Pemikiran Tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user berbagai ajaran dan filsafat yang terkandung di dalam pewayangan sebagai ajaran yang Islami. Walaupun cerita tersebut mengambil konteks Hinduistis-Budhistis, hal tersebut tidak lagi begitu penting. Sebab semuanya hanya dilihat sebagai “baju” atau “wadah” yang tidak bertentangan dengan isi, yaitu Islam sendiri. Wujud luar boleh saja Hinduistis, tetapi roh-nya tetap Islam Heddy Shri Ahimsa Putra, 1995: 13-14

C. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci

1. Orang-orang yang berpengaruh dalam pemikiran Yasadipura I Yasadipura I tumbuh dalam suasana masyarakat yang sedang giat mengembangkan dunia sastra. Apalagi dia berada di sekitar para tokoh yang menjadi tulang punggung tradisi yang sedang berjalan. Dapat dipastikan bahwa Yasadipura I sudah diperkenalkan dengan dunia sastra semenjak usia dini. Oleh ayahnya saat berusia lima tahun, Yasadipura I sudah diberikan pelajaran dengan menghafalkan surat-surat pendek Al-Qur’an dan menginjak usia 7-8 tahun mulai diberikan pelajaran membaca dan menulis huruf Arab dan baru kemudian membaca Al-Qur’an. Untuk memperdalam ilmu agamanya, ia dikirim ke sebuah pesantren di Bagelan, Kedu asuhan Kyai Hanggamaya. Bakat dalam dunia sastra semakin terasah saat Yasadipura I berada dalam lingkungan pesantren. Setelah menamatkan pendidikan di pesantren Kedu, ia mengabdi di kraton Kartasura. Melihat potensi Yasadipura I dalam bidang sastra sangat besar, Paku Buwana II menaruh harapan besar kepadanya untuk kelak menjadi Pujangga istana. Oleh karena itu, Paku Buwana II menitipkan Yasadipura I kepada Pangeran Wijil seorang pujangga istana yang bekerja di Kadipaten. Setelah mendapat bimbingan Pangeran Wijil, bakatnya di bidang sastra semakin menonjol. Pangeran Wijil terus menggembleng dan mendorong Yasadipura I untuk terus belajar dan berkarya hingga setelah periode Surakarta, pada masa Pakubuwana III 1749- 1788 ia telah resmi dingkat mejadi pujangga istana dan telah disebut dengan Raden Ngabehi Yasadipura I. Dari uraian singkat di atas dapat ditatarik kesimpulan bahwa orang-orang yang mempengaruhi pola pemikiran Yasadipura I antara lain: a.Raden Tumenggung Padmanagara perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user Salah satu tokoh yang amat penting dalam mempengaruhi pemikiran Yasadipura I adalah Raden Tumenggung Padmanagara. Beliau adalah ayah dari Yasadipura I sendiri yang pada waktu itu berkedudukan sebagai bupati atau jaksa pada masa Mataram Kartasura Pakubuwana II. Sejak kanak-kanak sampai dengan umur 8 tahun Yasadipura kecil berada di bawah asuhan Raden Padmanagara. Sebagai anak seorang bupati Pengging, Yasadipura I didik sebagai anak kaum priyayi yang pada umumnya dekat dengan paham kejawen. Sejak kanak-kanak sudah mendapatkan pelajaran mengenai adat dan tata krama dari orang tuanya. Misalnya, cara makan, cara bergaul dengan keluarga, tetangga, orang lain, dan sebagainya. Selain itu, Bagus Banjar sejak berusia lima tahun sudah menerima pelajaran dari orang tuanya dengan menghafalkan surat-surat pendek Al-Qur’an dan menginjak usia 7-8 tahun mulai diberikan pelajaran membaca dan menulis huruf Arab dan baru kemudian membaca Al-Qur’an. Suasana kehudipan istana yang syarat nuansa kejawen inilah nampak besar berpengaruh bagi kepribadian dan alam pemikiran dari Yasadipura I sebagai seorang pujangga. b.Pangeran Wijil Pangeran Wijil adalah seorang pujangga istana yang bekerja di Kadipaten. Oleh Pangeran Wijil, Yasadipura I mulai diperkenalkan pada lingkungan baru, yaitu kehidupan istana. dan mendapat warisan berbagai ilmu terutama dalam bidang kesusastraan dan spirituaitas yang kala itu menjadi salah satu ukuran kehormatan dan kedudukan seseorang. Pangeran Wijil selain berkedudukan sebagai pujangga istana yang bekerja di Kadipaten, juga termasuk orang yang mempunyai wawasan spiritual dan keilmuwan tinggi, sehingga mampu menangkap potensi dan bakat dari Yasadipura I. Maka sangat wajar jika Pangeran Wijil sangat sayang kepada Yasadipura I. Ia menyakini dan juga dibenarkan oleh beberapa orang termasuk Pakubuwana II bahwa kelak akan menjadi orang linuwih orang yang memiliki kelebihan. Setelah mendapat bimbingan Pangeran Wijil, bakatnya di bidang sastra semakin menonjol. Semua tulisannya mulai mendapatkan perhatian dari para abdi dalem yang lain. Tak mengherankan jika kemudian Pakubuwana II mengangkatnya menjadi Pujangga Taruna pujangga muda. Dengan segala kemampuan, Pangeran perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user Wijil terus menggembleng dan mendorong Yasadipura I untuk terus belajar dan berkarya hingga setelah periode Surakarta, pada masa Pakubuwana III 1749-1788 ia telah resmi dingkat mejadi pujangga istana dan telah disebut dengan Raden Ngabehi Yasadipura I.

c.Kyai Hanggamaya

Kyai Hanggamaya adalah salah satu tokoh yang berperan membentuk kepribadian serta mempengaruhi pola pemikiran Yasadipura I. Beliau adalah seorang guru besar pesantren di daerah Bagelan, Kedu. Kyai Hanggamaya dimata masyarakat Kedu, disamping dikenal sebagai ulama, beliau juga diyakini sebagai seorang Waliyullah yang memiliki kemampuan linuwih baik dalam bidang spirituil keilmuan tentang Islam maupun supranatural karomah . . Sesuai tradisi yang ada di lingkungan kraton, setelah berusia 7-8 tahun anak dikirim kepondok-pondok pesantren. Sistem pendidikan itu hanya diperoleh puta- putri raja atau kawula dalem yang mampu, para keluarga sentana dalem dan abdi dalem. Pondok-pondok pesantren yang terkenal pada waktu itu antara lain, Pondok Tegalsari Ponorogo, Pondok Banjarsari Madiun, dan Pondok Pesantren Bagelan , Kedu Mulyanto, dkk 1990. Yasadipura I merupakan alumnus pondok pesantren asuhan Kyai Hanggamaya dimana pada usia 8 tahun Yasadipura I menjadi murid di pondok tersebut. Selama mengeyam pendidikan di Pesantren Kedu, banyak transfer ilmu yang ia peroleh dari Kyai Hanggamaya. Oleh Kyai Hanggamaya diberi pelajaran membaca dan menulis huruf Jawa dan Arab, pelajaran agam Islam, paramasastra dan kesusastraan Jawa, kesusilaan, ilmu pengetahuan, kesaktian ilmu kedotan, tata cara menyembah Allah, tata cara bersemedi serta ajaran kepribadian. Suasana kehidupan dalam pesantren Kedu yang syarat nilai-nilai luhur agama Islam nampak berpengaruh besar bagi kepribadian dan alam pikiran Yasadipura I. Karya-karya Yasadipura I seperti Serat Ambiya, Serat Menak, dan Serat Dewa Ruci di sana dijumpai istilah-istilah dan ajaran-ajaran yang berasal dari konsep tasawuf Islam. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 2. Pengaruh Tasawuf Islam dan Tradisi Kejawen Ajaran Islam menyentuh aneka macam atau semua aspek kehidupan manusia, maka perwujudan sistem Islam itu juga mempunyai beberapa aspek atau dapat dikelompokkan kedalam beberapa aspek. Dapat disebutkan bahwa diantara perwujudan agama itu adalah kepercayaan, ritus, aatau upacara, mitos dan simbol. Santri yang belajar Islam sejak kecil merasakan ada yang namanya, Fiqih, Akhlak dan Tarikh. Itu semua adalah perwujudan apa yang dinamakan Islam. Diantara aspek Islam itu atau diantara perwujudan Islam yang sekiranya dekat dengan aliran kebatiinan adalah tasawuf Romdon, 1993: 182-183. Ada banyak defiisi tentang tasawuf, yang jelas istilah ini adalah istilah baru dalam Islam, artinya tidak ada dalam Al-Qur’an atau Hadist. Tasawuf menunjukkan keragaman keagamaan seseorang muslim, baik yang lahiriah maupun batiniah, artinya yang berkaitan dengan keimanan atau perasaan yang berdasar pengalaman keagamnaannya. Keadaan kegaamaanya dinamakan tasawuf dan orangnya dinamakan sufi atau Mutashawuf . Ada yang menamankan tasawuf sebagai kebatinan Islam, barang kali karena diantara sifat tasawuf adalah menekankan soal kebatinan Romdon, 1993: 7. Orang-orang yang menganut ajaran tasawuf di Indonesia khususnya di Jawa, biasanya menjadi anggota gerakan-gerakan mistik yang disebut tarekat, dibawah pimpinan seorang guru mursyid yang disegani. Yang oleh penduduk sekitarnya disebut Kyai. Tarekat merupakan gerakan-gerakan yang berorientasi kerohanian, yang beranggotakan orang-orang santri. Gerakan-gerakan seperti itu biasanya berpusat pada suatu pesantren tertentu, dan hampir serupa dengan gerakan-gerakan kerohanian kejawen Koentjaraningrat, 1984: 407. Semenjak Islam masuk dan menjadi bagian kehidupan di Jawa, muncul perbedaan-perbedaan praktek agama. Pada masa itu kehidupan agama terimbas oleh pemikir animistis dari apa yang dinamakan doktrin dan praktek Hindhu-Budha yang bergabung menjadi satu yang menawarkan lahan subur magis, mistisme, pengagungan jiwa-jiwa sakti, pemujaan arwah, dan penyembahan tempat-tempat keramat. Semua itu bertentangan secara mencolok dengan watak mistik dan corak perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user peribadatan Islam yang merambah pulau itu. Hasilnya berupa egalitarisme Islam. Bahwa agama nabi mampu mengokohkan diri dengan pesat di kawasan pantai Puau Jawa. Bergerak lebih jauh kepedalaman bentuk masyarakat yang lebih lama ada. Aritokratis dan hierakis mampu mempertahankan diri dan pada saat yang sama menerima unsur-unsur Islam. Seiring perjalanan waktu, perpaduan ini melahirkan peradaban Jawa Tengah, yang berpusat di istana raja-raja Surakarta dan Yogyakarta. Peradaban inilah yang secara umum