Aftab menekankan bahwa pendidikan nilai dalam konteks modern dianggap lebih luas, melampaui batas-batas agama dan mencakup nilai-nilai etika, sosial, estetika, budaya


(35)

commit to user

dan spiritual. Orientasi nilai pendidikan harus realistis, dapat dicapai dalam harmoni dengan kerangka akademik sekolah. Para penulis menganjurkan bahwa kombinasi bijaksana akademisi, budaya dan pendidikan nilai akan menjadi pendekatan yang ideal untuk pendidikan dan nilai pendidikan perlu diintegrasikan dalam kurikulum sekolah. Hasil penelitian ini menekankan pentingnya pendidikan karakter.

Handaric (2013) dalam jurnal internasional berjudul “Religious Tradition and Human Behaviour menjelaskan perlunya mempelajari hubungan erat antara tradisi agama dan komunitas agama yang melakukannya. Dimulai dengan definisi tradisi Handaric berniat untuk menunjukkan bahwa hubungan antara nilai religius tradisional dengan daya tahan komunitas yang mengamalkannya amat dekat. Hubungan keduanya bersifat positif. serat Dewa Ruci sebagai sebuah karya sastra bisa menjadi bahan pembelajaran nilai yang mengandung nilai-nilai atau ide agama namun secara formal tidak terikat pada salah satu agama tertentu juga berhubungan dengan daya tahan komunitas masyarakat Jawa sebagai pemiliknya.

Widiyono (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Kajian Tema. Nilai Estetika, dan Pendidikan dalam Serat Wulangreh karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV”, yang dalam salah satu kesimpulannya menunjukkan tema: ajaran untuk memilih guru, kebijaksanaan dan bergaul, kepribadian, tema atau tatakrama, ajaran berbakti kepada orang lain, tema ketuhanan, berbakti kepada pemerintah, pengendalian diri, tema kekeluargaan, tema keselamatan, keikhlasan dan kesabaran, beribadah dengan baik, ajaran tentang keluhuran. Kesamaan penelitian yang dilakukan adalah objek


(36)

commit to user

penelitian yang sama-sama berupa serat Jawa, dan isinya serat yang sama-sama kental berisi tentang pendidikan.

Sulaksono dalam penelitiannya berjudul“ Struktur dan Nilai Pendidikan Cerita Mintaraga Gancaran Karya Prijohoetomo (2012).” Diperoleh kesimpulan bahwa cerita Mintaraga bertema Pengendalian Diri dan kandungan amanat yaitu siapa Bersungguh-sungguh dalam berdoa dan berusaha pasti akan berhasil. Hal ini merupakan tema pendidikan yang umum dalam cerita tradisional Jawa, dan memiliki kemiripan dengan isi dari Serat Dewa Ruci.

Penelitian yang dilakukan oleh Halsey (2008) yang berjudul “The Poetry Foundation Commissioned in the National Opinion Research Center (NORC) at the University of Chicago”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembaca/penikmat puisi cenderung hidup aktif bergaul dan memimpin dalam komunitasnya. Mereka mendengarkan musik, membaca berbagai genre seni, menggunakan internet, menghadiri acara budaya, menjadi relawan, memiliki banyak jaringan dan bersosialisasi dengan teman dan keluarga pada tingkat yang signifikan lebih tinggi daripada non pembaca puisi.

Sejalan dengan hal itu penelitian yang dilakukan oleh Howard (1997) yang berjudul “The Effects of Music and Poetry Theraphy on the Treatment of Women and Adolescent with Chemical Addictions” melakukan penelitian memeriksa efek dari terapi dan puisi pada perempuan dan remaja. Hasil penelitian menunjukkan efektivitas seni ekspresif terhadap perilaku remaja yang menunjukkan perkembangan


(37)

commit to user

membaik. Hal ini menguatkan kesimpulan akan pentingnya penelitian terhadap puisi termasuk jenis tembang macapat dan mengenali keluasan fungsinya yang bukan hanya sebagai sarana ekspresi dan kemungkinan memanfaatkannya sebagai sarana terapi/ pengobatan.

B. Landasan Teori 1. Kajian Puisi

Serat Dewa Ruci disampaikan menggunakan tembang macapat yang secara teori termasuk dalam genre puisi Jawa tradisional. Untuk memahami lebih tepat diperlukan pengkajian nilai-nilai puitis di dalamnya. Berdasarkan aktifitas kejiwaannya puisi merupakan ekspresi kreatif yang di dalamnya terkandung aktifitas jiwa yang menangkap kesan-kesan lalu dipadatkan dan dipusatkan (kondensasi). Kata-kata tidaklah keluar dari simpanan ingatan, kata-kata dalam puisi itu lahir dan dilahirkan kembali (dibentuk) pada waktu pengucapannya sendiri (Pradopo, 1987: 12). Ekspresi puitik membutuhkan adanya proses konsentrasi dan intensifikasi (Sayuti, 2002: 72). Dikarenakan pemadatan itulah maka pengarang dalam proses penciptaan karya puisi sangat menimbang pemakaian unsur-unsur penyusunnya yang berbahan dasar utama dari bahasa.

