Analisis Ketimpangan Williamson CVw

46 masyarakat di daerah perdesaan mempunyai ketimpangan yang cukup besar. Sedangkan di daerah perkotaan pada masyarakat yang mempunyai tingkat pendapatan di bawah Rp 1.000.000 terlihat bahwa lebih dari 92 persen masyarakat yang berada pada tingkatan tersebut hanya menikmati 75 persen dari seluruh pendapatan perkotaan. Hal ini berarti bahwa pada tingkat pendapatan tersebut masyarakat di daerah perkotaan mempunyai ketimpangan yang cukup besar.

4.3. Analisis Ketimpangan Williamson CVw

Ketimpangan pendapatan dan pengeluaran konsumsi suatu komoditi yang dihitung dengan menggunakan rumus atau formula yang dikemukakan oleh Williamson dan dikenal dengan CV Williamson CVw dapat dilihat pada Tabel 4.4. di bawah. Nilai CVw yang kecil menggambarkan tingkat ketimpangan yang rendah atau tingkat pemerataan yang lebih baik, dan sebaliknya apabila nilai CVw besar menunjukan tingkat ketimpangan yang tinggi atau semakin tidak merata. Pada tabel di bawah terlihat bahwa indeks ketimpangan pendapatan baik di daerah perdesaan maupun perkotaan cukup tinggi, dimana nilainya di atas 0,50, namun ketimpangan pendapatan di daerah perkotaan lebih tinggi dibanding dengan daerah perdesaan. Ketimpangan pengeluaran yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia pada tahun 2008 terhadap komoditi pangan dan nonpangan baik di daerah perdesaan maupun perkotaan pada berbagai tingkat pendapatan menunjukan bahwa ketimpangan pengeluaran untuk komoditi nonpangan lebih besar dibanding dengan komoditi pangan. Komoditi pangan yang mempunyai ketimpangan 47 pengeluaran cukup rendah adalah komoditi padi-padian dan umbi-umbian baik di daerah perdesaan maupun perkotaan, yaitu masih di bawah 0,10. Hal ini menunjukan bahwa konsumsi makanan khususnya padi-padian dan umbi-umbian baik di daerah perdesaan maupun perkotaan mempunyai ketimpangan yang sangat rendah atau relatif hampir merata diantara berbagai tingkat golongan pendapatan. Jika kita lihat kembali pada Lampiran 1 terlihat bahwa jumlah pengeluaran konsumsi komoditi padi-padian dan umbi-umbian di daerah perkotaan pada berbagai tingkat pendapatan menunjukan angka yang cenderung sama yaitu berkisar pada angka tiga puluhan ribu rupiah. Tabel 4.4. Indeks Ketimpangan Williamson pada Beberapa Jenis Komoditi menurut Daerah Perdesaan dan Perkotaan di Indonesia, 2008 Jenis Komoditi Perdesaan Perkotaan 1 2 3 Pendapatan 0.573754739 0.720628477 Pengeluaran Makanan 0.369617539 0.431192007 Padi-padian dan Umbia-umbian 0.099007702 0.031004981 Ikan, Daging, Telur dan Susu 0.538252482 0.625650544 Sayur-sayuran dan Buah-buahan 0.402620154 0.444968116 Makanan dan Minuman Jadi 0.532511723 0.643126848 Pengeluaran Bukan Makanan 0.747134964 0,944326400 Perumahan dan Fasilitas Rumah Tangga 0.567233376 0,851726923 Barang dan Jasa 0.737688724 0,937093410 Pakaian, Alas kaki dan Tutup kepala 0.497007082 0,668860708 Barang tahan lama 0.938195226 0,980822678 Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional Susenas, 2008 diolah Tingkat ketimpangan untuk kelompok komoditi makanan di daerah perdesaan yang relatif cukup tinggi adalah komoditi ikan, daging, telur dan susu, dimana mencapai lebih dari 0,50 atau berarti mempunyai taraf tinggi. Gambaran ini berarti bahwa masyarakat di daerah perdesaan dalam mengkonsumsi jenis komoditi tersebut tidak begitu merata, karena mungkin harga komoditi tersebut 48 masih dianggap cukup mahal atau