memperoleh sebutan Kejawen Niels Mulder, 2001: 2. Jawanisasi atau kejawen, bukanlah suatu kategori religius. Namun ia lebih menunjuk kepada etika dan sebuah gaya hidup yang dilihami oleh pemkiran Jawa. Sehingga, ketika sebagian orang mengungkap kejawen mereka dalam prakek beragama, misalnya seperti dalam mistisme, maka pada hakekatnya hal itu adalah karakteristik yang secara kultural coondong pada kehidupan yang mengatasi keaneragaman religius Niels Mulder, 2001: 4. Sebagian dari sistem budaya agama, kejawen merupakan suatu tradisi yang diturunkan secara lisan, tetapi ada sebagan penting yang juga terdapat dalam kesusastraan yang dianggap sangat keramat dan bersifat moralis. Orang Jawa kejawen juga menganggap Al-Qur’an sebagai sumber utama dan segala pengetahuan yang ada. Namun seperti halnya semua penganut agama di seluruh dunia, orang awam beragama Agama Jawi agama orang Jawa dalam melakukan berbagai aktifias keagamaan sehari-hari, rata-rata dipengaruhi keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai budaya dan norma yang kebanyakan berada di dalam alam pikirannya Koentjaraningrat, 1984: 319. Akar tradisi Islam Kejawen ini sudah dapat ditemukan sejak zaman kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu kerajaan Demak. Sebagaiamana telah banyak diketahui bahwa salah satu eksponen penting bagi kemunculan dan perkembangan Kerajaan Demak adalah para tokoh yang dikenal dengan para wali. Mereka adalah para penyebar Agama Islam, yang beberapa orang diantaraanya berasal dari Timur Tengah. Dalam menyiarkan agama, para wali melakukan pendekatan struktural dan kultural. Secara struktural mereka melakukan peng- Islaman terhadap raja dan bangsawan istana, karena rakyat akan cenderung mengikuti agama raja yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user berkuasa. Sedangkan secara kultural, mereka berdakwah dengan menggunakan instrumet-instrumen kebudayaan Jawa Sejak awal kehidupannya, Yasadipura I telah memilik sikap spiritual tersendiri, Yasadipura I adalah seorang muslim, alumni Pondok Pesantren. Ia membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan membawa angin perubahan keyakianan dari Hindhu-Budha ke Islam. Anggapan bahwa raja adalah imam dan agama ageing ajilah yang turut menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja, di samping peran aktif para pujangga masa itu. Para penyebar Islam-para wali, guru-guru tarekat memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan hidup Yasadipura I sebelumnya yang bersifat mistik dapat sejalan,untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinannya. Spiritual Yasadipura I dengan warna tasawuf, berkembang juga karena, Yasadipura I sendiri beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf menekankan pada latihan spiritual, seperti zikir dan puasa. Dalam masyarakat yang semangat religius kuat inilah Yasadipura I dibesarkan. Sejak kecil, ia sudah diberi pelajaran agama Islam, dan sesudah dewasa ia dikirim ke pondok Pesanten Kedu untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam kepada Kyai Hanggamaya. Sejak kecil dia lebih mengutamakan tarikat agama Islam daripada syariatnya. Hal ini diperjelas karena Yasadipuara I masih gemar bertapa, bersemedi, berpuasa, seperti yang masih sering dilakukan oleh penganut agama Hindhu. Dari uraian di atas, sosok kepribadian Yasadipura I tidak bisa dilepaskan tradisi Hindhu-Jawa Kejawen dan budaya pesantren Islam. Hal ini tercermin dalam karya-karya sastranya yang bernuansa Islam-Jawa, sehingga sinkretisme kedua budaya itu menjadi harmoni yang menyatu dalam pemikirannya. 3. Sufisme Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci a. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I yang berhubungan dengan Syariat Syariat dalam bahasa Jawa disebut sarengat atau laku raga, sembah raga merupakan pijakan awal bagi seseorang untuk mempuh laku perjalanan menuju manusia sempurna, yaitu dengan mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segala hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia, orang yang menjalani syariat , di antaranya kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya dilaksanakaannya. Dalam pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasih- mengasihi, dan beramal saleh. Adapun pemikiran tasawuf Yasadipura I yang berkaitan dengan syariat sebagai berikut: Ibarat menuju puncak gunung, perjalanan panjang seorang sufi menuju tingkat makrifat harus melewati tangga demi tangga. Menurut Yasadipura I jalan menuju Tuhan dalam Serat Dewa Ruci ada empat anak tangga syariat, tarekat, hakikat, makrifat yang harus dilewati untuk sampai pada puncak pendakian. Bagi Yasadipura I empat anak tangga itu merupakan mata rantai yang sambung menyambung, saling terkait satu dengan yang lain dan perlu dilakukan setahap demi setahap. Dari keempat anak tangga tersebut syariat adalah pos pertama tempat dimulaninya pendakian. Dalam menyelami laku syariat , hampir dalam tradisi sufi para penempuh jalan ruhani harus dibimbing oleh seorang guru spiritual yang akan membawa pada puncak hakikat. Dalam Serat Dewa Ruci hal itu juga nampak pada usaha Bima untuk berguru pada Resi Druna. Dalam epos cerita kepahlawanan Mahabarata, Bima adalah salah seorang dari lima satria Pandawa. Pada ceritera wayang purwa, para satria pandawa digambarkan sebagai satria yang berbudi luhur cinta kebenaran dan setia pada keutamaan. Di lingkungan keluarga dan negerinya, Bima merupakan merupakan benteng pertahanan dan kesejahteraan negeri dan rakyatnya. Oleh karenanya disamping kekuatan tenaga dan kecerdasan berpikir sang Senapun bermodal bermacam ilmu kesaktian, yang semuanya cukuplah untuk membentengi keselamatan hidupnya di dunia fana dengan tentram sejahtera Siswoharsojo, 1966: 5. Dengan tugas dan modal sedemikian, betapakah suka duka yang dimiliki oleh Bima setiap saat sepanjang masa, hanya pribadi Bima yang menikmatinya. Namun demikian, karena perkembangan budaya yang timbul karena kedewasaan jiwa, pada suatu ketika datanglah rasa kecewa yang mengganggu Bima. Pangkal kekecewaannya, ialah karena ia belum memiliki Tirta Prawita air suci yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user dianggap sebagai sarana kesucian diri atau ilmu kesempurnaan hidupnya. Karena dorongan cita-citanya, maka ia berusahalah mencari guru yang dapat memberi petunjuk wejangan dimana letak Tirta Prawita . Tindakan Bima ini melambangkan para umat yang ingin melanjutkan ibadatnya ketingkat tarekat, disamping memenuhi ibadah syariat, tindakan pertama harus mendapat petunjuk wejangan dari Guru Tarekat. Istilah Guru Tarekat lazim pula disebut Guru Wasilah atau Guru Wasita Siswoharsojo, 1966: 7. Walaupun sang guru ini kadang-kadang ada juga yang menyesatkan, tetapi Bima menganggap bahwa guru ini jujur, maka sangat dipatuhinya sebab ia memegang kata ulama yang berbunyi: Tangan kekuasaan Allah itu mengendalikan mulut cendekiawan, tiadalah ia mengucap, kecuali kebenaran dari Allah Al-Ghazali, 1982: 32. Menurut Serat Wulangreh, keberadaan guru yang benar-benar arif dan berpengalaman di dalam menempuh perjalanan kehidupan kerohanian sangatlah penting. “ Nanging ta sabarang kaya, kang kinira dadi becik, pantes den telatenana lawas-lawas pinanggih, lan mantep jroning ati, ngimanken tudhuhing guru, aja uga bosenan, kalamun arsa utama, mapan ana dalile, kang wus kalakyan.” Pupuh Dhandanggula, pada 16 Mematuhi perintah guru tidak boleh bosan. Amalan selalu dilaksanakan atas perintah guru. Oleh sebab itu, keberadaan guru sangat penting. Masyrakat Jawa memberi tempat yang terhormat kepada guru. Zaman dahulu guru disebut juga pendeta, brahmana, ajar, resi, wiku dwija, begawan, dan Dhang Hyang . Guru dianggap pemimpin informal yang mempunyai pengaruh besar Karkono, 1998:20. Menurut Yasadipura I seorang guru yang baik diamanatkan dalam Serat Dewa Ruci dengan kriteria seorang pertapa yang berilmu sebagaimana kutipan berikut: “ Tepanira kongsi raga runting, wus mangkana dennya mrih kamuksan, datanpa tutur sirnane, kamatengen tanpa wus de pratikel ingkang lestari tapa iku minangka reragi pan amung, ilmu kang minangka ulam, tapa tanpa ilmu nora dadi, yen ilmu tanpa tapa” Pupuh Dhandanggula V, pada 66. Artinya: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user Tapanya sampai kurus kering, sudah demikian olehnya dapat kamuksan, tak tanpa tutur sirnanya, terlalu matang tanpa henti, oleh ajaran yang lestari, tapa itu sebagai, bumbu yang hanya, ilmu yang sebagai ulam, tapa tanpa ilmu tidak jadi, jika ilmu tanpa tapa. Kutipan di atas menunjukkan bahwa guru wajib dihormati, disembah karena gurulah yang menunujukkan hidup sempurna hingga akhir hayat, yang memberi petunjuk tentang kebaikan dan dialah yang dapat memberi nasehat sewaktu orang bersusah hati. Orang durhaka kepada guru adalah dosa yang besar. Oleh karena itu seseorang harus berbuat baik, mau mohon cinta kasih siang malam kepada guru Karkono, 1998:20. Segmen pertama dalam Serat Dewa Ruci menggambarkan perjalanan Bima untuk memasuki dunia akademi dalam satu “Universitas” yang Guru besarnya adalah Hyang Resi Drona. Kuliah yang diberikan mengarah kepada pencapaian hidup. Sang Bima Sena diwajibkan mencari tirta prarwita . Usaha Bima berguru kepada Druna tersurat dalam Serat Dewa Ruci pupuh Dhandhanggula I, pada2: “ Duk Werkudara pruruhita ring, Dhang Hyang Druna kinen angupaya , toya ingkang nucukake ,maring sariranipun, Werkudara manthuk wewarti, marang nagri Ngamarta, panggih kadang sepuh, Sira Prabu Yudhistira, kang para ri sadaya samya marengi, munggwing ngarsaning raka” Artinya: Ketika berguru pada, Dhang Hyang Druna disuruh mencari, air yang mensucikan, pada badannya, Werkudara pulang berkabar, kepada negeri Ngamarta, bertemu saudara tua, dialah Prabu Yudhistira, bersama para dinda sama mengiringi, dihadapan kakanda. Dalam Serat Dewa Ruci Tirta Prawita berarti tan kena pejah tidak dapat mati atau gesang langgeng hidup abadi. Sementara oarang berpendapat bahwa tirta pawirta bermakana air untuk mensucikan badan dan sukmanya. Baru setelah jiwa dan raganya bersih atau suci orang dapat menyadari sejatining urip hakekat hidup sebenarnya atau sangkan paraning dumadi asal dan tujuan hidup. Dibayangkan oleh Begawan Druna, bahwa barang siapa memilili tirta prawita itu akan mencapai tingkat hidup yang serba sempurna, hidup yang suci. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user Karenanya ilmu kebebasan jiwa akan jadi miliknya. Dalam hubungan ini dimaknakan sebagai lambang angan-angan atau budi yang menguasai perasaan AKU, yang dilambangkan dengan tokoh Bima Seno Sastroamidjojo, 1962:8- 9. Resi Drona memberi petunjuk, bahwa letak Tirta Prawita berada di Gunung Reksamuka. Menurut Resi Drona, jika Bima benar-benar ingin mensucikan hidupnya dengan Tirta Prawita , seyogyanya membongkar Gunung Reksamuka. Reksa berarti memelihara atau mengurusi. muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi perjuangan batin. Hal ini melambangkan: 1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dari segala tujuan pribadi ngicali relenging manah , mengeyahkan rasa keinginan akan segala sesuatu, yang sama artinya dengan sepi ing pamrih . 2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi. Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi . Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang ingin mendalami ilmu tarekat harus melakuan hal-hal yang berat, seberta membongkar sebuah gunung. Tokoh Bima dalam Serat Dewa Ruci diamanatkan bahwa sebagai murid ia demikian taat. Tanpa menghiraukan nasehat saudara-saudara, hanya teringat kepada janji dan kesanggupan kepada gurunya kode ksatriannya untuk mendaptkan Tirta Prawita , Bima segera pergi meninggalkan saudara-saudaranya. “ Saestu sumerep purwa wekasing jagad royo sungguh akan mengetahui mengetahui awal akhirnya alam semesta seisinya, yaitu apa yang dinamakan Sangkan Paraning Dumadi . Yen rering rangu bade mboten sumerep sarto dumugi telengingkawruh kasunyatan” apabiala bersikap ragu-ragu dan gundah, maka orang pasti tiidak akan dapat mengetahui dan sampai pada inti ilmu kesempurnaan hidup. Demikian kata yang Bima ketika minta diri dari keluarga Pendawa di Ngamarta. Kutipan di atas perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user mengisyaratkan bahwa dalam mendalami ilmu agama, seseorang harus berbaik sangka khusnudz dzan , tidak boleh ada ragu-ragu, tidak takut terhadap kesulitan serta mempunyai tekad yang bulat seperti apa yang dicontohkan Bima. Selain taat Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Amanat tentang ajaran untuk hormat kepada guru secara tersurat dan tersirat dalam Serat Dewa Ruci terdapat dalam setiap ucapan Bima kepada Dewa Ruci yang selalu mengiyakan segala perintah, tanpa pernah menolak atau membantahnya. Sebagai wujud rasa hormatnya kepada gurunya, Bima selalu bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua gurunya, Pendeta Durna dan Dewaruci, Bima selalu menggunakan ragam krama. Padahal sebelumnya Bima tidak pernah menggunakan ragam krama dalam berkomunikasi kepada siapapun, termasuk ibunya sendiri Dewi Kuntitalibrata. Diantara ucapan-ucapan Bima kepada Resi Drona yang menunjukkan penghormatan dan ketaatannya adalah: “ Arya Sena matur nembah inggih pundhi prenahe kang tirta pawira“ Bima menanyakan kepada Druna dimanakah letak Tirta Prawita Dalam ceritra Mahabarata, Adipati Karna juga mempunyai sifat dengan Bima, keduanya sama-sama kurang ajar pada orang yang lebih tua. Bima tidak mau berbahasa halus krama bahkan kepada ibunya sendiri ceritra Dewa Ruci tidak termasuk. Sedangakan Adipati Karna tidak mau tunduk pada para tetua Hastina bahkan sering kali bersikap kasar pada mertuanya sendiri. Kedua sama-sama punya alasan sendiri dan menyangkut prinsip mereka. Orang-orang Jawa punya istilah “benar tapi tidak benar”, tetapi kedua tokoh tersebut tidak memperdulikan kritika- krtikan seperti itu http:csu02.netarsip?p=2290, diunduh pada tanggal, 1 November 2010. Dalam Islam, bahwa ajaran untuk saling menghormati kepada sesama manusia dan terlebih kepada orang yang lebih tua, ataupun juga kepada guru, telah diajarkan oleh Nabi dengan sabdanya: “ laisa minna man lam yuwaqqir kabiirana wa lam yarkam shaghirana ” bukanlah termasuk golonganku orang yang tidak menghormati kepada yang lebih tua dan tidak mau menyayangi kepada yang lebih muda. Dalam surat al-Hujarat ayat 12 Allah berfirman: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user padanya, atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah selalu membuat perhitungan atas tiap-tiap sesuatu”. Laku Bima dalam tahap syariat tersebut adalah gambaran bagi manusia agar mempunyai rasa bakti, patuh dan setia kepada semua guru. Seorang siswa yang tidak berbakti, patuh dan setia kepada guru tidak akan bersinar di masyarakat. Gambaran tentang bakti kepada guru tersebut juga disuratkan dalam Bhagawad Gita IV.33 : tat widdhi pranipatena pariprasnena sewaya,upadeksyanti te jnanam jnaninas tattwa darsinah Belajarlah, bahwa dengan sujud bersembah, dengan bertanya dan dengan pelayanan orang bijak yang telah melihat kebenaran mengajarimu dalam ilmu pengetahuan. Namun ada juga yang menyebutkan bahwa ini merupakan peringatan bahwa dalam berbakti janganlah “membabi buta”. Siswa harus bisa berbakti secara cerdas dengan kemauan yang keras namun tetap didasari oleh hati yang ikhlas. Lebih-lebih dalam jaman seperti ini, banyak guru yang hanya mengaku-ngaku. Hal inilah yang kemudian menjadikan sebuah plesetan untuk guru, yaitu guru, yen digugu ngajak turu” guru kalau dituruti mengajak tidur. b. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I yang berkaitan dengan Tarekat Tarekat dalam bahasa Jawa laku budi, sembah cipta adalah tahap perjalanan menuju manusia sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini kesadaran hakikat tingkah laku dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan Mulder, 1983: 24. Amalan yang dilakukan pada tahap ini lebih banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan daripada hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Pada tingkatan ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan menyesali terhadap segala dosa yang dilakukan, melepaskan segala pekerjaan yang maksiat, dan bertobat. Kepada gurunya ia berserah diri sebagai mayat dan menyimpan ajarannya terhadap orang lain. Dalam melakukan shalat, tidak hanya salat wajib saja yang dilakukan. Ia menambah lebih banyak shalat sunat, lebih banyak berdoa, berdzikir, dan menetapkan ingatannya hanya kepada Tuhan. Dalam menjalankan puasa, tidak hanya puasa wajib yang dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi makan, lebih banyak berjaga malam, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam persepian, dan melakukan khalwat . Ia berpakaian sederhana dan hidup mengembara sebagai fakir. Adapun ajaran Serat Dewa Ruci yang berkaitan dengan Tarekat sebagai berikut: Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci digambarkan sebagai murid ia demikian taat. Kepercayaannya dan keyakinannya pada sang guru sedemikian kuatnya. Sehingga apa yang diperintahkan oleh sang guru itu yang akan dilakukan oleh Bima, hal ini adalah mutlak bagi seorang murid untuk dapat meningkatkan evolusi batinya Sebagai wujud ketaatan seorang murid kepada gurunya, Bima segera bergegas menuju gunung Reksamuka untuk mencari Tirta Prawita seperti yang diamanatkan Resi Drona. Perjalanan Bima menuju gunung Reksamuka tersurat dalam Serat Dewa Ruci Pupuh Dhandanggula I, pada, 6-7: “ Tan winarna kang kari prihatin, kawuwusa lampihira Sena, tanpa wadya among dhewe, mung braja, sindhung lesus, ambeber murang ing mardi, prahara munggwing ngarsa, gora reh gumuruh, kagyat miris padedesan, ingkang kambah, kaparanggul ndodok ajrih, andhepes nembah-nembah” . “ Kathah sesegah datan tinolih langkung prapteng adreng prapten Kurusetra, margi geng kambah lampahe, glising lampahireku, gapura geng munggul kaeksi, pucak mutyara muncar, saking doh ngenguwuh, lir gumebyaring baskara, kuneng wau kang maksih wonten ing margi, wuwusen ing Ngastina” . Artinya: Tak diceritakan yang tinggal sedih, dikatakan perjalanan Sena, tanpa kawan hanya sendirian, hanya angin lesus besar, mencegah kelancaran di jalan, prahara di depan, seru gemuruh, kaget cemas gemetaran, yang dilalui lewat duduk takut, merunduk Pupuh Dhandanggula I, pada, 6. Banyak kalangan tak dipandang, lebih semangat ke Kurusetra, jalan besar terlampaui, cepat perjalananya, gapura agung sudah tampak puncak mutiara memancar, dari jauh berkilauan, ibarat sinar matahari, demikian yang ada di jalan, diceritakan di Ngastina Pupuh Dhandanggula I, pada , 7. Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Bima. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Bima, tetap perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user saja mengamuk. Terjadi perkelahian, namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Raksasa itu sebenarnya sebuah kiasan simbolik. Rukmuka menggambarkan bentuk nafsu pancaindera yang cenderung membawa kesesatan manusia, sedangkan Rukmakala melambangkan alam pikirana manusia yang sering lepas kendali out of control sampai membahayakan dirinya atau orang lain. Inilah gambaran pembelajaran bahwa manusia untuk mencapai totalitasnya selalu menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan, dengan berbagi dimensinya. Sebagai lambang seseorang yang sedang melakukan samadi Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih. Terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut. Hal tersebut tersurat dalam Surat Az-Zumar ayat 61: “Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa berduka cita”. Sesudah dibunuh oleh Bima, kedua raksasa itu menjelma sebagai Batara Indra dan Batara Bayu. Karena keduanya telah ditolong dapat kembali berwujud Dewa. Bima diberi anugrah Sabuk Cindhe Wilis dengan bara kembar dan dapat dipakai dipaha kanan dan kiri. Artinya sudah menjadi kebiasaan bila seorang yang hendak mensucikan diri itu harus mau menutup mata dan telinga terhadap ejekan orang lain. Lama-kelamaan ejekan yang menjadi beban itu akan lenyap juga. Mereka yang mengejek akhirnya mengakui kebenarannya. Sedang hadiah sabuk bara dengan cindhe kembar melukiskan orang yang berpetualang mencari ilmu dengan tekad kuat laksana ikat pinggang cindhe. Bara di kanan menunjukkan perilaku yang harus melepaskan diri dari sifat keduniaan. Bara di kiri melambangkan sikap yang memegang teguh ajaran guru. Demikian pula gambaran kepribadian sang Bima, bertekad bulat, berdisiplin tanpa ragu-ragu, tidak kenal menyerah dengan jujur menuju langsung ke arah kebenaran, berdasarkan tugas dan kewajibannya dan tanggung jawabnya yang timbul atas keyakinan Pupuh Pangkur, pada, 21. Supaya cita-cita Bima tercapai, dua dewa menyuruh Bima kembali kepada Resi Drona untuk menanyakan tempat sesungguhnya Tirta Prawrta , sebab di gunung perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user Reksamuka tidak diketemukan. Bila menaati perintah guru, si murid akan semakin banyak pengalaman yang sebelumnya tidak pernah diketahuinya. Benar atau tidak, perintah guru kalau dilaksanakan akan tetap bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Diamanatkan dalam teks Serat Dewa Ruci pada pupuh II Pangkur bait 29-30, Bima kepada gurunya berserah diri sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali kepada Pendeta Durna dan air suci tidak didapat. Bima tidak komplen kepada sang guru, ia meyakini sang guru memiliki maksud lain yang belum dapat dimengerti olehnya. Bima tidak membiarkan kekecewaan membelenggu dirinya, dia meyakini ada maksud tersembunyi dibalik perintah-perintah sang guru. Bima menceritakan apa yang terjadi di gunung Reksamuka. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “ Sejatine tirta pawirta iku sari sarining banyu, ananrtani kahananing urip kabeh. Enggone hing telenging samudro, mrentandani banyune mowo alun . Artinya: Sebenarnya tirta pawirta inti sari essence dari pada air yang memungkinkan adanyadi dunia ini. Letaknya di dalam samudra yang sangat mengelombang itu. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”. Uraian di atas mengandung pengertian bahwa seseorang yang menjalani laku tarekat, akan semakin kuat keimananya, semakin besar pula godanya. Adapun tempat tirta prawita di dasar laut memberi makna bahwa untuk sampai pada tingkat makrifatullah memang sukar, jauh dan dalam . Ini berarti dia harus terjun dan menyelam dalam lautan. Ini berarti bahwa orang itu harus menyucikan sifat-sifat Allah sebagaimana tersurat dalam Asmaul Husna atau nama-nama yang mulia disisi Tuhan. Mendengar niat Bima pergi ke lautan, ibunya dan para Pandawa menangis dan berusaha mencegahnya, yang dijelaskan dalam Serat Dewa Ruci Pupuh Pangkur pada 34: “ Matur ing raka Ngamarta, kuneng Wrekudara lamapahire, wau ta ingkang winuwus, nagri Ngamarta, duk angkate Werkudara kasahipun, dene tan kena perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ingampah, kalakung samya prihatin” Berkata pada kakanda Ngamarta, demikian perjalanan Werkudara, begitulah diceritakan, di negeri Ngastina, saat Werkudhara berangkat pergi, tak dapat ditahan, sama sangat prihatin. Bagi seseorang yang sudah gandrung untuk marifatullah dia sudah dapat melepaskan dirinya dari hal yang paling dicintainya sekalipun misal keluarganya. Sebab hal itu juga merupakan godaan yang berwujud manusia disamping godaan yang berwujud benda. Hal tersebut juga tersurat dalam Al-Qur’an yaitu Allah berfirman: : “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi” QS Al Munafiquun 9. Bagi orang yang rindu pada marifatullah walaupun sudah mejauhkan diri dari gebyarnya duniawi namun masih ada godaan yaitu dari nafsunya sendiri. Malah kadang-kadang nafsu ini tetap terus menggodanya ketika berkhalwat. Nafsu-nafsu itu ialah: Lauwamah, Sufiah, Amarah dan Mutmainah . Walaupun pada dasarnya nafsu itu sendiri bukanlah sesuatu yang jelek yang harus diberantas, namun manusia harus selalu berusaha mengendalikan nafsu-nafsu itu agar tidak membawa kepada kesengsaraan. Jadi yang penting adalah kebiasaan. Bandingkan dengan Imam Al Ghazali ada yang berbunyi: Maka apabila nafsu itu biasanya merasa enak dan cenderung pada kebatilan dan kejahatan, mengapakah ia tidak merasa enak apabila pada suatu ketika ia kembalikan pada perbuatan yang benar dan tetap tinggal kepada kebenaran tersebut. Bahkan cenderung kepada perkara yang keji yang keluar dari tabiat yang aslinya Yang demikian itu adalah serupa dengan kecenderungan bagi sebagian orang. Adapun kecenderungan orang pada hikmah kebijaksanaan dan cinta kepada Allah. Mengetahui dan beribadat kepadaNya itu adalah kecenderungan orang untuk makan-minum.Karena hal itu cocok dengan tabiat hati. Maka sesungguhnya yang demikian itu sifat rabbaniyah Ketuhanan. Sedang kecenderungan kepada hal- hal yang bersifat kesenangan syahwat itu adalah asing bagi dzat kejiwaan dan bertentangan dengan tabiatnya. Adapun santapan jiwa qalbu adalah sifat kebijaksanaan Allah YME tetapi hal demikian itu dapat berpaling dan terlepas dari tabiat aslinya yang telah sesuai, disebabkan oleh sakit. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user Menurut Ki Darmonosunarso, peristiwa nyebur ing telenging samudro itu dimaknakan sebagai suatu perbuatan atau lambang perjuangan manusia melepaskan diri dari cengkraman hawa nafsu atau sifat angkara murka, baik yang berbentuk amarah maupun yang diliputi nafsu birahi. Kesemuanya itu pada dasarnya timbul melalui mata dan telinga. Dalam hubungan ini kedua raksasa Rukmaka dan Rukmakala tersebut melambangkan mata dan telinga. Setelah lepas dari cengkraman tersebut dapatlah kiranya orang memawas diri pribadi atau dapat ngelem purbaning Hyang Widhi insyaf akan diri pribadinya. Dengan jalan demikian ia dapat melepaskan, mengingkari nyirep hawa nafsu yang bersifat angkara murka. Dalam artian dapat mengendalikan, menahan meluapnya panggoda rintangan yang melalui panca indera kita. Dengan terkendalinya hawa nafsu birahinya yang berlebihan godaan seksual khusunyaa hawa nafsu lainnya yang melalui panca indera kita umumnya dengan jalan bersemadi, maka orang yang bersangkutan dapat mencapai suatu tingkatan kehidupan luhur menuju kearah kesempurnaan jumbuhing kawula gusti . Dalam ajaran Islam peristiwa menceburkan diri dalam samudra diibaratkan dengan mengambil air wudhu sebelum sembayang manembah marang Tuhan . Jika sudah sampai taraf ini yang penting bukanlah tekad lagi, sebab hal itu sudah lewat, tetapi harus ingat terhadap cita-cita semula. Walaupun pada taraf ini tak ada godaan lagi, namun apabila ingatannya tidak teguh tidak akan berhasil dan segala-galanya dicurahkan untuk ibadat dan pasrah kepada Allah maka Allah sendiri yang akan menentukannya. Jika sudah sampai taraf ini maka orang itu sudah sampai pada tauhid yang sebenarnya. Dengan kata lain : Ngelem ing samodra urip atau Mati dalam Hidup atauAntal maotuu qoblal maotu. Walaupun demikian oleh karena sifat kekuatan manusia tidak sama, maka bagi mereka yang pengabdiannya sederhana dalam arti bahwa masih juga mementingkan keduaniaan di samping ibadatnya, maka apabila ibadat itu dengan sungguh-sungguh akhirnya akan sampai juga tauhid. Hanya dengan jalan demikian ia akhirnya dapat menyingkap selubung hidup yang penuh rahasia mijak warono , yaitu mencapai kesadaran, keinsafan yang sejati jumbuhing kawula- gusti . perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user Pentingnya ibadat ini disebut dalam Al- Quran QS : Al Ahzab : 35 “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mumin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-lakidan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” . Dalam Pupuh Durma IV, pada 2-3, diceritakan ketika Bima hanyut dalam telenging samudra , bukannya tirta pawirta yang dijumpai, melainkan seekor ular besar yang bernama Nemburnawa. Ular tesebut langsung menyerang sosok kecil dihadapannya dan menggigit betis adik Yudhistira itu. Belum cukup dengan itu, diraihnya badan Werkudara untuk dibelit dengan maksud menghancurkan raga manusia yang menjadi mangsanya. Namun badan Werkudara tidak ikut hancur karena tekadnya tidak lantas luntur. Semangatnya untuk mengabdi kepada guru begitu kuat mengalahkan rasa sakit serta rasa lelah yang sangat. Dikerahkan segala upaya, dikumpulkan seluruh tenaga untuk melepas himpitan naga. Kemudian Bima melesat menuju leher sang naga untuk ditikam dengan kuku Pancanaka. Naga secara hakikat menggambarkan utusan Tuhan berwujud Malaikat yang akan menolong orang tersebut walaupun karena tidak tahunya dianggap sesuatu yang akan merugikan. Akan menolong artinya agar supaya nasib kesengsaraannya itu tidak terlalu lama. Bima membunuh ular menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan , dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat sifat sebagai berikut: 1. Rila : dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain. 2. Legaw a : harus selalu bersikap baik dan benar. 