Puisi merupakan bentuk kesusastraan yang menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya (Mulyana dalam Waluya, 1995: 23). Pengulangan kata menghasilkan rima, ritma, dan musikalitas. Bahasa puisi adalah bahasa pilihan, yakni bahasa yang benar-benar diseleksi penentuannya secara ketat oleh penyair (Coleridge


(38)

commit to user

dalam Waluya, 1995: 23). Nilai kepuitisan sebuah karya dapat tercapai dengan menggunakan bentuk visual: tipografi, susunan bait, dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi: dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Untuk mengetahui kepuitisan puisi, terlebih dahulu harus mengetahui unsur-unsur pembentuk puisi (Pradopo, 2007: 13). Semi membagi bentuk puisi menjadi dua yaitu bentuk fisik dan bentuk mental. Bentuk fisik puisi mencakup bentuk nada dan larik yang di dalamnya terdapat irama, sajak, intonasi, pengulangan, dan perangkat kebahasaan lainnya,sedangkan bentuk mental terdiri dari tema, urutan logis, pola asosiasi, satuan arti yang dilambangkan, dan pola-pola citra dan emosi. Kedua bentuk tersebut terjalin terkombinasi secara utuh yang membentuk dan memungkinkan sebuah puisi tersebut memantulkan makna, keindahan, dan imajinasi bagi pembacanya ( 1993: 107).

Pemanfaatan bahasa dalam puisi memang berbeda dengan pemakaian bahasa pada umumnya, kata-kata maupun strukturnya. Bahasa puisi seolah-olah memiliki tatabahasa khusus yang kadang-kadang tampak sangat menyimpang. Akan tetapi penyimpangan tersebut dilakukan demi pencapaian tujuan estetis, walaupun demikian sebagai sarana membangun komunikasi, fungsi yang bersifat emotif, referensial, puitik, dan konatif tetap inheren (Sayuti, 2002: 24). Secara khusus puisi memiliki beberapa konvensi. Culler menyatakan ada tiga konvensi dasar: (a) jarak dan deiksis, (b) keseluruhan yang organik, dan (c) tema dan perwujudan (Teeuw. 1984: 4). Menurut Riffaterre puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung yaitu


(39)

commit to user

menyatakan hal dan berarti yang lain. ketaklangsungan ucapan ini disebabkan oleh tiga hal: displacing (penggantian arti), distorsing (penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti).

Penggantian arti terjadi pada pembandingan (metafora-simile), penggantian (metonimi-sinekdoki), dan pemanusiaan (personifikasi). Metafora dan simile merupakan bentuk perbandingan antara dua hal atau wujud yang hakikatnya berlainan. Simile bentuk perbandingannya bersifat eksplisit ditandai oleh unsur konstruksional semacam kata seperti, sebagai, serupa, bagai, dsb. Sebaliknya dalam metafora perbandingannya bersifat implisit, tersembunyi dibalik ungkapan harfiahnya. Metonimi yakni pemanfaatan ciri atau sifat suatu hal yang erat hubungannya dengan hal tersebut. Sebaliknya ungkapan bahasa itu disebut sinekdoki jika penggunaan bagian-bagian dari suatu hal dimaksudkan untuk mewakili keseluruhan hal itu. Jika metafora-simile merupakan bentuk perbandingan tidak dengan manusia, personifikasi merupakan pemberian sifat-sifat manusia pada suatu hal(Sayuti, 2002: 195-229).

Penyimpangan arti terjadi pada ambiguitas, kontradiksi dan nonsense. Ambiguitas merupakan kata-kata, frase atau kalimat dalam puisi yang sering kali mempunyai arti ganda sehingga menimbulkan banyak tafsir atau ambigu (Pradopo, 1993: 215). Kontradiksi mengandung arti pertentangan yang disebabkan oleh paradoks dan/ atau ironi. Terdapat ironi dalam puisi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud dengan secara berlawanan atau berbalikan. Ironi biasanya digunakan untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan (Pradopo, 1993: 215). Paradoks


(40)

commit to user

merupakan pernyataan yang tampaknya berlawanan dalam dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, jika dilihat lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran (Sudjiman, 1990 : 59). Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata. Nonsense dapat menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, suasana aneh, suasana gaib, atau suasana lucu (Pradopo, 1993: 219).

Penciptaan arti terjadi bila ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang secara linguistik tidak ada artinya. Hal ini diantaranya yaitu rima (persamaan bunyi akhir), enjambemen (pemutusan kata/frasa di ujung baris dan meletakkan sambungannya pada baris berikutnya), tipografi (penyusunan baris dan bait sajak), atau ekuivalensi makna di antara persamaan posisi dalam bait (homologues) (Pradopo, 1993:220).

Satuan arti yang menentukan struktur formal linguistik karya sastra adalah kata (Pradopo, 1987:48). Kata-kata yang telah dipergunakan oleh penyair oleh Mulyana disebut kata berjiwa dan pengetahuan tentangnya disebut stilistika. Tiap kata itu bisa menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. Lotman melihat teks puitik sebagai sistem dengan stratifikasi di mana makna hanya ada secara kontekstual, diatur oleh perangkat kemiripan dan oposisi. Perbedaan dan paralelisme dalam teks sendirinya bersifat relatif, dan hanya bisa dirasakan dalam hubungannya satu sama lain ( Eagleton, 2010: 146). Di dalam puisi istilah arti dibedakan dengan makna. Istilah arti digunakan untuk menunjuk informasi


(41)

commit to user

yang dibawa oleh puisi pada tataran mimetik, sedangkan dari sudut makna sebuah puisi adalah sebuah unit semantis. Dengan demikian bahasa ekspresi puisi selalu berkenaan dengan perubahan dari arti menjadi makna (Sayuti, 2002: 76). Menyinggung soal makna sajak, Riffaterre berpendapat, untuk bisa memberi makna sajak pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Sobur, 2013: 93). Penyimpangan dari aturan tata bahasa tidak terjadi secara acak, tetapi berdasarkan pola yang sebenarnya utuh, yang pemahamannya harus dihubungkan dengan sistem bahasa, kode-kode, konteks yang ada dalam wacana yang melingkupi penyimpangan itu ( Widdowson dalam Winarni, 2013: 8).

