perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user bakatnya luar biasa. Masyarakat Jawa berhutang budi padanya, karena Yasadipura I
pula yang membedah kitab-kitab kuno, sehingga dapat dinikmati oleh generasi sesudahnya. Pandangan, pengetahuan dan keilmuwan Yasadipura I sungguh sangat
luas, meliputi soal-soal ketuhanan, kemasyarakatan, kemanusiaan, dan keadilan. Pengaruh Hindhu, Islam dan Jawa diolah menjadi suatu karya yang harmonis. Sintesa
kebudayaan, Hindhu , Jawa dan Islam, yang diwakili tasawuf atau sufisme, mendapatkan bentuknya yang definitif. Sintesa itu tercermin sepenuhnya dalam Serat
Dewa Ruci. Mengenai motif penulisan Serat Dewa Ruci yang dijadikan sentral
pemahasan, Simuh 1988:33 mengatakan bahwa perkembangan sastra Jawa sejak lama didukung terutama golongan istana. Mereka mengganggap politik mempunyai
nilai yang lebih tinggi dari agama. Karena itu semua kegiatan sastra dan keagamaan selalu diarahkan untuk mendukung kepentingan politik penguasa. Penerapan masalah
agama diselaraskan dengan kepentingan agama. Tasawuf diutamakan karena lebih mudah dicerna dan disesuaikan dengan tradisi mistik Jawa. Sedangkan penyelerasan
antara tasawuf dan mistisme Jawa dilakukan untuk meredakan dan mendamaikan konflik antara pendukung syariah dan pemuka ajaran heterodoks, karena sumber-
sumber pembangkangan dan krisis politik di Jawa tidak jarang bersumber dari dua kelompok ini.
4. Perbandingan Nawaruci dan Serat Dewa Ruci
Serat Dewa Ruci adalah sebuah alegori sufi Jawa yang begitu populer dalam lingkungan kebudayaan Jawa. Kisah mistikal yang hadir dalam banyak versi dalam
kepustakaan Jawa ini juga sering diangkat jadi lakon pewayangan. Serat Dewa Ruci dalam kesusastraan Jawa ditulis dalam beberapa sumber pustaka seperti Nawaruci,
Dewa Ruci dan Bimo Suci. Menurut Seno Sastroamidjojo 1967 babon cerita Dewa Ruci itu berbahasa Jawa kuno atau Kawi, tertulis pada rontal. Tan Khoen Swie
1923 menyebutan bahwa cerita Dewaruci yang asli itu digubah dalam bahasa Kawi oleh Mpu Wijayaka di Mamenang, Kediri atau lebih terkenal dengan Ajisaka yang
pada waktu kecilnya bernama Jayasengkala, salah seorang putra Mpu Anggojali. Sementara itu dalam disertasinya, Priyohutomo menyebutkan bahwa Serat Dewaruci
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ini merupakan pengembangan dari Nawaruci yang ditulis oleh Mpu Siwamurti, salah
seorang pujangga pada masa Majapahit. Kemudian banyak gubahan baru diturunkan dari aslinya. Turunan itu kemudian diturunkan pula. Pada umumnya dengan
tambahan atau pengurangan berdasarkan kehendak atau perasaan pribadi sang penggubah.
Menurut Poerbatjaraka, berdasarkan sifat bahasanya bahasa kawi kemungkinan bahwa lahirnya kitab Nawaruci itu bersamaan dengan masa penyebaran
dan perkembangan agama Islam di kalangan masyarakat Jawa. Mistik Islam yang dikenal oleh masyarakat Jawa pada waktu itu telah memberi inspirasi untuk digarap
menjadi lakon wayang. Hal senada juga dikemukakan oleh Stutterheim. Pendapat Stutterheim tersebut didasarkan pada hasil penyelidikannya di candi Penaggungan.
Menurut Stutterheim kitab Nawaruci diciptakan pada abad ke XV sekitar tahun 1450 M Seno Sastroamidjojo, 1962: 3.