3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar. 4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran. 6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatann jahat. 7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan- kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu. 8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak. 9. Wilujengan: menjaga kesehatan, kalau sakit diobati. 10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar. 11. Samadi. 12. Ngurang-ngurangi : dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah. Menurut Franz Magnis Suseno 1996 menjelaskan bahwa Bima dalam hal ini telah melepaskan segala-galanya untuk memperoleh air hidup. Begitu bersatu terhadap sehingga dia berani mati. Dalam hal ini Bima adalah lambang manusia yang bertapa dan bersamadi untuk mengalahkan nafsu-nafsu rendah dan memurnikan tekad batinnya. Ikut matinya Bima bersama Nemburnawa ini menandakan bahwa Bima mengalami mati sajroning ngaurip demi harapan urip sajroning mati. Dalam hal ini, yang mengalami kematian hanyalah raga. Sedang jiwa atau sukma yang menghidupi raga, selama hayat dikandung badan tidak mengalami kematian, tetapi kembali kepada asal, yaitu Yang Maha Pencipta semesta alam, Sang Akartaning Bawana. Perjalanan ruh Bima inilah yang mensiratkan pembelajaran hidup. Menurut Purwadi, perjalanan ini mirip dengan proses terjadinya Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW Purwadi, 2002: 71. Hanya bedanya oleh karena beliau Rasul, maka ketika akan marifatullah tanpa lebih dahulu banyak riyadhoh , menjalankan adab dan laku perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user khusus agar tercapai tujuannya seperti yang dilakukan oleh Arya Sena sebagai orang biasa.Usai terjadi pertarungan antara Bima dan Nemburnawa. Werkudara begitu lelah. Sudah hilang kesadarannya. Serasa jiwa melayang, tidak ingat apakah masih hidup atau sudah tiada. Dalam hal ini Bima berpasrah diri akan mati dan hidupnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dari uraian dia atas diatas menjelaskan bahwa sikap sabar dan berpasrah diri secara total merupakan ajaran penting yang harus dijalankan oleh seseorang yang ingin mendapatkan sesuatu yang diharapkan. Dalam Islam, berlaku sabar merupakan prasasat bagi seseorang untuk memperoleh kebahagiaan, kesenangan serta keberuntungan. Sabar dalam wujudnya menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya,dan juga sabar dalam menerima cobaan yang ditimpakan oleh-Nya serta sabar dalam menunggu pertolongan diri-Nya. Perintah untuk bersabar ini disebutkan dalam Al-Qur’an surat al-Ashr ayat 1-3 dia atas. Pada ayat yang lain Allah berfirman : “ Hai orang-orang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. Sedangkan dasar-dasar berpasrah diri secara total dalam Islam , dapat diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, itu terlihat ketika beliau berkhalwat di Gua Hira’ untuk menjauhkan diri dari kehidupan duniawi uzlah dan ingin menyucikan hati dari perbuatan dosa serta ingin dekat Tuhannya. Dalam Islam printah untuk berpasrah diri secara total, beribadat serta menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa tersurat terdapat dalam firman Allah yang berbunyi : “Sesungguhnya sembayangku, ibadatku hidupku dan mati ku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam Tidak sekutu baginya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah yang pertama-tama menyerahkan diri” kepada Allah Q.S al-An’am ayat 162-163. Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, perjalanan yang ditempuh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah sugguh sangat panjang dan sulit dilalui. Namun bila dilakukan dengan tabah, tekun, sabar serta tawakal , maka perjalanan itu akan sampai pada tujuan bahkan akan sampai pada ”pamongnya”. Yang pada ujung perjalanannya nanti seorang sufi akan dapat bertemu dengan yang ”merawat dirinya” . c. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I yang berkaitan dengan Hakikat. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user Hakikat Jawa laku manah, sembah jiwa adalah tahap perjalanan yang sempurna puputing laku . Berbeda dengan dua tahap sebelumnya, dalam hal bersuci tidak seperti pada tahap syariat yakni dengan wudhu atau mandi, tidak juga seperti pada tahap tarekat yang caranya dengan menundukkan hawa nafsu. Dalam Tahap hakikat, cara bersucinya dengan awas emut selalu waspada dan dengan shalat, berdoa, berdikir, atau menyebut nama Tuhan secara terus-menerus Zahri, 1984:88. Ditinjau dari segi perjalanan suluk, hakikat ini merupakan tingkat akhir perjalanan. Pada tahap ini amalan yang dilakukan pada tahap ini semata-mata menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Hidupnya yang lahir ditinggalkan dan melaksanakan hidupnya yang batin Mulder, 1983:24. Dengan cara demikian maka tirai yang merintangi hamba dengan Tuhan akan tersingkap. Tirai yang memisahkan hamba dengan Tuhan adalah hawa nafsu kebendaan. Setelah tirai tersingkap, hamba akan merasakan bahwa diri hamba dan alam itu tidak ada, yang ada hanyalah “Yang Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan dan Yang Akhir tidak berkesudahan. Dalam keadaan demikian, hamba menjadi betul-betul dekat dengan Tuhan. Hamba dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya. Rohani mencapai kesempurnaan. Jasmani takluk kepada rohani. Karena jasmani takluk kepada rohani maka tidak ada rasa sakit, tidak ada susah, tidak ada miskin, dan juga maut tidak ada. Nyaman sakit, senang susah, kaya miskin, semua ini merupakan wujud ciptaan Tuhan yang berasal dari Tuhan. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mendaku saja. Maut merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil kepada kebebasan yang luas, mencari Tuhan, kekasihnya. Mati atau maut adalah alamat cinta yang sejati Aceh, 1987:67. Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup dan hidup dalam kematian. Saat tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam suasana yang terang benderng gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti ini muncul Nyala Sejati atau Nur Ilahi Mulyono, 1978:126. Adapun bagian Serat Dewa Ruci yang berkaitan dengan tahap hakikat sebagai berikut: Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat dirinya. Penglihatan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama ini ke dalam Dewa Ruci. Menurut Frans Magnis Suseno bahwa puncak kisah Dewa Ruci ialah ketika Bima bertemu dengan wujudnya sendiri, penjelmaan yang Maha Kuasa. Bima menemukan apa yang di carinya sebagai air hidup, sangkan paran , asal usul dirinya dijelaskannya suatu pengertian dari dunia wayang itu untuk memahami serbagai realitas usaha, manusia dalam mencapai persekutuan dengan Yang Ilahi, sampai pada masalah kekuasaan Haryanto, 1992: 124. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam sebuah tembang Maskumambang sebagai berikut : “ Dewa bajang peparap sang dewa Ruci, Sang Sena angus..wa, Pawongan sakawit swawu, Sang Hyang Ruci….i..Baskara” . Dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima miniatur Bima waktu muda itu adalah Dewaruci, penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri Magnis-Suseno, 1984:115. Bima tidak menyadari bahwa dirinya sudah berbentuk sukma. Bima duduk bersimpuh ketika berhadapan dengan Dewa Ruci. Bima mengatakan bahwa dirinya hendak mencari tirta prawirta sari . Kemudian Bima disuruh masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Semula Bima menganggap remeh Dewa Ruci, karena Dewa Ruci kecil tubuhnya. Bima bingung untuk masuk. Lalu di beri petunjuk utuk masuk lewat telinga kiri. Dalam Serat Dewa Ruci, Tuhan dilambangkan sebagai makhluk yang sangat kecil sekaligus sangat besar. Karena Ia kecil maka Ia dapat melihat seluruh semesta dengan terang benderang dalam warna-warninya. Karena Ia besar, maka Ia adalah muara dari segala sesuatu, seperti samudra yang menjadi muara dari segala aliran sungai, seperti angkasa tempat bertabur segala planet dan bintang Koentjaraningrat,1984: 324. Dalam pandangan ini Tuhan dianggap sebagai yang terbesar, tak terbatas, dan sebagai seluruh alam semesta, dan sekaligus kecil sehingga dapat dimiliki oleh seseorang. Menurut Ysadipura I, walaupun kecil, Dewaruci sekaligus yang maha Besar. Dewaruci adalah sosok yang menampung segala isi alam semesta. Dewaruci bertanya pada Bima Sena: “ gedhe endi sira lawan jagad kabeh iki saisine kalawan gunungipun perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user samodrane alase sami tan sesak lumebua guwa garbaningsun” Pupuh Dhandanggula pada 2. Artinya: Mana yang lebih besar, kamu atau dunia seluruhnya dengan semua isinya termasuk gunung, samudera, dan hutan sekalipun. Dunia seisinya ini tidak akan sesak, apabila masuk dalam gua garbaku” Adhikara, 1984: 18. Bima masuk dalam badan Dewa Ruci melalu telinga kiri. Menurut hadist, diantaranya Al-Buchari, telinga mengandung unsur Ketuhanan. Bisikan ilahi, wahyu, dan ilham pada umumnya diterima melalui telinga kanan. Dari telinga ini terus ke hati sanubari. Secara filosofis dalam masyarakat Jawa “kiri” berarti buruk, jelek, jahat, tidak jujur dan “kanan” berarti baik dalam arti luas. Masuk melalui telinga kiri berarti bahwa sebelum mencapai kesempurnaan Bima hatinya belum bersih Sastroamidjojo, 1967:45-46. Peristiwa masuknya Bima ke dalam badan Dewa Ruci melambangkan bahwa Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya sendiri. Dengan memandang Tuhannya di dalam kehidupan kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan. Pencitraan Dewa Ruci sebagai kembaran Bima memperlihatkan bahwa dalam psikologi sufi dan mistik Jawa dikenal dua jenis diri self yaitu diri jasmani, yang direpresentasikan oleh Bima dan diri ruhani higher self yang direpresentasikan oleh Dewa Ruci Happold, 1981: 58-610. Menurut Puersen 1976 : 68 , proses perjalanan batin untuk menemukan identitas dirinya menamakan proses ini sebagai identifikasi diri, sedangakan menurut Frans Dahler dan Julius Chandra menyebutnya dengan proses individuasi. Proses pencarian jati diri ini sesuai dengan hadist nabi: man arafa qalbahu faqad, arafa nafsahu, wa man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu barang siapa mengenal dirinya, dan barang siap telah mengenal dirinya sungguh ia telah mengenal Tuhannya. Menurut Yasadipura I sebagaimana tersurat dalam Serat Dewa Ruci bahwa Tuhan dapat dikenali melalui jati diri, hati atau aspek batiniah weruh sangkan paraning dumadi . Dengan kata lain bahwa kesempuranaan hidup dapat ditemukan pada diri sendiri setelah mampu mengalahkan hawa nafsu dengan prihatin, mengekang diri, pengenalan diri, keuletan dan keteguhan hati serta disiplin yang kuat. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user Haryanto, 1992: 126-127. Pengenalan diri lewat simbol yang demikian secara filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat. Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa dirinya tidak melihat apa-apa. Pada tahap ini Bima seolah-olah berada di alam baru, bingung ibarat bayi yang baru lahir. Yang ia lihat hanyalah alam suwong kekosongan pandangan yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang awang uwung tidak bertepi. Hal ini memperlambangkan hilangnya suatu keadaan yang dalam ajaran Islam dinamakan makrifating makrifat . Didalam filsafat kejawen hening, hening hawas dan heling ataupun secara singkat neng, ning, nong. Istilah awang uwung dalam Serat Dewa Ruci adalah suatu tingkat dimana perjalanan sukma menyaksikan awang kekosongan yang tak terbatas dan berarah sebelum menyaksikan urutan cahaya dan akhirnya mencapai hadirat Tuhan. Kata kekosongan secara khusus mengacu pada suatu tempat dalam tahapan penghayatan batin untuk mencapai kesempurnaan manusia. Dalam tradisi tasawuf mengenal keharusan untuk mengosongkan diri dari berbagai keinginan duniawi nafsu amarah yang memungkinkan laku perjalanan ruhani terhambat Kekosongan pada saatnya akan penuh cahaya ilahi nafsu mutmainah Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Allah semata. Segalanya telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak. Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan Simuh, 1983:312. Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah terhimpun menjadi satu, manunggal Daudy, 1983:188. Zat Tuhan telah berada pada diri hambabnya Simuh, 1983:311, Bima telah sampai pada tataran hakikat. Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia sangat bingung, tiba-tiba ia melihat dengan jelas . Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari. Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima secara filosofis telah sampai pada tataran hakikat. Bima setelah mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia melihat berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah: pancamaya , sinar tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya seperti itu secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah sampai pada tataran hakikat . Serat Dewa Ruci dalam pupuh Dhandhanggula V, padha 1-8 menyebutkan Bima melihat pancamaya. Pancamaya dalam serat Dewa Ruci disebutkan diinterprestasikan sebagai bayangan yang diperoleh lantaran panca indera dan disimpan dalam ketidaksadaran hati. Pada saat panca indera menanggapi segala sesutu dari alam sekelilingnya , ia didorong oleh nafsu. Makrokosmos adalah alam semesta seisinya yang dapat ditanggapi oleh panca indera manusia, kemudian disimpan dalam ketidaksadaran sebagai pancamaya. Dengan demikian isi alam semesta terdapt pada diri manusia, sekalipun hanya sebagai bayangan maya Haryanto, 19992: 169. Oleh Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan merenungkan cahaya itu dalam hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya. Hal-hal yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu: merah, hitam, dan kuning. Dalam Serat Dewa Ruci pupuh dhandangula V, pada 10-13, diceritakan Bima melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Menurut Serat Dewa Ruci, isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama. Ketiga warna yang pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa menuju keselamatan, musuhnya dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan selamat, bisa manunggal, akan bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu, perangai terhadap masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui. Keempat warna tersebut digambarkan dalam Serat Dewa Ruci: “ Sing ireng luwih prakoso, pagaweane kasrengen sabarang runtik anandadra ngambara ambra, kang abang iku iya tuduh nepsu tan becik sakehing peperingan metu saking iku, dene perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user sing arupa kuning pagaweanr nanggulang sabarang cipta kang becik dadine panggawe amrih tulus . Artinya: Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, yang merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini, yang kuning pekerjaanya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan. Empat nafsu yang disebutkan di atas adalah nafsu yang berasal dari mata, hidung, telinga dan mulut. Nafsu lawwamah timbul dari mulut atau lidah, nafsu ammarah timbul dari telinga, nafsu sufiah timbul dari mata, dan nafsu mutmainnah timbul timbul dari hidung. Tiga hal yang harus dikendalikan adalah nafsu sufiah, amarah, lawwamah . Nafsu mutmainah tempatnya di hati, oleh sebab itu manusia apabila hatinya telah tergoyahkan, maka tidak biasa mengelak, pasti mendapat celaka. Segala yang berangkat dari nafsu akan menghasilkan sesuatu yang dapat mencelakakan dirinya, tetapi apabila berangkat dari hati nurani maka akan terbimbinglah hidupnya. Seluruh uraian yang terkandung dii dalanya pada hakikatnya menunjukkan cara menuju kemanunggalan diri sendiri dengan Tuhan http:www.jawapalace.orgresidriya.htm, diunduh pada tanggal: 1 November 2010. Keempat warna hitam, merah, kuning, atau hijau, dan putih itu diperlambangkan dalam gambaran kain kampuh banbintulu yang dipakai oleh Bima, warna kain kampuh banbintulu itu ialah lambang berkumpulnya sederek gangsal manunggil baju , tegasnya lima orang saudara sekekuatan yaitu bernilai sama akan kepribadiannya, kekuatannya, dan sebagainya. Lima saudara itu melambangkan watak tiap orang masing-masing. Empat diantaranya melambangkan bagian watak yang terkenal sebagai: a. Lauwamah sifat angkara murka b. Amarah brangasan, lekas naik darah, lekas marah, dan sebagainya c. Supiyah baik hati, baik budi d. Mutmainah murni, jujur e. Mojang , yang memberi petunjuk kearah tujuan yang baik. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user Melihat uraian diatas , bisa disimpulkan bahwa anasir dalam diri manusia ibarat 3 lawan 1 tiga anasir kejahatan vs satu anasir kebaikan, hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Hanya orang-orang pilihan saja yang bisa memenangkan pertarungan dahsyat itu Wawan Susetya, 2007:10. Menurut Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci pupuh Dandhanggula VIII: 8, jika bisa mengatasi yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya tak perlu lagi pembimbing dan sempurna hidupnya. Dengan kata lain apabila seseorang sanggung melepaskan diri dari ikatan hawa nafsu dan kebendaan hijab atau dinding pemisah antara manusia dan Tuhan mulai tersingkap Dhanu Priyo Prabowo, 2003: 129. Al-Qur’an juga merumuskan sifat-sifat buruk manusia dan mengingatkan agar menghindari sifat-sifat tersebut, untuk menjadi manusia kamil yang memiliki keseimbangan. Diantara sifat-sifat tersebut adalah: lemah dalam surat an- Nisa: 28, berkeluh kesah dalam surat al-Ma’arij: 19, ingkar dan dhalim dalam surat Ibrahim: 18-19, khianat, bakhil, pemarah menguncilkan diri dari pergaulan, dengki, cinta pada dunia secara berlebihan, dusta, sombong, meremehkan, orang laian, takabur, penakut dan ingkar Purwadi, 2002: 148. Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya melihat urub siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Cahaya tunggal yang berwarna delapan itu ialah lambang kesatuan yang wajar essence of unity Atas pertanyaan sang Bima, diterangkan oleh Sang Dewa Ruci bahwa nyala tunggal itu berati jiwa yang hidup atau menyala-nyala. Cahaya yang mengandung delapan warna cahaya itu menggambarkan menyalanya darah yang diproyeksikan keluar terlihat oleh orang lain sekilas dengan hubungan antara bunga dan baunya. Rupa itu bernilai nyala . Nyala ialah mempunya nilai sama dengan hidup. Selanjutnya warna berarti air. Jika dibalikkan, maka teranglah , bahwa air dalam hubungan ini berarti air hidup yang dicari Bima itu. Sena: “ Ingkang kadya peputran gadhing cahya mancur kumilat tumeja ngengguwung punapa inggih punika warnaning dzat kang silih dipun ulati kang sayektiing rupa” Pupuh Dhandanggula, pada 18. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user Artinya: Apa nama cahaya delapan warni ini, merupakan hakekat sejati ,tampak seolah permata gemerlap, kadang seperti bayangan, mempesona, kadang pancaran sinarnya bagaikan zamrud. Dewa Ruci: “ Dhudu iki kang siro sedia, kang mumpuni siro jagad kabeh tan keno siro dhulu. tanpa rupa tanpa warni. ta gatra tan satmoto. dhumunung aneng kang awas. mung sasmito kang angebaki jagad. dhinumuk dhatan keno” . Artinya: itulah bukan tujuanmu, tak boleh dijadikan tujuanmu, yang menguasai semesta alam tak mungkin kamu lihat dengan mata kepala kamu sendiri. tanpa rupa tanpa warna, tak berbentuk atau terlihat, berada pada barang siapa yang awas dan waspada telah insyaf. Alam semesta hanya dengan tanda-tanda atau lambangnya saja yang tak dapat tersentuh. Menurut Yasadipura I berkaitan dengan ungkapan tan keno kinoyo ngopo dalam hal ini, wujud Tuhan tidak dapat digambarkan seperti apapun juga, hal ini disebabkan oleh manusia terikat oleh badan jasmaninya sehingga manusia hanya dapat mengerti Tuhan dalam simbol Driyarkara, 1980:40. Oleh karena itu konsepsi tentang Tuhan dituangkan dalam bentuk simbol yang khas. Dalam serat Dewa Ruci tercermin konsep kesatuan wujud Soebardi, 1975. Kata wujud biasa diterjemahkan kedalam bahas inggris being atau existence Waston, 1997:67. Istilah wujud memujukkan realitas yang merupakan puncak dari semua yang ada Supadjar, 1990. Wujud atau yang ada adalah suatu badan rohani yang dihidupkan oleh kehidupan Illahi. Wujud dalam Serat Dewa Ruci adalah syuhud atau menyaksikan. Wujud dan syuhud keduanya adalah tajjali , penampakan diri Tuhan Waston, 1997: 67. Hakikat Tuhan dalam Serat Dewa Ruci disebut Hyang Suksma atau jiwa semesta yang bersifat spiritual. Menurut Yasadipura I Hyang Suksma adalah wujud ketuhanan yang tidak berbentuk, tak nampak, dan hanya ditemukan oleh orang yang berhati suci dan waspada Waston, 1997: 73. Hyang Suksma adalah wujud tertinggi dari segala yang ada. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user Bima dalam badan Dewaruci di samping melihat pancamaya , empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, ia melihat benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Adapun boneka gading itu melambangkan Pramana yang disebutkan dalam Serat Dewa Ruci disebutkan dalam pupuh Dhandanggula V, pada 20 : “ Dene iku kang sira tingali, kang asawang peputran matyarai ingkang kumilat cahyane angkara murub pan P ramana arane nenggih sedang yang kamu lihat, yang memandang anakan mutiara, yang berkilat cahaya, angkara murka menyala, sungguh pramana itu namanya. Pramana sebagai penampakan dari Hyang Suksma bertempat tinggal dalamt tubuh manusia Soebardi: 1975. Pramana dalam kenyataannya adalah pernyataan diri dari hakikat Tuhan Zoetmulder, 1985: 210. Pramana adalah manifestasi dari Hyang Suksma yang ada karena Dzat sendiri dalam etentitas Wujudnya mustahil dari tiada. Hyang Suksma mewujudkan segala sesuatu. Dia adalah wujud absolut atau al wujud atau yang tertinggi Waston, 1997: 75. Konsep pramana dalam Serat Dewa Ruci, tidak tidur, tidak makan dan tidak merasakan segala macam rasa. Kalau badan sakit, pramana tidak merasakan sakit, tidak merasakan suka dan duka. Apabila badan berpisah dari pramana, akan menjadi lesu tidak berdaya pengaruh sedih dan gembira. Soejonorejo menjelaskan konsep pramana dalam Serat Jatimurti sebagai berikut: “ Ana dene ayang-ayangan mau katon ana ing sifat kang langgeng kang luwih dening bening lan trawaca, kang kena kanggep pangiloning kajaten, yaiku asale sakahe rasa anyar utawa wiwitan cipta lan rasa. Pangilon kajaten mau karan pramana. Dadi pramana iku angilon sejati, kang kanggo nonton ayang- ayange rasa jati. Pramono kanggo ing kahanan jati gunane nyataake rasa samining makhluk maya utawa rasa anyar kang molah-malih. Kahanan jati iku Dzat kang asipat pramana mau” Artinya: Ada satu bayangan yang sifatnya abadi, yang lebih daripada bening dan terang, yang dapat disebut cermin “kejaten” yaitu berasal dari berbagai unsure rasa atau cabang cipta rasa. Cermin kejaten itu bernama pramana. Jadi pramana merupakan cermin sejati yang dipakai untuk melihat bayangan rasa jati. Pramana dipahami dalam kenyataan sejati untuk membuktikan perasaan makhluk atau perasaan yang tidak menentu. Kenyataan sejati tersebut yang bersifat Pramana Budi Yuwono, 1993:53-54. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user Dalam falsafah India, kata-kata pramana digunakan secara intensif oleh para filosof Nyaya dan Vaiseshika dan lazim diartikan sebagai metode, kaedah, pedoman atau cara-cara mencapai ilmu pengetahuan, bukan seseorang atau sesuatu yang memiliki metode atau ilmu. Istilah Sanskrit lain yang mirip dengan kata-kata pramana , ialah prana, yang lazim digunakan oleh para filosof Yoga seperti Patanjali untuk menyebut energi atau daya hidup dalam tubuh manusia yang memiliki sifat ilahiyah. Sangat mungkin istilah pramana yang digunakan filosof Nyaya dan Vaishesika berubah arti di tangan para mistikus Jawa, atau sangat mungkin pula bahwa kata-kata itu memiliki kaitan dengan istilah prana. Atau mungkin pula para pengarang Jawa termasuk Yasadipura I sengaja menggabungkan pengertian dari dua istilah ini dalam upayanya menarjemahkan gagasan Imam al-Ghazali tentang kalbu sebagai substansi halus dalam tubuh yang bersifat ilahiyah dan memancarkan sinar gemerlapan. Simbol pramana juga dapat dikaitkan dengan konsep Nur Muhammad dalam tasawuf, yang digambarkan sebagai cahaya berkilauan. Dalam Dewa Ruci substansi halus ini juga dilukiskan sebagai cahaya gemerlapan. Yasadipura I kemudian menghubungkan pula simbol cahaya ini dengan konsep mukasyifat , yaitu sang pemberi kehidupan. Arti mukasyifat ialah dia yang memberikan kasyf penglihatan batin yang terang, illuminasi yang tidak lain adalah Tuhan. Wakilnya dalam tubuh manusia ialah pramana , yang juga diartikan sebagai substansi yang memberi kehidupan pada tubuh. Dewa Ruci adalah hakikat pribadi seseorang yang mampu menyatu dengan iradat Tuhan. Kesatuan Bima dengan Dewa Ruci dapat diartikan sebagai dzat manusia dengan iradat-Nya, setelah manusia mampu mengalahka nafsu-nafsunya Yuwono, 1993: 63. Pramana menunjukkan pengertian akan denyut jantung. Jadi selama denyut jantung masih berdenyut, selam itu raga manusia masih hidup. Sedang yang menghidup pramana adalah suksma sejati yang dapat merasakan adanya sifat- sifat Ketuhanan Yang Maha Esa pada raga dan jiwa manusia. Bilamana raga manusia mati, pramana pun ikut mati. Akan tetapi, suksma sejati hidup terus dalam alam yang tidak terbatas waktunya Haryono, 1990: 369. Martabat kelima termasuk alam perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user uluhiah atau keilahian yang ada tawon guwana atau lebah yang sedang menggema, yang berda dalam mega fana. Dalam Dewa Ruci tawon gumana disebut golek gading sebagai perwujudan pramana Simuh, 1988: 369. d. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I yang berkaitan dengan Makrifat Makrifat dalam bahasa Jawa laku rasa, sembah rasa adalah perjalanan menuju manusia sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya Aceh, 1987:67. Dalam teminologi tasawuf, makrifat berarti mengenal langsung atau mengetahui langsung tentang Tuhan dengan sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-Nya Nicholson, 1975:71, yang meliputi zat dan sifatnya. Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran t arekat , yaitu ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang merintangi manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia akan merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang Ada. Dalam hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang Ilahi. Keadaan ini tidak dapat diterangkan Nicholson, 1975:148 Jawa tan kena kinaya ngapa Mulyono, 1982:47, yang dirasakan hanyalah indah Zahri, 1984:89. Dan disinilah pada masyarakat Jawa hal ini disebut dengan istilah manunggaling kawula Gusti, pamoring kawula Gusti, jumbuhing kawula Gusti, warangka manjing curiga curiga manjing warangka. Pada titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah. Di dunia ia menjadi wakil Tuhan wakiling Gusti, menjalankan kewajiban- kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia yang lain de Jong, 1976:69; Mulder, 1983:25. Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih diselubingi oleh kebendaan, syahwat , dan segala kesibukan dunia yang fana ini Aceh, 1987:70. Tindakan diri manusia semata-mata menjadi laku karena Tuhan Subagya, 1976:85. Keadaan yang dialami oleh Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah mencapai tahap makrifat , di antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi. Sebagai puncak dari pengalaman mistik yang diharapakan oleh para sufi adalah dapat langsung berhubungan atau mengadakan persatuan dengan Tuhan wihdatul wujud , yang dalam istilah Kejawen disebut manunggaling kawula-Gusti . Yasadipura I pun, menurut Kamadjaja 1963:124-125 berpaham demikian. Dan hampir semua karya Yasadipura I yang bercorak mistik selalu menyatakan hal itu, seperti tampak pada Serat Dewa Ruci. Konsep manunggaling kawula Gusti dalam Serat Dewa Ruci disebutkan dalam pupuh Dhandanggula , pada 36-37: “ Yen weruh pamoring Kawula Gusti, sarta Suksma kang sinendyan ana, de warna neng sira ngnggone, lir wayang sarireku, saking dhalang solahing ringgil, mangka panggung kang jagad, lire badan iku, asolah lamun pinolah, sasolahe kumendhep myarsa ninggali, tumindak lan pangucap” . “ Kawisesa amisesa sami, datan antar pamoring karsa, jer tanpa rupa rupane, wus aneng ing sireku, umpamame paesan jati, ingkang ngilo Hyang Suksma, wayangan puniku, kang ana sajroning kaca, iya sira jenenging manusa iki, rupa sajroning kaca” . Artinya: Kalau tahu pamoring kawula Gusti serta Suksma yang dituju ada, oleh warna pada kamu tempatnya seperti wayang pada kamu itu dari dalang gerak wayang, padahal panggung itu jagat, seperti badan itu bergerak jika digerakka pergerakannya tertatap mendengar melihat, bertindak dan berkata. Sama menguasai dikuasai tak antara pamoring karsa memang tanpa rupa sudah ada pada dirimu umpama paesan jati, yang berkaca Hyang Suksma, wayangan adalah yang ada dalam kaca, yaitu kamu nama manusia, rupa dan kaca. Uraian diatas menerangkan bahwa kehidupan manusia merupakan pencerminan Tuhan, karena sangat dekatnya hubungan manusia dengan tuhan jating rasa penglihatan dan pendengaran manusia menjadi penglihatan dan pendengaran- Nya Nicholson, 1975:100-101. Kedektan itu juga menggambarkan badan lahir dan badan batin, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user Karena dekatnya Tuhan, seolah-olah Tuhan berada di dalam manusia, bukan di luar manusia. Dalam Al-Qur’an ajaran tentang imanensi atau kedekatan Tuhan dengan manusia sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah: ... “Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan” Al-Hadid, ayat 4. Pengertian serupa juga terdapat dalam surat Qaff ayat 16: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang telah dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. Dengan pengertian ini sebenarnya konsep manunggaling kawula Gusti dalam Serat Dewa Ruci tetap menganggap bahwa zat Tuhan tetap dipahami sebagai zat yang transenden, yaitu zat Tuhan adalah hakiki dan manusia hanya bersifat pantulan atau nisbi saja. Dengan kata lain Dalam Serat Dewa Ruci, tetap berpandangan hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda Nicholson, 1975:158-159. Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal manusia memiliki sifat-sifat Ilahi Hadiwijono, 1983:94. Sebagaimana teori cermin bahawa sesuatu yang memantul atau yang memberi bayangan adalah sesuatu yang hakiki dan pantulan atau bayangan sesuatu yang hakiki tersebut hanya bersifat nisbi saja. Sesuatu yang nisbi tidaklah sama kualitinya dengan sesuatu yang hakiki. Sebagaimana juga dikatakan oleh salah seorang penganut paham manunggaling kawula Gusti , Ki Amongraga yang menyadari bahawa dia hanya hasil ciptaan dan antara kawula dan Gusti ada perbedaan, seperti antara debu di tanah dan awan, atau seperti antara bumi dan ruang angkasa. Walaupun demikian memang sangat susah untuk mendefinisikan konsep manunggaling kawula Gusti secara tepat. Oleh itulah Simuh mengatakan bahawa memahami konsep manunggaling kawula Gusti memang dikatakan mudah tetapi susah dan dikatakan susah tetapi mudah. Dalam Kepustakaan Islam Kejawen, hubungan manusia dengan Tuhan, umumnya mengandung rumusan yang saling tumpang tindhih. Tuhan dilukiskan memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia dan manusia diganbarkan sama dengan Tuhan. Paham semacam ini dalam falsafah dinamkan antropomoirfisme Simuh, 1998:229. Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya, bagaikan air dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan dewa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa Hadiwijono, 1983:45. Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir, tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Oleh kaum filsafat, itulah yang disebut surga Hamka, 1984:139. Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat. Segala yang menjadi niat hatinya terkabul, apa yang dimaksud tercapai, dan apa yang dicipta akan datang, jika hamba telah bisa manunggal dengan Tuhannya. Segala yang dimaksud oleh Bima telah tercapai. Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tataran makrifat.Segala yang diniatkan oleh hamba yang tercapai ini kadang-kadang bertentangan dengan hukum alam sehingga menjadi suatu keajaiban. Keajaiban itu dapat terjadi sewaktu hamba dalam kendali Ilahi Nicholson, 1975:132. Ada dua macam keajaiban, yang pertama yang dilakukan oleh para wali disebut keramat dan yang kedua keajaiban yang dilakukan oleh para nabi disebut mukjizat Nicholson, 1975:129. Dalam Serat Dewa Ruci pupuh Dhandhangguala V, pada 32-33 disebutkan bahwa bagi Bima hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia hendaklah manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam dalam kematian manusia akan kembnali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan yang luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak sempurna dan yang menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal hanyalah Suksma. Ia kemudian bebas merdeka sesuai kehendaknya kembali manunggal kepada Yang Kekal Marsono, 1997:799. Keadaan bahwa hidup dan mati tidak ada bedanya secara filosofis melambangkan bahwa tokoh Bima telah mencapai tahap makrifat. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user Bima setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna dengan Tuhannya karena mendapatkan wejangan dari Dewaruci, ia hatinya terang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar. Bima kembali kepada alam dunia semula. Keselarasan sosial dalam serat dewa ruci tampak pada personifikasi tokoh Sena yang mau kembali ke tempat asalnya, setelah dia mengalami ekstase kenikmatan spiritual. Tokoh Bima tidak hanya mementingkan olah kebatinan saja, namun juga masih peduli dengan soal-soal lahiriah duniawi berupa problem sosial dan kenegaraan yang perlu diselesaikan berhubung posisi dirinya sebagai prajurit,abdi negara, dan satria agung. Keadaan hati yang terang benderang bagaikan kuncup bunga yang sedang mekar secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap makrifat. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berpijak dari uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Biografi Yasadipura dapat ditelusuri dari silsilahnya. Menurut Tus Pajang, Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari raja Pajang itu. Ia adalah anak Tumenggung Padmanagara, seorang BupatiJaksa pada masa Mataram Kartasura. Sebagai seorang anak bupati, Yasadipura I mendapatkan pendidikan selayaknya kaum priyayi yang sangat kental dengan aroma kejawen. Untuk memperdalam ilmunya maka pada usia delapan tahun, dia dikirim sebuah Pondok Pesantren di Bagelan Kedu di bawah asuhan Kyai Hanggamaya untuk mendapatkan pendidikan formal Islam. Pada usia empat belas tahun ia menyelesaikan belajarnya di pesantren Kedu, dan kemudian mengabdi di kraton Kartasura pada masa Pakubuwana II 1726-1743. Karena prestasinya yang baik dalam mengabdi di kerajaan ia kemudia dipromosikan menjadi prajurit Nameng Jaya. Karena bakatnya dalam bidang sastra diketahui Paku Buwana II, oleh karena itu Pakubuwahna II menitipkan Kudapangawe kepada Pangeran Wijil, seorang pujangga yang bekerja di kadipaten. Setelah mendapat bimbingan Pangeran Wijil, bakatnya di bidang sastra semakin menonjol sehingga ia disebut sebagai pujangga taruna Pujangga Muda. Setelah periode Surakarta, pada masa Pakubuwana II 1749-1788, ia telah disebut dengan Raden Ngabehi Yasadipura I dan meningal hari senin Kliwon , 20 Dulkangidah, Wawu 1728. 2. Serat Dewa Ruci digubah Yasadipura I pada masa awal kraton Surakarta. Secara historis berkaitan dengan kitab Nawaruci, karya Empu Siwamurti pada zaman akhir kerajaan Majapahit. Kitab Nawaruci merupakan karya mistik Jawa yang terpengaruh ajaran agama Hindhu. Serat Dewa Ruci merupakan perpaduan antara sastra mistik yang mengandung paham asli Jawa-Hindhu, dan Islam. Dalam lingkungan kebudayaan Jawa, Serat Dewa Ruci merupakan alegori mistik Jawa yang begitu popular. Dalam konteks religi masyarakat Jawa Serat Dewa