Pada kenyataannya sebuah puisi hanya dapat dibaca ulang, bukan hanya dibaca, karena beberapa strukturnya hanya dapat dirasakan secara kilas balik. Puisi mengaktifkan penanda secara penuh memacu kata bekerja sekeras mungkin di bawah tekanan yang berat dari kata-kata di sekitarnya, dan dengan demikian melepaskan potensinya yang paling kaya (Eagleton, 2010: 148). Melalui konsep superreader Riffaterre meletakkan tugas menemukan dan menafsirkan respon yang terkandung dalam puisi kepada pembaca, dan untuk mendapatkan makna secara lengkap dan tuntas maka harus diketahui aspek kesejarahan puisi tersebut.

Riffaterre terkenal dengan pengibaratan puisinya sebagai sebuah donat. Menurutnya signifikansi terbentuk seperti kue donat (Riffaterre, 1978: 13). Adapun kue yang tampak merupakan teks yang terbaca, sedangkan bagian tengah yang kosong atau berlubang merupakan matriks dan hipogram. Bagian kosong di tengah-tengah daging kue inilah pusat makna, inti puisi dan justru jadi tumpuan seluruh


(42)

commit to user

produksi tanda dan teks puisi. Matriks tidak hadir secara langsung dalam puisi, namun aktualisasinya berupa kata atau kalimat yang menjadi model dan kemudian mengalami perluasan menjadi teks (Ridha, 2010: 174). Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian ini ditentukan oleh model. “Puisi hasil transformasi matriks” (Riffaterre, 1978: 19), melalui ekspansi dan konvensi tekstual yang memanfaatkan rangkaian tanda-tanda representasional. Sedangkan dengan matriks sendiri hanya mungkin dikenali dari hipogram (perkiraan, sistem deskriptif dan kompleks tematik) sebagai kebiasaan yang muncul dari ekspresi-ekspresi penundaan. Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan oleh Indrastuti (2007: 4) konsep ini dapat diterangkan dalam satu kata atau frase. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model. Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental. Implikasi dari cara pembacaan ini adalah untuk menemukan pernyataan tunggal yang ditransformasi pada sebuah teks puisi (Ridha, 2010: 174). Menentukan matriks atas pembacaan tembang macapat tidak lepas dari kode dan tanda. Karena itu teori pembacaan semiotik terhadap puisi yang diajukan Riffaterre ibarat mengungkapkan teka-teki (puzzle) teks puisi. Teka-teki


(43)

commit to user

makna tanda, teka-teki bagian yang kosong dari donat karena menurut Riffaterre, “puisi menyatakan satu hal dan berarti yang lainnya”.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian terhadap serat Dewa Ruci yang termasuk genre puisi akan dilakukan dengan mengingat kepadatan simbolnya yang diartikan berdasar bagian-bagiannya yang saling menerangkan dan dihubungkan dengan konteksnya sehingga didapatkan maknanya yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bagian-bagian puisi yang dimaksud adalah ketaklangsungan ucapan yang disebabkan oleh tiga hal: displacing (penggantian arti), distorsing (penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti) pada bunyi, irama, satuan arti berupa kata, dan sistem hubungan yang melingkupinya. Pembacaan secara retroaktif dilakukan dalam rangka memahami bagian-bagian dalam keseluruhan, diusahakan pemaknaan yang seutuh dan sebulat mungkin. Hubungan puisi dengan konteks didasarkan kepada berbagai latar, termasuk latar budaya, latar sosial, latar kesejarahan dan nilai-nilai pendidikan karakter yang harus diketahui dan dipahami dalam melakukan penelitian. Hal ini paling tepat didekati dengan pendekatan semiotik Riffaterre.

2. Kajian Puisi Tradisional Tembang Macapat a). Pengertian Tembang

Dalam khasanah sastra Jawa salah satu jenis karya sastra yang bersifat puitik adalah tembang. menurut Padmosoekotjo (dalam Prawiradisastra, 1991: 64) tembang yaitu gubahan bahasa atau karya sastra dengan peraturan tertentu membacanya harus


(44)

commit to user

dilagukan dengan seni suara. Tembang dalam bahasa Jawa adalah sekar yaitu karangan yang terikat oleh aturan guru gatra, guru wilangan, guru lagu beserta lagu-lagunya. Tembang sebagai bagian dari hasil kesenian Jawa merupakan unsur seni budaya atau unsur kesenian yang perlu dilestarikan pembinaan dan pengemba-ngannya.