Dalam
epos
Mahabarata cerita Dewa Ruci tidak pernah dijumpai, namun ada cerita dari India yang mirip dengan Dewa Ruci yaitu kisah Markandeya yang
mengarungi samudera dan menemukan cabangnya yang rindang dan dalam seorang anak kecil dan meminta agar Markandeya masuk ke dalam tubuhnya untuk melihat
seluruh isi alam semesta. Dalam cerita Markandeya itu disebutkan bahwa anak kecil itu adalah Narayana sebagai penjelmaan dewa Wisnu. Dalam cerita Markandeya itu
nama Bima sama sekali tidak disebutkan Singgih Wibisono,1996:33. Namun demikian kerangka plot ceritanya termasuk sumber inspirasi bagi kreatifitas
sastrawan lain. Dalam teks Nawaruci dan Dewa Ruci Bima adalah sosok sentral yang
menjadi obyek pembahasan. Kendati tokoh Bima sebenarnya tokoh dari
epos
Mahabharata yang masih menganut Hindhuistik, namun oleh para pujangga dan para wali dijadikan pemeran utama dalam hal mencari kesempurnaan hidup ala sufisme.
Pemilihan tokoh Bima dan Dewa Ruci sebagai pelaku utama memperlihatkan sensibilitas pengarang dalam membuat pertimbangan praktis, yaitu dengan bertolak
dari alasan-alasan kultural. Meskipun agama Islam diterima oleh orang Jawa, namun pada saat yang sama pengarang mengingatkan agar jati diri dan budaya Jawa lama
jangan dibuang. Caranya dengan menghidupkannya seraya memberikan wadah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user terhadap ajaran agama yang baru dipeluk. Kecuali itu pengarang juga mengenal
dengan baik kegemaran orang Jawa pada lakon wayang, sebagai pembentuk ketidaksadaran dan kesadaran kolektif mereka. Pertimbangan praktis lain ialah
penyampaian kisah Dewa Ruci dalam bingkai cerita sejarah, sedangkan kisah inti tentang perjalanan Bima diambil dari
wiracarita
atau cerita kepahlawanan
epos
. Orang Jawa menyukai peristiwa-peristiwa sejarah yang terkait dengan timbul
tenggelamnya kerajaan-kerajaan feodal mereka, konflik-konflik internal yang terjadi. Di samping itu mereka menyukai mistik, dan cerita kepahlawanan.
Kitab Nawaruci maupun Serat Dewa Ruci jika dilihat dari segi arah dan tujuannya pada dasarnya sama, yaitu mengisahkan perjuangan tokoh Bima yang harus
mengahadapi siksaan fisik dan psikis untuk memperoleh sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan duniawiahnya. Ketabahan, ketulusan dan keuletannya akhirnya
memang mampu mengantar Bima untuk memiliki sesuatu yang dimaksud kendati dalam dimensi yang lebih luhur. Keduanya melambangkan hubungan manusia
dengan Tuhannya, hubungan yang begitu erat atau bahkan sampai kepada kesatuan wujud
wihdatul wujud
, sebagai
manunggaling kawula Gusti.
Manusia yang telah sampai tingkatan
manunggaling kawula Gusti
di dunia akan menjadi wakil Tuhan
wakiling Gusti,
ia sebagai
khalifatullah fi al-ardi
. Ia menyinari bumi, menjaga keselamatan dunia
memayu hayuning bawana
, memberikan kedamaian, dan membuat dunia menjadi indah. Manusia semacam ini bersedia dan mampu melawan
segala godaan alam lahir. Ia tak tergoda oleh kehidupan dunia yang tidak baik dan tidak tergoda oleh godaan setan. Ia di dunia telah mati bagi segala godaan alam lahir
dan mencapai hidup yang benar, yaitu
mati sajroning ngaurip
mati dalam hidup serta
urip sajroning mati
hidup dalam kematian. Kitab Nawaruci ini sudah dibahas dalam bentuk disertasi oleh Prijohoetomo
pada tahun 1934. Dalam disertasinya itu dikemukakan perbandingan antara kitab Nawaruci dengan kitab Dewaruci. Kesimpulannya adalah bahwa kitab Nawaruci
itulah yang menjadi sumber dari lakon Dewaruci yang semakin populer dalam dunia pewayangan Wibisono,1996:33. Serat Nawaruci banyak mengandung unsur Hindhu
sedangkan Serat Dewa Ruci mulai ditambahkan dengan unsur Islam. Tuhan yang politeis sebagaimana dalam Hindhu diganti dengan Tuhan yang monoteis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user sebagaimana yang diajarkan dalam Islam dan disitulah nilai keislaman tercermin,
yakni dalam isi ajarannya Musbikin, 2010:50. Selain itu dalam gubahan Serat Dewa Ruci karya Tan Koen Swie berbentuk sekar macapat misalnya, unsur-unsur Islam
terlihat, dengan ditambahkannya beberapa istilah Arab seperti :
wujud, dzat, sifat, ma’krifat , nikmat, dan manfaat
Simuh, 1988:31. Sedang nilai kejawen yang masuk dalam Serat Dewa Ruci tampaknya hanya berada pada metode cara pemaparan. Ini
terlihat pada penggunaan bahasa Jawa sebagai alat penyampain ajarannya. Ciri tersebut sebagaimana dikatakan oleh Simuh merupakan salah satu corak karya sastra
suluk yang masuk pada kelompok kepustakaan Islam Kejawen. Yakni menggunakan bahasa Jawa dan sangat sedikit mengungkapakan aspek
syariat
aturan-aturan lahir daripada agama Islam.
