perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user berbagai ajaran dan filsafat yang terkandung di dalam pewayangan sebagai ajaran
yang Islami. Walaupun cerita tersebut mengambil konteks Hinduistis-Budhistis, hal tersebut tidak lagi begitu penting. Sebab semuanya hanya dilihat sebagai “baju” atau
“wadah” yang tidak bertentangan dengan isi, yaitu Islam sendiri. Wujud luar boleh
saja Hinduistis, tetapi roh-nya tetap Islam Heddy Shri Ahimsa Putra, 1995: 13-14
C. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci
1. Orang-orang yang berpengaruh dalam pemikiran Yasadipura I
Yasadipura I tumbuh dalam suasana masyarakat yang sedang giat mengembangkan dunia sastra. Apalagi dia berada di sekitar para tokoh yang menjadi
tulang punggung tradisi yang sedang berjalan. Dapat dipastikan bahwa Yasadipura I sudah diperkenalkan dengan dunia sastra semenjak usia dini. Oleh ayahnya saat
berusia lima tahun, Yasadipura I sudah diberikan pelajaran dengan menghafalkan surat-surat pendek Al-Qur’an dan menginjak usia 7-8 tahun mulai diberikan pelajaran
membaca dan menulis huruf Arab dan baru kemudian membaca Al-Qur’an. Untuk memperdalam ilmu agamanya, ia dikirim ke sebuah pesantren di Bagelan, Kedu
asuhan Kyai Hanggamaya. Bakat dalam dunia sastra semakin terasah saat Yasadipura I berada dalam lingkungan pesantren. Setelah menamatkan pendidikan di pesantren
Kedu, ia mengabdi di kraton Kartasura. Melihat potensi Yasadipura I dalam bidang sastra sangat besar, Paku Buwana II menaruh harapan besar kepadanya untuk kelak
menjadi Pujangga istana. Oleh karena itu, Paku Buwana II menitipkan Yasadipura I kepada Pangeran Wijil seorang pujangga istana yang bekerja di Kadipaten. Setelah
mendapat bimbingan Pangeran Wijil, bakatnya di bidang sastra semakin menonjol. Pangeran Wijil terus menggembleng dan mendorong Yasadipura I untuk terus belajar
dan berkarya hingga setelah periode Surakarta, pada masa Pakubuwana III 1749- 1788 ia telah resmi dingkat mejadi pujangga istana dan telah disebut dengan Raden
Ngabehi Yasadipura I. Dari uraian singkat di atas dapat ditatarik kesimpulan bahwa orang-orang
yang mempengaruhi pola pemikiran Yasadipura I antara lain: a.Raden Tumenggung Padmanagara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Salah satu tokoh yang amat penting dalam mempengaruhi pemikiran
Yasadipura I adalah Raden Tumenggung Padmanagara. Beliau adalah ayah dari Yasadipura I sendiri yang pada waktu itu berkedudukan sebagai bupati atau jaksa
pada masa Mataram Kartasura Pakubuwana II. Sejak kanak-kanak sampai dengan umur 8 tahun Yasadipura kecil berada di
bawah asuhan Raden Padmanagara. Sebagai anak seorang bupati Pengging, Yasadipura I didik sebagai anak kaum priyayi yang pada umumnya dekat dengan
paham kejawen. Sejak kanak-kanak sudah mendapatkan pelajaran mengenai adat dan tata krama dari orang tuanya. Misalnya, cara makan, cara bergaul dengan keluarga,
tetangga, orang lain, dan sebagainya. Selain itu, Bagus Banjar sejak berusia lima tahun sudah menerima pelajaran dari orang tuanya dengan menghafalkan surat-surat
pendek Al-Qur’an dan menginjak usia 7-8 tahun mulai diberikan pelajaran membaca dan menulis huruf Arab dan baru kemudian membaca Al-Qur’an. Suasana kehudipan
istana yang syarat nuansa kejawen inilah nampak besar berpengaruh bagi kepribadian dan alam pemikiran dari Yasadipura I sebagai seorang pujangga.
b.Pangeran Wijil Pangeran Wijil adalah seorang pujangga istana yang bekerja di Kadipaten.
Oleh Pangeran Wijil, Yasadipura I mulai diperkenalkan pada lingkungan baru, yaitu kehidupan istana. dan mendapat warisan berbagai ilmu terutama dalam bidang
kesusastraan dan spirituaitas yang kala itu menjadi salah satu ukuran kehormatan dan kedudukan seseorang.
Pangeran Wijil selain berkedudukan sebagai pujangga istana yang bekerja di Kadipaten, juga termasuk orang yang mempunyai wawasan spiritual dan keilmuwan
tinggi, sehingga mampu menangkap potensi dan bakat dari Yasadipura I. Maka sangat wajar jika Pangeran Wijil sangat sayang kepada Yasadipura I. Ia menyakini
dan juga dibenarkan oleh beberapa orang termasuk Pakubuwana II bahwa kelak akan menjadi orang
linuwih
orang yang memiliki kelebihan. Setelah mendapat bimbingan Pangeran Wijil, bakatnya di bidang sastra
semakin menonjol. Semua tulisannya mulai mendapatkan perhatian dari para abdi dalem yang lain. Tak mengherankan jika kemudian Pakubuwana II mengangkatnya
menjadi
Pujangga Taruna
pujangga muda. Dengan segala kemampuan, Pangeran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Wijil terus menggembleng dan mendorong Yasadipura I untuk terus belajar dan
berkarya hingga setelah periode Surakarta, pada masa Pakubuwana III 1749-1788 ia telah resmi dingkat mejadi pujangga istana dan telah disebut dengan Raden
Ngabehi Yasadipura I.
c.Kyai Hanggamaya
Kyai Hanggamaya adalah salah satu tokoh yang berperan membentuk kepribadian serta mempengaruhi pola pemikiran Yasadipura I. Beliau adalah seorang
guru besar pesantren di daerah Bagelan, Kedu. Kyai Hanggamaya dimata masyarakat Kedu, disamping dikenal sebagai ulama, beliau juga diyakini sebagai seorang
Waliyullah
yang memiliki kemampuan
linuwih
baik dalam bidang spirituil keilmuan tentang Islam maupun supranatural
karomah
. . Sesuai tradisi yang ada di lingkungan kraton, setelah berusia 7-8 tahun anak
dikirim kepondok-pondok pesantren. Sistem pendidikan itu hanya diperoleh puta- putri raja atau kawula dalem yang mampu, para keluarga sentana dalem dan abdi
dalem. Pondok-pondok pesantren yang terkenal pada waktu itu antara lain, Pondok Tegalsari Ponorogo, Pondok Banjarsari Madiun, dan Pondok Pesantren Bagelan ,
Kedu Mulyanto, dkk 1990. Yasadipura I merupakan alumnus pondok pesantren asuhan Kyai
Hanggamaya dimana pada usia 8 tahun Yasadipura I menjadi murid di pondok tersebut. Selama mengeyam pendidikan di Pesantren Kedu, banyak transfer ilmu
yang ia peroleh dari Kyai Hanggamaya. Oleh Kyai Hanggamaya diberi pelajaran membaca dan menulis huruf Jawa dan Arab, pelajaran agam Islam,
paramasastra
dan kesusastraan Jawa, kesusilaan, ilmu pengetahuan, kesaktian ilmu kedotan, tata cara
menyembah Allah, tata cara bersemedi serta ajaran kepribadian. Suasana kehidupan dalam pesantren Kedu yang syarat nilai-nilai luhur agama
Islam nampak berpengaruh besar bagi kepribadian dan alam pikiran Yasadipura I. Karya-karya Yasadipura I seperti Serat Ambiya, Serat Menak, dan Serat Dewa Ruci
di sana dijumpai istilah-istilah dan ajaran-ajaran yang berasal dari konsep tasawuf Islam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 2.
Pengaruh Tasawuf Islam dan Tradisi Kejawen Ajaran Islam menyentuh aneka macam atau semua aspek kehidupan manusia,
maka perwujudan sistem Islam itu juga mempunyai beberapa aspek atau dapat dikelompokkan kedalam beberapa aspek. Dapat disebutkan bahwa diantara
perwujudan agama itu adalah kepercayaan, ritus, aatau upacara, mitos dan simbol. Santri yang belajar Islam sejak kecil merasakan ada yang namanya, Fiqih, Akhlak
dan Tarikh. Itu semua adalah perwujudan apa yang dinamakan Islam. Diantara aspek Islam itu atau diantara perwujudan Islam yang sekiranya dekat dengan aliran
kebatiinan adalah tasawuf Romdon, 1993: 182-183. Ada banyak defiisi tentang tasawuf, yang jelas istilah ini adalah istilah baru
dalam Islam, artinya tidak ada dalam Al-Qur’an atau Hadist. Tasawuf menunjukkan keragaman keagamaan seseorang muslim, baik yang lahiriah maupun batiniah,
artinya yang berkaitan dengan keimanan atau perasaan yang berdasar pengalaman keagamnaannya. Keadaan kegaamaanya dinamakan tasawuf dan orangnya dinamakan
sufi
atau
Mutashawuf
. Ada yang menamankan tasawuf sebagai kebatinan Islam, barang kali karena diantara sifat tasawuf adalah menekankan soal kebatinan
Romdon, 1993: 7. Orang-orang yang menganut ajaran tasawuf di Indonesia khususnya di Jawa,
biasanya menjadi anggota gerakan-gerakan mistik yang disebut
tarekat,
dibawah pimpinan seorang guru
mursyid
yang disegani. Yang oleh penduduk sekitarnya disebut Kyai.
Tarekat
merupakan gerakan-gerakan yang berorientasi kerohanian, yang beranggotakan orang-orang santri. Gerakan-gerakan seperti itu biasanya
berpusat pada suatu pesantren tertentu, dan hampir serupa dengan gerakan-gerakan kerohanian kejawen Koentjaraningrat, 1984: 407.
Semenjak Islam masuk dan menjadi bagian kehidupan di Jawa, muncul perbedaan-perbedaan praktek agama. Pada masa itu kehidupan agama terimbas oleh
pemikir animistis dari apa yang dinamakan doktrin dan praktek Hindhu-Budha yang bergabung menjadi satu yang menawarkan lahan subur magis, mistisme,
pengagungan jiwa-jiwa sakti, pemujaan arwah, dan penyembahan tempat-tempat keramat. Semua itu bertentangan secara mencolok dengan watak mistik dan corak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user peribadatan Islam yang merambah pulau itu. Hasilnya berupa egalitarisme Islam.