b). Jenis Tembang

Dilihat secara tradisional jenis tembang dibedakan menjadi tembang Gedhe/ Sekar Ageng, 2) tembang Tengahan / Sekar Tengahan, dan 3) tembang Macapat / sekar alit (Karsono H. Saputra, 2001: 103). Selanjutnya menurut Tedjohadisumarto (dalam Prawiradisastra, 1991: 64) menyatakan: “ Sekar Jawi menika wonten tigang warni inggih punika Sekar Macapat, Sekar Tengahan, lan Sekar Ageng, kejawi punika wonten malih lagu Dolanan Lare lan Sekar Gendhing”. Hubungan antara tembang / sekar dengan bahasa dan sastra Jawa menurut Padmosoekotjo (1990: 25) adalah “Kang diarani tembang iku reriptan utawa dhapukaning basa mawa paugeran tartamtu (gumathok) kang pamacane kudu dilagokake nganggo kagunan swara.” Seni suara dapat dibedakan menjadi tiga seni, yaitu 1) seni tembang atau vocal art, yang diwujudkan oleh suara manusia, 2) seni gendhing atau instrumental art, yaitu tembang yang dibangun dari sisi laras gamelan atau musik atau karawitan, dan 3) perpaduan seni sekar dengan seni gendhing atau seni sekar gendhing.


(45)

commit to user

c) Konvensi tembang

Tembang macapat yang memiliki aturan terikat dalam pembuatannya adalah salah satu bentuk puisi Jawa tradisional. Tembang macapat telah ada sejak jaman Demak. Puisi tersebut ditembangkan atau dinyanyikan sesuai dengan lagu-lagu tertentu dengan aturan yang terikat yang biasa disebut metrum, berupa aturan: a) banyaknya gatra/ guru gatra yaitu banyaknya baris dalam tiap bait tembang. b) terikat oleh guru wilangan yaitu banyaknya suku kata dalam baris tembang. c) terikat oleh guru lagu atau jatuhnya suara akhir pada tiap gatra atau baris tembang, yang dalam istilah lain jatuhnya dhong-dhing atau jatuhnya suara (a-i-u-e-o). Salah satu keunikan macapat adalah selain memiliki aturan struktur fisik seperti tersebut di atas juga memiliki aturan struktur batin. Aturan batin berupa perasaan apa yang diungkapkan, nada tembang itu bagaimana, tema dan amanat apakah yang tepat diungkapkan melalui jenis matra tembang tersebut (Waluya, 1995:13).

Masing-masing matra memiliki watak-watak yang disesuaikan dengan isi puisi tersebut. Dengan demikian matra dalam macapat adalah bentuk puisi yang memiliki spesifikasi kuantitas suku kata dalam tiap baris dan bunyi akhir vokal tiap-tiap baris, dimana isi puisi tersebut juga ikut mengakomodasi nama jenis matra, misalnya asmaradana mempunyai watak atau struktur batin mengungkapkan duka asmara. Sekar Macapat menurut Adi (1991 : 89) ada 11 jenis yang kesemuanya terikat dengan guru gatra, guru wilangan dan guru lagu atau dhong-dhing. Berikut disajikan tabel nama dan tembang macapat beserta aturan-aturannya.


(46)

commit to user

No Jenenge Tembang

Cacahe gatra, cacahe wanda,

lan dhong-dhing Watake Tembang 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Maskumambang 12i 6a 8i 8a Ngeres, nelangsa

2 Mijil 10i 6o 10e 10i 6i 6u Prihatin, cocog karo crita sedhih utawa asmara 3 Sinom 8a 8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12a Trengginas,cocog kanggo

ngandharake piwulang 4 Kinanthi 8u 8i 8a 8i 8a 8i Seneng, asih

5 Asmarandana 8i 8a 8e 8a 7a 8u 8a Sedhih utawa prihatin sajroning asmara

6

Gambuh

7u 10u 12i 8u 8o

Sumanak, sumadulur, cocog kanggo menehi pituduh

7

Dhandhanggula

10i 10a 8e 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a

Ngresepake, luwes kanggo nggambarake apa wae

8 Durma 12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i Galak, nesu 9 Pangkur 8a 11i 8u 7a 12

u 8a 8i

Sereng, nesu

1 0

Megatruh

12u 8i 8u 8i 8o Nglangut, crita memelas 1

1

Pucung

12u 6a 8i 12a

Greget rada kendho, cocog kanggo crita kang laras

Tabel. 1


(47)

commit to user

Serat Dewa Ruci hanya mengandung empat metrum dan terbagi dalam lima pupuh. Pupuh pertama menggunakan metrum dhandanggula, pupuh kedua menggunakan metrum Pangkur, pupuh ketiga menggunakan metrum sinom, pupuh keempat menggunakan metrum durma, pupuh kelima kembali menggunakan metrum dhandanggula.

Bunyi dalam bahasa Jawa mengandung beberapa gejala yang patut dibahas. Peristiwa perubahan bunyi di dalamnya terdapat perubahan yang dimanfaatkan, dieksploitasi untuk menyatakan kekayaan batin atau isi jiwa pemakainya yang belum mendapat wadah pernyataannya, dan terdapat pula perubahan bunyi yang tidak dimanfaatkan. Artinya terdapat perbedaan-perbedaan bunyi tanpa menghasilkan makna. Bunyi-bunyi bahasa yang kebetulan sedang berperanan mengubah atau menambah nilai-nilai suatu bentuk lingual disebut fonestem, sedangkan gejalanya disebut fonestemik. Misalnya bunyi [i] dalam cilik „kecil sekali‟ merupakan fonestem karena menunjukkan kesangatan dari cilek „kecil‟.