Walaupun Serat Dewa Ruci tersebut mengambil konteks Hinduistik. Hal tersebut tidak lagi begitu penting. Sebab semuanya hanya dilihat sebagai “baju” atau
“wadah” yang tidak bertentangan dengan isi, yaitu Islam sendiri. Wujud luar boleh saja Hinduistis, tetapi roh-nya tetap Islam. Terlepas dari perbedaan dan persamaan
teks Dewa Ruci dan Nawaruci itu yang terpenting ialah inti sari cerita keduanya dapat menggambarkan perkembangan cara berpikir bangsa Indonesia umumnya, Jawa
khususnya, terutama mengenai pandangan hidupnya. Baik dalam Nawaruci maupun Dewa Ruci filsafat hidup Jawa yang didasarkan pada bentuk-bentuk spiritual atau
mistisme yang sinkretik tergambar jelas didalamnya.
5. Serat Dewa Ruci dalam Konteks Penghayatan Keagamaan Masyarakat Jawa Masyarakat Jawa merupakan sebuah
specifiq community
telah berabad-abad membentuk dan membangun suatu peradaban yang khas unik Muklis 2006: 21.
Dalam konteks budaya, masyarakat Jawa memiliki ciri khas tersendiri. Kekhasan tersebut terletak dalam kemampuannya untuk membiarkan diri dibanjiri oleh
gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Dalam konteks keagamaan, masyarakat Jawa bersifat terbuka untuk menerima agama apapun agama
dengan pemahaman semua agama itu baik, maka sangatlah wajar bila masyarakat Jawa bersifat sinkretik bersifat
momot
atau serba memuat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Penghayatan keagamaan orang Jawa dalam konteks sosio historis tercermin
dalam ungkapan
agama, ageman aji,
bahawa agama itu merupakan
busana keprabon
yang sungguh berharga. Agama secara Jarwa dhasok,
a
= tidak,
gama
= rusak, sehingga keberadaan agama selalu menuntut manusia agar memperoleh kebahagiaan
dan ketentaraman lahir batin. Istilah
Jawa kang kajawi
, menandakan dalam masyarakat Jawa aspek spirituallah yang dikedepankan Purwadi, 2002: V
Pada kebudayaan Jawa, sistem keagamaan sejak dahulu mempunyai variasi kultural. Menurut Mulder, sejak dulu mereka dibagi menjadi dua mereka
yang sholat yaitu, orang yang melakukannya disebut
putihan
dan mereka yang tidak sholat mereka disebut
abangan
atau rakyat kebanyakan yang tidak religius atau mereka yang tidak melaksanakan peradaban Islam Mulder, 2003:1. Geertz
telah melakukan pengamatan di Mojokuto. Geertz membagi masyarakat Jawa menjadi tiga varian yaitu abangan, santri dan priyayi. Abangan mewakili sikap
memiliki segi-segi sinkretisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani. Santri mewakili sikap menitikberatkan pada segi-segi
Islam, pada umumnya berhubungan dengan unsur pedagang maupun juga petani dan priyayi yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindhu dan berhubungan
dengan unsur-unsur birokrasi Geertz, 1989: X. Dari pembagian di atas maka kita dapat melihat bahwa di Jawa terdapat kelompok-kelompok religius yang berbeda.