Bahwa agama nabi mampu mengokohkan diri dengan pesat di kawasan pantai Puau Jawa. Bergerak lebih jauh kepedalaman bentuk masyarakat yang lebih lama ada.
Aritokratis dan hierakis mampu mempertahankan diri dan pada saat yang sama menerima unsur-unsur Islam. Seiring perjalanan waktu, perpaduan ini melahirkan
peradaban Jawa Tengah, yang berpusat di istana raja-raja Surakarta dan Yogyakarta. Peradaban inilah yang secara umum memperoleh sebutan
Kejawen
Niels Mulder, 2001: 2.
Jawanisasi atau kejawen, bukanlah suatu kategori religius. Namun ia lebih menunjuk kepada etika dan sebuah gaya hidup yang dilihami oleh pemkiran Jawa.
Sehingga, ketika sebagian orang mengungkap kejawen mereka dalam prakek beragama, misalnya seperti dalam mistisme, maka pada hakekatnya hal itu adalah
karakteristik yang secara kultural coondong pada kehidupan yang mengatasi keaneragaman religius Niels Mulder, 2001: 4. Sebagian dari sistem budaya agama,
kejawen merupakan suatu tradisi yang diturunkan secara lisan, tetapi ada sebagan penting yang juga terdapat dalam kesusastraan yang dianggap sangat keramat dan
bersifat moralis. Orang Jawa kejawen juga menganggap Al-Qur’an sebagai sumber utama dan segala pengetahuan yang ada. Namun seperti halnya semua penganut
agama di seluruh dunia, orang awam beragama Agama Jawi agama orang Jawa dalam melakukan berbagai aktifias keagamaan sehari-hari, rata-rata dipengaruhi
keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai budaya dan norma yang kebanyakan berada di dalam alam pikirannya Koentjaraningrat, 1984: 319.
Akar tradisi Islam Kejawen ini sudah dapat ditemukan sejak zaman kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu kerajaan Demak. Sebagaiamana telah banyak diketahui
bahwa salah satu eksponen penting bagi kemunculan dan perkembangan Kerajaan Demak adalah para tokoh yang dikenal dengan para wali. Mereka adalah para
penyebar Agama Islam, yang beberapa orang diantaraanya berasal dari Timur Tengah. Dalam menyiarkan agama, para wali melakukan pendekatan struktural dan
kultural. Secara struktural mereka melakukan peng- Islaman terhadap raja dan bangsawan istana, karena rakyat akan cenderung mengikuti agama raja yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user berkuasa. Sedangkan secara kultural, mereka berdakwah dengan menggunakan
instrumet-instrumen kebudayaan Jawa Sejak awal kehidupannya, Yasadipura I telah memilik sikap spiritual
tersendiri, Yasadipura I adalah seorang muslim, alumni Pondok Pesantren. Ia membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan membawa angin perubahan
keyakianan dari Hindhu-Budha ke Islam. Anggapan bahwa raja adalah imam dan
agama ageing ajilah
yang turut menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja, di samping peran aktif para pujangga masa itu. Para penyebar
Islam-para wali, guru-guru tarekat memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan hidup Yasadipura I sebelumnya yang bersifat mistik dapat sejalan,untuk
kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinannya. Spiritual Yasadipura I dengan warna tasawuf, berkembang juga karena,
Yasadipura I sendiri beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf menekankan pada latihan spiritual, seperti zikir dan puasa. Dalam masyarakat yang semangat religius
kuat inilah Yasadipura I dibesarkan. Sejak kecil, ia sudah diberi pelajaran agama Islam, dan sesudah dewasa ia dikirim ke pondok Pesanten Kedu untuk memperdalam
ilmu pengetahuan agama Islam kepada Kyai Hanggamaya. Sejak kecil dia lebih mengutamakan tarikat agama Islam daripada syariatnya. Hal ini diperjelas karena
Yasadipuara I masih gemar bertapa, bersemedi, berpuasa, seperti yang masih sering dilakukan oleh penganut agama Hindhu.
Dari uraian di atas, sosok kepribadian Yasadipura I tidak bisa dilepaskan tradisi Hindhu-Jawa Kejawen dan budaya pesantren Islam. Hal ini tercermin
dalam karya-karya sastranya yang bernuansa Islam-Jawa, sehingga sinkretisme kedua budaya itu menjadi harmoni yang menyatu dalam pemikirannya.
3. Sufisme Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci
a. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I yang berhubungan dengan
Syariat Syariat
dalam bahasa Jawa disebut
sarengat atau laku raga, sembah raga
merupakan pijakan awal bagi seseorang untuk mempuh laku perjalanan menuju manusia sempurna, yaitu dengan mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah
dari segala hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan
lingkungan alam sekitarnya. Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia, orang yang menjalani
syariat
, di antaranya kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya
dilaksanakaannya. Dalam pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasih- mengasihi, dan beramal saleh. Adapun pemikiran tasawuf Yasadipura I yang
berkaitan dengan
syariat
sebagai berikut: Ibarat menuju puncak gunung, perjalanan panjang seorang sufi menuju tingkat
makrifat
harus melewati tangga demi tangga. Menurut Yasadipura I jalan menuju Tuhan dalam Serat Dewa Ruci ada empat anak tangga
syariat, tarekat, hakikat, makrifat
yang harus dilewati untuk sampai pada puncak pendakian. Bagi Yasadipura I empat anak tangga itu merupakan mata rantai yang sambung menyambung, saling
terkait satu dengan yang lain dan perlu dilakukan setahap demi setahap. Dari keempat anak tangga tersebut
syariat
adalah pos pertama tempat dimulaninya pendakian. Dalam menyelami laku
syariat
, hampir dalam tradisi sufi para penempuh jalan ruhani harus dibimbing oleh seorang guru spiritual yang akan membawa pada puncak
hakikat. Dalam Serat Dewa Ruci hal itu juga nampak pada usaha Bima untuk berguru pada Resi Druna.
Dalam
epos
cerita kepahlawanan Mahabarata, Bima adalah salah seorang dari lima satria Pandawa. Pada ceritera wayang purwa, para satria pandawa
digambarkan sebagai satria yang berbudi luhur cinta kebenaran dan setia pada keutamaan. Di lingkungan keluarga dan negerinya, Bima merupakan merupakan
benteng pertahanan dan kesejahteraan negeri dan rakyatnya. Oleh karenanya disamping kekuatan tenaga dan kecerdasan berpikir sang Senapun bermodal
bermacam ilmu kesaktian, yang semuanya cukuplah untuk membentengi keselamatan hidupnya di dunia fana dengan tentram sejahtera Siswoharsojo, 1966: 5.
Dengan tugas dan modal sedemikian, betapakah suka duka yang dimiliki oleh Bima setiap saat sepanjang masa, hanya pribadi Bima yang menikmatinya. Namun
demikian, karena perkembangan budaya yang timbul karena kedewasaan jiwa, pada suatu ketika datanglah rasa kecewa yang mengganggu Bima. Pangkal
kekecewaannya, ialah karena ia belum memiliki
Tirta Prawita
air suci yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user dianggap sebagai sarana kesucian diri atau ilmu kesempurnaan hidupnya. Karena
dorongan cita-citanya, maka ia berusahalah mencari guru yang dapat memberi petunjuk
wejangan
dimana letak
Tirta Prawita
. Tindakan Bima ini melambangkan para umat yang ingin melanjutkan ibadatnya ketingkat
tarekat,
disamping memenuhi ibadah
syariat,
tindakan pertama harus mendapat petunjuk
wejangan
dari Guru Tarekat. Istilah Guru Tarekat lazim pula disebut Guru
Wasilah
atau Guru
Wasita
Siswoharsojo, 1966: 7. Walaupun sang guru ini kadang-kadang ada juga yang menyesatkan, tetapi Bima menganggap bahwa guru ini jujur, maka sangat
dipatuhinya sebab ia memegang kata ulama yang berbunyi: Tangan kekuasaan Allah itu mengendalikan mulut cendekiawan, tiadalah ia mengucap, kecuali
kebenaran dari Allah Al-Ghazali, 1982: 32. Menurut Serat Wulangreh, keberadaan guru yang benar-benar arif dan
berpengalaman di dalam menempuh perjalanan kehidupan kerohanian sangatlah penting.
“ Nanging ta sabarang kaya, kang kinira dadi becik, pantes den telatenana lawas-lawas pinanggih, lan mantep jroning ati, ngimanken tudhuhing guru, aja uga
bosenan, kalamun arsa utama, mapan ana dalile, kang wus kalakyan.”
Pupuh Dhandanggula, pada 16
Mematuhi perintah guru tidak boleh bosan. Amalan selalu dilaksanakan atas perintah guru. Oleh sebab itu, keberadaan guru sangat penting. Masyrakat Jawa
memberi tempat yang terhormat kepada guru. Zaman dahulu guru disebut juga pendeta, brahmana, ajar, resi, wiku dwija, begawan, dan
Dhang Hyang
. Guru dianggap pemimpin informal yang mempunyai pengaruh besar Karkono, 1998:20.
Menurut Yasadipura I seorang guru yang baik diamanatkan dalam Serat Dewa Ruci dengan kriteria seorang pertapa yang berilmu sebagaimana kutipan
berikut:
“ Tepanira kongsi raga runting, wus mangkana dennya mrih kamuksan, datanpa tutur sirnane, kamatengen tanpa wus de pratikel ingkang lestari tapa iku
minangka reragi pan amung, ilmu kang minangka ulam, tapa tanpa ilmu nora dadi, yen ilmu tanpa tapa”
Pupuh Dhandanggula V, pada 66.
Artinya:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Tapanya sampai kurus kering, sudah demikian olehnya dapat kamuksan, tak tanpa
tutur sirnanya, terlalu matang tanpa henti, oleh ajaran yang lestari, tapa itu sebagai, bumbu yang hanya, ilmu yang sebagai ulam, tapa tanpa ilmu tidak jadi, jika ilmu
tanpa tapa. Kutipan di atas menunjukkan bahwa guru wajib dihormati, disembah karena
gurulah yang menunujukkan hidup sempurna hingga akhir hayat, yang memberi petunjuk tentang kebaikan dan dialah yang dapat memberi nasehat sewaktu orang
bersusah hati. Orang durhaka kepada guru adalah dosa yang besar. Oleh karena itu seseorang harus berbuat baik, mau mohon cinta kasih siang malam kepada guru
Karkono, 1998:20. Segmen pertama dalam Serat Dewa Ruci menggambarkan perjalanan Bima
untuk memasuki dunia akademi dalam satu “Universitas” yang Guru besarnya adalah Hyang Resi Drona. Kuliah yang diberikan mengarah kepada pencapaian hidup. Sang
Bima Sena diwajibkan mencari
tirta prarwita
. Usaha Bima berguru kepada Druna tersurat dalam Serat Dewa Ruci pupuh Dhandhanggula I, pada2:
“ Duk Werkudara pruruhita ring, Dhang Hyang Druna kinen angupaya , toya ingkang nucukake
,maring sariranipun, Werkudara manthuk wewarti, marang nagri Ngamarta, panggih kadang sepuh, Sira Prabu Yudhistira, kang para ri sadaya samya marengi,
munggwing ngarsaning raka”
Artinya: Ketika berguru pada, Dhang Hyang Druna disuruh mencari, air yang mensucikan,
pada badannya, Werkudara pulang berkabar, kepada negeri Ngamarta, bertemu saudara tua, dialah Prabu Yudhistira, bersama para dinda sama mengiringi, dihadapan
kakanda. Dalam Serat Dewa Ruci
Tirta Prawita
berarti
tan kena pejah
tidak dapat mati atau
gesang langgeng
hidup abadi. Sementara oarang berpendapat bahwa
tirta pawirta
bermakana air untuk mensucikan badan dan sukmanya. Baru setelah jiwa dan raganya bersih atau suci orang dapat menyadari
sejatining urip
hakekat hidup sebenarnya atau
sangkan paraning dumadi
asal dan tujuan hidup. Dibayangkan oleh Begawan Druna, bahwa barang siapa memilili
tirta prawita
itu akan mencapai tingkat hidup yang serba sempurna, hidup yang suci.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Karenanya ilmu kebebasan jiwa akan jadi miliknya. Dalam hubungan ini dimaknakan
sebagai lambang angan-angan atau budi yang menguasai perasaan AKU, yang dilambangkan dengan tokoh Bima Seno Sastroamidjojo, 1962:8- 9.
Resi Drona memberi petunjuk, bahwa letak
Tirta Prawita
berada di Gunung Reksamuka. Menurut Resi Drona, jika Bima benar-benar ingin mensucikan hidupnya
dengan
Tirta Prawita
, seyogyanya membongkar Gunung Reksamuka. Reksa berarti memelihara atau mengurusi. muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan
Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui
samadi
perjuangan batin. Hal ini melambangkan:
1. Sebelum melakukan
samadi
orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dari segala tujuan pribadi
ngicali relenging manah
, mengeyahkan rasa keinginan akan segala sesuatu, yang sama artinya dengan
sepi ing pamrih
. 2. Pada waktu
samadi
dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung
Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi. Pandangan atau
paningal
sangat penting pada saat
samadi
. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui
cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang ingin mendalami ilmu
tarekat
harus melakuan hal-hal yang berat, seberta membongkar sebuah gunung.
Tokoh Bima dalam Serat Dewa Ruci diamanatkan bahwa sebagai murid ia demikian taat. Tanpa menghiraukan nasehat saudara-saudara, hanya teringat kepada
janji dan kesanggupan kepada gurunya kode ksatriannya untuk mendaptkan
Tirta Prawita
, Bima segera pergi meninggalkan saudara-saudaranya.
“ Saestu sumerep purwa wekasing jagad royo
sungguh akan mengetahui mengetahui awal akhirnya alam semesta seisinya, yaitu apa yang dinamakan
Sangkan Paraning Dumadi
.
Yen rering rangu bade mboten sumerep sarto dumugi telengingkawruh kasunyatan”
apabiala bersikap ragu-ragu dan gundah, maka orang pasti tiidak akan dapat mengetahui dan sampai pada inti ilmu kesempurnaan hidup. Demikian kata yang
Bima ketika minta diri dari keluarga Pendawa di Ngamarta. Kutipan di atas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user mengisyaratkan bahwa dalam mendalami ilmu agama, seseorang harus berbaik
sangka
khusnudz dzan
, tidak boleh ada ragu-ragu, tidak takut terhadap kesulitan serta mempunyai tekad yang bulat seperti apa yang dicontohkan Bima. Selain taat
Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Amanat tentang ajaran untuk hormat kepada guru secara tersurat dan tersirat dalam Serat Dewa Ruci terdapat dalam setiap
ucapan Bima kepada Dewa Ruci yang selalu mengiyakan segala perintah, tanpa pernah menolak atau membantahnya. Sebagai wujud rasa hormatnya kepada gurunya,
Bima selalu bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua gurunya, Pendeta Durna dan Dewaruci, Bima selalu menggunakan ragam krama.
Padahal sebelumnya Bima tidak pernah menggunakan ragam krama dalam berkomunikasi kepada siapapun, termasuk ibunya sendiri Dewi Kuntitalibrata.
Diantara ucapan-ucapan Bima kepada Resi Drona yang menunjukkan penghormatan dan ketaatannya adalah:
“ Arya Sena matur nembah inggih pundhi prenahe kang tirta pawira“
Bima menanyakan kepada Druna dimanakah letak
Tirta Prawita
Dalam ceritra Mahabarata, Adipati Karna juga mempunyai sifat dengan Bima, keduanya sama-sama kurang ajar pada orang yang lebih tua. Bima tidak mau
berbahasa halus krama bahkan kepada ibunya sendiri ceritra Dewa Ruci tidak termasuk. Sedangakan Adipati Karna tidak mau tunduk pada para tetua Hastina
bahkan sering kali bersikap kasar pada mertuanya sendiri. Kedua sama-sama punya alasan sendiri dan menyangkut prinsip mereka. Orang-orang Jawa punya istilah
“benar tapi tidak benar”, tetapi kedua tokoh tersebut tidak memperdulikan kritika- krtikan seperti itu http:csu02.netarsip?p=2290, diunduh pada tanggal, 1 November
2010. Dalam Islam, bahwa ajaran untuk saling menghormati kepada sesama manusia
dan terlebih kepada orang yang lebih tua, ataupun juga kepada guru, telah diajarkan oleh Nabi dengan sabdanya:
“ laisa minna man lam yuwaqqir kabiirana wa lam
yarkam shaghirana
” bukanlah termasuk golonganku orang yang tidak menghormati
kepada yang lebih tua dan tidak mau menyayangi kepada yang lebih muda. Dalam surat al-Hujarat ayat 12 Allah berfirman: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan
sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user padanya, atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah
selalu membuat perhitungan atas tiap-tiap sesuatu”. Laku Bima dalam tahap syariat tersebut adalah gambaran bagi manusia agar
mempunyai rasa bakti, patuh dan setia kepada semua guru. Seorang siswa yang tidak berbakti, patuh dan setia kepada guru tidak akan bersinar di masyarakat. Gambaran
tentang bakti kepada guru tersebut juga disuratkan dalam Bhagawad Gita IV.33 :
tat widdhi pranipatena pariprasnena sewaya,upadeksyanti te jnanam jnaninas tattwa
darsinah
Belajarlah, bahwa dengan sujud bersembah, dengan bertanya dan dengan pelayanan orang bijak yang telah melihat kebenaran mengajarimu dalam ilmu
pengetahuan. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa ini merupakan peringatan bahwa
dalam berbakti janganlah “membabi buta”. Siswa harus bisa berbakti secara cerdas dengan kemauan yang keras namun tetap didasari oleh hati yang ikhlas. Lebih-lebih
dalam jaman seperti ini, banyak guru yang hanya mengaku-ngaku. Hal inilah yang kemudian menjadikan sebuah plesetan untuk guru, yaitu
guru, yen digugu ngajak turu”
guru kalau dituruti mengajak tidur.
b. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I yang berkaitan dengan Tarekat
Tarekat
dalam bahasa Jawa
laku budi, sembah cipta
adalah tahap perjalanan menuju manusia sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini kesadaran hakikat
tingkah laku dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan Mulder, 1983: 24. Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih
banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada tingkatan
ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan menyesali terhadap segala dosa yang dilakukan, melepaskan segala pekerjaan yang maksiat, dan bertobat. Kepada
gurunya ia berserah diri sebagai mayat dan menyimpan ajarannya terhadap orang lain. Dalam melakukan shalat, tidak hanya salat wajib saja yang dilakukan. Ia
menambah lebih banyak shalat sunat, lebih banyak berdoa, berdzikir, dan menetapkan ingatannya hanya kepada Tuhan. Dalam menjalankan puasa, tidak hanya puasa wajib
yang dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi makan, lebih banyak berjaga malam,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam persepian, dan melakukan
khalwat
. Ia berpakaian sederhana dan hidup mengembara sebagai fakir. Adapun ajaran Serat
Dewa Ruci yang berkaitan dengan
Tarekat
sebagai berikut: Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci digambarkan sebagai murid ia demikian
taat. Kepercayaannya dan keyakinannya pada sang guru sedemikian kuatnya. Sehingga apa yang diperintahkan oleh sang guru itu yang akan dilakukan oleh Bima,
hal ini adalah mutlak bagi seorang murid untuk dapat meningkatkan evolusi batinya Sebagai wujud ketaatan seorang murid kepada gurunya, Bima segera bergegas
menuju gunung Reksamuka untuk mencari
Tirta Prawita
seperti yang diamanatkan Resi Drona. Perjalanan Bima menuju gunung Reksamuka tersurat dalam Serat Dewa
Ruci Pupuh Dhandanggula I, pada, 6-7:
“ Tan winarna kang kari prihatin, kawuwusa lampihira Sena, tanpa wadya among dhewe, mung braja, sindhung lesus, ambeber murang ing mardi,
prahara munggwing ngarsa, gora reh gumuruh, kagyat miris padedesan, ingkang kambah, kaparanggul ndodok ajrih, andhepes nembah-nembah” .
“ Kathah sesegah datan tinolih langkung prapteng adreng prapten Kurusetra, margi geng kambah lampahe, glising lampahireku, gapura geng
munggul kaeksi, pucak mutyara muncar, saking doh ngenguwuh, lir gumebyaring baskara, kuneng wau kang maksih wonten ing margi, wuwusen
ing Ngastina”
. Artinya:
Tak diceritakan yang tinggal sedih, dikatakan perjalanan Sena, tanpa kawan hanya sendirian, hanya angin lesus besar, mencegah kelancaran di jalan, prahara di depan,
seru gemuruh, kaget cemas gemetaran, yang dilalui lewat duduk takut, merunduk Pupuh Dhandanggula I, pada, 6.
Banyak kalangan tak dipandang, lebih semangat ke Kurusetra, jalan besar terlampaui, cepat perjalananya, gapura agung sudah tampak puncak mutiara memancar, dari jauh
berkilauan, ibarat sinar matahari, demikian yang ada di jalan, diceritakan di Ngastina Pupuh Dhandanggula I,
pada
, 7. Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada,
lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Bima. Namun walau telah dijelaskan niat
kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Bima, tetap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user saja mengamuk. Terjadi perkelahian, namun dalam perkelahian dua Raksaksa
tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Raksasa itu sebenarnya sebuah kiasan simbolik. Rukmuka menggambarkan
bentuk nafsu pancaindera yang cenderung membawa kesesatan manusia, sedangkan Rukmakala melambangkan alam pikirana manusia yang sering lepas kendali
out of control
sampai membahayakan dirinya atau orang lain. Inilah gambaran pembelajaran bahwa manusia untuk mencapai totalitasnya selalu menghadapi
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan, dengan berbagi dimensinya. Sebagai lambang seseorang yang sedang melakukan samadi Bima tidak akan
mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh
kamukten
dan
kamulyan
dalam kehidupan, karena
kamukten dan kamulyan
akan menutupi ciptanya yang jernih. Terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus
halangan-halangan tersebut. Hal tersebut tersurat dalam Surat Az-Zumar ayat 61: “Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa berduka cita”.
Sesudah dibunuh oleh Bima, kedua raksasa itu menjelma sebagai Batara Indra dan Batara Bayu. Karena keduanya telah ditolong dapat kembali berwujud
Dewa. Bima diberi anugrah Sabuk Cindhe Wilis dengan bara kembar dan dapat dipakai dipaha kanan dan kiri. Artinya sudah menjadi kebiasaan bila seorang yang
hendak mensucikan diri itu harus mau menutup mata dan telinga terhadap ejekan orang lain. Lama-kelamaan ejekan yang menjadi beban itu akan lenyap juga. Mereka
yang mengejek akhirnya mengakui kebenarannya. Sedang hadiah sabuk bara dengan cindhe kembar melukiskan orang yang berpetualang mencari ilmu dengan tekad kuat
laksana ikat pinggang cindhe. Bara di kanan menunjukkan perilaku yang harus melepaskan diri dari sifat keduniaan. Bara di kiri melambangkan sikap yang
memegang teguh ajaran guru. Demikian pula gambaran kepribadian sang Bima, bertekad bulat, berdisiplin tanpa ragu-ragu, tidak kenal menyerah dengan jujur
menuju langsung ke arah kebenaran, berdasarkan tugas dan kewajibannya dan tanggung jawabnya yang timbul atas keyakinan Pupuh Pangkur,
pada,
21. Supaya cita-cita Bima tercapai, dua dewa menyuruh Bima kembali kepada
Resi Drona untuk menanyakan tempat sesungguhnya
Tirta Prawrta
, sebab di gunung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Reksamuka tidak diketemukan. Bila menaati perintah guru, si murid akan semakin
banyak pengalaman yang sebelumnya tidak pernah diketahuinya. Benar atau tidak, perintah guru kalau dilaksanakan akan tetap bermanfaat bagi diri sendiri dan orang
lain. Diamanatkan dalam teks Serat Dewa Ruci pada pupuh II Pangkur bait 29-30,
Bima kepada gurunya berserah diri sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali kepada
Pendeta Durna dan air suci tidak didapat. Bima tidak komplen kepada sang guru, ia meyakini sang guru memiliki maksud lain yang belum dapat dimengerti olehnya.
Bima tidak membiarkan kekecewaan membelenggu dirinya, dia meyakini ada maksud tersembunyi dibalik perintah-perintah sang guru. Bima menceritakan apa
yang terjadi di gunung Reksamuka. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “
Sejatine tirta pawirta iku sari sarining banyu, ananrtani kahananing urip kabeh. Enggone hing telenging samudro,
mrentandani banyune mowo alun
. Artinya: Sebenarnya
tirta pawirta
inti sari
essence
dari pada air yang memungkinkan adanyadi dunia ini. Letaknya di dalam samudra yang sangat mengelombang itu. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus
asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang
Pendeta”. Uraian di atas mengandung pengertian bahwa seseorang yang menjalani laku
tarekat, akan semakin kuat keimananya, semakin besar pula godanya. Adapun tempat
tirta prawita
di dasar laut memberi makna bahwa untuk sampai pada tingkat makrifatullah memang sukar, jauh dan dalam . Ini berarti dia harus terjun dan
menyelam dalam lautan. Ini berarti bahwa orang itu harus menyucikan sifat-sifat Allah sebagaimana tersurat dalam Asmaul Husna atau nama-nama yang mulia disisi
Tuhan. Mendengar niat Bima pergi ke lautan, ibunya dan para Pandawa menangis
dan berusaha mencegahnya, yang dijelaskan dalam Serat Dewa Ruci Pupuh Pangkur pada 34:
“ Matur ing raka Ngamarta, kuneng Wrekudara lamapahire, wau ta ingkang winuwus, nagri Ngamarta, duk angkate Werkudara kasahipun, dene tan kena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ingampah, kalakung samya prihatin”
Berkata pada kakanda Ngamarta, demikian perjalanan Werkudara, begitulah diceritakan, di negeri Ngastina, saat Werkudhara
berangkat pergi, tak dapat ditahan, sama sangat prihatin. Bagi seseorang yang sudah gandrung untuk
marifatullah
dia sudah dapat melepaskan dirinya dari hal yang paling dicintainya sekalipun misal keluarganya.
Sebab hal itu juga merupakan godaan yang berwujud manusia disamping godaan yang berwujud benda. Hal tersebut juga tersurat dalam Al-Qur’an yaitu Allah
berfirman: : “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka
mereka itulah orang-orang yang merugi” QS Al Munafiquun 9. Bagi orang yang rindu pada
marifatullah
walaupun sudah mejauhkan diri dari gebyarnya duniawi namun masih ada godaan yaitu dari nafsunya sendiri. Malah
kadang-kadang nafsu ini tetap terus menggodanya ketika berkhalwat. Nafsu-nafsu itu ialah:
Lauwamah, Sufiah,
Amarah
dan
Mutmainah
. Walaupun pada dasarnya nafsu itu sendiri bukanlah sesuatu yang jelek yang harus diberantas, namun manusia harus
selalu berusaha mengendalikan nafsu-nafsu itu agar tidak membawa kepada kesengsaraan. Jadi yang penting adalah kebiasaan. Bandingkan dengan Imam Al
Ghazali ada yang berbunyi: Maka apabila nafsu itu biasanya merasa enak dan cenderung pada kebatilan dan kejahatan, mengapakah ia tidak merasa enak apabila
pada suatu ketika ia kembalikan pada perbuatan yang benar dan tetap tinggal kepada kebenaran tersebut. Bahkan cenderung kepada perkara yang keji yang keluar dari
tabiat yang aslinya Yang demikian itu adalah serupa dengan kecenderungan bagi sebagian orang. Adapun kecenderungan orang pada hikmah kebijaksanaan dan cinta
kepada Allah. Mengetahui dan beribadat kepadaNya itu adalah kecenderungan orang untuk makan-minum.Karena hal itu cocok dengan tabiat hati. Maka sesungguhnya
yang demikian itu sifat
rabbaniyah
Ketuhanan. Sedang kecenderungan kepada hal- hal yang bersifat kesenangan syahwat itu adalah asing bagi dzat kejiwaan dan
bertentangan dengan tabiatnya. Adapun santapan jiwa
qalbu
adalah sifat kebijaksanaan Allah YME tetapi hal demikian itu dapat berpaling dan terlepas dari
tabiat aslinya yang telah sesuai, disebabkan oleh sakit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Menurut Ki Darmonosunarso, peristiwa
nyebur ing telenging samudro
itu dimaknakan sebagai suatu perbuatan atau lambang perjuangan manusia melepaskan
diri dari cengkraman hawa nafsu atau sifat angkara murka, baik yang berbentuk
amarah
maupun yang diliputi nafsu birahi. Kesemuanya itu pada dasarnya timbul melalui mata dan telinga. Dalam hubungan ini kedua raksasa Rukmaka dan
Rukmakala tersebut melambangkan mata dan telinga. Setelah lepas dari cengkraman tersebut dapatlah kiranya orang memawas diri pribadi atau dapat
ngelem purbaning Hyang Widhi
insyaf akan diri pribadinya. Dengan jalan demikian ia dapat melepaskan, mengingkari
nyirep
hawa nafsu yang bersifat angkara murka. Dalam artian dapat mengendalikan, menahan meluapnya
panggoda
rintangan yang melalui panca indera kita. Dengan terkendalinya hawa nafsu birahinya yang berlebihan
godaan seksual khusunyaa hawa nafsu lainnya yang melalui panca indera kita umumnya dengan jalan bersemadi, maka orang yang bersangkutan dapat mencapai
suatu tingkatan kehidupan luhur menuju kearah kesempurnaan
jumbuhing kawula gusti
. Dalam ajaran Islam peristiwa menceburkan diri dalam samudra diibaratkan
dengan mengambil air wudhu sebelum sembayang
manembah marang Tuhan
. Jika sudah sampai taraf ini yang penting bukanlah tekad lagi, sebab hal itu sudah lewat,
tetapi harus ingat terhadap cita-cita semula. Walaupun pada taraf ini tak ada godaan lagi, namun apabila ingatannya tidak teguh tidak akan berhasil dan segala-galanya
dicurahkan untuk ibadat dan pasrah kepada Allah maka Allah sendiri yang akan menentukannya. Jika sudah sampai taraf ini maka orang itu sudah sampai pada tauhid
yang sebenarnya. Dengan kata lain :
Ngelem ing samodra
urip atau Mati dalam Hidup atauAntal maotuu qoblal maotu. Walaupun demikian oleh karena sifat
kekuatan manusia tidak sama, maka bagi mereka yang pengabdiannya sederhana dalam arti bahwa masih juga mementingkan keduaniaan di samping ibadatnya, maka
apabila ibadat itu dengan sungguh-sungguh akhirnya akan sampai juga tauhid. Hanya dengan jalan demikian ia akhirnya dapat menyingkap selubung hidup yang penuh
rahasia
mijak warono
, yaitu mencapai kesadaran, keinsafan yang sejati
jumbuhing kawula- gusti
.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Pentingnya ibadat ini disebut dalam Al- Quran QS : Al Ahzab : 35
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mumin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-lakidan
perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan
yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka
ampunan dan pahala yang besar” . Dalam Pupuh Durma IV, pada 2-3, diceritakan ketika Bima hanyut dalam
telenging samudra
, bukannya
tirta pawirta
yang dijumpai, melainkan seekor ular besar yang bernama Nemburnawa. Ular tesebut langsung menyerang sosok kecil
dihadapannya dan menggigit betis adik Yudhistira itu. Belum cukup dengan itu, diraihnya badan Werkudara untuk dibelit dengan maksud menghancurkan raga
manusia yang menjadi mangsanya. Namun badan Werkudara tidak ikut hancur karena tekadnya tidak lantas luntur. Semangatnya untuk mengabdi kepada guru begitu kuat
mengalahkan rasa sakit serta rasa lelah yang sangat. Dikerahkan segala upaya, dikumpulkan seluruh tenaga untuk melepas himpitan naga. Kemudian Bima melesat
menuju leher sang naga untuk ditikam dengan kuku Pancanaka. Naga secara hakikat menggambarkan utusan Tuhan berwujud Malaikat yang
akan menolong orang tersebut walaupun karena tidak tahunya dianggap sesuatu yang akan merugikan. Akan menolong artinya agar supaya nasib kesengsaraannya itu tidak
terlalu lama. Bima membunuh ular menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan
kamukten
dan
kamulyan
, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat sifat sebagai berikut:
1.
Rila
: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.
2.
Legaw
a : harus selalu bersikap baik dan benar.
3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia
tidak akan membalas, tetap sabar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada
kebaikan dan kebenaran. 6.
Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari
perbuatann jahat. 7.
Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-
kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu. 8.
Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak. 9.
Wilujengan: menjaga kesehatan, kalau sakit diobati. 10.
Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar. 11.
Samadi.
12.
Ngurang-ngurangi
: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum
secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang
tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.
Menurut Franz Magnis Suseno 1996 menjelaskan bahwa Bima dalam hal ini telah melepaskan segala-galanya untuk memperoleh air hidup. Begitu bersatu
terhadap sehingga dia berani mati. Dalam hal ini Bima adalah lambang manusia yang bertapa dan bersamadi untuk mengalahkan nafsu-nafsu rendah dan memurnikan tekad
batinnya. Ikut matinya Bima bersama Nemburnawa ini menandakan bahwa Bima mengalami
mati sajroning ngaurip
demi harapan
urip sajroning mati.
Dalam hal ini, yang mengalami kematian hanyalah raga. Sedang jiwa atau sukma yang menghidupi
raga, selama hayat dikandung badan tidak mengalami kematian, tetapi kembali kepada asal, yaitu Yang Maha Pencipta semesta alam,
Sang Akartaning Bawana.
Perjalanan ruh Bima inilah yang mensiratkan pembelajaran hidup. Menurut Purwadi, perjalanan ini mirip dengan proses terjadinya Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad
SAW Purwadi, 2002: 71. Hanya bedanya oleh karena beliau Rasul, maka ketika akan
marifatullah
tanpa lebih dahulu banyak
riyadhoh
, menjalankan adab dan laku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user khusus agar tercapai tujuannya seperti yang dilakukan oleh Arya Sena sebagai orang
biasa.Usai terjadi pertarungan antara Bima dan Nemburnawa. Werkudara begitu lelah. Sudah hilang kesadarannya. Serasa jiwa melayang, tidak ingat apakah masih
hidup atau sudah tiada. Dalam hal ini Bima berpasrah diri akan mati dan hidupnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dari uraian dia atas diatas menjelaskan bahwa sikap sabar dan berpasrah diri secara total merupakan ajaran penting yang harus dijalankan oleh seseorang yang
ingin mendapatkan sesuatu yang diharapkan. Dalam Islam, berlaku sabar merupakan prasasat bagi seseorang untuk memperoleh kebahagiaan, kesenangan serta
keberuntungan. Sabar dalam wujudnya menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya,dan juga sabar dalam menerima cobaan yang
ditimpakan oleh-Nya serta sabar dalam menunggu pertolongan diri-Nya. Perintah untuk bersabar ini disebutkan dalam Al-Qur’an surat al-Ashr ayat 1-3 dia atas. Pada
ayat yang lain Allah berfirman :
“
Hai orang-orang beriman, jadikanlah sabar dan
shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.
Sedangkan dasar-dasar berpasrah diri secara total dalam Islam , dapat diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, itu terlihat ketika beliau berkhalwat di Gua Hira’
untuk menjauhkan diri dari kehidupan duniawi
uzlah
dan ingin menyucikan hati dari perbuatan dosa serta ingin dekat Tuhannya. Dalam Islam printah untuk berpasrah
diri secara total, beribadat serta menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa tersurat terdapat dalam firman Allah yang berbunyi : “Sesungguhnya sembayangku, ibadatku
hidupku dan mati ku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam Tidak sekutu baginya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah yang
pertama-tama menyerahkan diri” kepada Allah Q.S al-An’am ayat 162-163.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, perjalanan yang ditempuh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah sugguh sangat panjang dan sulit
dilalui. Namun bila dilakukan dengan tabah, tekun, sabar serta
tawakal
, maka perjalanan itu akan sampai pada tujuan bahkan akan sampai pada ”pamongnya”.
Yang pada ujung perjalanannya nanti seorang sufi akan dapat bertemu dengan yang ”merawat dirinya” .
c. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I yang berkaitan dengan Hakikat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Hakikat Jawa laku manah, sembah jiwa
adalah tahap perjalanan yang sempurna
puputing laku
. Berbeda dengan dua tahap sebelumnya, dalam hal bersuci tidak seperti pada tahap
syariat
yakni dengan wudhu atau mandi, tidak juga seperti pada tahap
tarekat
yang caranya dengan menundukkan hawa nafsu. Dalam Tahap hakikat, cara bersucinya dengan
awas emut
selalu waspada dan dengan shalat, berdoa, berdikir, atau menyebut nama Tuhan secara terus-menerus Zahri, 1984:88.
Ditinjau dari segi perjalanan suluk,
hakikat
ini merupakan tingkat akhir perjalanan. Pada tahap ini amalan yang dilakukan pada tahap ini semata-mata
menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Hidupnya yang lahir ditinggalkan dan melaksanakan hidupnya yang batin Mulder, 1983:24. Dengan cara demikian maka
tirai yang merintangi hamba dengan Tuhan akan tersingkap. Tirai yang memisahkan hamba dengan Tuhan adalah hawa nafsu kebendaan. Setelah tirai tersingkap, hamba
akan merasakan bahwa diri hamba dan alam itu tidak ada, yang ada hanyalah “Yang Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan dan Yang Akhir tidak berkesudahan.
Dalam keadaan demikian, hamba menjadi betul-betul dekat dengan Tuhan. Hamba dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya. Rohani
mencapai kesempurnaan. Jasmani takluk kepada rohani. Karena jasmani takluk kepada rohani maka tidak ada rasa sakit, tidak ada susah, tidak ada miskin, dan juga
maut tidak ada. Nyaman sakit, senang susah, kaya miskin, semua ini merupakan wujud ciptaan Tuhan yang berasal dari Tuhan.
Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mendaku saja. Maut merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil kepada
kebebasan yang luas, mencari Tuhan, kekasihnya. Mati atau maut adalah alamat cinta yang sejati Aceh, 1987:67.
Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup dan hidup dalam kematian. Saat tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam suasana yang terang benderng
gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti ini muncul Nyala Sejati atau Nur Ilahi Mulyono, 1978:126. Adapun bagian
Serat Dewa Ruci yang berkaitan dengan tahap hakikat sebagai berikut: Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan
hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat dirinya. Penglihatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama ini ke dalam Dewa
Ruci. Menurut Frans Magnis Suseno bahwa puncak kisah Dewa Ruci ialah ketika
Bima bertemu dengan wujudnya sendiri, penjelmaan yang Maha Kuasa. Bima menemukan apa yang di carinya sebagai air hidup,
sangkan paran
, asal usul dirinya dijelaskannya suatu pengertian dari dunia wayang itu untuk memahami serbagai
realitas usaha, manusia dalam mencapai persekutuan dengan Yang Ilahi, sampai pada masalah kekuasaan Haryanto, 1992: 124.
Hal ini sebagaimana digambarkan dalam sebuah tembang Maskumambang sebagai berikut :
“ Dewa bajang peparap sang dewa Ruci, Sang Sena angus..wa, Pawongan sakawit swawu, Sang Hyang Ruci….i..Baskara” .
Dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima miniatur Bima waktu muda itu adalah
Dewaruci, penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri Magnis-Suseno, 1984:115. Bima tidak menyadari bahwa dirinya sudah berbentuk sukma. Bima duduk
bersimpuh ketika berhadapan dengan Dewa Ruci. Bima mengatakan bahwa dirinya hendak mencari
tirta prawirta sari
. Kemudian Bima disuruh masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Semula Bima menganggap remeh Dewa Ruci, karena Dewa Ruci kecil
tubuhnya. Bima bingung untuk masuk. Lalu di beri petunjuk utuk masuk lewat telinga kiri.
Dalam Serat Dewa Ruci, Tuhan dilambangkan sebagai makhluk yang sangat kecil sekaligus sangat besar. Karena Ia kecil maka Ia dapat melihat seluruh semesta
dengan terang benderang dalam warna-warninya. Karena Ia besar, maka Ia adalah muara dari segala sesuatu, seperti samudra yang menjadi muara dari segala aliran
sungai, seperti
angkasa tempat
bertabur segala
planet dan
bintang Koentjaraningrat,1984: 324. Dalam pandangan ini Tuhan dianggap sebagai yang
terbesar, tak terbatas, dan sebagai seluruh alam semesta, dan sekaligus kecil sehingga dapat dimiliki oleh seseorang.
Menurut Ysadipura I, walaupun kecil, Dewaruci sekaligus yang maha Besar. Dewaruci adalah sosok yang menampung segala isi alam semesta. Dewaruci bertanya
pada Bima Sena: “
gedhe endi sira lawan jagad kabeh iki saisine kalawan gunungipun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
samodrane alase sami tan sesak lumebua guwa garbaningsun”
Pupuh Dhandanggula
pada
2. Artinya:
Mana yang lebih besar, kamu atau dunia seluruhnya dengan semua isinya termasuk gunung, samudera, dan hutan sekalipun. Dunia seisinya ini tidak akan sesak, apabila
masuk dalam gua garbaku” Adhikara, 1984: 18.
Bima masuk dalam badan Dewa Ruci melalu telinga kiri. Menurut hadist, diantaranya Al-Buchari, telinga mengandung unsur Ketuhanan. Bisikan ilahi, wahyu,
dan ilham pada umumnya diterima melalui telinga kanan. Dari telinga ini terus ke hati sanubari. Secara filosofis dalam masyarakat Jawa “kiri” berarti buruk, jelek,
jahat, tidak jujur dan “kanan” berarti baik dalam arti luas. Masuk melalui telinga kiri berarti bahwa sebelum mencapai kesempurnaan Bima hatinya belum bersih
Sastroamidjojo, 1967:45-46. Peristiwa masuknya Bima ke dalam badan Dewa Ruci melambangkan bahwa
Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya sendiri. Dengan memandang Tuhannya di dalam kehidupan kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan.
Pencitraan Dewa Ruci sebagai kembaran Bima memperlihatkan bahwa dalam psikologi sufi dan mistik Jawa dikenal dua jenis diri
self
yaitu diri jasmani, yang direpresentasikan oleh Bima dan diri ruhani
higher self
yang direpresentasikan oleh Dewa Ruci Happold, 1981: 58-610.
Menurut Puersen 1976 : 68 , proses perjalanan batin untuk menemukan identitas dirinya menamakan proses ini sebagai identifikasi diri, sedangakan menurut
Frans Dahler dan Julius Chandra menyebutnya dengan proses individuasi. Proses pencarian jati diri ini sesuai dengan hadist nabi:
man arafa qalbahu faqad, arafa nafsahu, wa man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu
barang siapa mengenal dirinya, dan barang siap telah mengenal dirinya sungguh ia telah mengenal Tuhannya.
Menurut Yasadipura I sebagaimana tersurat dalam Serat Dewa Ruci bahwa Tuhan dapat dikenali melalui jati diri, hati atau aspek batiniah
weruh sangkan paraning dumadi
. Dengan kata lain bahwa kesempuranaan hidup dapat ditemukan pada diri sendiri setelah mampu mengalahkan hawa nafsu dengan prihatin,
mengekang diri, pengenalan diri, keuletan dan keteguhan hati serta disiplin yang kuat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Haryanto, 1992: 126-127. Pengenalan diri lewat simbol yang demikian secara
filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat. Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa
dirinya tidak melihat apa-apa. Pada tahap ini Bima seolah-olah berada di alam baru, bingung ibarat bayi yang baru lahir. Yang ia lihat hanyalah
alam suwong
kekosongan pandangan yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang
awang uwung
tidak bertepi. Hal ini memperlambangkan hilangnya suatu keadaan yang dalam ajaran
Islam dinamakan
makrifating makrifat
. Didalam filsafat kejawen
hening, hening hawas
dan
heling
ataupun secara singkat
neng, ning, nong.
Istilah
awang uwung
dalam Serat Dewa Ruci adalah suatu tingkat dimana perjalanan sukma menyaksikan
awang
kekosongan yang tak terbatas dan berarah sebelum menyaksikan urutan cahaya dan akhirnya mencapai hadirat Tuhan. Kata
kekosongan secara khusus mengacu pada suatu tempat dalam tahapan penghayatan batin untuk mencapai kesempurnaan manusia. Dalam tradisi tasawuf mengenal
keharusan untuk mengosongkan diri dari berbagai keinginan duniawi
nafsu amarah
yang memungkinkan laku perjalanan ruhani terhambat Kekosongan pada saatnya akan penuh cahaya ilahi
nafsu mutmainah
Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa
Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Allah semata. Segalanya telah hancur lebur kecuali
wujud yang mutlak. Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan Simuh, 1983:312. Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya
telah terhimpun menjadi satu, manunggal Daudy, 1983:188. Zat Tuhan telah berada pada diri hambabnya Simuh, 1983:311, Bima telah sampai pada tataran hakikat.
Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia sangat bingung, tiba-tiba ia melihat dengan jelas
.
Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah,
serta melihat matahari. Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan
sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima secara filosofis telah sampai pada tataran
hakikat.
Bima setelah mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia melihat berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah:
pancamaya
, sinar tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda bagaikan boneka gading
yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya seperti itu secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah sampai pada tataran
hakikat
. Serat Dewa Ruci dalam pupuh Dhandhanggula V, padha 1-8 menyebutkan
Bima melihat pancamaya.
Pancamaya
dalam serat Dewa Ruci disebutkan diinterprestasikan sebagai bayangan yang diperoleh lantaran panca indera dan
disimpan dalam ketidaksadaran hati. Pada saat panca indera menanggapi segala sesutu dari alam sekelilingnya , ia didorong oleh nafsu.
Makrokosmos
adalah alam semesta seisinya yang dapat ditanggapi oleh panca indera manusia, kemudian
disimpan dalam ketidaksadaran sebagai pancamaya. Dengan demikian isi alam semesta terdapt pada diri manusia, sekalipun hanya sebagai bayangan maya
Haryanto, 19992: 169. Oleh Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan merenungkan cahaya itu dalam hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya. Hal-hal
yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu: merah, hitam, dan kuning.
Dalam Serat Dewa Ruci pupuh dhandangula V, pada 10-13, diceritakan Bima melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Menurut Serat
Dewa Ruci, isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama. Ketiga warna yang pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa menuju keselamatan, musuhnya
dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan selamat, bisa manunggal, akan bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu, perangai terhadap
masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui. Keempat warna tersebut digambarkan dalam Serat Dewa Ruci:
“ Sing ireng luwih prakoso, pagaweane kasrengen sabarang runtik anandadra ngambara ambra,
kang abang iku iya tuduh nepsu tan becik sakehing peperingan metu saking iku, dene
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sing arupa kuning pagaweanr nanggulang sabarang cipta kang becik dadine panggawe amrih tulus
. Artinya:
Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, yang merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini, yang kuning
pekerjaanya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan.
Empat nafsu yang disebutkan di atas adalah nafsu yang berasal dari mata, hidung, telinga dan mulut. Nafsu
lawwamah
timbul dari mulut atau lidah, nafsu ammarah timbul dari telinga, nafsu
sufiah
timbul dari mata, dan nafsu
mutmainnah
timbul timbul dari hidung. Tiga hal yang harus dikendalikan adalah nafsu
sufiah, amarah, lawwamah
. Nafsu
mutmainah
tempatnya di hati, oleh sebab itu manusia apabila hatinya telah tergoyahkan, maka tidak biasa mengelak, pasti mendapat celaka.
Segala yang berangkat dari nafsu akan menghasilkan sesuatu yang dapat mencelakakan dirinya, tetapi apabila berangkat dari hati nurani maka akan
terbimbinglah hidupnya. Seluruh uraian yang terkandung dii dalanya pada hakikatnya menunjukkan
cara menuju
kemanunggalan diri
sendiri dengan
Tuhan http:www.jawapalace.orgresidriya.htm, diunduh pada tanggal: 1 November 2010.
Keempat warna hitam, merah, kuning, atau hijau, dan putih itu diperlambangkan dalam gambaran kain kampuh
banbintulu
yang dipakai oleh Bima, warna kain
kampuh banbintulu
itu ialah lambang berkumpulnya
sederek gangsal manunggil baju
, tegasnya lima orang saudara sekekuatan yaitu bernilai sama akan kepribadiannya, kekuatannya, dan sebagainya. Lima saudara itu melambangkan
watak tiap orang masing-masing. Empat diantaranya melambangkan bagian watak yang terkenal sebagai:
a.
Lauwamah
sifat angkara murka b.
Amarah
brangasan, lekas naik darah, lekas marah, dan sebagainya c.
Supiyah
baik hati, baik budi d.
Mutmainah
murni, jujur e.
Mojang
, yang memberi petunjuk kearah tujuan yang baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Melihat uraian diatas , bisa disimpulkan bahwa anasir dalam diri manusia
ibarat 3 lawan 1 tiga anasir kejahatan vs satu anasir kebaikan, hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan
dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Hanya orang-orang pilihan saja yang bisa memenangkan pertarungan
dahsyat itu Wawan Susetya, 2007:10. Menurut Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci pupuh Dandhanggula VIII: 8, jika bisa mengatasi yang tiga hal, yaitu yang
merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya tak perlu lagi pembimbing dan sempurna hidupnya. Dengan kata lain
apabila seseorang sanggung melepaskan diri dari ikatan hawa nafsu dan kebendaan
hijab
atau dinding pemisah antara manusia dan Tuhan mulai tersingkap Dhanu Priyo Prabowo, 2003: 129.
Al-Qur’an juga merumuskan sifat-sifat buruk manusia dan mengingatkan agar menghindari sifat-sifat tersebut, untuk menjadi manusia kamil yang memiliki
keseimbangan. Diantara sifat-sifat tersebut adalah: lemah dalam surat an- Nisa: 28, berkeluh kesah dalam surat al-Ma’arij: 19, ingkar dan dhalim dalam surat Ibrahim:
18-19, khianat, bakhil, pemarah menguncilkan diri dari pergaulan, dengki, cinta pada dunia secara berlebihan, dusta, sombong, meremehkan, orang laian, takabur, penakut
dan ingkar Purwadi, 2002: 148. Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya melihat
urub siji wolu kang warni
‘sinar tunggal berwarna delapan’. Cahaya tunggal yang berwarna delapan itu ialah lambang kesatuan yang wajar
essence of unity
Atas pertanyaan sang Bima, diterangkan oleh Sang Dewa Ruci bahwa nyala tunggal itu berati jiwa yang hidup
atau menyala-nyala. Cahaya yang mengandung delapan warna cahaya itu menggambarkan menyalanya darah yang diproyeksikan keluar terlihat oleh orang
lain sekilas dengan hubungan antara bunga dan baunya. Rupa itu bernilai nyala . Nyala ialah mempunya nilai sama dengan hidup. Selanjutnya warna berarti air. Jika
dibalikkan, maka teranglah , bahwa air dalam hubungan ini berarti air hidup yang dicari Bima itu. Sena: “
Ingkang kadya peputran gadhing cahya mancur kumilat tumeja ngengguwung punapa inggih punika warnaning dzat kang silih dipun ulati
kang sayektiing rupa”
Pupuh Dhandanggula,
pada
18.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Artinya:
Apa nama cahaya delapan warni ini, merupakan hakekat sejati ,tampak seolah permata gemerlap, kadang seperti bayangan, mempesona, kadang pancaran sinarnya
bagaikan zamrud.
Dewa Ruci:
“ Dhudu iki kang siro sedia, kang mumpuni siro jagad kabeh tan keno siro dhulu. tanpa rupa tanpa warni. ta gatra tan satmoto. dhumunung aneng kang
awas. mung sasmito kang angebaki jagad. dhinumuk dhatan keno” .
Artinya: itulah bukan tujuanmu, tak boleh dijadikan tujuanmu, yang menguasai semesta alam
tak mungkin kamu lihat dengan mata kepala kamu sendiri. tanpa rupa tanpa warna, tak berbentuk atau terlihat, berada pada barang siapa yang awas dan waspada telah
insyaf. Alam semesta hanya dengan tanda-tanda atau lambangnya saja yang tak dapat tersentuh.
Menurut Yasadipura I berkaitan dengan ungkapan
tan keno kinoyo ngopo
dalam hal ini, wujud Tuhan tidak dapat digambarkan seperti apapun juga, hal ini disebabkan oleh manusia terikat oleh badan jasmaninya sehingga manusia hanya
dapat mengerti Tuhan dalam simbol Driyarkara, 1980:40. Oleh karena itu konsepsi tentang Tuhan dituangkan dalam bentuk simbol yang khas.
Dalam serat Dewa Ruci tercermin konsep
kesatuan wujud
Soebardi, 1975. Kata wujud biasa diterjemahkan kedalam bahas inggris
being
atau
existence
Waston, 1997:67. Istilah
wujud
memujukkan realitas yang merupakan puncak dari semua yang ada Supadjar, 1990.
Wujud
atau yang ada adalah suatu badan rohani yang dihidupkan oleh kehidupan Illahi. Wujud dalam Serat Dewa Ruci adalah
syuhud
atau menyaksikan.
Wujud
dan
syuhud
keduanya adalah
tajjali
, penampakan diri Tuhan Waston, 1997: 67.
Hakikat Tuhan dalam Serat Dewa Ruci disebut
Hyang Suksma
atau jiwa semesta yang bersifat spiritual. Menurut Yasadipura I
Hyang Suksma
adalah wujud ketuhanan yang tidak berbentuk, tak nampak, dan hanya ditemukan oleh orang yang
berhati suci dan waspada Waston, 1997: 73.
Hyang Suksma
adalah wujud tertinggi dari segala yang ada.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Bima dalam badan Dewaruci di samping melihat
pancamaya
, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, ia melihat benda bagaikan boneka gading
yang bersinar. Adapun boneka gading itu melambangkan
Pramana
yang disebutkan dalam Serat Dewa Ruci disebutkan dalam pupuh Dhandanggula V, pada 20 :
“ Dene iku kang sira tingali, kang asawang peputran matyarai ingkang kumilat cahyane
angkara murub pan P ramana arane nenggih
sedang yang kamu lihat, yang memandang anakan mutiara, yang berkilat cahaya, angkara murka menyala, sungguh
pramana itu namanya.
Pramana
sebagai penampakan dari
Hyang Suksma
bertempat tinggal dalamt tubuh manusia Soebardi: 1975. Pramana dalam kenyataannya adalah pernyataan diri
dari hakikat Tuhan Zoetmulder, 1985: 210. Pramana adalah manifestasi dari
Hyang Suksma
yang ada karena Dzat sendiri dalam etentitas Wujudnya mustahil dari tiada. Hyang Suksma mewujudkan segala sesuatu. Dia adalah wujud absolut atau al wujud
atau yang tertinggi Waston, 1997: 75. Konsep pramana dalam Serat Dewa Ruci, tidak tidur, tidak makan dan tidak
merasakan segala macam rasa. Kalau badan sakit,
pramana
tidak merasakan sakit, tidak merasakan suka dan duka. Apabila badan berpisah dari pramana, akan menjadi
lesu tidak berdaya pengaruh sedih dan gembira. Soejonorejo menjelaskan konsep
pramana
dalam Serat Jatimurti sebagai berikut:
“ Ana dene ayang-ayangan mau katon ana ing sifat kang langgeng kang luwih dening bening lan trawaca, kang kena kanggep pangiloning kajaten, yaiku
asale sakahe rasa anyar utawa wiwitan cipta lan rasa. Pangilon kajaten mau karan pramana. Dadi pramana iku angilon sejati, kang kanggo nonton ayang-
ayange rasa jati. Pramono kanggo ing kahanan jati gunane nyataake rasa samining makhluk maya utawa rasa anyar kang molah-malih. Kahanan jati
iku Dzat kang asipat pramana mau”
Artinya: Ada satu bayangan yang sifatnya abadi, yang lebih daripada bening dan
terang, yang dapat disebut cermin “kejaten” yaitu berasal dari berbagai unsure rasa atau cabang cipta rasa. Cermin
kejaten
itu bernama pramana. Jadi pramana merupakan cermin sejati yang dipakai untuk melihat bayangan rasa
jati. Pramana dipahami dalam kenyataan sejati untuk membuktikan perasaan makhluk atau perasaan yang tidak menentu. Kenyataan sejati tersebut yang
bersifat Pramana Budi Yuwono, 1993:53-54.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Dalam falsafah India, kata-kata
pramana
digunakan secara intensif oleh para filosof Nyaya dan Vaiseshika dan lazim diartikan sebagai metode, kaedah, pedoman
atau cara-cara mencapai ilmu pengetahuan, bukan seseorang atau sesuatu yang memiliki metode atau ilmu. Istilah Sanskrit lain yang mirip dengan kata-kata
pramana
, ialah
prana,
yang lazim digunakan oleh para filosof Yoga seperti Patanjali untuk menyebut energi atau daya hidup dalam tubuh manusia yang memiliki sifat
ilahiyah. Sangat mungkin istilah
pramana
yang digunakan filosof Nyaya dan Vaishesika berubah arti di tangan para mistikus Jawa, atau sangat mungkin pula
bahwa kata-kata itu memiliki kaitan dengan istilah
prana.
Atau mungkin pula para pengarang Jawa termasuk Yasadipura I sengaja menggabungkan pengertian dari dua
istilah ini dalam upayanya menarjemahkan gagasan Imam al-Ghazali tentang kalbu sebagai substansi halus dalam tubuh yang bersifat
ilahiyah
dan memancarkan sinar gemerlapan.
Simbol
pramana
juga dapat dikaitkan dengan konsep Nur Muhammad dalam tasawuf, yang digambarkan sebagai cahaya berkilauan. Dalam Dewa Ruci substansi
halus ini juga dilukiskan sebagai cahaya gemerlapan. Yasadipura I kemudian menghubungkan pula simbol cahaya ini dengan konsep
mukasyifat
, yaitu sang pemberi kehidupan. Arti
mukasyifat
ialah dia yang memberikan
kasyf
penglihatan batin yang terang, illuminasi yang tidak lain adalah Tuhan. Wakilnya dalam tubuh
manusia ialah
pramana
, yang juga diartikan sebagai substansi yang memberi kehidupan pada tubuh.
Dewa Ruci adalah hakikat pribadi seseorang yang mampu menyatu dengan iradat Tuhan. Kesatuan Bima dengan Dewa Ruci dapat diartikan sebagai dzat
manusia dengan iradat-Nya, setelah manusia mampu mengalahka nafsu-nafsunya Yuwono, 1993: 63. Pramana menunjukkan pengertian akan denyut jantung. Jadi
selama denyut jantung masih berdenyut, selam itu raga manusia masih hidup. Sedang yang menghidup pramana adalah suksma sejati yang dapat merasakan adanya sifat-
sifat Ketuhanan Yang Maha Esa pada raga dan jiwa manusia. Bilamana raga manusia mati, pramana pun ikut mati. Akan tetapi, suksma sejati hidup terus dalam alam yang
tidak terbatas waktunya Haryono, 1990: 369. Martabat kelima termasuk alam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
uluhiah
atau keilahian yang ada
tawon guwana
atau lebah yang sedang menggema, yang berda dalam mega fana. Dalam Dewa Ruci
tawon gumana
disebut
golek gading
sebagai perwujudan pramana Simuh, 1988: 369.
d. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I yang berkaitan dengan Makrifat
Makrifat
dalam bahasa Jawa laku rasa, sembah rasa adalah perjalanan menuju manusia sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah
makrifat
berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya Aceh, 1987:67. Dalam
teminologi tasawuf,
makrifat
berarti mengenal langsung atau mengetahui langsung tentang Tuhan dengan sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-Nya Nicholson,
1975:71, yang meliputi zat dan sifatnya. Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran t
arekat
, yaitu ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang merintangi manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia
akan merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang Ada. Dalam hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia
telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang Ilahi. Keadaan ini tidak dapat diterangkan Nicholson, 1975:148
Jawa tan kena kinaya ngapa
Mulyono, 1982:47, yang dirasakan hanyalah indah Zahri, 1984:89. Dan disinilah pada
masyarakat Jawa hal ini disebut dengan istilah
manunggaling kawula Gusti, pamoring kawula Gusti, jumbuhing kawula Gusti, warangka manjing curiga curiga
manjing warangka.
Pada titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah.
Di dunia ia menjadi wakil Tuhan
wakiling Gusti,
menjalankan kewajiban- kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia yang lain de Jong, 1976:69;
Mulder, 1983:25. Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih diselubingi oleh kebendaan,
syahwat
, dan segala kesibukan dunia yang fana ini Aceh, 1987:70. Tindakan diri manusia semata-mata
menjadi laku karena Tuhan Subagya, 1976:85. Keadaan yang dialami oleh Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah
mencapai tahap
makrifat
, di antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud
olehnya tercapai, hidup dan mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi.
Sebagai puncak dari pengalaman mistik yang diharapakan oleh para sufi adalah dapat langsung berhubungan atau mengadakan persatuan dengan Tuhan
wihdatul wujud
, yang dalam istilah Kejawen disebut
manunggaling kawula-Gusti
. Yasadipura I pun, menurut Kamadjaja 1963:124-125 berpaham demikian. Dan hampir semua
karya Yasadipura I yang bercorak mistik selalu menyatakan hal itu, seperti tampak pada Serat Dewa Ruci.
Konsep manunggaling kawula Gusti dalam Serat Dewa Ruci disebutkan dalam pupuh Dhandanggula , pada 36-37:
“ Yen weruh pamoring Kawula Gusti, sarta Suksma kang sinendyan ana, de warna neng sira ngnggone, lir wayang sarireku, saking dhalang solahing
ringgil, mangka panggung kang jagad, lire badan iku, asolah lamun pinolah, sasolahe kumendhep myarsa ninggali, tumindak lan pangucap” .
“ Kawisesa amisesa sami, datan antar pamoring karsa, jer tanpa rupa rupane, wus aneng ing sireku, umpamame paesan jati, ingkang ngilo Hyang Suksma,
wayangan puniku, kang ana sajroning kaca, iya sira jenenging manusa iki, rupa sajroning kaca” .
Artinya: Kalau tahu pamoring kawula Gusti serta Suksma yang dituju ada, oleh warna pada
kamu tempatnya seperti wayang pada kamu itu dari dalang gerak wayang, padahal panggung itu jagat, seperti badan itu bergerak jika digerakka pergerakannya tertatap
mendengar melihat, bertindak dan berkata. Sama menguasai dikuasai tak antara pamoring karsa memang tanpa rupa sudah ada pada dirimu umpama paesan jati, yang
berkaca Hyang Suksma, wayangan adalah yang ada dalam kaca, yaitu kamu nama manusia, rupa dan kaca.
Uraian diatas menerangkan bahwa kehidupan manusia merupakan pencerminan Tuhan, karena sangat dekatnya hubungan manusia dengan tuhan
jating rasa
penglihatan dan pendengaran manusia menjadi penglihatan dan pendengaran- Nya Nicholson, 1975:100-101. Kedektan itu juga menggambarkan badan lahir
dan badan batin, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Karena dekatnya Tuhan, seolah-olah Tuhan berada di dalam manusia, bukan di
luar manusia. Dalam Al-Qur’an ajaran tentang imanensi atau kedekatan Tuhan dengan manusia sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah: ...
“Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”
Al-Hadid, ayat 4. Pengertian serupa juga terdapat dalam surat Qaff ayat 16: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang telah
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. Dengan pengertian ini sebenarnya konsep
manunggaling kawula Gusti
dalam Serat Dewa Ruci tetap menganggap bahwa zat Tuhan tetap dipahami sebagai zat
yang transenden, yaitu zat Tuhan adalah hakiki dan manusia hanya bersifat pantulan atau nisbi saja. Dengan kata lain Dalam Serat Dewa Ruci, tetap berpandangan
hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda Nicholson, 1975:158-159. Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal manusia
memiliki sifat-sifat Ilahi Hadiwijono, 1983:94. Sebagaimana teori cermin bahawa sesuatu yang memantul atau yang memberi bayangan adalah sesuatu yang hakiki dan
pantulan atau bayangan sesuatu yang hakiki tersebut hanya bersifat nisbi saja. Sesuatu yang nisbi tidaklah sama kualitinya dengan sesuatu yang hakiki.
Sebagaimana juga dikatakan oleh salah seorang penganut paham
manunggaling kawula Gusti
, Ki Amongraga yang menyadari bahawa dia hanya hasil ciptaan dan antara kawula dan Gusti ada perbedaan, seperti antara debu di tanah dan awan, atau
seperti antara bumi dan ruang angkasa. Walaupun demikian memang sangat susah untuk mendefinisikan konsep
manunggaling kawula Gusti
secara tepat. Oleh itulah Simuh mengatakan bahawa memahami konsep
manunggaling kawula Gusti
memang dikatakan mudah tetapi susah dan dikatakan susah tetapi mudah. Dalam Kepustakaan
Islam Kejawen, hubungan manusia dengan Tuhan, umumnya mengandung rumusan yang saling tumpang tindhih. Tuhan dilukiskan memiliki sifat-sifat yang sama dengan
manusia dan manusia diganbarkan sama dengan Tuhan. Paham semacam ini dalam falsafah dinamkan
antropomoirfisme
Simuh, 1998:229. Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya,
bagaikan air dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan dewa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat
dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama
dengan sifat dewa Siwa Hadiwijono, 1983:45. Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir,
tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat
tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar
Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Oleh kaum filsafat, itulah yang disebut surga Hamka, 1984:139. Keadaan ini
secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat. Segala yang menjadi niat hatinya terkabul, apa yang dimaksud tercapai, dan apa
yang dicipta akan datang, jika hamba telah bisa manunggal dengan Tuhannya. Segala yang dimaksud oleh Bima telah tercapai. Keadaan ini secara filosofis melambangkan
bahwa Bima telah mencapai tataran makrifat.Segala yang diniatkan oleh hamba yang tercapai ini kadang-kadang bertentangan dengan hukum alam sehingga menjadi suatu
keajaiban. Keajaiban itu dapat terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi Nicholson, 1975:132. Ada dua macam keajaiban, yang pertama yang dilakukan oleh para wali
disebut keramat dan yang kedua keajaiban yang dilakukan oleh para nabi disebut mukjizat Nicholson, 1975:129.
Dalam Serat Dewa Ruci pupuh Dhandhangguala V, pada 32-33 disebutkan bahwa bagi Bima hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia
hendaklah manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam dalam kematian manusia akan kembnali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati
merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak sempurna dan yang
menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia kemudian bebas merdeka sesuai kehendaknya kembali manunggal kepada Yang Kekal
Marsono, 1997:799. Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya secara filosofis melambangkan bahwa tokoh Bima telah mencapai tahap makrifat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user Bima setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna
dengan Tuhannya karena mendapatkan wejangan dari Dewaruci, ia hatinya terang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar. Bima kembali kepada alam dunia
semula. Keselarasan sosial dalam serat dewa ruci tampak pada personifikasi tokoh Sena yang mau kembali ke tempat asalnya, setelah dia mengalami ekstase
kenikmatan spiritual. Tokoh Bima tidak hanya mementingkan olah kebatinan saja, namun juga masih peduli dengan soal-soal lahiriah duniawi berupa problem sosial
dan kenegaraan yang perlu diselesaikan berhubung posisi dirinya sebagai prajurit,abdi negara, dan satria agung. Keadaan hati yang terang benderang bagaikan
kuncup bunga yang sedang mekar secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berpijak dari uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Biografi Yasadipura dapat ditelusuri dari silsilahnya. Menurut Tus Pajang,
Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari raja Pajang itu. Ia adalah anak Tumenggung Padmanagara, seorang BupatiJaksa pada masa Mataram Kartasura.
Sebagai seorang anak bupati, Yasadipura I mendapatkan pendidikan selayaknya kaum priyayi yang sangat kental dengan aroma kejawen. Untuk memperdalam
ilmunya maka pada usia delapan tahun, dia dikirim sebuah Pondok Pesantren di Bagelan Kedu di bawah asuhan Kyai Hanggamaya untuk mendapatkan
pendidikan formal Islam. Pada usia empat belas tahun ia menyelesaikan belajarnya di pesantren Kedu, dan kemudian mengabdi di kraton Kartasura pada
masa Pakubuwana II 1726-1743. Karena prestasinya yang baik dalam mengabdi di kerajaan ia kemudia dipromosikan menjadi prajurit Nameng Jaya. Karena
bakatnya dalam bidang sastra diketahui Paku Buwana II, oleh karena itu Pakubuwahna II menitipkan Kudapangawe kepada Pangeran Wijil, seorang
pujangga yang bekerja di kadipaten. Setelah mendapat bimbingan Pangeran Wijil, bakatnya di bidang sastra semakin menonjol sehingga ia disebut sebagai pujangga
taruna Pujangga Muda. Setelah periode Surakarta, pada masa Pakubuwana II 1749-1788, ia telah disebut dengan Raden Ngabehi Yasadipura I dan meningal
hari senin
Kliwon
, 20
Dulkangidah, Wawu
1728. 2.
Serat Dewa Ruci digubah Yasadipura I pada masa awal kraton Surakarta. Secara historis berkaitan dengan kitab Nawaruci, karya Empu Siwamurti pada zaman
akhir kerajaan Majapahit. Kitab Nawaruci merupakan karya mistik Jawa yang terpengaruh ajaran agama Hindhu. Serat Dewa Ruci merupakan perpaduan antara
sastra mistik yang mengandung paham asli Jawa-Hindhu, dan Islam. Dalam lingkungan kebudayaan Jawa, Serat Dewa Ruci merupakan alegori mistik
Jawa yang begitu popular. Dalam konteks religi masyarakat Jawa Serat Dewa