Gejala yang lain ialah keikonikan yang berkata dasar ikon, digunakan untuk menyebut tanda yang bentuk fisiknya memiliki kaitan erat dengan sifat khas dari apa yang diacunya. Misalnya konsonan [g] pada kata gunung „gunung‟ menjadi ciri keikonikan kebesaran karena besarnya tenaga dan beratnya pembentukan suara dari bunyi itu. Keikonikan bisa bersifat lingual (berdasar pembentukan ikon oleh alat artikulasi dan artikulator) tetapi juga bisa bersifat kial, ialah bentuk-bentuk mulut yang mempunyai makna sesuai leksikalnya.


(48)

commit to user

Pengkajian bahasa demi penjelasan terhadap hubungan antara bentuk dan fungsi atau antara kode dengan amanat dalam bahasa manusia yang ternyata dari berbagai pembuktian memiliki sifat nonarbitrer yang cukup menonjol sangatlah perlu. Pemahaman terhadap berbagai gejala dalam bahasa Jawa akan membantu dalam usaha memahami bentuk-bentuk pemanfaatannya termasuk dalam puisi macapat. Puisi macapat juga mengenal adanya persajakan atau rima, yakni pengulangan bunyi berselang, baik dalam satu larik sajak maupun larik sajak yang berdekatan. Rima atau purwakanthi berfungsi memudahkan penghafalan sajak dan ikut membina terbentuknya satuan sajak. Terdapat tiga macam purwakanthi, yakni purwakanthi guru sastra „aliterasi‟, purwakanthi guru swara „asonansi‟ dan purwakanthi lumaksita „pengulangan satu suku kata‟. Untuk menarik perhatian pembaca dan menambah estetika dalam karya yang dibuat, seorang pengarang seringkali menggunakan gaya bahasa. Para pengarang sastra Jawa tradisional juga telah mengenal gaya bahasa antara lain: tembung entar „bahasa kiasan‟, pepindhan „simile‟, metafora, dan personifikasi.

Uraian di atas menyatakan bahwa puisi tradisional macapat selain memiliki aturan struktur fisik juga memiliki aturan struktur batin. Aturan struktur fisik meliputi guru gatra, guru wilangan dan guru lagu. Aturan bunyi yang terkandung di dalam struktur puisi macapat dalam bahasa Jawa mengandung gejala fonestemik, ikonik dan kial. Struktur batin di dalam puisi tradisional macapat berupa watak atau karakter yang terkandung di dalam setiap metrum tembang macapat.


(49)

commit to user 3. Pendekatan Semiotik

Disiplin ilmu analisis terhadap sistem tanda dikenal dengan semiotik atau semiologi. Secara etimologis istilah semiotik berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti “tanda”. Tanda sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (dalam Sobur, 2001: 95). Eco mengatakan bahwa semiotik adalah sebuah penilaian yang memprediksi suatu isi, dengan marka-marka semantis yang telah diatributkan kepadanya oleh kode yang ada (Eco, 2009: 238). Secara terminologis semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Sobur, 2001: 95). Semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi (Teeuw, 1982: 18).

Kajian terhadap cara tanda-tanda beroperasi dalam sebuah budaya, semiotik memulai dari suatu premis bahwa semua aspek dalam budaya dapat dianggap sebagai sistem tanda, baik bahasa verbal, bahasa visual, gerakan, postur dan gestur (gerak/isyarat), bangunan dan perabotan, pakaian, aksesoris, menu makanan, dan arsitektur. Bisa dikatakan memahami budaya sesungguhnya adalah menemukan dan menafsirkan sistem tanda budaya tersebut (Cavallaro, 2004: 29). Tanda memang tidak mengandung makna namun dari tanda-tanda yang ditemukan akan menjadi petunjuk makna yang terkandung melalui proses interpretasi atau penafsiran. Sistem tanda di dalam semiotik biasa disebut juga sistem kode, yang arti dan maknanya hanya bisa dijelaskan jika juga dipahami konvensi yang melingkupi tanda-tanda yang digunakan baik disadari oleh pemakainya atau tidak.


(50)

commit to user

Buku-buku semiotik yang ada umumnya menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de De Saussure (1857 - 1913). Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916). Bagi Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas. Saussure memberikan contoh kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya „pohon‟. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/ disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie.

Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda ( signifiant) dan petanda (signifie). Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubungan itu adalah kesepakatan berupa konvensi dari pendukung suatu bahasa. Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemufakatan (konvensi) di atas dasar yang tak beralasan atau sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata /kutu/ yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang /kutu/ dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan adanya batas-batas yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi /kutu/ itu tidak berarti apa-apa. Perbedaan bunyi pada kata “kutu” dan bunyi kata “kupu” adalah sesuatu yang memungkinkan


(51)

commit to user

kita memberi tiap-tiap kata suatu makna yang berbeda pula. Tanda hanya bermakna berkaitan dengan bahasa-bahasa lain dalam sebuah bahasa, seperti halnya sebuah anak catur di atas papan catur hanya bermakna dalam kaitannya dengan semua anak catur lain dan gerak-gerakannya. Seleksi dan kombinasi merupakan dua sumbu bahasa. Seleksi dihubungkan dengan sumbu paradigmatik (merujuk pada seleksi kata) sedangkan kombinasi dihubungkan dengan sumbu sintagmatik (mengacu kepada kombinasi kata).