Kelompok santri atau putihan menjalankan doktrin agama Islam, dan kelompok abangan bergelut pada kepercayaan ajaran kejawen.
Perbedaan-perbedaan dalam menilai praktik agama itu sudah menjadi bagian kehidupan di Jawa sejak munculnya Islam. Pada awalnya masyarakat Jawa
kehidupan beragama terimbas oleh pemikiran animistis, dimana pemikiran ini telah ada sebelum praktik Hindhu-Budha masuk di Indonesia yaitu diawali pada masa
prasejarah. Setelah pemikiran animistis tersebut, doktrin Hindhu-Budha masuk ke Indonesia, gabungan keduanya membentuk mistisisme, pengagungan jiwa-jiwa sakti.
Pemujaan arwah dan penyembahan tempat-tempat keramat walaupun demikian semua itu tidak bertentangan secara mencolok dengan watak mistis dan corak
berpadu dan
membentuk peradapan
baru yang
disebut kejawen
Mulder, 2003: 2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Bentuk agama Islam orang Jawa disebut Kejawen atau Agama Jawi yaitu
suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam
Koentjaraningrat, 1984: 312. Dengan kata lain, Islam Abangan atau Agami Jawi lebih bersifat sinkretis karena menyatukan unsur-unsur pra-Hindhu, Hindhu-Budha
dan Islam
heterodoks
. Walaupun demikian, hal itu tidak berarti mereka hampir tidak beragama atau sangat sedikit memikirkan agama, atau menjalankan kehidupan tanpa
kegiatan agama. Waktu-waktu mereka justru banyak tersita oleh aktivitas agama. Mereka juga percaya adanya Allah, percaya kenabian Muhammad, percaya dengan
kebenaran kitab Al-Qur’an dan percaya bahwa orang baik akan masuk surga. Tetapi di samping itu mereka juga meyakini konsep dan pandangan keagamaan tertentu,
percaya akan makhluk gaib dan kekuatan sakti, dan melakukan ritus-ritus dan upacara keagamaan yang sangat sedikit sangkut-pautnya dengan doktrin-doktrin Islam resmi
Koentjaraningrat,1984: 311. Kemunculan Agama Jawi bukan proses yang berlangsung dalam ruang yang
kosong. Tetapi proses ini terjadi di dalam sebuah logika dialektika budaya ketika satu prinsip bertemu dengan prinsip yang lain dalam dimensi sejarah. Proses dialektika
akan selalu menghasilkan sintesis-sintesis baru yang kadang tak terduga atau tidak direncanakan sebelumnya. Faktor yang paling menonjol dalam proses sinkretis antara
Islam dan tradisi Jawa sehingga menghasilkan agama Jawi dengan sendirinya juga datang dari kedua belah pihak.
Bentuk Islam mistis yang berkembang di Indonesia adalah faktor paling nyata sehingga memungkinkan proses tersebut. Sementara dari budaya Jawa, tradisi
kepercayaan ruh dan benda-benda gaib yaitu animisme dan dinamisme pada rakyat kebanyakan, dan tradisi Hindu-Budha pada kaum aristokrat kerajaan menjadi faktor
kedua, yang seolah bertemu dalam satu titik kompromi paling landai ketika bertemu dengan Islam mitis.
Islam mistis atau Islam tasawuf bisa didefinisikan sebagai Islam yang lebih menekankan pada pemikiran dan praktik pencarian hubungan manusia dan Tuhan
dengan cara-cara berpaling pada hal-hal duniawi dan lebih mengutamakan penghayatan dan kepasrahan pada Tuhan semata. Jalan untuk menuju pada sebuah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user kesempurnaan hubungan antara manusia dan Tuhan, dalam Islam mitis, didapatkan
dengan melalui beberapa tingkat yaitu:
syariat, tarikat, hakikat
dan
ma’rifat. Syariat
adalah hidup yang sesuai dengan hukum Allah.
Tarikat
adalah bentuk kepasrahan pada Tuhan secara sepenuhnya.