bahkan mungkin menganggap masih ada pengeluaran konsumsi komoditi lain yang lebih penting. Sedangkan untuk daerah perkotaan ketimpangan komoditi pangan yang relatif cukup tinggi adalah komoditi makanan dan minuman jadi, dimana mencapai lebih dari 0,60 atau tingkat ketimpangan taraf tinggi. Kejadian ini berarti bahwa masyarakat di daerah perkotaan dalam mengkonsumsi jenis komoditi tersebut kurang begitu merata, karena mungkin bagi golongan yang berpendapatan rendah akan memilih untuk memasak makanan sendiri dibanding makanan jadi. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 0,2 0,4 0,6 0,8 1 In de ks W illi am so n Komoditi Desa Kota Gambar 4.3. Grafik Indeks Williamson pada Beberapa Jenis Komoditi menurut Daerah Perdesaan dan Perkotaan, 2008 Keterangan skala komoditi : 1 Pendapatan 2 Pengeluaran komoditi seluruh makanan 3 Pengeluaran komoditi padi-padian dan umbi-umbian 4 Pengeluaran komoditi ikan, daging, telur dan susu 5 Pengeluaran komoditi sayur-sayuran dan buah-buahan 6 Pengeluaran komoditi makanan dan minuman jadi 7 Pengeluaran komoditi bukan makanan 8 Pengeluaran komoditi perumahan dan fasilitas rumah tangga 9 Pengeluaran komoditi barang dan jasa 10 Pengeluaran komoditi pakaian, alas kaki dan tutup kepala 11 Pengeluaran komoditi barang-barang tahan lama. 49 Pengeluaran konsumsi komoditi nonpangan ternyata mempunyai ketimpangan yang relatif cukup tinggi dibanding dengan komoditi pangan bahkan untuk komoditi barang tahan lama baik di daerah perdesaan maupun perkotaan mempunyai ketimpangan yang cukup besar hingga hampir mencapai satu. Ini berarti mempunyai tingkat ketimpangan taraf tinggi sesuai dengan kriteria yang dikemukakan oleh Matolla. Kemudian diikuti oleh komoditi barang dan jasa yang mempunyai tingkat ketimpangan lebih dari 0,80. Hal ini menunjukan bahwa konsumsi komoditi-komoditi tersebut didominasi oleh masyarakat yang mempunyai golongan tingkat pendapatan yang cukup tinggi karena mungkin harganya yang cukup tinggi atau mungkin bagi golongan yang berpendapatan rendah masih harus memaksimalkan kebutuhan-kebutuhan dasar.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari uraian yang telah dibahas pada bab sebelumnya memperlihatkan bahwa pola pengeluaran konsumsi yang digambarkan dengan menggunakan beberapa metode analisis di atas menunjukan bahwa : 1. Besarnya persentase pengeluaran konsumsi atas pangan di Indonesia pada tahun 2008 rata-rata akan cenderung menurun khususnya komoditi padi- padian dan umbi-umbian seiring dengan meningkatnya pendapatan yang diterima, sedangkan untuk konsumsi nonpangan mempunyai kecenderungan meningkat terutama komoditi barang-barang tahan lama khususnya di daerah perdesaan serta komoditi perumahan dan fasilitas rumah tangga dan komoditi aneka barang dan jasa khususnya di daerah perkotaan yang terlihat meningkat cukup tajam. 2. Perubahan tingkat pendapatan akan berpengaruh pada perubahan pola pengeluaran konsumsi masyarakat. 3. Perubahan pengeluaran konsumsi untuk komoditi nonpangan lebih besar jika dibanding dengan komoditi pangan. Misalnya pada golongan pendapatan antara Rp 100.000 hingga Rp 150.000 untuk komoditi makanan dan minuman jadi dan komoditi ikan, daging, telur dan susu di daerah perkotaan akan mengalami peningkatan jumlah pengeluaran yang cukup besar hingga lebih dari 3,5 persen untuk makanan dan minuman jadi serta lebih dari 4,8 persen untuk komoditi ikan, daging, telur dan susu jika terjadi