Semiotik adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan sehari -hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture, dan objects. Saussure merombak kajian bahasa yang sebelumnya dipelajari secara diakronis, menjadi sinkronis dengan mengenalkan konsep langue dan parole. Langue lebih menekankan kepada sistem tanda yang dikembangkan kemudian oleh Levy Strauss menjadi kajian Strukturalis. Parole lebih menekankan kepada analisis penggunaan bahasa dalam kehidupan yang menjadi biji awal lahirnya semiotik model Roland Barthes.

Khusus dalam kajian susastra Teeuw menyatakan, “Semiotik adalah model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat manapun juga” (1982: 6). Menurut Jakobson sebuah garis pembeda antara prosa dan puisi, prosa mensubordinasikan penanda demi kepentingan petanda, sehingga prosa lebih menaruh perhatian terhadap isi sebuah ungkapan dan pesan yang disampaikan daripada terhadap bentuk ungkapan dan bagaimana suatu pesan disampaikan. Puisi


(1)

commit to user

punika badhe nyumêrêpi kanyataaning gêsangipun, mênawi botên kaliyan santosaning tekad, sampun tamtu botên kadadosan saking gawatipun.

Radèn Wrêkodhara, anggènipun ngudi toya prawita suci, Pandhita Durna nêdahakên

dumunungipun wontên ing wana Tikbrasara, kaprênah sangandhaping ardi Côndramuka, inggih ing Gôndamadana, [Gô...]

--- 47 ---

[...ndamadana,] kinèn andhungkari. Tikbra, têgêsipun: susah, utawi prihatos. Wana, pêpêtênging manah.

Sara, landhêp.

Dene pikajêngipun makatên: Tiyang samadi punika, kêdah ngicalakên pêpêtênging manah inggih punika sakathahing rêncana supados kabirata sampun ngantos kacakrabawa.

Manawi sampun makatên lajêng kapurih andhungkar wukir Côndramuka, utawi Gôndamadana. Inggih punika wiwit matrapakên panêngku, kêdah wontên ing Côndramuka:

Côndra, têgêsipun wêwukiran. Muka, rêrai.

Côndramuka, wêwukiraning rêrai, inggih wiwaraning pôncadriya, inggih punika: grana, karna, netra, lesan, dados pambukaning: napas, nupus, anpas, tanapas.

Gôndamadana têgêsipun: têlênging pangambu. Pikajêngipun: kawan prakawis wau: karucata saking sasananipun, lajêng kagolongna dados satunggal, gumulung dhatêng têlênging [têlêng...] --- 48 ---

[...ing] gônda. Inggih punika bêbasanipun mandêng pucuking ardi Tursena. Inggih mêlêng lampahing napas, sinaring sampun wor suh.

Ing ngriku dhatênging rêncana, inggih cipta ingkang ngômbra-ômbra, wahananing hawa napsu, inggih punika Radèn Bratasena kinrubut ing ditya kalih, Rukmuka tuwin Rukmakala. Ananging Radèn Bratasena santosa botên keguh kinêrêg ing danawa, mila botên dangu ditya kalih sirna, lajêng jlêg rawuhipun Sang Hyang Endra Bayu, awêwarah Wrêkodhara kinèn wangsul takèn dhanyang Durna.

Sang Hyang Endra, têgêsipun: rasa, inggih ratuning badan.

Sang Hyang Bayu, têgêsipun, napas, inggih têtangsuling gêsang. Pikajêngipun: Raosing manah sampun gumêlêng nunggil lampahing napas, têgêsipun: sawêg dumugi ênêng, lajêng luwar


(2)

commit to user

saking samadi. Dados dèrèng sagêd manggih toya prawita suci. Inggih punika dèrèng sagêd sapatêmon kaliyan ingkang damêl gêsang, (dèrèng suhul), mila kinèn wangsul malih.

Pikajêngipun kinèn ngambali samadi malih, kaliyan tekad ingkang santosa yêktos. Mila Radèn Bratasena lajêng wangsul dhatêng nagari. Têgêsipun: luwar saking samadi, pitakèn [pitakè...] --- 49 ---

[...n] dhatêng dhanyang Durna, katêdahakên têmênipun tirta sucining gêsang wontên têlênging jaladri. Têgêsipun Radèn Bratasena, sarêng luwar saking samadi, rumaos mênawi dèrèng dumugi. Awit sawêg dumugi ênêng punika wau, dèrèng rumaos suhul, (sapatêmon, nunggil). Radèn Bratasena lajêng pamit dhatêng kadangipun sakawan, badhe anggêbyur ing sagantên, para kadang sami anggendholi botên suka. Têgêsipun Radèn Bratasena angambali samadi malih, badhe nekad pêjah salêbêting gêsang, angipatakên hawa napsu inggih punika nyirêp ubaling pôncadriya, aluamah, amarah, supiyah, mutmainah. Punika têgêsipun kadang sakawan. Radèn Wrêkodhara lajêng mangkat dipun iring ing bayubajra. Têgêsipun Radèn Wrêkodhara, lajêng mapan samadi malih. Angaringakên lampahing napas, inggih punika matitisakên daimipun, lampahing napas lajêng antêng gumêlêng pindha angin dumunung ing tulup, botên antawis dangu lajêng wiwit miyak warana, inggih punika Radèn Wrêkodhara dumugi têpining sagantên, sarta ningali wêwarnèn maneka warni, inggih punika sarining napsu kawan prakawis kasêbut ing nginggil, awujud cahya môncawarna. Radèn Wrêkodhara lajêng anggêbyur ing sagantên,

[saga...] --- 50 ---

[...ntên,] têgêsipun lampahing napas saya kêncêng, sampun anglangkungi warana, ing ngriku dhatênging rancana ingkang sakalangkung agêng, mênawi botên santosa tekading sêdya, amêsthi badhar malih botên sagêd suhul. Inggih punika dhatênging naga agêng krura manaut lajêng anggubêt sariranipun Radèn Wrêkodhara, kêmput wiwit suku dumugi ing jôngga, lajêng dipun tuwêg ing pôncanaka, sang naga kaprawasa kuwônda ajur dados sarahing samodra. Inggih punika kêncênging napas wau kawawa angukut saliring rahsa, amahanani raosing sarira sakojur kraos marinding gumriming pating grêmêt kumlênyêr, kumêjot, tarkadhang sirah kraos

anjêbobog, talingan mirêng swara gumrêbêg, dhag-dhug paningal pêtêng sumrêpêt, kados badhe sumaput, amahanani raos giris-miris, ajrih mênawi kalajêng pêjah. Mila mênawi sêdyanipun botên santosa, tekadipun botên katokidakên, sampun mêsthi sabar[16] samadinipun, dados

garegah wungu kaliyan ngungun pungun-pungun, sarira gumêtêr, manah dhêg-dhêgan. Ananging mênawi salêbêtipun makatên wau katekadakên sayêktos, kalajêng pêjah inggih purun, raos sadaya wau botên dangu sirna, inggih punika têgêsipun naga kaprawasa ing pôncanaka, inggih [ing...]

--- 51 ---

[...gih] sirnaning raos sadaya wau. Sasirnane nagaraja, Wrêkodhara dumugi têlênging samodra, kapanggih Sang Dewaruci, lajêng malêbêt ing guwa-garbanipun, ing ngriku Radèn Wrêkodhara lajêng aningali alam suwung awang-uwung, angalangut tanpa têpi, inggih punika sirnaning raos, amung kantun rumaos, nanging sampun botên ngraos gadhah raga, kantun gêsanging pangraos,


(3)

commit to user

lajêng rumaos aningali cahya warni-warni, ingkang sakalangkung anêngsêmakên, awujud urub wolung warni, utawi sanès-sanèsipun, sadaya wau sami dados rêncananing paningal, awit cahya sadaya wau inggih kakekating hawa napsu, manawi korup wontên ing ngriku saèstu dhumawah ing swarga panasaran.

Sasirnaning para cahya wau, Wrêkodhara lajêng ngadhêp Dewaruci malih, lajêng dipun wêjang patitising sangkan-paran.

Têgêsipun Arya Sêna malêbêt ing guwa-garbanipun Sang Dewaruci, inggih punika: salêbêting samadi, rasa pangrasa sampun sagêd manuksa ing atma jati, warôngka manjing curiga, raosipun amung nikmat lan mufangat, inggih punika luyuting samadi, têmbungipun Ngarab suhul, têgêsipun sapatêmon, utawi awor. Mila Sang Wrêkodhara sampun [sampu...]

--- 52 ---

[...n] botên karsa wangsul dhatêng marcapada. Ananging Dewaruci botên marêngakên, menawi botên lawan antaka. Wrêkodhara lajêng byar aningali jagad gumêlar, sampun wontên têpining samodra, lajêng kondur dhatêng Ngamarta panggih kadang sakawan, sadaya sami suka-rêna. Têgêsipun sang samadi sampun luwar saking luyut, lajêng pulih angrasuk napsu sakawan, aluamah, amarah, supiyah, mutmainah. Ananging sang samadi sampun sênêng manahipun, dening sampun botên kasamaran dhatêng sangkan paraning dumados.

Candranipun Arya Bratasena, dalah wardining busananipun, kados ing ngandhap punika. 1. Bratasena. Têgêsipun brata, lampah. Sena, putus. Dados Radèn Bratasena punika kenging dipun wardèni satriya putus ing lampah. Dene lampahipun: wiwit lair wontên salêbêting bêbungkus, luwar-luwar sarêng sampun diwasa.

2. Wrêkodhara. Têgêsipun wrêko, sagawon [saga...] --- 53 ---

[...won] ajak. Dhara, wêtêng. Wrêdinipun, padharanipun Arya Wrêkodhara ambangkèk kados wêtênging sagawon ajag.

3. Bima. Têgêsipun: agêng berawa, ngajrihi.

Wêwukiranipun Arya Bratasena. Pasariran agêng inggil, sambada sarwa santosa. Kêkulitanipun jêne ngujwala, balengah-balengah. Netranipun ambêlalak, bêning sumorot, andik, nanging rêspati. Imbanipun agêng, cêmêng, ngêngrêng, nanging botên anjênggurêng. Godhèg gumbala, uwok simbar jaja, kados dipun tata, mila botên anggêgilani, malah mêrak-ati. Wiraganipun anggêgêm asta. Jêjêmpolanipun mawi kanaka panjang, lungit, dipun wastani pôncanaka, dados pamonahing satru sakti.