Hakikat
adalah tingkat di mana manusia hanya memperhatikan Allah semata-mata dan
ma’rifat
adalah tahap terakhir yaitu tahap
kesempurnaaan Edi Sedyawati, 1993: 54.
Secara historis, Islam yang mula-mula berkembang di Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya adalah Islam yang dibawa oleh orang-orang
Persia dan India melalui jalur perdagangan yang sangat kental dengan tradisi mistik
Zaini Muchtarom, 1988: 18. Menurut Koentjaraningrat 1984:53, gagasan-gagasan mistik tersebut mendapat sambutan baik dari masyarakat Jawa, karena sejak zaman
sebelum masuknya Islam, kepercayaan tradisional animisme dan dinamisme serta tradisi kebudayaan Hindhu-Budha yang ada terlebih dahulu di Jawa telah didominasi
oleh unsur-unsur mistik. Bentuk Islam mitis lebih menampakkan wajah yang relatif ramah atau lunak
ketika bertemu dengan agama lokal, yaitu tradisi agama asli animisme dan dinamisme dan Hindhu-Budha. Dengan kata lain Islam mistis mampu
mengakomodir pandangaan dan sistem ritual di luar Islam baku, sehingga terjalinlah sebuah anyaman berupa akulturasi antara ajaran Islam dengan paham-paham
sebelumnya. Sifat supel dan suka berasimilasi dengan aneka warna tradisi setempat inilah yang menjadi kunci sukses penyebaran Islam di Jawa. Dalam bentuk tasawuf
itulah, agama Islam disesuaikan dengan struktur sosial dan filosofis masyarakat setempat sehingga Islam mudah diterima tanpa gesekan dan pertentangan
peaceful coexisten.
Istilah terakhir ini merupakan ciri utama dalam filsafat Jawa yang menekankan kesatuan, stabilitas, keamanan, dan harmoni Abdurrahman Mas’ud,
2004: 58. Berkembangnya Islam mistis tasawuf di Jawa secara intens dimungkinkan
karena ajaran-ajaran tasawuf memiliki kesamaan dengan konsep mistik di kalangan masyarakat Jawa sendiri yang berupaya mempertahankan kepercayaan
Raja Titising Dewa
yang serba magis dan sarat dengan mistik. Mistik bagi kalangan masyarakat Jawa merupakan inti terdalam yang menjiwai dan mewarnai seluruh apek kehidupan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user kebudayaan Jawa sehingga dalam pandangan dunia Jawa budaya lahir dan batin
mendapat posisi yang strategis, terutama berkaitan dengan penghayatan dalam bentuk pengalahan unsur-unsur lahir untuk dapat memurnikan aspek batiniah dan bersatu
kembali pada tingkat yang tertinggi. Untuk mencapai hakikat itu berarti mengusahakan keteraturan
jagad gedhe makrokosmos
dengan
jagad cilik mikrokosmos
, dalam arti yang lebih mendalam kesatuan antara manusia dengan Tuhan
manunggaling kawula gusti.
Oleh karena kesamaan dalam hal inilah, maka Islam dapat diterima dan diintegritaskan dalam pola sosial, budaya dan religi
masyarakat Jawa Perkembangan Islam tasawuf diikuti mengalirnya kepustakaan Islam, baik
yang tersurat dalam bahasa dan huruf Arab atau yang telah digubah dalam bahasa Melayu.
Mengalirnya kepustakaan
Islam, dengan sendirinya menjadikan
perbendaharaan kesusastraan Jawa bertambah dinamis. Gaya sastra yang kebanyakan dari jazirah Arab maupun dari Gujarat ini berasimilasi dengan sastra lokal yang
berkembang sehingga menimbulkan jenis kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa dengan hal-hal keislaman Simuh,1988: 9.