(4)

commit to user

Arya Bratasena ngagêm gêlung mangkara, sinapit urang, andhap ngajêng inggil wingking. Têgêsipun mangkara, urang, murub. Mila winastan gêlung sinapit urang, wujudipun ambalêngkuk pindha [pi...]

--- 54 ---

[...ndha] sapiting urang, namung kaot ingang[17] sisih agêng, ingkang sasisih alit, ingkang alit wontên ngajêng, ingkang agêng wontên wingking. Punika dados prasêmon pambakanipun[18] Arya Wrêkodhara, utawi ambêking satriya, lair batos kêdah makatên. Dene ingkang tumrap ing lair = sarengat, ambêking satriya punika kêdah andhap-asor, anor raga, nanging ing batos luhur, botên karsa dipun camah, dipun rèmèhakên. Mênawi dipun idak andêngangah,[19] ingkang ngidak dipun lawan kalihan santosa, mêdal ing margi lêrês, dumugi pêjah dipun têmah. Makatên

pikajêngipun gêlung sinapit urang.

Dene pradikanipun ing kabatosan = kakekatipun.

Gêlung sinapit urang punika pralambang wujuding kawula Gusti, sami rupa warnanipun, rupa, urip, warna, warana. Ingkang agêng minôngka wujuding Gusti. Ingkang alit minongka kawula, saplak botên siwah sarambut: sarta sami tumungkulipun. Pikajêngipun, mênawi kawula punika tansah tumungkul ing Gusti, sumujud, ngadhêp, mantêp, ngidhêp (manêmbah) Gusti inggih tumungkul, pikajêngipun angudanèni, anêksèni, anambadani, sarta anikêli. Mila agêng alit. --- 55 ---

Bêbasanipun: manawi kawula punika majêngipun ing Gusti: satindak, Gusti amêthukakên majêng kalih tindak. Mila ingkang sumungkêm ing Gusti: sampun uwas sumêlang. Gusti botên kasamaran saobah-osiking kawula.

Arya Bratasena ngagêm sêsumping rineka jaroting asêm. Jarot, têgêsipun: otot, utawi lajêr, asêm, rasa. Pikajêngipun: Arya Bratasena sampun uninga utawi mundhi lajêring: rasa. Uwiting rasa inggih punika: dat wajibu wujud.

Arya Bratasena ngagêm cundhuk kancana mulya, rineka sêkaring pudhak, winastan pupuk mangkarawistha. Têgêsipun mangkara, urang, murub. Wistha, rêngla, wukir. Pikajênganipun rineka urub = cahya. Wrêdinipun: Radèn Bratasena, galihipun sampun padhang narawang, dening sampun botên kasamaran pamoring kawula Gusti.

Arya Bratasena ngagêm gêlang côndrakirana. Côndra, têgêsipun: rêmbulan, kirana, sôrôting rêmbulan. Gêlang, têgêsipun: têpang. Wrêdinipun: rêmbulan punika dat, sorot punika sipat, inggih punika Radèn Bratasena, sampun sagêd nêpangakên sipat akalihan [aka...]

--- 56 ---


(5)

commit to user

Arya Bratasena ngagêm nyamping polèng bang bintulu, polèng cêmêng, abrit, jêne, pêthak, lajêng kaplintir kacawêtakên. Wrêdinipun: Arya Bratasena, sampun sagêd ngukut napsu sakawan prakawis: nêpsu aluamah, amarah, supiyah, mutmainah.

Arya Bratasena anggêgêm pôncanaka, wrêdinipun: Arya Sena sampun sagêd ngracut ubaling pôncadriya.

Têlas samantên kemawon, kados sampun cêkap wrêdinipun Sêrat Dewaruci. Menawi badhe nguningani moncèripun amirsanana Sêrat Walisana. Ananging mênawi dèrèng jêmbar kawruhipun, dèrèng sagêd tampi, saking rungsitipun.

Amila mênggahing ngèlmi kasidan, mênawi tansah kagêlar, kababar, saèstu ngèbêki jagad, badhe tanpa wêkas, aluwung tumuntên kagulung, kadadosakên samarica, lajêng kabubut, supadôs tanpa tilas, punika utami. Wêkasan layu kayapu. Tapaking kontul ngalayang. Tamat.

1. sumamburat. (kembali) 2. atanya. (kembali) 3. nampêki. (kembali)

4. Lebih satu suku kata: wus prapta ing jro garbane. (kembali) 5. kaèksi. (kembali)

6. amêpêki. (kembali)

7. Kurang satu suku kata: durgama kang munggwing jro ati. (kembali) 8. wêwolu. (kembali)

9. wastanipun. (kembali) 10.wolu. (kembali) 11.mèlu. (kembali)

12.Kurang satu suku kata: uriping suksma ingkang sanyata. (kembali) 13.warah. (kembali)

14.alit. (kembali)

15.Kurang satu suku kata: katampan badan nyata. (kembali) 16.cabar. (kembali)

17.ingkang. (kembali) 18.pambêkanipun. (kembali) 19.andêngangak. (kembali)

Kategori

 Agama dan Kepercayaan

 Arsip dan Sejarah

 Bahasa dan Budaya

 Kisah, Cerita dan Kronikal


(6)

commit to user

Referensi

 Huruf Jawa

 Lambang Fonetis

 Penanggalan Jawa

 Singkatan dan Akronim