Dalam konteks sastra, pertemuan antara Islam mistik dan kepercayaan mistik pada rakyat kebanyakan menghasilkan kitab-kitab
suluk
dan
primbon
. Kitab suluk adalah suatu himpunan syair-syair mistik yang ditulis dalam bentuk macapat gaya
mataram Koentjaraningrat, 1984: 316. Kitab suluk adalah kitab yang di dalamnya banyak mengandung ajaran tasawuf. Kitab suluk menunjukkan usaha pengarangnya
untuk menyatukan secara sinkretis ajaran-ajaran Islam, hukum Islam, dan tradisi kesusasteraan Islam dengan konsep-konsep teologi Hindu-Budha mengenai
penciptaan alam, kematian, dan kehidupan setelah kematian, serta hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan Primbon adalah kitab yang bercorak kegaiban dan berisi
ramalan-ramalan. Sementara itu pertemuan Islam mitis dengan tradisi Hindhu-Budha kerajaan Mataram menghasilkan
serat
. Serat adalah kitab yang berisi ajaran tasawuf yang dipadukan dengan mistik kejawen. Serat-serat biasanya berisi ajaran mistik-
moral. Diantara serat yang terkenal adalah serat Wirid Hidayat Jati, serat Centhini, dan serat Dewa Ruci.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Serat Dewa Ruci merupakan sumber representatif mengenai konsep Tuhan
dalam Agama Jawi. Dalam kitab ini konsep dan pandangan Agama Jawi tentang Tuhan lebih bercorak panteistis dibanding monoteis. Tak dipungkiri konsep Tuhan
panteistik ini lebih dekat dengan konsep-konsep dalam pemikiran Islam mistis dan Hindhu-Budha dibanding dengan Islam formal. Dalam Serat Dewa Ruci, Tuhan
dilambangkan sebagai makhluk yang sangat kecil sekaligus sangat besar. Karena Ia kecil maka Ia dapat melihat seluruh semesta dengan terang benderang dalam warna-
warninya. Karena Ia besar, maka Ia adalah muara dari segala sesuatu, seperti samudra yang menjadi muara dari segala aliran sungai, seperti angkasa tempat bertabur segala
planet dan bintang Koentjaraningrat, 1984: 324. Dalam pandangan ini Tuhan dianggap sebagai yang terbesar, tak terbatas, dan sebagai seluruh alam semesta, dan
sekaligus kecil sehingga dapat dimiliki oleh seseorang. Tuhan mitis dalam Agama Jawi memang lebih kental nuansanya dibanding
dengan Tuhan
syariat
yang banyak menyebut Tuhan dengan sifat-sifat maha Kuasa, maha Perkasa, atau maha Tinggi. Tuhan mitis ini bisa dijumpai dalam Cerita Dewa
Ruci karangan Yasadipura I yang bercerita tentang perjalan Bima Sena mencari air sejati kehidupan. Dalam salah satu bait dipaparkan: “Tanpa diketahui dari mana
datangnya, Bima sekonyong-konyong berhadapan dengan seorang Dewa katik, Dewa Ruci namanya. Tampak hanya sebagai anak kecil berjalan-jalan dan bermain-main di
atas permukaan air” Adhikara, 1984: 16. Walaupun kecil, Dewaruci sekaligus yang maha Besar. Dewaruci adalah
sosok yang menampung segala isi alam semesta. Dewaruci bertanya pada Bima Sena: “Mana yang lebih besar, kamu atau dunia seluruhnya dengan semua isinya termasuk
gunung, samudera, dan hutan sekalipun. Dunia seisinya ini tidak akan sesak, apabila masuk dalam gua-garbaku” Adhikara, 1984: 18.
Pandangan panteistis ini tentu berseberangan dengan konsep Tuhan dalam Islam baku yang monoteistis. Dalam pandangan monoteistis, Tuhan adalah maha
besar dan maha kuasa, manusia hanyalah makhluk yang tidak berarti dihadapan kekuasaan Tuhan.
Serat Dewaruci di mata orang Jawa yang beragama Islam merupakan sebuah kisah yang menjadi landasan yang kokoh untuk memandang dan menafsirkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user berbagai ajaran dan filsafat yang terkandung di dalam pewayangan sebagai ajaran
yang Islami. Walaupun cerita tersebut mengambil konteks Hinduistis-Budhistis, hal tersebut tidak lagi begitu penting. Sebab semuanya hanya dilihat sebagai “baju” atau
“wadah” yang tidak bertentangan dengan isi, yaitu Islam sendiri. Wujud luar boleh
saja Hinduistis, tetapi roh-nya tetap Islam Heddy Shri Ahimsa Putra, 1995: 13-14
C. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci